Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menjelang sakaratul maut (saat menjelang kematian), maka beliau bertanya kepada pemuda tersebut:
«كَيْفَ تَجِدُكَ؟». قَالَ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّى أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّى أَخَافُ ذُنُوبِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ «لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ فِى مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ» رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما.
“Apa yang kamu rasakan (dalam hatimu) saat ini?”. Dia menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh (saat ini) aku (benar-benar) mengharapkan (rahmat) Allah dan aku (benar-benar) takut akan (siksaan-Nya akibat dari) dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan adanya sifat berharap dan takut kepada Allah secara seimbang dalam diri seorang hamba, sekaligus menunjukkan keutamaan bersangka baik kepada Allah Ta’ala, terutama pada waktu sakit dan saat menjelang kematian[2], sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan dia bersangka baik kepada Allah Ta'ala”[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Dua sifat inilah yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang paling mulia di sisi-Nya, para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan (perasaan) harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘” (QS al-Anbiyaa’:90).
- Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Yang dimaksud dengan ar-raja’ (berharap) adalah bahwa jika seorang hamba melakukan kesalahan (dosa atau kurang dalam melaksanakan perintah Allah) maka hendaknya dia bersangka baik kepada-Nya dan berharap agar Dia menghgapuskan (mengampuni) dosanya, demikian pula ketika dia melakukan ketaatan (kepada-Nya) dia berharap agar Allah menerimanya. Adapun orang yang bergelimang dalam kemaksiatan kemudian dia berharap Allah tidak menyiksanya (pada hari kiamat) tanpa ada rasa penyesalan dan (kesadaran untuk) meninggalkan perbuatan maksiat (tanpa melakukan taubat yang benar kepada Allah), maka ini adalah orang yang tertipu (oleh setan)” [4].
- Imam Hasan al-Bashri berkata, “Orang mukmin bersangka baik kepada Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka dia pun memperbaiki amal perbuatannya, sedangkan orang orang kafir dan munafik bersangka buruk kepada Allah maka mereka pun memperburuk amal perbuatan mereka” [5].
- Sebagian dari para ulama menjelaskan bahwa dalam kondisi sehat lebih utama menguatkan sifat al-khauf (takut) daripada ar-raja’ (berharap), agar seseorang tidak mudah lalai dan lebih semangat dalam beramal shaleh. Adapun ketika sakit, apalagi saat menjelang kematian, lebih utama menguatkan sifat ar-raja’ (berharap) untuk menumbuhkan persangkaan baik kepada Allah Ta’ala[6].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR at-Tirmidzi (no. 983), Ibnu Majah (no. 4261) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1001 dan 1002), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, al-Mundziri dan syaikh al-Albani dalam “Shahihut targiib wat tarhiib” (no. 3383).
[2] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301), “Shahihut targib wat tarhib” (3/174) dan “Ahkaamul jana-iz (hal. 11).
[3] HSR Muslim (no. 2877).
[4] Kitab “Fathul Baari”.
[5] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/121).
[6] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301) dan “Faidhul Qadiir” (2/70).
0 komentar:
Posting Komentar