Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata:
“Shalawat Nariyah
cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang
bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan
kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti
akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada
dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan
menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya.
Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد
وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى
الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman
‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju
bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa
husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa
aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan
sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau
ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai
kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan
dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu
pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan
dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang
mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua
sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang
berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan
kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan
permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang
muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan
kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah
malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah
mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul
ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ
عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru
mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan
supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap
kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa
Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57).
Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau
jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa
ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan
ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal
Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi
diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya
aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan
dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah
seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan
bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar
tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan
tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman
‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan
hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon
dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan
shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa
sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat
Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal
dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Artikel terkait:
- Shalawat-Shalawat Bid’ah Buatan Kaum Sufi
- Shalawat-Shalawat Nabi yang Shahih
- Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang
- Tawassul, Ibadah Agung yang Banyak Diselewengkan
- Untuknya Kukirim al-Fatihah..
- Orang Mati Tidak Bisa Mendengar
- Ritual Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Tradisi Masyarakat Islam Yang Bersumber Dari Ajaran Agama Hindu
0 komentar:
Posting Komentar