يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al Hujurat:11).
Terkait dengan ayat ada dua catatan kaki yang ada dalam terjemah DEPAG RI yaitu:
1. Jangan mencela dirimu sendiri, maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
2.
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang
digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan
panggilan seperti hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
Ahmad ash Shawi al Maliki mengatakan, “Makna
ayat adalah janganlah seorang itu mengolok-olok yang lain karena boleh
jadi pihak yang diolok-olok itu lebih agung dan mulia dibandingkan
pihak yang mengolok-olok. Ringkasnya tidaklah pantas muslim
mengolok-olok saudaranya seagama bahkan semua makhluk ciptaan Allah.
Boleh jadi yang diolok-olok itu lebih hatinya lebih ikhlas dan lebih
bertakwa dibandingkan yang mengolok-olok. Para salaf shalih sangat luar
biasa dalam melaksanakan kandungan ayat ini. Ada salah seorang salaf
yang mengatakan, ‘Jika aku melihat seorang yang menetek pada anak
kambing lalu aku mentertawakannya tentu aku merasa khawatir andai aku
melakukan apa yang dia lakukan’.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana
itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor
anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).
Syeikh Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Dalam
ayat ini terdapat penjelasan tentang sebagian hak seorang mukmin
dengan mukmin yang lain. Yaitu janganlah sekelompok orang mengejek
sekelompok yang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan yang
mengandung makna merendahkan saudara sesama muslim. Perbuatan ini
terlarang dan hukumnya haram. Perbuatan
ini menunjukkan bahwa orang yang mengejek itu merasa kagum dengan
dirinya sendiri. Padahal boleh jadi pihak yang diejek itu malah lebih
baik dari pada pihak yang mengejek. Bahkan inilah realita yang sering
terjadi. Mengejek hanyalah dilakukan oleh orang yang hatinya penuh
dengan akhlak yang tercela dan hina serta kosong dari akhlak mulia.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai jahat jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR Muslim dari Abu Hurairah)” [Taisir al Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan hal 953, terbitan Dar Ibnul Jauzi].
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Jika
telah diketahui bahwa manusia itu bertingkat-tingkat. Di antaranya
manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah ilmu. Sebagian orang itu
lebih berilmu daripada yang lain dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu
alat yang sangat membantu untuk mengusai ilmu agama semisal ilmu-ilmu
tentang bahasa Arab sebagaimana nahwu, balaghah dan yang lainnya.
Manusia
itu juga bertingkat-tingkat dalam masalah rizki. Ada yang diberi rezki
yang melimpah. Ada pula yang diberi rezki pas-pasan.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam akhlak. Ada yang memiliki akhlak luhur dan mulia, ada pula yang tidak demikian.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah bentuk fisik. Ada yang fisiknya sempurna, ada juga yang tidak.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah status sosial. Ada yang status sosialnya tinggi, ada pula yang biasa-biasa saja.
Apakah
seseorang diperbolehkan untuk mengejek orang yang lebih rendah dalam
berbagai hal di atas? Jawabannya adalah firman Allah di atas.
Allah
memanggil kita dengan nama iman agar sebagian dari kita tidak mengejek
sebagian yang lain. Yang melebihkan sebagian orang atas yang lainnya
adalah Allah. Sehingga konsekuensi dari mengejek orang yang lebih rendah adalah mengejek takdir Allah. Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ
وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Manusia menyakitiku. Manusia mencaci waktu padahal aku adalah pengatur waktu. Akulah yang memperjalankan malam dan siang” (HR Bukhari no 4549 dan Muslim no 6000).
Mengapa
kita ejek orang yang lebih rendah dibandingkan kita dalam masalah ilmu
agama, harta, akhlak, kondisi fisik, status sosial, dan nasab?
Bukankah di samping Allahlah yang memberikan anugrah kepada kita, Dia
juga yang menakdirkannya untuk berada di bawah kita, dalam pandangan
kita, dalam banyak hal?
Mengapa Allah melarang kita mengejek orang lain?
Jawabannya
adalah betapa banyak orang yang pada saat ini mengejek orang lain,
dalam lain kesempatan menjadi bahan ejekan. Betapa banyak orang yang
saat ini pada posisi ‘berada’, esok hari berada pada posisi orang papa.
Ini adalah suatu hal yang bisa kita saksikan dalam realita.
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ
أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.
Dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang
pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati
sampai melakukannya”. [*]
Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi no 2505 namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).
عَنْ
وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ
وَيَبْتَلِيكَ».
Dari Watsilah bin al Asqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita
kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan
cobaan pada dirimu” (HR Tirmidzi no 2506. Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani).
Adalah
kewajiban setiap orang untuk mempraktekkan adab yang telah Allah
ajarkan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 37-38, terbitan
Dar Tsuraya).
[*] Ibnul Jauzi dalam
Mawdhu’at (3/277) mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Ash Shoghoni
dalam Mawdhu’at-nya (45) mengatakan bahwa hadits ini mawdhu’. Adz
Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (245) mengatakan bahwa dalam hadits
ini terdapat Muhammad bin Al Hasan bin Abi Yazid dan ia perowi matruk.
[editor, MAT]
Artikel terkait:
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
BalasHapusmas Faisal Choir ,mohon ijin untuk membaca ,...
nonots banyak tau karena mendapatkan ilmu yang baik gak sengaja.
Jazakhallahu khoiron
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Silahkan Mas.. Alhamdulillah.. wajazakallahu khairan
BalasHapus