Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau
mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ
الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ - وَفِى رِوَايَةِ أَبِى
كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ
الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud,
maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan
berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud,
maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud,
namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)
Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.
Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَتَّى إِذَا فَرَغَ اللَّهُ مِنَ الْقَضَاءِ بَيْنَ الْعِبَادِ
وَأَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ بِرَحْمَتِهِ مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
أَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ أَنْ يُخْرِجُوا مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ لاَ
يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا مِمَّنْ أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ
يَرْحَمَهُ مِمَّنْ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. فَيَعْرِفُونَهُمْ
فِى النَّارِ يَعْرِفُونَهُمْ بِأَثَرِ السُّجُودِ تَأْكُلُ النَّارُ
مِنِ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ أَثَرَ السُّجُودِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى
النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ.
“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara
hamba-hamba-Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa
saja yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan
malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali
tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah
kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para
malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api
akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas sujudnya. Allah
mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)
Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”.
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan
yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling
dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya
sampai ketiga kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah
menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau menjawab,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ
لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ
بِهَا خَطِيئَةً
“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika
engkau bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan
mengangkat satu derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”.
Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu
menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal
jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)
Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu
hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya
dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?
Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ
فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ بَعْضُنَا مَوْضِعًا
لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ
“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al
Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu
beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di
antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.
Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.
Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy
Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu
Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas,
‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.
Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).
Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib.
Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang
meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang
yang meninggalkan sesuatu yang wajib.
Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
قَرَأْتُ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ( وَالنَّجْمِ ) فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat
tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”
Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah
perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari
oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An
Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan
manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya,
beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah,
beliau lantas berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat
sajadah. Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa
yang tidak bersujud, dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no. 1077)
Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah
itu sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat
(kesepakatan para sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
Tata Cara Sujud Tilawah
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Posting saat ini adalah lanjutan dari tulisan kami
sebelumnya mengenai sujud tilawah. Saat ini kita akan mengkaji tata
cara sujud tilawah dan apa bacaan ketika itu. Semoga bermanfaat.
Tata Cara Sujud Tilawah
[Pertama] Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua] Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
[Ketiga] Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ
وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ
الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah
tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan
untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah
pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
[Keempat] Disyariatkan
pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal
ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir.
Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima] Lebih utama sujud
tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin
dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat
ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Dalil mereka adalah:
إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan
sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur
atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari
keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan
murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa
sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)
Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Di Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah
disyari’atkan untuk berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para
ulama mensyariatkan untuk bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam
sujud sahwi sebagaimana berlaku syarat-syarat shalat lainnya.
Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat.
Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui
bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat
yang dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua
inilah yang lebih tepat.
Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ وَسَجَدَ مَعَهُ المُسْلِمُوْنَ وَالمُشْرِكُوْنَ وَالجِنُّ وَالأِنْسُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melakukan sujud tilawah tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum
muslimin, orang-orang musyrik, jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)
Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.”
Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud
tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari
juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu
dalam keadaan tidak berwudhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sujud
tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk
takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran
yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut
oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.
Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang memiliki
syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi, sujud
tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun
tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan
sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang
meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
Asy Syaukani mengatakan, “Tidak ada satu hadits
pun tentang sujud tilawah yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan
sujud tersebut dalam keadaan berwudhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah bersujud dan di situ ada orang-orang yang mendengar bacaan
beliau, namun tidak ada penjelasan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan salah satu dari yang mendengar tadi untuk berwudhu.
Boleh jadi semua yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu
dan boleh jadi yang melakukan sujud bersama orang musyrik sebagaimana
diterangkan dalam hadits yang telah lewat. Padahal orang musyrik adalah
orang yang paling najis, yang pasti tidak
dalam keadaan berwudhu. Al Bukhari sendiri meriwayatkan sebuah riwayat
dari Ibnu ‘Umar bahwa dia bersujud dalam keadaan tidak berwudhu. ” (Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)
Apakah Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun
menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ada ulama yang mengatakan
bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan kesepakatan ulama.” (Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)
Namun karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak
disyari’atkan untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama
adalah tetap dalam keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang
meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat
bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)
Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah
sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin
melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ السُّجُودِ عَلَى الدَّابَةِ فَقَالَ : اسْجُدْ وَأَوْمِئْ.
Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Bacaan Ketika Sujud Tilawah
Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:
Pertama: Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
Kedua: Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.”
[Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
Ketiga: Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ
أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ
سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka
aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo
sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya
Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku
berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya,
yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah
Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)
Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah
sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah
berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan
tersebut terdapat dalam hadits berikut:
1. Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di
malam hari beberapa kali bacaan:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.”
[Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang
Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik
Pencipta] (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasa-i)
2. Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang
yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia
berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari
sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di
belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon
tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut
mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا
وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى عِنْدَكَ ذُخْرًا
وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
“Allahummaktub lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’
‘anniy bihaa wizron, waj’alhaa lii ‘indaka dzukhron, wa taqqobbalhaa
minni kamaa taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua hadits di atas terdapat perselisihan ulama
mengenai statusnya. Untuk hadits pertama dikatakan shahih oleh At
Tirmidzi, Al Hakim, An Nawawi, Adz Dzahabi, Syaikh Ahmad Muhammad
Syakir, Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali. Sedangkan
tambahan “Fatabaarakallahu ahsanul kholiqiin” dishahihkan
oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun sebagian ulama lainnya
semacam guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah, gurunya tersebut
bernama Syaikh Abi ‘Umair dan menilai bahwa hadits ini lemah (dho’if).
Sedangkan hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi.
Menurut Al Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz
Dzahabi juga sependapat dengannya.
Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini
memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak
mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah). Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya.
Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan
bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di
atas.
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,
أَمَّا أَنَا فَأَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى
“Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni, 3/93, Asy Syamilah)
Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
Ayat-Ayat Sajadah
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Alhamdulillah,
tulisan kali ini adalah bahasan terakhir dari kami mengenai sujud
tilawah. Tulisan kali ini masih melanjutkan tata cara sujud tilawah
dan terakhir akan disinggung di manakah saja letak ayat-ayat sajadah.
Semoga bermanfaat.
Hukum Sujud Tilawah Ditujukan pada Siapa Saja?
[Pertama] Sujud tilawah ditujukan untuk orang yang membaca Al Qur’an dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama, baik ayat sajadah dibaca di dalam shalat ataupun di luar shalat.
[Kedua] Lalu bagaimana untuk orang yang mendengar bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan sujud tilawah?
Dalam kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah, walaupun
orang yang membacanya tidak melakukan sujud. Pendapat pertama ini
dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu
pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah ikut bersujud jika dia menyimak bacaan
dan jika orang yang membaca ayat sajadah tersebut ikut bersujud.
Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat
Imam Malik. Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah dua hadits shahih berikut:
Hadits Ibnu ‘Umar: “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah
membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian
ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya
sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi
dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat
itu adalah seorang pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada
Ibnu Mas’ud ayat sajadah-,
اسْجُدْ فَإِنَّكَ إِمَامُنَا فِيهَا
“Bersujudlah karena engkau adalah imam kami dalam sujud
tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq). Al Bukhari
membawakan hadits Ibnu ‘Umar di atas dan riwayat Ibnu Mas’ud ini pada
Bab “Siapa yang sujud karena sujud orang yang membaca Al Qur’an (ayat
sajadah).”
Perhatian: Disyariatkan bagi orang yang
mendengar bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah
apabila orang yang diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi,
apabila orang yang diikuti tadi adalah anak kecil (shobiy) atau
wanita, maka orang yang mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu
ikut bersujud. Inilah pendapat Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i
dan Ishaq. (Lihat Al Mughni, 3/98)
Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?
Sujud tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat.
Alasannya, karena sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan
shalat di waktu terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah
pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat
Imam Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini
juga dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Bagaimana Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?
Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah atau
mendengarnya langsung bersujud setelah membaca ayat tersebut, walaupun
mungkin telat beberapa saat. Namun, apabila sudah lewat waktu yang
cukup lama antara membaca ayat dan sujud, maka tidak ada anjuran sujud
sahwi karena dia sudah luput dari tempatnya. Inilah pendapat
Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Sujud Tilawah Ketika Shalat
Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah.
Inilah pendapat mayoritas ulama. Hal ini dianjurkan pada shalat
jama’ah atau sendirian dan shalat siriyah (shalat dengan suara lirih
seperti pada shalat zhuhur dan ashar) atau shalat jariyah (shalat
dengan suara keras seperti pada shalat maghrib dan isya).
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ
الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ
مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ - صلى الله
عليه وسلم - فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ
Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat
‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas
samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada
Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di
belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika
sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan,
“Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku
menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)
Namun bagaimana jika shalatnya adalah shalat siriyah semacam
shalat zhuhur dan shalat ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak
mendengar kalau imam membaca ayat sajadah.
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa imam terlarang untuk
membaca ayat sajadah dalam shalat yang tidak dijaherkan suaranya
(dikeraskan suaranya). Jika imam tersebut tetap membaca ayat sajadah
dalam shalat semacam itu, maka tidak perlu ada sujud. Pendapat ini
juga adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Alasan dari pendapat ini adalah
agar tidak membuat kebingungan pada makmum.
Namun ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena tugas
makmum hanyalah mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud
tilawah, maka makmum hanya manut saja dan dia ikut sujud. Alasannya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir,
maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Begitu pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh
dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut
adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti
imam.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudamah. (Lihat Al Mughni, 3/104)
Terlarang Meloncati Ayat Sajdah Karena Alasan Supaya Tidak Sujud
Ibnu Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan melakukan ikhtishorus sujud
yaitu melompati ayat sajadah agar tidak bersujud. Yang berpendapat
seperti ini adalah Asy Sya’bi, An Nakho’i, Al Hasan, Ishaq. Sedangkan An
Nu’man, sahabatnya Muhammad dan Abu Tsaur memberi keringanan dalam
hal ini.” Ibnu Qudamah lalu mengatakan,
وَلَنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِمَرْوِيٍّ عَنْ السَّلَفِ فِعْلُهُ ، بَلْ كَرَاهَتُهُ
“Menurut kami, tidak ada diriwayatkan dari seorang salaf pun
yang melakukan semacam ini (yaitu melompati ayat sajadah agar tidak
melakukan sujud tilawah), bahkan mereka (para salaf) memakruhkan hal
ini.” (Lihat Al Mughni, 3/103)
Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?
Surat yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat
An Najm ayat 62 dan surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan
dalam kasus ini.
[Pilihan pertama] Ketika membaca ayat sajadah
lalu melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali dan
membaca surat lain kemudian ruku’.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab.
Ketika shalat shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama.
Kemudian pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam
surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu
sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian
berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan oleh
‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)
[Pilihan kedua] Jika ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud.
Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya
terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup
dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat
sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
[Pilihan ketiga] Jika ayat sajadah di ayat
terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud
tilawah, kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan
dengan ruku’ tanpa ada penambahan bacaan surat.
Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)
Bagaimana Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?
Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula
untuk melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk
sujud. Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak
mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya sebagaimana terdapat pada
riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Di Mana Sajakah Ayat Sajadah?
Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat.
Sepuluh tempat disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun
terdapat hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah
berdasarkan hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan
ayat tersebut. (Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah,
1/454-458)
Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah
- QS. Al A’rof ayat 206
- QS. Ar Ro’du ayat 15
- QS. An Nahl ayat 49-50
- QS. Al Isro’ ayat 107-109
- QS. Maryam ayat 58
- QS. Al Hajj ayat 18
- QS. Al Furqon ayat 60
- QS. An Naml ayat 25-26
- QS. As Sajdah ayat 15
- QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya
- QS. Shaad ayat 24
- QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
- QS. Al Insyiqaq ayat 20-21
- QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)
Satu ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu
surat Al Hajj ayat 77. Banyak sahabat yang menganggap ayat ini
sebagai ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu
Musa, Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.
Ibnu Qudamah mengatakan,
لَمْ نَعْرِفْ لَهُمْ مُخَالِفًا فِي عَصْرِهِمْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا
“Kami tidaklah mengetahui adanya perselisihan di masa sahabat
mengenai ayat ini sebagai ayat sajadah. Maka ini menunjukkan bahwa
para sahabat telah berijma’ (bersepakat) dalam masalah ini.” (Al
Mughni, 3/88)
Demikian pembahasan mengenai sujud tilawah. Semoga risalah ini
bisa menjadi ilmu bermanfaat bagi kita sekalian. Ya Allah, berilah
manfaat terhadap apa yang kami pelajari, ajarilah ilmu yang belum kami
ketahui dan tambahkanlah selalu ilmu kepada kami.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel terkait:
0 komentar:
Posting Komentar