Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebelumnya pernah membahas zakat emas, perak dan mata uang. Saat ini ada pembahasan yang cukup urgent untuk diangkat yaitu zakat perdagangan. Kami tidak berpanjang lebar dalam membahas dalil yang ada karena pembahasan ini sudah diangkat sebagiannya di pembahasan zakat emas dan perak. Silakan merujuk pada tulisan sebelumnya di sini.
Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan.
Dalil disyari’atkannya zakat barang dagangan adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267).
Imam Bukhari meletakkan Bab dalam kitab Zakat dalam kitab shahihnya, di mana beliau berkata,
باب صَدَقَةِ الْكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ
“Bab: Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)”[1], setelah itu beliau rahimahullah membawakan ayat di atas.
Kata Ibnul ‘Arobi,
{ مَا كَسَبْتُمْ } يَعْنِي : التِّجَارَةَ
“Yang dimaksud ‘hasil usaha kalian’ adalah perdagangan”.[2]
Syarat Zakat Barang Perdagangan
Pertama: Bukan termasuk harta yang sudah masuk kategori zakat yang lain.
Kalau yang dimiliki adalah kambing yang didagangkan, itu dimasukkan ke zakat kambing. Kalau yang didagangkan adalah emas dan perak, itu dimasukkan pada zakat emas dan perak.
Kedua: Telah mencapai nishob (ukuran minimal dikenai zakat).
Nishob zakat barang dagangan disamakan dengan emas (bukan dengan perak). Alasan kenapa disetarakan dengan emas telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya. Harga emas per gram untuk saat ini (03/01/2011) USD.45,45/gram = Rp.454.500 (kurs 10.000). Nishob emas, ada yang mengatakan 70 gr, ada juga ulama yang berpendapat 85 gr. Kalau kita menggunakan nishob terendah, nishob emas = Rp.454.500/gr x 70gr = Rp 31.815.000. Artinya jika nilai barang dagangan di atas kira-kira 30 juta barulah dikenai zakat.
Ketiga: Telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah, bukan masehi).
Artinya di sini, barang dagangan tersebut berada di atas nishob dan telah bertahan selama satu tahun (haul).
Haul yang dianggap di sini adalah seluruh haul. Artinya jika nilai barang dagangan di tengah-tengah haul kurang dari nishob, maka tidak dikenai zakat. Demikian pendapat mayoritas (jumhur) ulama.[3]
Catatan: Jika modal mulai usaha sudah berada di atas nishob sejak awal usaha, maka haul sudah dihitung sejak awal usaha. Jika modal tidak mencapai nishob sejak awal usaha, maka haul baru dihitung sejak nilai barang dagangan di atas nishob.
Perhitungan Zakat Perdagangan
Perhitungan zakat perdagangan sama dengan emas dan perak yaitu 2,5%.
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang dagangan* + uang dagang yang ada + piutang yang diharapkan – utang**.
* dengan harga saat itu, bukan harga saat beli.
** utang yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.
Kalau mencapai nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5%.[4]
Contoh:
Pak Muhammad mulai membuka toko dengan modal 100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan Pak Muhammad sebagai berikut:
- Nilai barang dagangan = Rp.40.000.000
- Uang yang ada = Rp.10.000.000
- Piutang = Rp.10.000.000
- Utang = Rp.20.000.000 (yang jatuh tempo tahun 1433 H)
Perhitungan Zakat
= (Rp.40.000.000 + Rp.10.000.000 + Rp.10.000.000 – Rp.20.000.000) x 2,5%
= Rp.40.000.000 x 2,5%
= Rp.1.000.000
Demikian pembahasan ringkasan mengenai zakat perdagangan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat
Riyadh-KSA, 28 Muharram 1432 H
Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Shahih Al Bukhari pada Kitab Zakat
[2] Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arobi, 1/469, Mawqi’ Al Islam.
[3] Lihat tiga syarat ini dalam Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/57
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/57
0 komentar:
Posting Komentar