Ziarah Kubur yang Syar’i
Ziarah kubur yang dituntunkan adalah yang mengingatkan kepada kematian. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Kemudian dituntunkan lagi ketika ziarah kubur untuk mendoakan penghuni kubur dengan memperhatikan adab berdo’a yaitu menghadap kiblat dan bukan menghadap ke kuburan. Do’a ketika ziarah kubur sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Safar Mengunjungi Kuburan Wali
Kuburan para wali songo sangat tersohor sekali di negeri kita, sampai di Jawa Timur ada 5 kuburan mereka. Orang dari daerah yang jauh pun berjuang keras datang ke sana demi ziarah kubur.
Jika kita perhatikan dalam ajaran Islam, sebenarnya ziarah kubur seperti ini terlarang. Dalil larangannya ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu. Jadi, setiap safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali ke tiga masjid tadi, yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho. Adapun jika bersafarnya karena silaturahim, berdagang, mencari ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya, maka tidak ada masalah. Semisal kita menuntut ilmu ke suatu masjid di daerah Jogja dari Jawa Timur, maka ini tidaklah masalah. Karena maksud safar yang dilakukan adalah bukan mengunjungi masjid, namun yang dimaksud adalah menuntut ilmu.
Dalil lain yang mendukung maksud hadits di atas adalah safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat tertentu yaitu semata-mata karena tempat itu, yaitu hadits berikut ini:
"Dari mana engkau?"
"Dari bukit Thur … aku shalat di sana", jawab Abu Hurairah.
"Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah pelana itu diikat –yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat)- kecuali ke tiga masjid: masjidil haram, masjid Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan masjidil aqsho”, kata Abu Basrah. (HR. Ahmad 6:7. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul. Allah Ta’ala pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir'aun dan bala tentaranya binasa. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.
Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: "Ucapan Abu Hurairah: 'Aku pergi ke bukit Thur'; jelas sekali dalam hadits ini bahwa dia tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana".
Imam Abul Walid Al Baaji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: "Ucapan Abu Hurairah: 'Aku datang dari Bukit Thur' mengandung dua kemungkinan; mungkin dia ke sana untuk suatu keperluan, atau dia ke sana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu Basrah: 'Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat', merupakan dalil bahwa Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang dipahami Abu Basrah tadi benar. (Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa)
Sanggahan pada Ulama yang Membolehkan
Ibnu Taimiyah menyanggah sebagian ulama yang menyatakan sah-sah saja bersafar untuk ziarah ke kuburan orang sholeh. Beliau rahimahullah berkata,
“Mengenai hadits ‘tidaklah diikat pelana -maksudnya, bersafar- selain pada tiga masjid’, di dalamnya berisi larangan bersafar ke selain tiga masjid (masjidil haram, masjid nabawi dan masjidil aqsho). Jika ke masjid selain tiga masjid tersebut saja dilarang, maka ke tempat lainnya lebih jelas terlarangnya. Karena beribadah di masjid tentu lebih utama dari tempat selain masjid atau selain rumah. Ini tidak diragukan lagi karena disebutkan dalam hadits,
Sebagian ulama belakangan menyatakan sah-sah saja bersafar untuk berziarah ke kuburan orang sholeh (masyahid). Alasannya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendatangi masjid Quba’ setiap Sabtu dengan berkendaraan atau berjalan, sebagaimana disebutkan dalam shahihain. Namun alasan seperti ini tidaklah tepat. Karena Quba’ bukanlah masyhad (kuburan orang sholeh), tetapi masjid. Bahkan terlarang bersafar hanya semata-mata untuk mengunjungi Quba’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena safar semacam ini bukanlah safar yang disyari’atkan. Bahkan seandainya ada yang bersafar semata-mata untuk ke masjid Quba’, itu tidak boleh. Namun seandainya ia bersafar ke masjid Nabawi, lalu ia menuju ke Quba’, itu dianjurkan. Sebagaimana dibolehkan pula jika kita bersafar untuk maksud menuju masjid Nabawi, lalu sekaligus ziarah ke kuburan Baqi’ dan kuburan syuhada Uhud. (Majmu’ Al Fatawa, 27: 21-22)
Di tempat lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang mendatangi masjid Nabawi, maka ia dianjurkan memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga pada dua sahabat beliau –Abu Bakr dan ‘Umar-, sebagaimana yang dilakukan para sahabat. Namun jika ia bermaksud bersafar dengan niatan untuk semata-mata ziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan maksud bersafar untuk mengunjungi masjid Nabawi, maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Para imam dan kebanyakan ulama menilai niatan untuk mengunjungi semata-mata pada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan, tidak pula diperintahkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 26-27).
Renungkanlah!
Baca ulasan pendukung lainnya di rumaysho.com: Ziarah Kubur yang Jauh dari Tuntunan Islam.
Referensi:
- Faedah dari Durus Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syitsriy Kamis 17 Rabi’ul Awwal 1433 H di Jami’ Syaikh Nashir Asy Syitsri, Riyadh, KSA, dalam kitab Manhajus Salikin – Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, bahasan Puasa – I’tikaf.
- Faedah dari tulisan Ustadz Sufyan Baswedan, MA dalam karya beliau “Ini Dalilnya!” (Bantahan terhadap buku “Mana Dalilnya!”)
- Majmu’ Al Fatawa, Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyah Al Haroni, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
@ Maktab Jaliyat Bathah, Riyadh, KSA, 18 Rabi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar