Sungguh puasa memiliki keutamaan yang sangat besar bagi
pelakunya. Tidakkah engkau mengetahui bahwa puasa adalah rahasia antara
hamba dan Rabbnya?!
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى »
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى »
“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10
hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan
Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat
dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)
Bagi orang yang berpuasa juga akan disediakan pintu surga yang khusus untuk mereka. Inilah kenikmatan di akhirat yang dikhususkan bagi orang yang berpuasa.
Bagi orang yang berpuasa juga akan disediakan pintu surga yang khusus untuk mereka. Inilah kenikmatan di akhirat yang dikhususkan bagi orang yang berpuasa.
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ
مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan.
Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui
pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu
tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang
yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada
seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika
mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang
pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152)
Juga dalam ayat yang mulia ini dijelaskan mengenai balasan bagi orang yang berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan): ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’” (QS. Al Haqqah [69]: 24)
“(Kepada mereka dikatakan): ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’” (QS. Al Haqqah [69]: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, “Ayat ini turun pada orang yang
berpuasa: Barangsiapa yang meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya
karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan yang makanan dan
minuman yang lebih baik.” (Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Penjelasan-penjelasan tadi adalah motivasi agar kita gemar melakukan puasa.
Karena kita sekarang berada di bulan Muharram, ada suatu amalan yang sangat mulia ketika itu yaitu puasa hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura
-menurut mayoritas ulama- adalah tanggal 10 Muharram dan bukan tanggal 9
Muharram sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Yang lebih tepat adalah
pendapat mayoritas ulama sesuai dengan yang nampak jelas pada hadits
(baca: zhohir hadits) dan sesuai dengan tuntunan lafazh. Ulama yang
menyatakan hari Asyura adalah tanggal 10 Muharram yaitu Sa’id bin Al
Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq dan Khola’iq. (Lihat Syarh Muslim, 4/114)
Lalu apa saja keutamaan puasa tersebut? Semoga dengan mengetahui
keutamaannya kita terdorong untuk melaksanakan puasa yang satu ini.
Namun, sebelumnya kita lihat terlebih dahulu mengenai keadaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan puasa ‘Asyura. Ya Allah,
mudahkanlah urusan ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melakukan Puasa ‘Asyura di Makkah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ،
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا
قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ
شَاءَ تَرَكَهُ
“Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa
‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan puasa
tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan puasa tersebut dan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa
‘Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan
berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak
berpuasa).” (HR. Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melakukan Puasa ‘Asyura di Madinah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ
فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ
». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى
وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا
فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah,
beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Hari yang kalian
bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Ini
adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah
menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya
ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka
kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kita seharusnya lebih
berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu setelah itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin
untuk berpuasa. (HR. Muslim no. 1130)
Apakah ini berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniru-niru Yahudi? Tidak sama sekali.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan puasa ‘Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan puasa ini, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ikut melakukannya. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur
yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata
berita salah seorang dari mereka, orang Yahudi. Wallahu a’lam.” (Syarh Muslim, 4/119)
Ketika Diwajibkannya Puasa Ramadhan
Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang
tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dan Ibnu ‘Umar berikut ini. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ
قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ
أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada
hari ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukan
puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum
muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di
antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan
berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.” (HR. Muslim no. 1126)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bertekad Menambah Puasa pada Hari Kesembilan Muharram
Di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
« فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ »
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Jadi ringkasnya, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Rojab bahwa puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat keadaan:
- Pertama: beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di Makkah, namun beliau tidak memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.
- Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlu Kitab berpuasa dan mengagungkan hari tersebut. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sama dengan mereka dalam perkara yang tidak diperintahkan baginya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan puasa pada hari Asyura tersebut.
- Ketiga: ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan.
- Keempat: Di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi ahlu kitab. (Lihat Latho’if Ma’arif, hal. 53)
Saatnya kita melihat keutamaan khusus dari puasa ‘Asyura.
Puasa di Bulan Muharram, Seutama-utamanya Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa
pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah
shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa sunnah muthlaq. (Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Namun yang kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan bulan Muharram. Bagaimana menjawab hal ini?
An Nawawi menjawab keraguan semacam ini dengan dua jawaban:
- Pertama: mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui keutamaan berpuasa pada bulan Muharram di akhir hayat hidupnya.
- Kedua: mungkin juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat udzur sehingga tidak bisa melakukan banyak puasa di bulan Muharram. Mungkin beliau banyak melakukan safar, sakit atau ada keperluan lainnya ketika itu. (Lihat Syarh Shohih Muslim, 4/185)
Bahkan dikatakan oleh Ibnu Rojab bahwa di antara salaf yang melakukan
puasa di bulan Muharram sebulan penuh adalah Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al
Bashri. (Lihat Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Puasa ‘Asyura’ Menghapus Dosa Setahun yang Lalu
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk
dilakukan adalah puasa pada hari ‘Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram karena berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.
Abu Qotadah Al Anshoriy berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai (keutamaan) puasa hari ‘Asyura. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ »
“Puasa ‘Asyura’ akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Apa Hukum Puasa ‘Asyura?
An Nawawi menjelaskan, “Para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa
pada hari ‘Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih
mengenai hukum puasa ‘Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika
disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu
Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam adalah wajib. Sedangkan
dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang paling masyhur,
yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan adalah
sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib. Namun dulu, puasa
Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa
Ramadhan disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak
seperti pertama kalinya. Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang
menyatakan hukum puasa Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua
ini sama dengan pendapat Abu Hanifah.” (Syarh Shohih Muslim, 4/114)
Yang jelas, hukum puasa ‘Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah
wajib. Namun, hendaklah kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang
sangat utama ini, apalagi melihat ganjaran yang begitu melimpah. Juga
ada ganjaran lain yang dapat kita lihat yang ditujukan bagi orang yang
gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi
berikut ini.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ،
وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan
untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya
dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan
mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan
orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Lebih Baik Lagi Ditambah Berpuasa Pada Tanggal 9 Muharram
Sebagaimana dijelaskan di awal (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah keburu meninggal sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat melakukan puasa pada hari itu.
Lalu bagaimana hukum melakukan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.
Imam Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyyah), Imam Ahmad, Ishaq dan
selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan adalah agar tidak
tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari
kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai
hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian,
siapa tahu salah dalam penentuan hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram).
Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak
menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 4/121)
Ibnu Rojab mengatakan, “Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa
pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam
Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Abu Hanifah memakruhkan berpuasa pada
hari sepuluh saja (tanpa hari kesembilan).” (Latho’if Ma’arif, hal. 53)
Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada
tanggal 9 dan 10 Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan
berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja adalah tingkatan di bawah
tingkatan pertama tadi. Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar
Ruhailiy hafizhohullah dalam kitab beliau Tajridul Ittiba’.
Apakah Perlu Ditambah Berpuasa pada Tanggal 11 Muharram?
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari
ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Puasalah pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah
Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu ‘Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al
Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Adz Dzahabiy mengatakan bahwa
hadits ini tidak bisa dijadikan dalil.
Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy
dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari
‘Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh
Muharram.” (Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan hanya
sampai sahabat). (Dinukil dari catatan kaki pada Zaadul Ma’ad, 2/60, Darul Fikr yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).
Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram
tidaklah dianjurkan. Dalam rangka kehati-hatian dalam penentuan awal
Muharram, kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan
11 Muharram.
Dalam riwayat Al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada
perselisihan dalam penentuan hilal, saya berpuasa selama tiga hari (9,
10 dan 11 Muharram) dalam rangka hati-hati.” (Lathoif Ma’arif, hal. 53)
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa
pada bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa ‘Asyura’ jatuh
(menurut perkiraan) pada hari Selasa, 6 Desember 2011. Dan lebih baik lagi
jika kita dapat berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi.
Atau mungkin jika khawatir karena ada perselisihan dalam penentuan
hilal, kita tambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram.
Mari kita ajak saudara-saudara kita untuk melakukan puasa ‘Asyura.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Referensi:
- Al Bida’ Al Hawliyah (Silsilah Ar Rosa’il Al Jami’iyyah), Abdullah bin Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, Darul Fadhilah
- Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com
- Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab Al Hambali, Asy Syamilah, cetakan pertama, 1421 H
- Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
- Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily
- Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, Tahqiq: Syaikh Abdul Qodir Arfan, Darul Fikr
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 30 Dzulhijjah 1429 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Beberapa Bid’ah Berkaitan Dengan Bulan Muharram
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, ”Tidak ada
satu dalil pun yang shahih dalam syariat berkenaan dengan dzikir dan
doa awal tahun, yaitu untuk awal hari atau malam memasuki bulan
Muharram. Banyak orang yang membuat doa, dzikir, berbagai peringatan,
saling mengucapkan selamat, berpuasa di hari pertama awal tahun,
menghidupkan malam di hari pertama bulan Muharram dengan sholat, dzikir,
doa, berpuasa di akhir tahun dan berbagai hal lainnya yang ternyata
tidak ada dalilnya.” (Tas-hihud Du’aa’ hal.107-108, karya syaikh Bakr abu Zaid)
Berkaitan dengan ini, berikut ini adalah diantara bid’ah yang dilakukan di bulan Muharram:
1. Membuat Perayaan Masuknya Tahun Baru Hijriyah dan Saling Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Tahun Baru.
Betapa merasa sakitnya seorang muslim
ketika melihat jama’ah kaum muslimin, baik individu maupun masyarakatnya
merayakan tahun baru hijriyyah sedangkan ketika merayakannya mereka
lupa berdasar perintah siapa mereka merayakan perayaan tersebut. Apakah
berdasar perintah Allah dalam Kitab-Nya? Ataukah berdasarkan perintah
Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah mereka melakukan demikian karena meneladani para sahabat radhiallahu ‘anhum?
Sesungguhnya diantara kekeliruan yag sangat jelas adalah ketika kaum
muslimin lebih memilih melakukan hal-hal yang tidak berdalil baik dari
Al Qur’an maupun sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Peringatan Hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian orang di zaman ini tidaklah mengetahui hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali sebagai memoar yang dibacakan sekali tiap tahun dan diadakanlah
berbagai perayaan, khutbah, dan berbagai ceramah keagamaan dalam jangka
waktu beberapa hari kemudian selesai dan dilupakan sampai tiba tahun
selanjutnya tanpa adanya pengaruh sedikitpun pada perilaku dan amalan
mereka. Oleh karena itulah Anda jumpai sebagian mereka tidak berhijrah
dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang berpindah dari negeri
Islam ke negeri musyrik bukan karena alasan apapun selain hanya untuk
mencari kemewahan dan hidup di sana dengan kebebasan hewani -wal iyadzu billah-.
3. Mengkhususkan Hari Pertama di Awal Tahun dengan Berpuasa dengan Niat Membuka Tahun Baru Tersebut dengan Puasa.
Begitu pula mengkhususkan berpuasa
selama sehari di hari terakhir tahun tersebut dengan niat sebagai ucapan
selamat tinggal untuk tahun tersebut dengan berdalil menggunakan hadits palsu: “Barangsiapa yang berpuasa di hari
terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama di bulan Muharram, dia telah
menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang
dengan puasa, maka Allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa
baginya selama lima puluh tahun.”
4. Menghidupkan Malam Pertama di Bulan Muharram untuk Melakukan Ibadah.
Syaikh Abu Syamah mengatakan, ”Tidak ada
satu pun dalil yang menuntunkan suatu amalan tertentu di malam pertama
bulan Muharram. Aku telah mencari di berbagai riwayat baik yang shahih
maupun yang dha’if dan dalam hadits-hadits maudhu’, tetapi tidak aku
jumpai satu pun yang menyebutkan tentang hal tersebut.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)
5. Mengkhususkan Awal Tahun Hijriyah untuk Melakukan Umrah Sebagaimana yang Dilakukan Sebagian Orang di Bulan Muharram.
6. Membuat Doa Khusus di Hari Pertama Tahun Baru yang Dinamakan dengan Doa Awal Tahun.
Semua hal tadi merupakan amalan yang
tidak ada satu dalil shahih pun yang menuntunkan untuk melakukannya.
Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek
perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.
(Disarikan dari kitab “Lathaiful
Ma’arif” karya Ibnu Rajab Al Hambali dan “Bida’ wa Akhtha’ Tata’allaqu
bil Ayyaam Wa syuhur” karya Ahmad bin Abdullah As Sulami oleh Rizki
Amipon Dasa)
7. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
8. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
9. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
10. Membakar kemenyan.
11. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
12. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
13. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
14. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
15. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417): "Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ
“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin
Disalin sebagian dari:
http://buletin.muslim.or.id/at-tauhid-tahun-vii/serba-serbi-bulan-muharram
dan http://almanhaj.or.id/content/2034/slash/0
Baca artikel:
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
Baca artikel:
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar