728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Mutiara Hikmah Ulama Salaf [2]

Mutiara Hikmah Ulama Salaf, Untaian nasehat, Permata salaf


Antara Abu Bakar dan Ahmad bin Hanbal

[299] ‘Ali ibnul Madini rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memperkuat agama ini dengan Abu Bakar ash-Shiddiq pada hari-hari riddah -kemurtadan orang-orang arab sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent- dan dengan Ahmad bin Hanbal pada har-hari mihnah -cobaan bagi umat berupa pemaksaan aqidah al-Qur’an makhluk, pent-.” (lihat Thabaqat ‘Ulama al-Hadits [2/83])

Keutamaan Mengikuti Atsar

[300] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Jika kamu sanggup untuk tidak menggaruk kepala kecuali dengan dasar dari atsar/riwayat maka lakukanlah.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 29)

Kemuliaan Ilmu

[301] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)

Penjaga Langit dan Penjaga Bumi

[302] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Para malaikat adalah para penjaga langit sedangkan ashabul hadits adalah para penjaga bumi.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 31)

Kemanfaatan Hadits

[303] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 32)

Fitnah Akibat Hadits

[304] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Fitnah yang timbul oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah yang ditimbulkan dari emas dan perak.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 33)

Menilai Diri Sendiri

[305] Abdullah ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Jika seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri [hawa nafsu] niscaya dia akan memandang dirinya jauh lebih hina daripada seekor anjing.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/29])

Ilmu dan Dunia

[306] Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Kami mencari ilmu untuk dunia maka ilmu justru menunjukkan kepada kami untuk meninggalkan dunia.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/30])

Membenci Pembela Bid’ah

[307] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])

Membantu Pembela Bid’ah

[308] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk menghancurkan agama Islam.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])

Rendah Hati Terhadap Kebenaran

[309] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Seorang [periwayat] tidak akan sempurna kecuali apabila dia mencatat dari orang yang di atasnya, orang yang sejajar dengan dirinya, dan orang yang berada di bawah kedudukannya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/66])

Merealisasikan Zuhud

[310] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika dia mendapatkan nikmat maka bersyukur dan jika dia mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar. Itulah zuhud.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/78])

Hakikat Orang Berilmu

[311] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim [ahli ilmu] orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan akan tetapi sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/81])

Mengagungkan Sholat

[312] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Termasuk bentuk pengagungan sholat yaitu hendaknya kamu datang sebelum iqomah.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/82])

Fitnah Dari Hadits

[313] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Fitnah yang timbul dari hadits lebih dahsyat daripada fitnah karena harta dan anak-anak.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/97])

Sesuatu Yang Paling Berat

[314] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang membiasakan dirinya untuk beramal ikhlas karena Allah niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada beramal untuk selain-Nya. Dan barangsiapa yang membiasakan dirinya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisinya maka tidak ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada ikhlas dan beramal untuk Allah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 7)

Berdakwah Dengan Ilmu

[315] Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)

Majelis Yang Buruk

[316] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah mengisahkan: Dahulu aku mengajar suatu majelis setiap hari jum’at. Apabila orang yang datang banyak aku pun senang, dan apabila yang datang sedikit aku pun sedih. Aku menanyakan hal ini kepada Bisyr bin Manshur, dia menjawab, “Ini adalah majelis yang buruk, jangan kamu kembali kepadanya!” Setelah itu aku pun tidak lagi kembali ke majelis itu (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 12)

Majelis Atho’ bin Abi Robah

[317] Imam adz-Dzahabi menceritakan dari salah seorang yang hidup sezaman dengan Imam Atho’ bin Abi Robah rahimahullah. Orang itu mengatakan, “Aku telah melihat Atho’ -sedangkan dia adalah penduduk bumi yang paling diridhai manusia ketika itu- sementara tidak ada orang yang duduk hadir [belajar] dalam majelisnya kecuali sembilan atau delapan orang saja.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 12)

Cita-Cita Tinggi

[318] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tingginya cita-cita seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya cita-cita seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 13)

Ciri Ahli Bid’ah dan Pemecah Belah Umat

[319] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dia jadikan satu-satunya pedoman; sehingga barangsiapa yang mencintainya maka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah -menurutnya- dan barangsiapa yang menyelisihinya adalah ahli bid’ah dan pemecah belah -sebagaimana hal itu bisa ditemui pada para pengikuti imam ahlul kalam dalam urusan agama ini ataupun selainnya- maka sesungguhnya dia adalah seorang ahli bid’ah, penyebar kesesatan dan pemecah belah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 19)

Tanda Ketundukan Hati

[320] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu tanda ikhbat/ketundukan hati dan keikhlasan diri seseorang adalah tidak bergembira dengan pujian manusia dan tidak merasa sedih semata-mata dengan celaan mereka.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 29)

Empat Samudera

[321] Sebagian orang bijak berkata, “Empat samudera untuk empat perkara. Kematian adalah samudera –untuk menenggelamkan- kehidupan. Nafsu adalah samudera untuk syahwat. Kubur adalah samudera penyesalan. Dan pemaafan dari Allah adalah samudera bagi kesalahan-kesalahan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 124)

Hari Kemiskinan

[322] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Maukah aku kabarkan tentang hari kefakiranku? Yaitu hari ketika aku turun ke kuburku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 125)

Nasehat Umat Terdahulu

[323] Sebagian orang salih berkata, “Cukuplah bagimu kubur untuk mengerti nasehat-nasehat umat terdahulu yang telah berlalu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 125)

Manfaat Mengingat Kubur

[324] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Baranngsiapa memperbanyak mengingat tentang alam kubur niscaya dia akan mendapati kuburnya menjadi salah satu taman surga. Dan barangsiapa yang lali dari mengingatnya niscaya dia akan mendapati kuburnya sebagai salah satu lubang menuju neraka.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 127)

Kemunafikan

[325] Diriwayatkan bahwa Hasan al-Bashri rahimahullah melihat ada seseorang yang makan di pekuburan. Maka beliau pun berkata, “Ini adalah orang munafik. Kematian ada di hadapannya sementara dia justru menikmati makanan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 131)

Kembali Kepada-Nya

[326] Suatu ketika Abu Hazim rahimahullah ditanya, “Bagaimanakah keadaan orang yang menghadap kepada Allah?” Beliau menjawab, “Adapun orang yang taat maka keadaannya seperti kedatangan seorang yang telah pergi lama kepada sanak keluarganya yang sangat rindu kepadanya. Adapun orang yang maksiat, maka kedatangannya seperti halnya kedatangan seorang budak yang durhaka meninggalkan majikannya dalam keadaan sangat marah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 139)

Mengapa Tertawa-tawa

[327] Dikisahkan dari al-Hasan, bahwa beliau berkata: Ada seorang lelaki berkata kepada saudaranya, “Wahai saudaraku, pernahkah datang kepadamu ayat yang mengatakan bahwa kalian [manusia] pasti akan menghampiri neraka?” Maka dia menjawab, “Iya.” Lalu orang itu bertanya, “Lalu apakah pernah datang kepadamu berita bahwasanya kamu pasti bebas dari siksanya?” Maka dia menjawab, “Tidak ada.” Lalu orang itu mengatakan, “Lantas untuk apa engkau tertawa-tawa?” Akhirnya lelaki itu tidak pernah terlihat tertawa-tawa hingga kematiannya (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 140-141)

Saat Yang Dinantikan

[328] Abu Hazim rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, setelah kematian barulah akan datang kepadamu kabar itu [mengenai nasibmu].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 142)

Angan-Angan Yang Tidak Akan Terwujud

[329] Sebagian orang bijak memberikan nasehat, “Wahai saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di dunia ini, sebelum engkau menemui suatu negeri [akhirat] yang engkau mengangankan kematian di sana dan engkau tidak akan bisa menemukannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 145)

Menjalarnya Dosa

[330] Sebagian orang salih berkata, “Meresapnya dosa ke dalam hati seperti jatuhnya minyak di atas pakaian. Jika kamu tidak segera mencucinya dia akan merembet kemana-mana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 152)

Wasiat Berharga

[331] Seorang lelaki berkata kepada Zuhair bin Nu’aim, “Wahai Abu Abdirrahman, engkau ingin memberikan wasiat?”. Dia menjawab, “Iya, waspadalah engkau. Jangan sampai Allah mencabut nyawamu sedangkan kamu tenggelam dalam kelalaian.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 142)

Angan-Angan Yang Sudah Terlambat

[332] Ibrahim bin Abi ‘Abdah rahimahullah berkata, “Aku mendengar bahwa seorang mukmin apabila meninggal maka dia akan berangan-angan untuk bisa kembali ke dunia; hal itu bukan karena apa-apa melainkan agar dia bisa bertakbir walaupun sekali saja, bertahlil dan bertasbih walaupun sekali saja.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 143)

Tangisan Kejujuran

[333] Ketika kematian hendak menghampiri Abdullah bin ‘Ali dia pun menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Beliau menjawab, “Aku menangisi keteledoranku pada hari-hari yang telah berlalu dan sedikitnya amalku untuk meraih surga yang tinggi serta –sedikitnya bekalku- untuk menyelamatkan diri dari api neraka.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 149)

Pengagungan Sholat

[334] Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah ditegakkan sholat –dikumandangkan iqomah- semenjak aku masuk Islam, melainkan aku berada dalam keadaan telah berwudhu/bersuci.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 173)

[335] Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berkata, “Tidak pernah aku luput dari takbir yang pertama sejak lima puluh tahun lamanya, dan aku tidak pernah melihat kepada tengkuk seorang pun –di hadapanku- di dalam sholat [artinya beliau selalu berada di shaf terdepan, pent] sejak lima puluh tahun lamanya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 174)

[336] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Adalah al-A’masy hampir tujuh puluh tahun lamanya beliau tidak pernah luput dari takbir yang pertama.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 175)

