Amalan-Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit
Setiap
kali kami memunculkan masalah menghadiahkan pahala untuk mayit, banyak
di antara pengunjung Rumaysho.com yang memberi komentar negatif dan
tanda tidak setuju. Oleh karena itu, kami sengaja membuat tulisan
tersendiri yang ingin membahas lebih panjang lebar masalah ini yang
rujukannya tentu saja Al Qur'an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman
generasi terbaik dari umat Islam. Semoga Allah memudahkan kaum muslimin
untuk memahami tulisan ini. Hanya Allah yang memberi taufik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).
Dari
ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan
bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang
tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan
bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia
usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di
dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain
tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan
untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat
ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta
dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi
sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah
meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami
bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun
perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit
itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang
sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau
amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".” (QS. Al Hasyr: 10)
Ayat
ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat
diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal
dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang
masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini
mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan
orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman,
yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya
dan dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a
seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang
yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas
mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan,
malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal
dengan saudaramu tadi”.”[3]
Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya,
“Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika
diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ
دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku
lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri.
Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah
yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan
harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan
apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini
ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama
mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan
ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan
Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa
bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy
Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits
dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya
yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya
sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9]
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun
sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih
ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari
kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang
da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah
agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk
mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua
menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk
mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ
إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara:
[1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ
سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنه - تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ
غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu
dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan
Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal,
sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah
bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa
kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang
membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama
dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum
muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk
dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik
ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ
الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik
perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah
perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ
الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa
saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah
petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih
hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para
sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika
kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah
ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu
di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah
kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah
yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al
Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan
mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam
shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini
diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama
salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila
seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang
tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini
adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat
malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan
memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah
untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam
agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu,
sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang
terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah
kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah
pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala
bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan
dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh
karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika
mereka melakukan shalat, puasa, haji,atau membaca Al Qur’an; mereka
menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati
atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan
kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang
telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh
melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan
lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]
Catatan:
Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah
sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan
mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara
berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100,
dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama
tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit,
ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam
(kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan
diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan
susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan
untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa
bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia
akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini
sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا
مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak
sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu,
setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan
Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit
mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang
mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat,
amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan
berpengaruh padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan
makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang
disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya
(baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami
menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga
si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang
jelas terlarang).”
Bahkan
yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang
memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita
kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad
Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah
melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta
memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit.
[Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam
musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun
berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah
ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat
yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau
selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini
termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului
kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini.
Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah,
Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan
perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para
sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan
ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al
Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat
dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr
meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]
Demikian
pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si
mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi
taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala
nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti beliau hingga akhir zaman.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah
Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur
At Tauhid edisi VI/18. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni[1] dalam Majmu’ Al Fatawa-nya mengatakan, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
[Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit]
Adapun
sedekah untuk mayit, itu akan bermanfaat baginya berdasarkan
kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Terdapat dalil yang shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Semacam
perkataan Sa’ad, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku tiba-tiba
meninggal dunia. Seandainya beliau berbicara, tentu beliau akan
menyedekahkan hartanya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah
untuknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya bermanfaat.”
Begitu
pula menghajikan si mayit, menyembelih kurban atas namanya,
memerdekakan budak atas namanya, mendoakan dan memintakan ampun
untuknya, ini semua bermanfaat bagi mayit dan tidak ada perselisihan di
antara para ulama mengenai hal ini.
[Puasa, Shalat dan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit]
Adapun
mempuasakan si mayit, shalat sunnah diniatkan untuknya dan membacakan
Al Qur’an untuknya, permasalahan ini terdapat perselisihan di antara
para ulama. Pendapat pertama: amalan-amalan tadi bermanfaat untuk
mayit. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama
Syafi’iyah dan selainnya. Pendapat kedua: pahala amalan tersebut tidak
sampai kepada mayit. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam
Malik dan Imam Asy Syafi’i.
[Meminta Upah dari Bacaan Al Qur’an]
Adapun
meminta upah dan memberi hadiah karena membaca Al Qur’an untuk si
mayit, maka ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Para ulama masih
berselisih pendapat tentang bolehnya mengambil upah dari pengajaran Al
Qur’an, mengumandangkan adzan, menjadi imam dan menghajikan orang lain
karena orang yang memberi upah itu mendapatkan manfaat.
Pendapat pertama: Ada ulama yang mengatakan bolehnya hal ini sebagaimana pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
Pendapat kedua: Namun
ada ulama yang mengatakan bahwa hal ini tidak dibenarkan karena amal
yang dikhususkan untuk ketaatan kepada Allah hanya diperuntukkan bagi
orang muslim, bukan orang kafir. Oleh karena itu, amalan seperti ini
tidaklah boleh dilakukan melainkan untuk mengharap wajah Allah dalam
rangka melakukan ketaatan kepada-Nya. Jika amalan tersebut dilakukan
untuk mendapatkan kemewahan dunia, maka amalan tersebut tidaklah akan
berbuah pahala -berdasarkan kesepakatan para ulama-. Sesungguhnya Allah
hanyalah menerima amalan yang dilakukan untuk mengharap wajah-Nya,
bukan untuk mencari kemewahan dunia.
Pendapat ketiga: Ulama
lainnya juga mengatakan bahwa boleh mengambil upah, jika orang
tersebut adalah orang fakir dan bukan orang yang mampu (kaya). Inilah
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka menyamakan hal ini
sebagaimana Allah mengizinkan bagi wali yatim yang miskin untuk memakan
harta anak yatim, namun tidak diperbolehkan untuk wali yatim yang
kaya. Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang lebih kuat dari pendapat
lainnya. Oleh karena itu, apabila orang yang miskin memelihara anak
yatim dengan diniatkan karena Allah, lalu dia mengambil upah untuk
memenuhi kebutuhannya dan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka
Allah akan memberikan dia pahala sesuai dengan niatnya. Jika dia
memakan harta tadi, dia berarti telah memakan makanan yang thoyib dan
amalan yang dia lakukan adalah amalan sholeh.
Adapun jika
dia membaca Al Quran dalam rangka mendapatkan kemewahan dunia, maka
dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalannya tadi. Jika amalannya
sendiri tidak bernilai pahala (karena tidak ikhlash), maka pahala
tersebut sangat tidak mungkin sampai pada mayit. Karena yang sampai
pada mayit adalah pahala amalan dan bukan amalan itu sendiri. Malah
jika hartanya tadi disedekahkan kepada orang yang membutuhkan dan
diniatkan untuk mayit, itu akan lebih bermanfaat dan akan sampai pada
mayit. Jika sedekah tadi diserahkan kepada orang yang membantu dalam
qira’ah Al Qur’an, pembelajaran Al Qur’an, maka itu lebih baik dan
sangat bagus. Alasannya, menolong kaum muslimin dengan jiwa dan harta
mereka untuk mengajari dan mempelajari Al Qur’an adalah amalan yang
paling utama.
[Keluarga Mayit Membuatkan Makanan untuk Orang Lain]
Adapun
keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka
ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran
yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah
mengatakan, “Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si
mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan
yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang
memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”
[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur]
Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf.
Para
ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di
kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut
kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad
memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang
terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir
adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan
bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula
ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah
mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum
pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman.
Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak
ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu,
pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika
pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan
Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan
dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki
landasan dalil sama sekali.
[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya]
Sedangkan
jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia
diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika
mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda, “Jika
manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak
sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu,
setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan
Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit
mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang
mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat,
amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan
berpengaruh padanya.
[Membangun Masjid di Atas Kubur]
Adapun membangun masjid di atas kubur yang biasa disebut dengan masyahid, seperti
ini tidaklah diperbolehkan. Bahkan seluruh ulama kaum muslimin
melarang perbuatan semacam ini karena ada sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah
melaknat orang Yahudi dan orang Nashrani karena mereka telah
menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Allah memperingatkan
apa yang mereka lakukan.”
‘Aisyah mengatakan, “Seandainya
bukan karena larangan beliau ini, tentu kubur beliau akan dikeluakan.
Akan tetapi, hal ini dilarang karena ditakutkan kalau kuburnya
dijadikan masjid.”
Dalam hadits yang shahih pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur-kubur sebagai
masjid.. Ingatlah janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid,
karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal ini.”
Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melakanat para wanita yang sering menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid serta memasang lentera di atasnya.”
[Shalat di Masjid yang Dibangun Di Atas Kubur dan Shalat di Daerah Pekuburan]
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat di masyahid (masjid yang berada di atas kubur) tidaklah diperintahkan sama sekali baik dengan perintah wajib atau pun sunnah. Shalat di masyahid yang berada di atas kubur dan semacamnya tidaklah memiliki keutamaan dari tempat-tempat lainnya. Lebih-lebih lagi shalat di masyahid tidaklah lebih utama dari shalat di masjid berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin.
Barangsiapa
meyakini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur lebih
memiliki keutamaan dari shalat di tempat lainnya atau lebih utama dari
shalat di sebagian masjid, maka dia telah keluar dari jama’ah kaum
muslimin dan telah keluar dari agama ini. Bahkan yang diyakini oleh
umat ini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah
sesuatu yang terlarang dengan larangan haram. Walaupun di sana, para
ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat di daerah pekuburan,
apakah diharamkan, dimakruhkan, atau mubah? Atau dibedakan antara kubur
yang baru digali dengan kubur yang sudah lama. Hal ini dikarenakan
apakah larangan shalat di pekuburan tadi karena alasan najis yaitu
bercampurnya tanah dengan darah mayit ataukah bukan?
Namun sebenarnya, larangan shalat di pekuburan tadi karena di sana terdapat tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang musyrik dan inilah asal penyembahan berhala.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.” (QS. Nuh: 23)
Lebih
dari satu orang sahabat dan tabi’in mengatakan bahwa berhala-berhala
tadi adalah nama orang sholeh dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka mati,
kaumnya beri’tikaf di atas pekuburan mereka. Lalu kaumnya membuat
patung yang menyerupai orang sholeh tadi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwattho’-, “Ya
Allah janganlah engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.
Sesungguhnya Allah amat murka terhadap kaum yang menjadikan kubur
nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
[Nadzar di Masyahid]
Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak disyari’atkannya nadzar di masyahid
(masjid yang berada di atas kubur) baik dengan zaitun, lilin, dirham
dan selainnya dan tidak boleh ditujukan pada tetangga kubur atau orang
penunggu kubur (khoddam). Hal ini tidak diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melaknat orang yang menjadikan kubur sebagai masjid dan memasang
lentera (penerangan) di atas kubur. Barangsiapa melakukan semacam ini,
maka dia berarti telah melakukan nadzar maksiat.
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah
nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung
maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan
melaksanakan nadzar tersebut).”
Adapun kafaroh (tebusan) untuk orang yang melakukan nadzar semacam ini ada dua pendapat di antara para ulama.
Menurut madzhab Imam Ahmad dan selainnya, kafarohnya adalah sama dengan kafaroh sumpah[2]. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kafaroh nadzar sama dengan kafaroh sumpah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah
nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung
maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan
melaksanakan nadzar tersebut).”
Adapun
madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan selainnya, mereka
berpendapat bahwa tidak ada kafaroh dalam nadzar seperti ini. Akan
tetapi, dia boleh memberi sedekah -karena nadzar yang dia niatkan di masyahid tadi-
kepada para faqir dari kaum muslimin, di mana para fiqir berarti telah
menolong dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan pahalanya di sisi Allah.
[Yang Dianjurkan Ketika Menziarahi Masyahid dan Kubur Lainnya]
Adapun kubur yang terdapat di masyahid
dan kubur lainnya, maka yang disunnahkan bagi orang yang menziarahinya
adalah memberi salam kepada si mayit dan mendo’akan dirinya seperti
pada shalat jenazah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajarkan para sahabatnya bacaan ketika berziarah kubur, “Assalaamu
‘alaikum ahlad diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa inna insyaa
Allah bikum ‘an qoriibin laahiquun wa yarhamullahul mustaqdimiina minnaa
wa minkum wal musta’khiriin. Nas-alullaha lanaa wa lakumul ‘aafiyah.
Allahumma laa tahrimnaa ajrohum wa laa taftinnaa ba’dahum waghfir lanaa
wa lahum.”
[Anggapan Ibadah Di Sisi Kubur Lebih Utama dari Tempat Lainnya]
Adapun
mengusap-ngusap kubur, shalat di sisinya, bersengaja berdo’a di sisi
kubur karena berkeyakinan bahwa do’a di tempat tersebut adalah lebih
utama dari do’a di tempat lainnya, atau berkeyakinan pula bahwa nadzar
di sisi kubur lebih utama dari tempat lainnya, maka amalan dan
keyakinan semacam ini bukanlah ajaran Islam. Akan tetapi, ini semua
termasuk ajaran yang jelek yang tidak ada tuntunannya (alias bid’ah qobihah, yang teramat jelek) dan semacam ini termasuk cabang-cabang kesyirikan. Wallahu a’lam wa ahkam.”
[Diterjemahkan dan diringkas dari Majmu’ Al Fatawa, 24/314-321, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni. Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal[3]]
_____________
[1]
Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus
Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr
bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah
beliau adalah Abul ‘Abbas. Beliau terkenal dengan julukan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau lahir tahun 661 H di Haron dan meninggal
tahun 728 H. [2] Kafarohnya adalah memberi makan kepada 10 orang miskin
sebagaimana makanan yang diberi pada keluarganya, atau memberi pakaian
kepada 10 orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tiga
pilihan ini tidak mampu, maka kafarohnya adalah berpuasa selama tiga
hari. Lihat Surat Al Maidah ayat 89. [3] NB: Yang didalam kurung seperti ini [ ], itu adalah tambahan judul dari kami untuk memudahkan pembaca.
Sumber: http://buletin.muslim.or.id/aqidah/kekeliruan-seputar-mayit-dan-kubur
Artikel terkait:
Artikel terkait:
- Amalan-amalan Yang Bermanfaat Bagi Mayit
- Ritual Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Tradisi Masyarakat Islam Yang Bersumber Dari Ajaran Agama Hindu
- Untuknya Kukirim al-Fatihah..
- Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Al-Imam Syafi’i
- Catatan-Catatan Penting Seputar Yasinan
- Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin
- Orang Mati Tidak Bisa Mendengar
- Misteri Alam Kubur
- Tafsir Qs. Ibrahim : 27
- Keutamaan Mendoakan Orang Lain Tanpa Sepengetahuannya
0 komentar:
Posting Komentar