Oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami
MAKNA DAN HUKUM QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.[1]
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama).[2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" [An-Nisaa': 101]
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]
"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar"[4]
"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalat Ied adalah dua raka'at"[5]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata: Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." [Al-Ahzaab : 21][6]
Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]
JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas.[8]
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9]
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka'at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" [11]
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.[12]
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.[13]
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.[14]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut.[15]
SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”. [Al-Ahzaab: 21][17]
Adapun shalat-shalat sunnah / nafilah / tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]
JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim dan jama' ta'khir.[19]
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]
Berkata Imam Nawawi rahimahullah: Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."[25]
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]
MENJAMA' JUM'AT DENGAN ASHAR.
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama' (menggabungnya) dengan shalat lain.[29]
JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wa sallam pernah melakukan jama' sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31] Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32] Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]
MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.
Shalat berjama'ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasalla”[34]
MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36]
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]
SHALAT JUM'AT BAGI MUSAFIR.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41]
Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat.
[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Abdullah Shaleh Al-Hadrami, beliau adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota Malang, Jawa Timur]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138
[11]. HR. Bukhari, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.
[13] HR. Bukhari dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhari dan Muslim.
[17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0
0 komentar:
Posting Komentar