A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.  Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak  definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain  adalah:
[1]. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
[2]. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu  tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah  (kecintaan) yang paling tinggi.
[3]. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan  diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang  zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling  lengkap.
- Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
- Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
- Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya  mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun  dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan  kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai  kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan  manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza  wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan  tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka  kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia  adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa  yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan  barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan  Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). 
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf  harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul  unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang  mukmin:
“Artinya : Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
“Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
“Artinya : Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera  dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh  harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada  Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan  rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah  kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4].  Dan siapa yang  beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5].   Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’,  maka ia adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah  yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang  tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak)  sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
[a]. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
[b]. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha  illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah  dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah  konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut  wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan  bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri  sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala  di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak  bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada  Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya  Shallallahu 'alaihi wa sallam
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak  beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali  dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.” 
Sebagaimana Allah berfirman.
“Artinya : Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka  hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan  sesuatu pun dalam ber-ibadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang  kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah  utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan  mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu  'alaihi wa sallam  telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah  kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita  dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat. [7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
[1]. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah  kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping  beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman.
“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
[2]. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah  dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa  beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia  telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
[3]. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita[8]  Maka,  orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia  telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna  (mempunyai kekurangan).
[4]. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata  cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya  tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di  dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena  perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan  perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan  kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan  Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan  diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para  Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya  di-puji dan yang enggan melaksanakannya dicela. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan  Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau  beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina  dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau  mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam  kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah  yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.  Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah  mensucikan jiwa dan  membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju  kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan  ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya.  Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah.  Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula  hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan  kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan  jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan  subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik  kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah.  Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali  dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan  kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan  kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia  rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah  kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah  kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka,  barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni  ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah  sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang  dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan  seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah  kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada  kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia  meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah  hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling  dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang  untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah  dapat menghibur seseorang  ketika dilanda musibah dan meringankan beban  penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima  dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya  kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan  kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka  dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap  dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab  utama untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, masuk Surga dan  selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah  yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka  At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet.  Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd,  al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin  Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul  Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. Lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq  Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal.  161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali  muncul di  Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin  yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid
 
 

 








Tanya : apakah membayar pajak (ketaatan kepada negara) masuk kategori ibadah / syirik ?
BalasHapus