[337] Ibnu Sima’ah rahimahullah berkata, “Aku telah menjalani waktu empat puluh tahun dalam keadaan tidak luput dariku takbir yang pertama kecuali pada hari meninggalnya ibuku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 175)

[338] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika kamu melihat seorang [periwayat] yang meremehkan takbir yang pertama maka cucilah kedua tanganmu darinya [jangan mengambil riwayat darinya].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 176)

[340] Muhammad bin al-Mubarak ash-Shuri berkata, “Adalah Sa’id bin Abdul ‘Aziz apabila tertinggal dari sholat jama’ah maka beliau pun menangis.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 176)

Sholat Yang Membekas

[341] Bakr al-Muzani rahimahullah berkata, “Jika engkau ingin agar sholatmu bermanfaat [memberikan pengaruh] kepadamu maka katakanlah –pada dirimu sendiri- bahwa aku tidak mengerjakan sholat kecuali sholat itu saja.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 181)

Keagungan Hak Allah

[342] Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlau agung untuk bisa ditunaikan dengan sempurna oleh seorang hamba. Akan tetapi mereka dapat menggapai keutamaan dengan senantiasa bertaubat di waktu pagi dan bertaubat di waktu sore.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 195)

Kelezatan Bagi Hati

[343] Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Tidaklah aku merasakan sesuatu yang lebih mendatangkan kelezatan ke dalam hatiku daripada sholat malam.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 211)

Jahannam Tidak Membiarkan Mereka Terlelap

[344] Putri ‘Amir bin Abdi Qais berkata kepada ayahnya, “Mengapa aku melihat orang-orang terlelap tidur sementara engkau tidak tidur…” Maka beliau menjawab, “Wahai putriku, sesungguhnya neraka Jahannam  membuatku tidak bisa terlelap tidur.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.215)

Dosa Yang Membutuhkan Ampunan

[345] Suatu ketika putri Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahanda, orang-orang tidur sedangkan aku melihat engkau tidak tidur?” Maka Rabi’ menjawab, “Wahai putriku, sesungguhnya ayahmu khawatir akan akibat dari dosa-dosa.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 215)

Sebab Tidak Bisa Sholat Malam

[346] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seseorang bisa jadi melakukan suatu dosa kemudian hal itu membuatnya terhalang dari mengerjakan sholat malam.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 217)

Benteng Kemenangan

[347] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Engkau tidak akan merasakan manisnya ibadah sampai kamu bisa meletakkan tembok/penghalang antara dirimu dengan syahwat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 217)

Jarak Antara Kita Dengan Mereka

[348] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapakah jarak antara kalian dengan kaum [pendahulu] itu? Dunia datang kepada mereka –salafus shalih- dan mereka berlari darinya. Sementara dunia itu pergi meninggalkan kalian dan kalian justru mengejarnya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 222)

Gembira Memasuki Waktu Malam

[349] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila matahari telah tenggelam aku pun merasa gembira dengan kegelapan agar bisa menyelimuti kesendirianku dengan Rabbku. Dan apabila matahari telah terbit, aku pun sedih karena orang-orang pun akan masuk dalam hidupku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 232)

Kenikmatan Dunia

[350] Ibnul Munkadir rahimahullah berkata, “Kini tidak tersisa lagi kelezatan di dunia kecuali tiga perkara; … sholat malam, berjumpa dengan saudara [sesama muslim], dan sholat berjama’ah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 237)

Hakikat Keimanan

[351] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat keimanan sampai dia bisa menganggap musibah sebagai kenikmatan dan kelapangan sebagai musibah, dan sampai dia tidak menyukai apabila dipuji karena ibadahnya kepada Allah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 254)

Tingkatan Sabar

[352] Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Sabar ada dua macam; sabar dalam menghadapi musibah, maka itu adalah baik. Dan yang lebih utama lagi adalah sabar dalam menghindari maksiat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 259)

Sabar Menghadapi Musibah

[353] al-Ahnaf rahimahullah berkata, “Telah lenyap penglihatan kedua mataku sejak empat puluh tahun lamanya dan aku tidak menceritakan hal itu kepada siapapun.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 261)

[354] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Diantara bentuk pengagungan kepada Allah dan pengenalan terhadap hak-Nya adalah hendaknya engkau tidak mengadukan sakitmu dan menceritakan musibah yang menimpamu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 266)

Pahala Sabar

[355] ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Sesungguhnya demam itu akan menggugurkan dosa sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 268)

[356] Ibnu Abid Dunya rahimahullah berkata, “Adalah mereka –para salaf- mengharapkan apabila mereka mengalami demam semalaman mudah-mudahan bisa menggugurkan dosa-dosa yang telah berlalu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.268)

Kehidupan Yang Bahagia

[357] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Kami mendapatkan sebaik-baik penghidupan kami dengan modal kesabaran.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 272)

[358] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya sabar dan syukur itu menjelma menjadi dua ekor onta maka aku tidak peduli di atas onta yang mana -diantara keduanya- aku kendarai.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 278)

[359] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba lalu dicabutnya dan Allah gantikan hal itu dengan kesabaran melainkan ganti yang Allah berikan pasti lebih baik daripada apa nikmat dicabut darinya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 279)

[360] Ada seorang lelaki meminta wasiat kepada Abud Darda’ radhiyallahu’anhu. Maka beliau berkata, “Ingatlah Allah pada saat senang niscaya Allah akan mengingatmu pada saat susah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 280)

Nikmat Atau Bencana?

[361] Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah –‘azza wa jalla– maka itu adalah bencana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 282)

Sumber Datangnya Musibah

[362] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Mereka [salafus shalih] sedikit dosanya, oleh sebab itu mereka bisa mengetahui darimana sumber musibah yang menimpanya. Adapun kita; dosa kita sangatlah banyak, sehingga kita tidak bisa mengetahui dari dosa manakah kita mendapatkan bencana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 289)

Rahasia Kebaikan

[363] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Aku tidak peduli apakah aku memasuki waktu pagi dalam keadaan dirundung kesulitan atau mendapatkan kemudahan -dalam urusan dunia-, sebab aku tidak mengetahui manakah yang lebih baik bagiku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 289)

Musibah Yang Lebih Besar

[364] Sebagian salaf berkata, “Kehilangan pahala [sabar] pada saat musibah menimpa itu jauh lebih besar [merugikan] daripada musibah itu sendiri.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 290)

Sabar Di Saat Sehat

[365] Sebagian salaf berkata, “Musibah itu bisa membuat sabar orang beriman maupun orang kafir. Akan tetapi tidak akan bisa bersabar ketika mendapatkan keselamatan dan kesehatan -untuk tidak bermaksiat- kecuali orang yang shiddiq/jujur keimanannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 297)

Meringankan Musibah

[366] ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang bersikap zuhud di dunia niscaya musibah-musibah itu akan terasa ringan baginya, dan barangsiapa yang menunggu-nunggu datangnya kematian pastilah dia akan bersegera menuju kebaikan-kebaikan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 303)

Menyambut Musibah Dengan Gembira

[367] Ibrahim bin Dawud rahimahullah berkata: Sebagian orang bijak mengatakan, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menghadapi musibah-musibah yang menimpanya dengan kegembiraan.” Maka Ibrahim berkata, “Mereka itu adalah orang-orang yang hatinya telah bersih dari kegandrungan terhadap dunia.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 305)

Memusuhi Allah

[368] Abu Mas’ud al-Balkhi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tertimpa musibah kemudian merobek-robek pakaian atau memukul-mukul dada, seolah-olah dia adalah orang yang sedang mengambil tombak untuk mengobarkan peperangan dengan Rabbnya ‘azza wa jalla.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 305)

Kunci Keselamatan

[369] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Barangsiapa yang membaca al-Qur’an dan mengikuti ajaran yang terdapat di dalamnya, maka Allah akan tunjuki dirinya dari kesesatan dan Allah akan menjaganya pada hari kiamat dari hisab yang buruk.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 829 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)

Ilmu Yang Bermanfaat

[370] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun ilmu nafi’/ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mensucikan hati dan ruh yang pada akhirnya akan membuahkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu itu adalah ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meliputi ilmu tafsir, hadits, dan fiqih serta segala ilmu yang menopang atau membantunya semacam ilmu-ilmu bahasa arab…” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 42)

Penyesalan Terbesar

[371] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah aku menyesali sesuatu sebagaimana penyesalanku terhadap suatu hari yang tenggelam matahari pada hari itu sehingga berkuranglah ajalku padanya sedangkan amalku tidak kunjung bertambah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/11])

Tanda Kebinasaan

[372] al-Hasan rahimahullah berkata, “Salah satu ciri bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala Allah menjadikan kesibukan dirinya dalam hal-hal yang tidak penting baginya tatkala Allah ‘azza wa jalla tidak lagi memberikan taufik kepadanya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/15])

Perjalanan Menghancurkan Usia

[373] Ahmad bin Masruq rahimahullah berkata, “Engkau senantiasa berada dalam proses penghancuran umurmu, yaitu sejak engkau keluar dari perut ibumu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/22])

Kesibukan Yang Bermanfaat

[374] Wuhaib bin al-Ward rahimahullah berkata, “Jika engkau sanggup membuat tidak ada seorang pun yang menyibukkan dirimu dari mengabdi kepada Allah ta’ala maka lakukanlah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/24])

Menyambut Negeri Akhirat

[375] Ada yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’ rahimahullah, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”. Maka beliau menjawab, “Bagaimanakah menurutmu mengenai orang yang menempuh perjalanan setiap hari melalui tahapan-tahapan menuju akhirat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/27])

Memelihara Waktu

[376] Ibrahim bin Syaiban rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjaga untuk dirinya waktu-waktu yang dia jalani sehingga tidak tersia-siakan dalam hal yang tidak mendatangkan keridhaan Allah padanya niscaya Allah akan menjaga agama dan dunianya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/29])

Hakikat Kerugian

[377] Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menangisi diriku apabila ia mengalami kematian, hanya saja yang aku tangisi adalah apabila kebutuhanku [ibadah] telah sirna.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/42])

Menjaga Lisan

[378] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengetahui bahwa ucapannya termasuk dari amalnya niscaya akan sedikit ucapannya kecuali dalam perkara yang penting baginya atau bermanfaat untuknya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/72])

Celah Bagi Setan

[379] az-Zuhri rahimahullah berkata, “Apabila suatu majelis itu lama maka setan pasti berusaha untuk campur tangan di dalamnya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/77])

Penjagaan Ketat

[380] Muhammad bin Wasi’ berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai Abu Yahya, menjaga lisan itu jauh lebih berat bagi manusia daripada menjaga dinar dan dirham.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/83])

Tanda Kebaikan dan Keburukan

[381] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/84])

Binatang Buas

[382] Thawus rahimahullah berkata, “Lisanku adalah binatang buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas niscaya ia akan memakan diriku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/90])

Bahaya Namimah

[383] Yahya bin Aktsam rahimahullah berkata, “Tukang namimah/adu-domba lebih jelek daripada tukang sihir. Seorang tukang namimah bisa melakukan sesuatu dalam waktu satu jam apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang tukang sihir selama sebulan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/128])

Bahaya Dusta

[384] ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Sebesar-besar kesalahan di sisi Allah adalah lisan yang suka berdusta dan seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/138])

Amal Yang Tidak Diterima

[385] Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Tiga hal yang menyebabkan amalan tidak akan diterima apabila disertai olehnya, yaitu; syirik, kekafiran, dan ra’yu.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ra’yu.” Beliau menjawab, “Yaitu apabila dia meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan beramal dengan ra’yu/pendapatnya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 359)

Dosa Yang Terus Mengalir

[386] Habib Abu Muhammad rahimahullah berkata, “Salah satu tanda kebahagiaan bagi seorang hamba adalah apabila dia mati maka ikut mati pula dosa-dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 361)

Akibat Dosa

[387] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku terhalang dari melakukan sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 361)

Mencari Tempat Yang Tepat

[388] Seorang lelaki berkata kepada Hatim al-Asham rahimahullah, “Berikanlah nasehat kepadaku.” Maka beliau berkata, “Jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Tuhanmu maka lakukanlah hal itu di tempat yang tidak dilihat-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 362)

Kepada Siapa Hal Itu Ditujukan

[389] Bilal bin Sa’id rahimahullah berkata, “Janganlah kamu melihat kecilnya kesalahan, akan tetapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat durhaka.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 362)

Antara Tangisan dan Penyesalan

[390] Bakr bin Abdullah al-Muzani rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang melakukan dosa sambil tertawa-tawa, maka dia akan masuk neraka sambil menangis.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 362)

Kelembutan Hati

[391] Mak-hul rahimahullah berkata, “Orang-orang yang paling lembut hatinya adalah orang-orang yang paling sedikit dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 364)

Bau Busuk Maksiat

[392] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa itu mengeluarkan bau niscaya  kalian tidak akan sanggup mendekat kepadaku, karena betapa busuknya bau [dosa] yang keluar dariku.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 365)

Mengagungkan Sunnah

[393] Qotadah rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah berfatwa dengan pendapatku sendiri sejak tiga puluh tahun lamanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 367)

Keyakinan Yang Kuat

[394] Muhammad bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Tidaklah beriman dengan benar kepada Allah orang yang berharap kepada makhluk mengenai sesuatu yang telah dijamin oleh Allah [rizki].” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 381)

Merasa Cukup

[395] Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merasa cukup dengan pertolongan Allah niscaya manusia akan membutuhkan dirinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 388)

Semangat Para Ulama

[396] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku pernah mengkhatamkan al-Qur’an enam puluh kali dalam bulan Ramadhan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 394)

Zuhud Terhadap Kekuasaan

[397] Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Zuhud dalam hal kepemimpinan lebih berat daripada zuhud dalam urusan dunia.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 399)

Ridha Dengan Kesederhanaan

[398] Abu Usamah menceritakan: Mis’ar pernah berkata kepadaku, “Wahai Abu Usamah, orang yang telah merasa puas dengan cuka dan sayur niscaya orang-orang tidak akan memperbudak dirinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 400)

Orang Yang Zuhud

[399] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang mengatakan bahwa Malik bin Dinar adalah orang yang zuhud. Sesungguhnya orang yang zuhud itu adalah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz; orang yang dunia datang menghampirinya akan tetapi dia justru meninggalkannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 400)

Kemuliaan Sabar

[400] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah hamba mendapatkan karunia yang lebih utama daripada kesabaran. Karena dengan sebab kesabaran itulah mereka masuk ke dalam surga.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 459)

Keutamaan Sabar dan Syukur

[401] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah maka hamba yang paling dicintai adalah orang yang sabar dan pandai bersyukur. Yaitu orang yang apabila diberikan ujian maka dia bersabar, dan apabila diberi karunia maka dia pun bersyukur.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 462)

Mencintai Para Sahabat

[402] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Amalku yang paling aku andalkan dalam pandanganku adalah kecintaan kepada para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 463)

Bodoh Tentang Sunnah

[403] Abu Ja’far al-Baqir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu’anhuma maka sesungguhnya dia telah bodoh terhadap Sunnah/ajaran Nabi.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 466)

Jurus Keselamatan

[404] Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersahabatlah dengan manusia sebagaimana kamu bergaul dengan api. Ambillah manfaat darinya dan berhati-hatilah jangan sampai dia membakar dirimu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 475)

Mengenali Riya’

[405] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak bisa mengenali riya’ kecuali orang yang ikhlas.” (lihat Bustan al-Arifin, hal. 99)

Keutamaan Menimba Ilmu

[406] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amal setelah amalan-amalan wajib yang lebih utama daripada menuntut ilmu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 526)

Ibadah Paling Utama

[407] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa ibadah yang paling utama adalah menunaikan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 532)

Kunci Kebaikan Umat

[408] Ada seseorang yang datang menemui Maimun bin Mihran dan berkata kepadanya, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama engkau berada di tengah-tengah mereka.” Maka beliau mengatakan, “Umat manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka tetap bertakwa kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)

Teladan Seorang Ulama

[409] Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang semisal Ahmad bin Hanbal. Kami telah bersahabat dengannya selama lima puluh tahun, meskipun demikian beliau sama sekali tidak pernah membanggakan kepada kami apa-apa yang ada pada dirinya berupa kesalihan dan kebaikan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)

Keutamaan ‘Uzlah dan Jama’ah

[410] Mak-hul rahimahullah berkata, “Apabila keutamaan itu ada pada jama’ah -berkumpul bersama orang banyak- maka sesungguhnya keselamatan itu ada pada ‘uzlah -menjauhkan diri dari fitnah-.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 545)

Orang Yang Berakal

[411] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah orang yang berakal itu yang mengenali kebaikan dan keburukan. Hanyalah orang yang berakal itu adalah apabila melihat kebaikan maka dia pun mengikutinya, dan apabila melihat keburukan maka dia pun menjauhinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 558)

Pengangguran

[412] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh aku tidak senang apabila melihat ada orang yang menganggur; yaitu dia tidak sedang melakukan amal untuk dunianya dan tidak juga beramal untuk akhirat.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 560)

Antara Amal dan Tawakal

[413] Muslim bin Yasar rahimahullah berkata, “Beramallah seperti halnya amalan seorang lelaki yang tidak bisa menyelamatkan dirinya kecuali amalnya. Dan bertawakallah sebagaimana tawakalnya seorang lelaki yang tidak akan menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla untuknya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 561)

Nasehat Yang Tidak Membekas

[414] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak beramal dengan ilmunya maka akan lenyaplah nasehat yang diberikannya dari hati manusia sebagaimana mengalirnya tetesan air hujan di atas batu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 569)

Niat Yang Salah

[415] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk diamalkan niscaya Allah berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menuntut ilmu bukan untuk diamalkan maka ilmunya akan semakin membuatnya congkak.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 569)

Dokter Yang Dungu

[416] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Perumpamaan seorang yang mempelajari suatu ilmu namun dia tidak mau mengamalkannya adalah seperti seorang dokter yang memiliki obat-obatan akan tetapi tidak mau berobat dengannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 571)

Menundukkan Pandangan

[417] Waki’ menuturkan: Suatu saat kami berangkat bersama Sufyan ats-Tsauri pada hari raya/’Ied. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya hal pertama kali yang [semestinya] kita lakukan pada hari ini adalah menundukkan pandangan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 579)

Zaman Fitnah

[418] Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu berkata, “Benar-benar akan datang suatu masa dimana tidak akan selamat pada waktu itu kecuali orang yang senantiasa berdoa seperti doa orang yang hampir tenggelam.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 588)

Hasil Ujian

[419] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata: Ada seorang rahib yang bertemu denganku. Dia berkata, “Wahai Sa’id. Dalam fitnah akan menjadi jelas siapa yang menyembah Allah dan siapa yang menyembah thaghut.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 593)

Nikmat Paling Utama

[420] Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui manakah diantara kedua macam nikmat ini yang lebih utama; ketika Allah berikan hidayah kepadaku untuk memeluk Islam ataukah ketika Allah menyelamatkan aku dari hawa nafsu/bid’ah-bid’ah ini?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 601)

Dzikir Paling Utama

[421] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dzikir yang paling utama adalah membaca al-Qur’an di dalam sholat, kemudian membaca al-Qur’an di luar sholat, lalu puasa, lalu dzikir [dengan lisan].” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 632)

Penasihat Dari Dalam

[422] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Jika Allah berkehendak baik kepada seorang hamba maka Allah akan jadikan untuknya penasihat dari dalam hatinya yang memerintah dan melarangnya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 655)

Penyebab Kerasnya Hati

[423] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Dua perkara yang akan mengeraskan hati, yaitu terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak makan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 657)

Pengaruh Nasihat

[424] Syahr bin Hausyab rahimahullah berkata, “Jika seorang menuturkan pembicaraan kepada suatu kaum niscaya pembicaraannya akan meresap ke dalam hati mereka sebagaimana sejauh mana pembicaraan [nasihat] itu bisa teresap ke dalam hatinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 660)

Akibat Pertengkaran

[425] Abu Ja’far rahimahullah berkata, “Jauhilah oleh kalian pertengkaran; karena sesungguhnya hal itu akan merusak hati dan menumbuhkan bibit kemunafikan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Musibah Terbesar

[426] Hudzaifah al-Mar’asyi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang tertimpa musibah yang lebih berat daripada kerasnya hati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Nasihat Yang Membekas

[427] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Tidaklah bermanfaat bagi hati [nasihat] kecuali yang keluar dari dalam hati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Antara Hati dan Pakaian

[428] Abu Idris rahimahullah berkata, “Hati yang bersih di dalam pakaian yang kotor lebih baik daripada hati yang penuh kotoran di dalam selubung pakaian yang bersih.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Orang Paling Kaya

[429] ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merasa cukup [qona’ah] dengan apa yang dibagikan Allah untuknya maka dia adalah orang yang paling berkecukupan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 662)

Sumber Bencana

[430] Hatim al-‘Asham rahimahullah berkata, “Pokok segala musibah ada tiga, yaitu kesombongan, ketamakan, dan hasad/dengki.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 670)

Kejujuran Iman

[431] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berhias diri atau berangan-angan. Sesungguhnya iman adalah apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan oleh amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)

Prasangka Baik dan Prasangka Buruk

[432] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)

Sifat Kaum Beriman

[433] Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)

Konsisten Dalam Beramal

[434] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudaawamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)

Iman Yang Hakiki

[435] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1161)

Sebatang Pohon Keimanan

[436] Thawus rahimahullah berkata, “Perumpamaan iman adalah seperti sebatang pohon. Pokoknya adalah syahadat, cabang dan daunnya adalah demikian. Adapun buahnya adalah wara’ [kehati-hatian]. Tidak ada kebaikan pada pohon yang tidak ada buahnya. Dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak memiliki sifat wara’.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1163)

Antara Ucapan dan Perbuatan

[437] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku kecuali aku khawatir termasuk orang yang didustakan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1167)

Simpul Terkuat Keimanan

[438] Mujahid rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul keimanan adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)

Doa Tanpa Usaha

[439] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Perumpamaan orang yang berdoa tanpa beramal [berusaha] adalah seperti orang yang memanah tanpa tali busur.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1174)

Kesempurnaan Iman

[440] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah ketakwaan, hartanya adalah fikih [ilmu agama], dan perhiasannya adalah rasa malu.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1176)

Ciri Orang Munafik

[441] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1218)

Akibat Mendengar Nyanyian

[442] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1222)

Lebik Baik Daripada Dunia Seisinya

[443] Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila pada diriku tidak terdapat kemunafikan itu lebih aku cintai daripada dunia dan segala yang ada padanya. Adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu mengkhawatirkan dirinya tertimpa hal itu sedangkan aku justru merasa aman darinya!” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)

Separuh Keimanan

[444] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah separuh keimanan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1225)

Semoga Demikian

[445] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika dikatakan kepadamu, ‘Apakah kamu mukmin?’ maka jawablah, ‘Aku berharap begitu’.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1248)

Menyia-nyiakan Harta

[446] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Termasuk perbuatan menyia-nyiakan harta adalah ketika Allah memberikan kepadamu rizki yang halal kemudian kamu membelanjakannya untuk bermaksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 691)

Mengenal Allah

[447] Ali bin al-Hasan bin Syaqiq rahimahullah bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Bagaimana semestinya cara kita mengenali Rabb kita ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya. Kita tidak mengatakan sebagaimana Jahmiyah; bahwa Dia berada di sini, yaitu di bumi.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/111])

Keyakinan Kufur

[448] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “al-Qur’an adalah kalam/ucapan Allah ‘azza wa jalla, barangsiapa mengatakan bahwa ia adalah makhluk maka dia adalah kafir. Dan barangsiapa yang meragukan tentang kekafirannya maka dia pun kafir.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/112])

[449] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk maka dia adalah kafir.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/116])

Pemuja Berhala

[450] Harun bin Ma’ruf rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah orang yang memuja berhala.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/127])

Sifat Seorang Mukmin

[451] Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, “Seorang mukmin adalah orang yang senantiasa merasa diawasi Allah, mengevaluasi dirinya, dan membekali diri untuk menyambut akhiratnya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 711)

Tanda Kecintaan dan Kebencian

[452] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Jika Allah mencintai seorang hamba maka Allah akan memperbanyak kekhawatirannya. Dan apabila Allah membenci seorang hamba maka Allah akan melapangkan dunianya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 717)

Bukan Tanda Cinta

[453] Bisyr bin as-Sari rahimahullah berkata, “Bukanlah termasuk tanda-tanda kecintaan apabila engkau justru mencintai apa yang dibenci oleh orang yang kamu cintai.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 717)

Tanda Cinta Kepada Allah

[454] Dzun Nun rahimahullah berkata, “Salah satu tanda orang yang benar-benar mencintai Allah adalah tidak memiliki kebutuhan kepada [sesembahan] selain Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 721) 

Antara Cinta dan Syari’at

[455] Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Bukanlah orang yang jujur yang mengaku cinta kepada-Nya akan tetapi tidak menjaga batasan/aturan-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 723)

Kerinduan dan Ketentraman Bersama Allah

[456] Ibnu al-Farghani rahimahullah berkata, “Kecintaan pasti menumbuhkan kerinduan, sedangkan kerinduan pasti membuahkan ketentraman. Barangsiapa yang kehilangan kerinduan dan ketentraman -dalam beribadah- maka ketahuilah bahwa dia bukan seorang pecinta yang sejati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 733)

Mengorbankan Agama Demi Dunia

[457] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Apabila seorang an-Naasik [ahli ibadah] telah diridhai oleh semua tetangganya, maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang suka ber-mudahanah/basa-basi dengan mengorbankan agama, pent.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 736)

Tetap Istiqomah

[458] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah membahayakan bagi seorang hamba yang senantiasa berada di atas Islam pada waktu pagi hingga sore hari, apapun yang menimpa dirinya dari masalah-masalah dunia.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 741

Tidak Suka Pujian

[459] Adalah Ibnu Muhairiz rahimahullah, apabila ada orang yang memuji-muji dirinya maka dia berkata, “Tidakkah kamu mengetahui? Apa sih yang kamu ketahui -tentang diriku, pent-?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 742)

Tidak Lupa Daratan

[460] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa pujian tidak akan memperdaya seorang yang benar-benar telah mengenali hakikat dirinya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 743)

Keadaan Para Ulama

[461] Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, “Adalah para ulama dahulu apabila telah berilmu maka mereka pun mengamalkan ilmunya. Apabila mereka telah beramal, mereka pun disibukkan dengannya. Kalau mereka telah sibuk dengannya mereka pun lenyap. Apabila mereka telah lenyap maka mereka pun dicari. Dan apabila mereka dicari maka mereka pun lari.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/106])

Faidah Kisah Ulama

[462] Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Menceritakan tentang keadaan para ulama dan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka lebih aku sukai daripada banyak membicarakan fikih [ilmu], karena dengan membaca kisah mereka kita akan mengetahui adab serta akhlak mereka.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/109])

Nasehat Membekas

[463] Suatu ketika Hasan al-Bashri rahimahullah melewati Thawus rahimahullah ketika sedang mendektekan hadits di Masjidil Haram dalam sebuah halaqah yang besar. Hasan pun mendekatinya. Hasan berkata kepadanya di telinganya, “Apabila dirimu telah membuatmu ujub hendaklah engkau bangkit dari majelis ini.” Segera setelah itu Thawus pun bangkit meninggalkan majelis itu (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/130])

Sebuah Keadilan

[464] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat orang yang riya’ hendaklah dia melihatku.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/132])

[465] Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku mencintai orang-orang salih sementara aku bukanlah termasuk diantara mereka. Dan aku membenci orang-orang jahat sementara aku lebih jelek daripada mereka.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/133])

Orang Gila

[466] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat ada orang yang orang-orang lain berkumpul di sekelilingnya niscaya aku katakan bahwa ini adalah orang gila. Siapakah orang yang orang lain berkumpul di sekitarnya kemudian dia tidak senang membagus-baguskan ucapannya kepada mereka! (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/134])

Pujian dan Kenyataan

[467] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan; pujian tidaklah akan memperdaya orang yang telah mengenali hakikat dirinya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 743)

Mencintai Musibah

[468] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Tiga perkara yang aku cintai akan tetapi orang-orang membencinya; kemiskinan, sakit, dan kematian.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 768)

Adab Di Dalam Masjid

[469] Yunus bin Abu Ishaq rahimahullah berkata, “Adalah Amr bin Maimun apabila telah masuk ke dalam masjid maka beliau pun berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 771)

[470] Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Adalah ‘Abdah apabila sedang berada di dalam masjid maka beliau tidak mau membicarakan sedikit pun urusan dunia.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 771)

Tunduk Kepada Atsar

[471] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Pelajarilah atsar-atsar ini. Barangsiapa yang melontarkan pendapat dengan akalnya, katakanlah: ‘Pendapatku sama kedudukannya dengan pendapatmu’.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 359)

Kebahagiaan

[472] Habib Abu Muhammad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya termasuk bagian dari kebahagiaan seorang adalah tatkala ia meninggal maka meninggal pula dosa-dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 361)

Pokok-Pokok Agama

[473] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kami meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan perbantahan, perdebatan, dan pertengkaran dalam urusan agama.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)

al-Qur’an Kalamullah

[474] Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri al-Kufi rahimahullah berkata, “al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dari-Nya ia datang dan kepada-Nya ia akan kembali. Barangsiapa yang berkeyakinan menyelisihi hal ini maka dia adalah kafir.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 141)

Iman Kepada Takdir

[475] Imam al-Humaidi rahimahullah berkata, “as-Sunnah dalam pandangan kami adalah hendaknya seorang mengimani takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit…” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 151)

Antara Mukmin dan Munafik

[476] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin berhusnuzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia membaguskan amalnya. Adapun orang munafik bersu’uzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia memperburuk amalnya.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)

Merealisasikan Iman

[477] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)

Pilar-Pilar Keimanan

[478] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan. Dan tidak ada ucapan kecuali harus disertai dengan amalan. Tidak ada ucapan dan amalan kecuali harus dilandasi dengan niat. Tidak ada ucapan, amalan dan niat kecuali harus dilandasi dengan as-Sunnah.” Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1153)

Cinta dan Benci Karena Allah

[479] Mujahid rahimahullah berkata, “Simpul keimanan yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)

Islam Adalah Fitrah

[480] Mujahid rahimahullah menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Itulah fitrah dari Allah yang Allah ciptakan manusia di atasnya…” (QS. Ar-Ruum: 30). Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah, “Islam.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 48)

Pilar-Pilar Keimanan

[481] Imam al-Humaidi rahimahullah berkata, “Iman adalah ucapan dan amalan, ia bisa bertambah dan berkurang. Tidaklah bermanfaat ucapan tanpa amalan. Tidak juga bermanfaat amalan dan ucapan kecuali dengan dilandasi niat [baca; ikhlas]. Dan tidaklah bermanfaat ucapan, amal yang dibarengi niat tersebut kecuali apabila selaras dengan Sunnah.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 151-152)

Keutamaan Wara’/Sikap Hati-Hati

[482] Thawus rahimahullah berkata, “Iman itu laksana sebatang pohon. Pokoknya adalah syahadat, sedangkan cabang dan daunnya adalah ini dan itu. Adapun buahnya adalah sifat wara’/hati-hati. Tidak ada kebaikan pada pohon yang tidak ada buahnya. Dan tidak ada kebaikan pada seorang insan yang tidak ada wara’ dalam dirinya.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1163)

Menilai Diri Sendiri

[483] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menghadapkan/menguji ucapanku kepada amal yang aku lakukan, melainkan aku takut kalau aku menjadi orang yang didustakan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1167)

Hakikat Penglihatan

[484] Qatadah rahimahullah menafsirkan makna dari firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kalian tidak memikirkan?” (QS. Al-An’aam: 50). Beliau mengatakan, “Orang yang melihat adalah seorang hamba yang beriman. Dia bisa melihat dengan pandangan yang bermanfaat/membawa pengaruh. Dengan sebab itu, dia pun mentauhidkan Allah semata, beramal dengan ketaatan kepada Rabbnya, dan memetik manfaat dari karunia yang Allah berikan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1182)

Sebuah Konsensus Ulama

[485] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum salaf/pendahulu yang salih telah sepakat bahwasanya iman adalah meliputi ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1204)

Akibat Menikmati Lagu-Lagu

[486] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Nyanyian/lagu-lagu itu akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1222)

Lebih Berharga Daripada Dunia Seisinya

[487] Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata, “Apabila di dalam diriku tidak ada kemunafikan maka sungguh itu jauh lebih aku sukai daripada dunia seisinya. Adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu mengkhawatirkan hal itu, sementara aku justru merasa aman darinya!” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)

Mengkhawatirkan Diri Sendiri

[488] Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “Setiap ayat di dalam al-Qur’an yang di dalamnya terdapat penyebutan mengenai kemunafikan, maka aku mengkhawatirkan hal itu ada di dalam diriku!” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)

Separuh Keimanan

[489] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah separuh keimanan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1225)

Sebuah Harapan

[490] Ada seorang lelaki bertanya kepada ‘Alqomah, “Apakah kamu mukmin/orang beriman?” Beliau menjawab, “Aku berharap demikian, insya Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1247)

Hak Kedua Orang Tua

[491] Yazid bin Abi Habib rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu menyatakan; Hak ibu lebih utama daripada hak ayah, dan masing-masing memiliki hak yang harus ditunaikan.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 5)

[492] Abu Ishaq asy-Syaibani rahimahullah berkata: Aku pernah bertanya kepad asy-Sya’bi, “Apakah ibu dan ayah dalam hal kewajiban bakti kepadanya adalah setara?” Beliau menjawab, “Ibu yang lebih berhak.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 7)

[493] ‘Atho’ rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang anak tidak mengimami ayahnya, meskipun dia sudah menjadi orang yang lebih faqih/paham agama daripada ayahnya.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 11)

[494] Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, dia berkata: Ada seorang yang datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon ijin ikut berjihad. Beliau pun bertanya kepadanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Muhammad -salah seorang periwayat- meriwayatkan, “Apakah kamu memiliki kedua orang tua?”. Dia menjawab, “Iya.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada mereka berdua.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 25)

[495] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ‘Ubaidullah bin Abi Yazid bertanya kepada ‘Ubaid bin ‘Umair, “Apakah seorang lelaki boleh berangkat perang sementara kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka berdua tidak suka?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 35)

[496] Zurarah bin Aufa rahimahullah menceritakan: Ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya aku telah bernazar untuk berperang melawan Romawi. Akan tetapi ternyata kedua orang tuaku melarangku berangkat.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Taatilah kedua orang tuamu. Adapun Romawi, akan kamu dapatkan orang lain yang memeranginya selain dirimu.” lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 36)

Kehati-hatian Para Ulama

[497] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Aku telah berjumpa dengan para fuqoha/ahli agama, dalam keadaan mereka tidak suka memberikan jawaban untuk masalah dan permintaan fatwa. Mereka tidak berfatwa kecuali dalam keadaan tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali harus berfatwa.” (lihat mukadimah Kitab az-Zuhd Mu’afa bin ‘Imran, hal. 58)

Antara Kematian dan Kesadaran

[498] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Orang-orang itu tertidur [baca; tenggelam dalam kelalaian, pent], maka apabila mereka telah meninggal, barulah mereka tersadar.” (lihat mukadimah Kitab az-Zuhd Mu’afa bin ‘Imran, hal. 60)

Cukupkan Diri Dengan Hadits Sohih

[499] Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Di dalam menelaah hadits-hadits yang sohih sudah cukup menyibukkan daripada mengikuti hadits-hadits yang tidak sohih.” (lihat mukadimah kitab al-Jihad karya Ibnul Mubarok, hal. 16)

Aqidah Ahlus Sunnah

[500] Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “al-Qur’an adalah Kalam Allah, ia bukan Sang Khaliq, dan juga bukan makhluk.” (lihat mukadimah kitab al-Jihad karya Ibnul Mubarok, hal. 19)

Amal Adalah Buah Ilmu

[501] Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)

Mengetahui Kebenaran Saja Belum Cukup

[502] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya [ibadah] apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu namun tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan/ikrar, bukan semata-mata pembenaran/tashdiq. Di dalam ikrar/pengakuan itu telah terkandung; ucapan hati [qaul qalbi] yaitu adalah berupa tashdiq/pembenaran, dan juga amalan hati [‘amalul qalbi] yaitu berupa inqiyad/kepatuhan.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 92)   

Jangan Bersandar Kepada Amal

[503] Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Wajib bagi setiap hamba untuk tidak bergantung dan bersandar hanya kepada amalnya, bagaimana pun baik dan konsisten ia dalam melakukannya. Janganlah dia terpedaya oleh ibadahnya, demikian pula karena banyaknya dzikirnya kepada Allah, dan ketaatan-ketaatan yang lainnya yang telah dia kerjakan.” (lihat ‘Asyara Qawa’id fi al-Istiqomah, hal. 28)

Urgensi Dzikir

[504] Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Tidaklah samar bagi setiap muslim tentang urgensi dzikir dan begitu besar faidah darinya. Sebab dzikir merupakan salah satu tujuan termulia dan tergolong amal yang paling bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Allah telah memerintahkan berdzikir di dalam al-Qur’an al-Karim pada banyak kesempatan. Allah memberikan dorongan untuk itu. Allah memuji orang yang tekun melakukannya dan menyanjung mereka dengan sanjungan terbaik dan terindah.” (lihat dalam Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar [1/11])

Sumber Kebaikan Alam Semesta

[505] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini sebabnya adalah menyelisihi rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian pula segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada rasul.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/236-237])

Hakikat Ahlus Sunnah

[506] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang sesuai dengan as-Sunnah maka dia adalah pengikut Sunnah [baca: Ahlus Sunnah]. Dan barangsiapa yang menyelisihi as-Sunnah maka dia bukanlah pengikut Sunnah.” (lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah [1/53])

[507] Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “..Sesungguhnya mereka -Ahlus Sunnah- adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti apa-apa yang telah disepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini. Mereka tidak menyelisihi dalam hal pokok-pokok agama. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang awam diantara kaum muslimin yang mengikuti mereka.” (lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ [1/38])

Prioritas Paling Utama

[508] Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)

Kehati-Hatian Para Ulama Hadits

[509] Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang menuturkan hadits kepadaku dan aku sama sekali tidak mencurigai/meragukan kredibilitasnya. Akan tetapi aku mencurigai orang lain yang menuturkan hadits itu kepadanya. Dan sungguh bisa jadi ada seseorang yang menyampaikan hadits dari orang lain sedangkan aku sama sekali tidak mencurigai kredibilitas orang lain tersebut, namun aku justru curiga/meragukan kepada orang yang menuturkan hadits itu kepada diriku.” (lihat adh-Dhu’afa’ al-Kabir Jilid 1 hal. 7)

[510] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang menjadi imam/teladan apabila dia selalu menuturkan setiap pembicaraan/hadits yang dia dengar. Dan tidak pula menjadi imam/panutan orang yang senantiasa menyampaikan hadits -tanpa meneliti- dari siapa pun datangnya.” (lihat adh-Dhu’afa’ al-Kabir Jilid 1 hal. 9)

Buah Tawakal

[511] Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya buah dari tawakal adalah ridha terhadap qadha’/ketetapan takdir. Barangsiapa yang menyerahkan urusan-urusannya kepada Allah dan ridha dengan apa yang ditetapkan-Nya dan apa yang dipilihkan Allah baginya, maka dia telah merealisasikan tawakal dengan sebenarnya.” (lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf, hal. 360)

Mengikhlaskan Niat

[512] Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Mengikhlaskan niat untuk Allah ta’ala senantiasa menjadi syari’at/ajaran semenjak masa-masa umat sebelum kita dan kemudian dilanjutkan di masa kita yang datang sesudah mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mensyariatkan untuk kalian agama sebagaimana apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh.” (QS. Asy-Syura: 13). Abul ‘Aliyah menafsirkan, “Allah mewasiatkan kepada mereka untuk ikhlas kepada Allah ta’ala dan beribadah kepada-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya”…” (lihat al-I’lam bi Fawa’id ‘Umdah al-Ahkam Jilid 1 hal. 164)

Tahapan Ilmu

[513] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah dan para ulama lain mengatakan, “Tahapan awal dari ilmu adalah mendengarkan, kemudian diam, lalu menghafalkan, lalu mengamalkan, kemudian menyebarkannya.” (lihat Fath al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd Juz 1. hal. 262)

Kedudukan Niat

[514] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amal-amal itu menjadi berbeda-beda keutamaannya dan akan semakin besar pahalanya sebanding dengan apa-apa yang ada di dalam hati si pelaku amalan, yaitu iman dan keikhlasan…” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah Juz 9 hal. 11)

Menjauhi Fitnah

[515] Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang sengaja mendekat-dekat kepada fitnah maka keselamatan akan justru menjauhi dirinya. Dan barangsiapa yang mendaku dirinya pasti bisa bersabar dalam menghadapi fitnah itu niscaya dia akan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri.” (lihat Ma’alim fi at-Ta’aamul ma’a al-Fitan, hal. 66)

[516] Wuhaib bin al-Warad rahimahullah berkata, “Aku dapati uzlah/mengasingkan diri dari fitnah itu [juga] berlaku pada perkara lisan.” (lihat al-‘Uzlah wa al-Infirad, hal. 98)

Sedikit Tapi Kontinyu

[517] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amal yang sedikit tapi terus-menerus itu lebih baik daripada amal yang banyak dan terputus dikarenakan dengan terus-menerusnya amal yang sedikit itu akan lebih melanggengkan ketaatan, melestarikan dzikir dan muroqobah, menjaga niat dan keikhlasan dan memelihara konsentrasi pengabdian kepada al-Khaliq subhanahu wa ta’ala. Dengan alasan-alasan itulah amal yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan pahala yang jauh lebih berlipat ganda daripada amalan yang besar tapi terputus. (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayani Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 88)

Perhatian Lebih Besar Terhadap Ibadah Hati

[518] Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Orang yang paling utama adalah orang yang menempuh jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para Sahabatnya yang istimewa yaitu melakukan ibadah badaniyah secara sederhana/pertengahan dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengurusi ibadah-ibadah hati. Karena sesungguhnya perjalanan menuju kampung akhirat itu dilalui dengan perjalanan hati, bukan [semata-mata] perjalanan badan.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayani Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 101)

Penyimpangan Dalam Hal Definisi Iman

[519] al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para Salaf mengingkari dengan keras orang-orang yang mengeluarkan amal dari istilah iman. Diantara yang mengingkari hal itu kepada para pencetus pemikiran tersebut serta menilai hal itu sebagai pendapat yang mengada-ada/bid’ah adalah Sa’id bin Jubair, Maimun bin Mihran, Qatadah, Ayyub as-Sakhtiyani, an-Nakha’i, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir, dan para ulama selain mereka.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1139)

Keikhlasan Seorang Da’i

[520] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata “… Tidaklah diragukan bahwasanya keikhlasan seorang da’i memiliki pengaruh yang kuat terhadap mad’u/objek dakwah. Apabila seorang da’i itu adalah orang yang ikhlas dalam niatnya. Dia juga menyeru kepada manhaj yang benar. Dia membangun dakwahnya di atas bashirah/hujjah dan ilmu mengenai apa yang dia serukan itu. Maka dakwah semacam inilah yang akan memberikan pengaruh/bekas kepada para mad’u…” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilah al-Manahij al-Jadidah, hal. 42)

Menyembunyikan Ilmu dan Menyembunyikan Amal

[521] Sebagian orang bijak berkata, “Menyembunyikan ilmu adalah kebinasaan, sedangkan menyembunyikan amalan adalah keselamatan.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 330)

Patut Dicurigai

[522] Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Adalah kami -para sahabat- dahulu jika tidak mendapati seseorang pada kedua sholat ini, maka kami pun menaruh prasangka jelek terhadapnya; yaitu sholat ‘Isyak dan Subuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 332)

Sebab Terangkatnya Azab

[523] Syaddad bin Aus radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang ingin menjadi golongan orang-orang yang diangkat dari mereka azab diantara penduduk bumi maka hendaklah dia menjaga kedua sholat ini secara berjama’ah, yaitu sholat ‘Isyak dan sholat Subuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 332)

Keutamaan Sholat Subuh Berjama’ah

[524] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh apabila aku hadir sholat Subuh dengan berjama’ah jauh lebih aku sukai daripada sholat [sunnah] semalam suntuk.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 337)

Hukum Menentang Kewajiban Sholat

[525] Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang menentang kewajiban sholat maka dia adalah orang yang kafir dan layak dihukum bunuh apabila dia tidak bertaubat dari kekafirannya itu.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 341)

Akibat Tidak Sholat

[526] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Orang yang tidak mengerjakan sholat maka dia sudah tidak punya agama.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 343)

[527] Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan membenarkan segenap para rasul namun dia tidak mau mengerjakan sholat maka dia layak untuk dijatuhi hukuman bunuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 346)

Apabila Makmumnya Seorang Perempuan

[528] Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Para ulama juga bersepakat bahwasanya barangsiapa [lelaki] yang sholat menjadi imam untuk seorang perempuan, maka perempuan itu tidak boleh berdiri kecuali di belakangnya. Dia tidak boleh berdiri di samping kanannya, berbeda halnya dengan [sesama] lelaki…” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 378)

Obat dan Penyakit

[529] Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.” (lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 52)

Nasihat Untuk Menjaga Lisan

[530] Di dalam al-Adzkar, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf/orang yang telah terkenan beban syariat untuk menjaga lisannya dari segala ucapan kecuali ucapan-ucapan yang tampak jelas kemaslahatannya. Apabila ternyata setara antara kemaslahatan berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri darinya. Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada ucapan yang haram atau makruh. Bahkan hal semacam ini banyak terjadi dan lebih dominan dalam kebiasaan -sebagian orang-. Padahal keselamatan diri -dari bahaya lisan- adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun.” (lihat al-Fitnah wa Aatsaruha al-Mudammirah, hal. 302)

Bid’ah Dalam Bahasa Syari’at

[531] al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bid’ah dalam urf/konteks pembicaraan syari’at adalah suatu hal yang tercela. Berbeda dengan -makna bid’ah- secara bahasa. Karena -secara bahasa- segala sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya maka dia disebut bid’ah ‘sesuatu yang baru’; sama saja apakah ia termasuk perkara yang terpuji atau tercela.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 23)

Semua Bid’ah Itu Sesat

[532] al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru lalu dia sandarkan kepada agama padahal tidak ada dasar rujukannya di dalam agama maka itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja apakah hal itu terjadi dalam masalah keyakinan/akidah ataupun amalan, atau dalam hal ucapan lahir maupun batin.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 26)

[533] Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua bid’ah itu sesat walaupun oang-orang menganggapnya sebagai kebaikan/hasanah.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)

Bid’ah Sumber Datangnya Azab

[534] Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)

Hakikat Bid’ah

[535] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bid’ah adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah atau ijma’/kesepakatan pendahulu umat ini, baik berupa keyakinan/akidah maupun ibadah/amalan.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 29)

Bid’ah-Bid’ah Paling Berat

[536] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kebid’ahan yang menyebabkan seseorang termasuk golongan ahlul ahwa’ [pengekor hawa nafsu] adalah sesuatu yang telah masyhur di kalangan ulama yang memahami Sunnah bahwa hal itu jelas-jelas berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Seperti halnya bid’ah Khawarij, Rafidhah/Syi’ah, Qadariyah, dan Murji’ah. Abdullah bin al-Mubarok, Yusuf bin Asbath, dan ulama yang lain pernah mengatakan, “Pokok dari tujuh puluh dua sekte [yang sesat] adalah pada empat aliran; Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan Murji’ah.” Kemudian ada yang bertanya kepada Ibnul Mubarok, “Bagaimana dengan Jahmiyah?” Beliau menjawab, “Jahmiyah bukan termasuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Muntakhab min Kutubi Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 149)

Menerima Hukum Allah

[537] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103)

Fikih Terbesar

[538] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih/ilmu tentang nama-nama Allah yang terindah adalah sebuah bab ilmu yang sangat mulia. Bahkan, ia merupakan fikih terbesar (al-Fiqh al-Akbar). Ilmu inilah yang pertama kali tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan berikan fikih (kepahaman) kepada dirinya dalam urusan agama.” (Muttafaq ‘alaih).” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 11)

Meraih Kebeningan Hati

[539] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya maka hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Hati yang begitu terpikat dengan syahwat akan terhalangi dari Allah sesuai dengan kadar ketergantungan hati itu kepadanya. Hati merupakan bejana -untuk mengenal- Allah di atas muka bumi yang diciptakan-Nya. Hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, paling kuat, dan paling jernih. Aduhai, mengapa mereka menyibukkan hati mereka dengan dunia. Seandainya mereka mau menyibukkan diri dengan Allah dan hari akherat niscaya akan tampak bagi mereka keagungan firman-Nya dan kebesaran ayat-ayat-Nya. Selain itu, mereka akan bisa memetik berbagai hikmah yang jarang diperoleh dan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)

