Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim
dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan
dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat
penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang
menghendaki kebenaran sehingga dalam
perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan
jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai
dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah
ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ
سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ
إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu
firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh
puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh
puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah
Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah
kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu
ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang
Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah
Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.
Syaikh Sh oleh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq
cet. D arus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan
perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna
menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran
dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (begitu saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan :
“Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia
(yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
" Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah
menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’ am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana
dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan
sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang
sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang
darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :
خَطَّ لَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا
ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ
وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ
مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menggaris di
depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”.
Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya
lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan
ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan
sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan
kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari
jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ
سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat
sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya
setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :
- Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
- Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
- Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna
yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu
adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu
dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq ot
4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka
dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan
tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut
mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah”
apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a
4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy
beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya
dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam
hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan
meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau Shallallaahu ‘alaihi
wasallam berada di
atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan,
amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah
para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa
yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan
dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
- Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
- Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
- Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
- Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
- Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
- dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah :
“Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang
disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2
hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq
(pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut
perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah
para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul
Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi
zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari
orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis
hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang
mengikuti jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para
sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang
belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah
terjadi setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a
3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti
jejak-jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan
batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para
(sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian
pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan
hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi
geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena
setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a
3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati
oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan
yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa
3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh
di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka oleh para ulama Salafus
Sholeh -mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum-
para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan
sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya
keterangan tentangnya”. (Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam
tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah
orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan
petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan
pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang
memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang
memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا
مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ
فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا
قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat bersama kami
sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati
kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata
bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah
nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda :
“Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar
serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak
dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di
antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka
berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para
Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi
geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna
jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di
dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam
hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli
ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah
jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan mereka hujjah
terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para
ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin
Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para
ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini
berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya
disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang
lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini
adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam
apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama.
Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.
Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin
apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat
Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna
Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut :
- Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
- Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
- Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah
kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka
wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar
darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .
Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti
oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang
mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its
hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap
Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan
pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit
dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa
yang jama’ah pertama Shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya berada di atasnya dan
tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang
berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti
mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah .
________________
Sumber: http://an-nashihah.com/?p=9
0 komentar:
Posting Komentar