Keutamaan Ilmu
Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya.”
Karena ilmu itu adalah asas dan pokok segala urusan, bahkan dia
merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah)
yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin
tetap hidup.
Adapun ibadah-ibadah sunnah hanya akan memberikan manfaat bagi diri
pelakunya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Ilmu itulah warisan
yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang
yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah
orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling
takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya.” (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11)
Ibarat Pohon yang Tak Berbuah
Namun ingat, bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang membuahkan amalan, itulah ilmu yang bermanfaat.
Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah
mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai
sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan
seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang
harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi
tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.
Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah
seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab
ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang
yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama untuk menyalakan api
neraka.
Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala.
(lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ancaman Bagi Orang yang Berilmu Tapi Tidak Beramal
Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr mengatakan, “Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala
sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah
juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang mereka tidak
kerjakan. Dan Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat
dimurkai-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman,
kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar
kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak
kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada
hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian
dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia
berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan
penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka
bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah
dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang
kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian
berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang
kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.”
Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan. Shalat harus ditegakkan. Zakat
juga harus ditunaikan, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah
tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 56)” (Lihat Taisirul Wushul, hal. 10)
Berilmu Tidak Beramal Menyerupai Kaum Yahudi
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Maksud perkataan beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab),
“Beramal dengannya” adalah beramal dengan perkara-perkara yang dituntut
oleh ilmu ini, yaitu beriman kepada Allah, menaati-Nya dengan cara
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Beramal dengan ibadah yang khusus maupun ibadah yang berdampak
keluar. Ibadah yang khusus seperti shalat, puasa dan haji. Sedangkan
ibadah yang berdampak keluar ialah seperti beramar ma’ruf dan nahi
munkar, berjihad di jalan Allah dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barang siapa yang beramal
tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barang siapa
yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang
Yahudi.” (Lihat Syarhu Tsalatsatul Ushul, hal. 22)
Belum Layak Disebut ‘Alim Jika Belum Beramal
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan
mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam bentuk pola pikir
seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan
untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang
dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat
ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya.
Dan begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya
sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dan dalil-dalil tentang
hal itu sudah sangat populer dan dikenal.
Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah,
“Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum
beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka
jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim.”
Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang
memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu tersebut maka dia
tetaplah disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan
dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi
tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut
sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal
dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16)
Beramal Adalah Sarana Mempertahankan Ilmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya beramal itu juga
termasuk penyebab ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat
anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah
mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau.
Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang
didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan,
“Dahulu kami mencari sarana pendukung dalam rangka menghafalkan hadits
dengan cara mengamalkannya.”
Selain itu, ulama lain mengatakan, “Barang siapa yang mengamalkan
ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu
lain yang belum dia ketahui. Dan barang siapa yang tidak beramal dengan
ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan
melenyapkan ilmu yang dimilikinya.”
Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal
sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang
disebutkan Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat
‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah
Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya
serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya.
Oleh sebab itulah anda temukan orang alim yang senantiasa beramal
terus mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari
Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di
dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
orang-orang yang tetap mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan
kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan.” (QS. Muhammad [47]: 17)
Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah pasti akan menambahkan
kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah dalam beragama.
Sehingga maknanya orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan
kebaikan, beriman kepada Allah, dan mengamalkan perintah-Nya niscaya
Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada
mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan
ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)
Ilmu Akan Menjadi Pembela Atau Penentangmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Dan hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan
ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua
telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai
dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang
ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.”
Ini bukan hanya berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan
sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara
agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang
memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at
yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang
dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang
dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga
sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.
Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Hukum Bila Ilmu Tidak Diamalkan
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan
menyebabkan kekafiran, ada pula yang menyebabkan terjatuh dalam
kemaksiatan, dan ada pula yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara
yang makruh, dan ada juga yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas
bagaimanakah maksudnya ?
Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu
meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila
seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini
sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka
ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka pada saat semacam itu
bagi dirinya meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir.
Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila
seseorang mengetahui bahwa khamr haram diminum, dijual, dibeli,
memberikan, memintanya, dan seterusnya. Kemudian dia menyelisihi ilmu
yang dimilikinya padahal dia mengetahui keharamannya, tetapi dia tetap
nekat melakukannya. Maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan.
Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar.
Dalam pembahasan ini, ada pula ilmu yang apabila tidak diamalkan
dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang
mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat
kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia
telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum
meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya
mustahab.
Dan terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah
meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah dan adat dan semacamnya.
Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau
adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah perkara
manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal
seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk
menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang
muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam
ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga
diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena
itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah…” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Penuntut Ilmu Sejati
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah
menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu
adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah
seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait
dengan masalah akidah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena
sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya. “Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata.
Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai
dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al-Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu.”
(HR. Muslim). Al-Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya.
Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak
mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Da’i Sejati
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah
satu akhlak dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i
adalah beramal dengan isi dakwahnya. Dan hendaknya dia bisa menjadi
teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk
orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau
melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini
adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah
darinya.
Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi
da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat
melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara
yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang
kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas
perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam konteks
celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat
baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah
kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian
melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al
Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)
Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim
Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah
agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal
mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim)
adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan
masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran
dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu
jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim
adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan
orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu
orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau
mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang
memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat”
yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan
kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki
ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya
bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah
sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk
melakukan hal itu.
Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala
pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran
di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan,
hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.
Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat
maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan
Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta
petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan
membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala
untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan
permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang
yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa
butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)
Wallahul muwaffiq.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel terkait:
- Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal
- Mari Menuntut Ilmu Syar'i (Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu)
- Ilmu Bukan Sekedar Teori (Nasehat Ulama Bagi Penuntut Ilmu)
- Nasehat Bagi Penuntut Ilmu
- Membangun Jiwa Cinta Akhirat
- Keutamaan Cinta Akhirat Dan Zuhud Dalam Kehidupan Dunia
- Ikhlas Dalam Beribadah Kepada Allah
0 komentar:
Posting Komentar