Akibat Rendahnya Kecintaan

[540] Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan baik berupa melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan kepada Allah sehingga membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath al-Bari [1/78])

Keagungan Ilmu Tafsir

[541] ‘Ubaidullah bin ‘Umar rahimahullah berkata, “Sungguh, aku telah bertemu dengan para fuqaha Madinah. Mereka benar-benar menganggap besar pembicaraan tentang tafsir. Diantara mereka yaitu Salim bin Abdullah, al-Qasim bin Muhammad, Sa’id bin al-Musayyab, dan Nafi’.” (lihat al-Muqaddimat al-Asasiyah fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 289)

[542] Masruq bin al-Ajda’ rahimahullah berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap tafsir, karena sesungguhnya ia merupakan periwayatan dari Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muqaddimat al-Asasiyah fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 289)

Berlindung Dari Fitnah Yang Menyesatkan

[543] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah seorang pun diantara kalian melainkan pada dirinya juga terkandung fitnah. Oleh sebab itu barangsiapa diantara kalian yang berdoa meminta perlindungan/isti’adzah, maka hendaklah dia berdoa agar dilindungi dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 58)

Berbicara Dengan Melihat Kondisi Pendengar

[544] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Betuturlah kepada orang-orang dengan hal-hal yang mereka kenali. Apakah kalian suka apabila Allah dan Rasul-Nya didustakan?!” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 70)

Pentingnya Sanad

[545] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Dahulu pada masa-masa awal [salaf] mereka tidak menanyakan perihal sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah/kekacauan, maka mereka pun menanyakan tentang sanad. Agar mereka bisa mengambil haditsnya Ahlus Sunnah dan meninggalkan haditsnya ahli bid’ah.” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 73)

Suatu Lembah Di Neraka Jahannam

[546] ‘Atho’ bin Yasar rahimahullah berkata, “Wail adalah nama sebuah lembah di Jahannam. Seandainya gunung-gunung diperjalankan di atasnya niscaya ia akan mencair karena saking panasnya lembah itu.” (lihat Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 124)

Perbedaan Yang Amat Jauh

[547] ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu berkata di dalam khutbahnya di hadapan penduduk Mesir, “Sungguh betapa jauhnya jalan dan gaya hidup kalian dengan jalan dan gaya hidup Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun beliau, maka beliau adalah orang yang paling zuhud dalam urusan dunia, sedangkan kalian adalah orang-orang yang paling gandrung kepadanya.” (lihat Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 127)

Lebih Baik Menjadi Abu

[548] Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh apabila seseorang menjadi abu dan ditaburkan itu jauh lebih baik daripada dengan sengaja lewat di hadapan orang yang sedang mengerjakan sholat.” (lihat Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 137)

Hukuman Atas Kezaliman

[549] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Seandainya ada gunung yang melakukan baghyu/kezaliman terhadap gunung yang lain niscaya Allah ‘azza wa jalla akan meluluhlantakkan gunung yang berbuat aniaya itu hingga rata dengan tanah.” (lihat Dzamm al-Baghyi, hal. 54)

Ruh Ibadah

[550] Dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ruh ibadah itu adalah pengagungan dan kecintaan. Apabila salah satunya tidak diiringi dengan pasangannya maka ibadah itu akan menjadi rusak/melenceng.” (lihat Syarh Manhaj al-Haq, hal. 18)

Makna Alhamdulillah

[551] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “’alhamdulillah’ adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat kesempurnaan -yang ada pada-Nya- dan juga dikarenakan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkisar antara memberikan keutamaan/karunia dan [menegakkan] keadilan. Oleh sebab itu bagi-Nya pujian yang sempurna dari segala sisi.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Kandungan Alhamdu

[552] Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan, “Kata ‘alhamdu’ bisa bermakna ungkapan syukur atas kenikmatan, namun bisa juga bermakna sanjungan kepada-Nya dikarenakan sifat-sifat yang terpuji yang ada pada-Nya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 9)

Keutamaan Alhamdulillah

[553] al-Hasan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada satu pun kenikmatan kecuali ‘alhamdulillah’ pasti lebih utama darinya.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 1 hal. 202)

Ekspresi Syukur

[554] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “alhamdulillah’ adalah kalimat yang diucapkan setiap orang yang bersyukur.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 1 hal. 206)

Pengaruh Ketaatan dan Kemaksiatan

[555] al-Hasan rahimahullah berkata, “Melakukan kebaikan/ketaatan memunculkan cahaya bagi hati dan kekuatan bagi badan. Adapun melakukan kejelekan/dosa melahirkan kegelapan di dalam hati dan kelemahan badan.” (lihat Tafsir Ibnu Rajab, Jilid 2 hal. 135)

Musibah Besar

[556] Yazid bin Aban ar-Raqasyi rahimahullah berkata, “Suatu saat aku terluput dari sholat berjama’ah. Maka orang yang menyatakan ungkapan turut berduka cita hanya Abu Ishaq al-Bukhari seorang diri. Seandainya aku ditinggal mati seorang anak lelaki, niscaya lebih dari sepuluh orang yang akan berta’ziyah kepadaku sekarang ini. Hal itu disebabkan bagi manusia musibah dalam urusan dunia itu lebih besar daripada musibah yang menimpa agama.” (lihat Kitab at-Tahajjud oleh Abdul Haq al-Isybili, hal. 55)

Inilah Musibah

[557] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Apabila salah seorang dari kalian terluput/ketinggalan sholat jama’ah hendaklah dia ber-istirja’ [mengucapkan innaa lillaahi dst.] karena sesungguhnya itu adalah musibah.” (lihat Kitab at-Tahajjud oleh Abdul Haq al-Isybili, hal. 56)

Makna Tauhid Uluhiyah

[558] Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah berkata, “Tauhid  uluhiyah adalah mengesakan-Nya dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti halnya doa, takut, harap, tawakal, isti’anah [meminta pertolongan], isti’adzah [meminta perlindungan], istighotsah [meminta keselamatan], menyembelih, nadzar, dan berbagai bentuk ibadah lainnya; yang semua itu wajib dipersembahkan kepada Allah semata. Oleh sebab itu tidak boleh dialihkan sedikit pun dari ibadah-ibadah itu kepada selain-Nya, meskipun ia adalah malaikat yang dekat -dengan Allah-, atau pun seorang nabi utusan, apalagi selain mereka tentu lebih tidak layak [untuk diibadahi, pent].” (lihat Kutub wa Rosa’il ‘Abdil Muhsin, Jilid 3 hal. 28)

Meninggalkan Sholat Sunnah

[559] Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apabila iqomah sudah dikumandangkan sedangkan ada seorang lelaki yang sedang melakukan sholat sunnah dan tidak tersisa bagian sholatnya kecuali satu raka’at saja; apakah dia harus menyempurnakan atau langsung masuk bergabung untuk sholat jama’ah?” Beliau menjawab, “Apabila iqomah untuk sholat sudah dikumandangkan dan tidak tersisa kecuali tasyahud atau sujud misalnya, maka semestinya dia sempurnakan. Adapun jika selain itu, yang lebih utama baginya adalah segera masuk bergabung bersama jama’ah.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 101)

Konsep Dakwah Salafiyah

[560] Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apakah mafhum (konsep atau pengertian, pent) dakwah salafiyah menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah?” Beliau menjawab, “Konsep dakwah salafiyah adalah berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh salafus shalih.” (lihat Majmu’ Fatawa al-Wadi’i Jilid 1 Halaman 33-34)

Sabar dan Syukur

[561] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan/musibah sehingga aku harus bersabar menghadapinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

Hakikat Syukur

[562] Abu Abdillah ar-Razi rahimahullah berkata: Sufyan bin ‘Uyainah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya diantara bentuk syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat/kedurhakaan kepada-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

[563] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang bersyukur itu adalah orang yang mengetahui/menyadari bahwa nikmat itu berasal dari Allah ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat; Bagaimana dia bersyukur? Bagaimana dirinya bersabar?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)

Kenikmatan dan Bencana

[564] Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘azza  wa jalla maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 888)

Musibah dan Nikmat

[565] Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 164)

Cobaan

[566] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui seorang pun kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang Allah berikan kelapangan pada rizkinya; maka Allah ingin melihat bagaimana dia menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘azza wa jalla cabut sebagian dari rizkinya; ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 172)

Keagungan Hak Allah

[567] Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak Allah itu secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga terlalu banyak untuk bisa dihingga/dihitung. Meskipun demikian, mereka selalu berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi orang-orang yang selalu bertaubat di sore hari.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Baththal, Juz 3 hal. 122)

Orang Yang Pandai Bersyukur

[568] al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat syukur adalah mengakui limpahan nikmat -dari Allah- dan berusaha menunaikan pengabdian [kepada-Nya]. Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul dari dirinya maka dia disebut sebagai syakuur/orang yang pandai bersyukur. Dari sanalah, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (yang artinya), “Betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath al-Bari, tahqiq Syaibatul Hamdi Juz 3 hal. 20)

Lakukan Apa Yang Anda Mampu

[569] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perkara yang disyari’atkan bagi setiap orang adalah hendaknya dia melakukan apa-apa yang mampu dia kerjakan diantara kebaikan yang ada. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” Oleh sebab itu apabila berbagai cabang keimanan itu berdesakan/berbenturan maka semestinya didahulukan hal-hal yang lebih dicintai Allah dan paling mampu untuk dikerjakan olehnya. Bisa jadi amalan yang mafdhul [kurang utama] jauh lebih mampu untuk dilakukannya daripada amalan [lain] yang fadhil/lebih utama.” (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Da’wah ‘Inda Syaikhil Islam, hal. 199)

Antara Dzikir dan Membaca al-Qur’an

[570] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak diantara hamba yang lebih mendapatkan manfaat dengan dzikir pada masa-masa permulaan daripada membaca [ilmu]. Karena dzikir akan memberikan pasokan keimanan baginya, sedangkan al-Qur’an memberikan pasokan ilmu; namun terkadang ilmu itu tidak bisa dia pahami. Sementara dirinya lebih membutuhkan pasokan iman daripada pasokan ilmu; dikarenakan ia masih berada pada jenjang permulaan. Meskipun demikian, membaca al-Qur’an dengan disertai pemahaman bagi orang yang cukup mapan imannya jauh lebih utama dengan kesepakatan [para ulama].” (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Da’wah ‘Inda Syaikhil Islam, hal. 202)

Antara Bid’ah dan Api

[571] Abu Idris al-Khaulani rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku melihat api di dalam masjid yang tidak sanggup aku padamkan itu lebih aku sukai daripada melihat di dalamnya bid’ah yang aku tidak sanggup mengubahnya.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)

Tegar di Atas Kebenaran

[572] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar dengan banyaknya orang yang binasa.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)

Bahaya Bid’ah

[573] Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguh-sungguhan kecuali dia akan semakin bertambah jauh dari Allah.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 33)

Bahaya Taklid

[574] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Salah satu tanda sempitnya ilmu seseorang adalah tatkala dia taklid dalam hal akidahnya kepada orang lain.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 77) 

Gerakan Rahasia

[575] Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat suatu kaum saling berbisik-bisik dalam urusan agama mereka dengan suatu perkara yang disembunyikan dari orang-orang maka ketahuilah bahwa mereka berada di atas asas kesesatan.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 88)

Keutamaan Ilmu

[576] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 159)

Antara Ilmu dan Jihad

[577] Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Sebuah bab di dalam ilmu yang kamu pelajari itu jauh lebih utama daripada tujuh puluh peperangan.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 160)

Antara Ilmu dan Sholat Malam

[578] al-Mu’afa bin Imran rahimahullah berkata, “Menulis sebuah hadits lebih aku cintai daripada sholat semalam suntuk.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 160)

Antara Perkataan Ulama dan Dalil

[579] Dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahmatullahi ‘alaih bahwasanya, “Ibnul Mubarok berpendapat begini dan begitu.” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya Ibnul Mubarok tidak turun dari langit!” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 171)

Keutamaan Para Sahabat

[580] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Kalian sekarang ini lebih banyak sholat dan lebih keras dalam beribadah daripada para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun demikian mereka lebih utama daripada kalian.” Mereka bertanya, “Mengapa?”. Beliau menjawab, “Sebab mereka lebih zuhud dalam hal dunia daripada kalian dan jauh lebih berhasrat dalam urusan akhirat.” (lihat az-Zuhd oleh al-Qurthubi, hal. 39)

Keutamaan Belajar Hadits

[581] Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Orang yang paling utama diantara kaum muslimin adalah seorang yang menghidupkan sunnah diantara sunnah-sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dimatikan. Maka bersabarlah kalian wahai para pengikut Sunnah -semoga Allah merahmati kalian- sesungguhnya kalian ini adalah orang yang paling sedikit.” (lihat al-Jami’ li Akhlaq ar-Raawi, Juz 1, hal. 112)

Belajar Di Masa Muda

[582] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Aku menjumpai di Kufah empat ribu orang pemuda yang menimba ilmu.” (lihat al-Jami’ li Akhlaq ar-Raawi, Juz 1, hal. 113)

Satu Banding Seribu

[583] Syu’aib bin Harb rahimahullah berkata, “Dahulu kami yang menimba ilmu hadits sejumlah empat ribu orang. Ternyata tidaklah berhasil -menjadi ulama- diantara kami kecuali empat orang saja.” (lihat al-Jami’ li Akhlaq ar-Raawi, Juz 1, hal. 113)

Hidup dan Matinya Hati

[584] Bisyr bin al-Harits rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang sudah meninggal akan tetapi hati menjadi hidup dengan mengingat mereka. Dan betapa banyak orang yang masih hidup namun membuat hati menjadi mati dengan melihat mereka.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 468)

Bersama Nabi dan Para Sahabat

[585] Nu’aim bin Hammad rahimahullah menceritakan: Adalah Ibnul Mubarok sering duduk berlama-lama di rumahnya. Maka ada orang yang bertanya kepadanya, “Apakah anda tidak merasa kesepian?”. Beliau menjawab, “Bagaimana aku akan kesepian, sementara aku bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 470)

Menundukkan Hawa Nafsu

[586] as-Sari as-Saqathi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang mencapai kesempurnaan sampai dia lebih mengutamakan agamanya di atas syahwat/keinginan nafsunya. Dan tidaklah seorang itu akan binasa kecuali apabila dia telah lebih mengutamakan syahwatnya daripada agamanya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 472)

Salah Satu Tanda Riya’

[587] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa yang mencela dirinya sendiri di hadapan banyak orang sesungguhnya dia telah memuji dirinya, dan hal itu adalah salah satu tanda riya’.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 543)

Riya’ Tanpa Modal

[588] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu kami bertemu dengan orang-orang yang riya’ dengan ilmu yang mereka punyai. Namun sekarang, mereka telah berubah yaitu riya’ dengan ilmu yang tidak mereka miliki.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 567)

Taufik Dari Allah

[589] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menimba ilmu untuk beramal maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa yang menimba ilmu bukan untuk beramal maka semakin banyak illmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575-576)

Bahaya Riya’ dan Ujub

[590] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang sembari menasihatinya, “Hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’ dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya. Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam keadaan ia tercampuri ujub.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578)

Hakikat Khosy-yah

[591] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Khosy-yah adalah rasa takut yang menghalangi dirimu dari melakukan perbuatan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla.” [lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/545]

Kebutuhan Terhadap Ibadah

[592] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itu adalah bahan baku/sumber kebahagiaan dirinya. Adapun mengenai isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia/urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah akan menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” [lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 22-23]

Akar Perpecahan

[593] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidaklah terjadi perselisihan dan perpecahan kecuali disebabkan oleh sikap tidak berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu sebagaimana perpecahan yang terjadi pada ahli kitab. Padahal Allah telah menurunkan kepada mereka Taurat dan Injil. Namun, tatkala mereka tidak berpegang teguh dengan ‘tali Allah’, mereka pun berpecah belah dan berselisih.” [lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyyah, hal. 48]

Hukum Mencela Sahabat Nabi

[594] al-Qadhi rahimahullah berkata, “Mencela salah seorang diantara mereka [sahabat Nabi] adalah termasuk perbuatan maksiat dan dosa besar. Madzhab kami dan madzhab mayoritas ulama menyatakan bahwa pelakunya harus diberikan hukuman pelajaran/ta’zir, namun tidak sampai dihukum bunuh. Sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa pelakunya layak untuk dijatuhi hukuman bunuh.” [lihat al-Minhaj, 8/149]

Ciri Orang Bahagia

[595] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang berbahagia adalah yang merasa khawatir terhadap amal-amalnya kalau-kalau itu tidak tulus ikhlas karena Allah dalam melaksanakan agama, atau barangkali apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah melalui lisan Rasul-Nya.” [lihat Mawa’izh Syaikhil Islam, hal. 88]

Manfaat Ilmu Di Tengah Fitnah

[596] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu bisa mengenali fitnah di saat kemunculannya. Apabila fitnah itu telah berlalu, maka orang yang berilmu dan jahil/tidak berilmu pun bisa sama-sama mengetahuinya.” [lihat al-Fitnah wa Atsaruha al-Mudammirah, hal. 218]

Manfaat Majelis Ilmu

[597] Luqman al-Hakim berkata kepada putranya, “Wahai putraku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan hikmah sebagaimana menghidupkan tanah yang mati dengan curahan hujan deras dari langit.” [lihat al-Fitnah, hal. 220]

Keutamaan Manhaj Salaf

[598] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mewasiatkan, “Barangsiapa yang menginginkan keselamatan wajib atasnya untuk mengenali madzhab salaf dan berpegang teguh dengannya, serta mendakwahkan kepadanya. Inilah jalan keselamatan. Ia laksana bahtera Nuh ‘alaihis salam; barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya pasti binasa dan tenggelam dalam kesesatan. Oleh sebab itu tiada keselamatan bagi kita kecuali dengan madzhab salaf.” [lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 11]

Peringatan Bagi Para Penimba Ilmu

[599] Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berpesan, ”Ketahuilah, bahwasanya segala sanjungan yang diberikan kepada ilmu dan ulama ini hanya berlaku bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang-orang yang baik dan bertakwa. Mereka yang meniatkan dengan ilmunya untuk meraih wajah Allah yang mulia. Mereka yang bermaksud dengan ilmunya untuk mencari kedekatan diri di sisi-Nya di surga-surga yang penuh dengan kenikmatan. Bukan orang yang mencari ilmu dengan niat buruk, atau dibarengi perilaku yang kotor. Atau mencari ilmu dalam rangka mengejar kepentingan dan ambisi-ambisi dunia. Berupa kedudukan, harta, atau berbanyak-banyakan pengikut dan santri/penimba ilmu…” [lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 45]

Urgensi Hidayah Dari Allah

[600] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Firman-Nya [yang artinya] “Tunjukilah kami jalan yang lurus” di dalamnya terkandung keterangan bahwa seorang hamba tidaklah memiliki jalan untuk menggapai kebahagiaan dirinya kecuali dengan istiqomah meniti jalan yang lurus itu. Dan tidak ada baginya jalan untuk istiqomah kecuali dengan hidayah dari-Nya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan dari-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk istiqomah di atas jalan yang benar kecuali dengan hidayah dari-Nya.” [lihat al-Fawa’id, hal. 40]

_____________

Oleh Ustadz Ari Wahyudi 

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Mutiara Hikmah Ulama Salaf [2] Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top