Sebelum membicarakan secara terperinci tentang Qadha' dan Qadar, ada
baiknya membicarakan mengenai masalah yang tersiar di masa dahulu dan
masa sekarang, yang intinya adalah (ada yang mengatakan) bahwa tidak
boleh membicarakan tentang masalah-masalah takdir secara mutlak.
Alasannya bahwa hal itu dapat membangkitkan keraguan dan kebimbangan,
dan bahwa masalah ini telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan
menyesatkan banyak pemahaman.
Pernyataan demikian, secara mutlak adalah tidak benar, hal itu dikarenakan beberapa alasan, di antaranya yaitu:
1. Iman kepada qadar adalah salah satu rukun iman. Iman seorang hamba
tidak sempurna kecuali dengannya. Bagaimana hal ini akan diketahui, jika
tidak dibicarakan dan dijelaskan perkaranya kepada manusia?
2.
Iman kepada qadar telah disebutkan dalam hadits teragung dalam Islam,
yaitu hadits Malaikat Jibril Alaihissalam, dan hal itu terjadi di akhir
kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Di akhir hadits beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dia adalah Malaikat
Jibril, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang
agama kalian." [HR. Muslim, kitab al-Iimaan, I/38 (8)]
Maka mengetahui masalah takdir -dengan demikian- adalah termasuk bagian dari
agama, dan pengetahuan tersebut adalah wajib, walaupun hanya secara
global.
3. Al-Qur'an banyak menyebutkan tentang takdir dan
perinciannya. Allah Azza wa Jalla pun memerintahkan kita agar
merenungkan al-Qur'an dan memahaminya, sebagaimana firman-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (Shaad: 29)
Juga firman-Nya:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?" (Muhammad: 24)
Lalu, apakah yang mengecualikan ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah takdir dari keumuman ayat-ayat tersebut?!
4. Para Sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang perkara yang paling detil mengenai takdir. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Jabir dalam Shahiih Muslim, ketika Suraqah bin
Malik bin Ju'syum datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu
mengatakan:
"Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada kami tentang
agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan pada hari ini, yaitu
mengenai amal perbuatan hari ini, apakah berdasarkan pada apa yang telah
tertulis oleh tinta pena (takdir) yang sudah mengering dan
takdir-takdir yang sudah ditentukan, atau berdasarkan dengan apa yang
kita hadapi?"
Beliau menjawab:
"Tidak, bahkan berdasarkan pada tinta pena yang telah kering dan takdir-takdir yang telah ada."
Ia bertanya:
"Lalu, untuk apa kita beramal?"
Beliau menjawab:
"Beramallah! Sebab semuanya telah dimudahkan."
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk perbuatannya."
5. Para Sahabat mengajarkan kepada para murid mereka dari kalangan
Tabi'in hal tersebut. Yaitu, dengan bertanya kepada mereka, untuk menguji mereka, dan menguji pemahaman mereka.
Sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim bahwa Abul Aswad ad-Duali berkata, "Imran bin al-Hushain berkata kepadaku:
'Apakah kamu melihat apa yang dilakukan manusia pada hari ini dan
mereka bersungguh-sungguh di dalamnya, apakah hal itu merupakan sesuatu
yang ditetapkan atas mereka dan telah berlaku atas mereka takdir
sebelumnya? Ataukah sesuatu yang dihadapkan kepada mereka dari apa-apa
yang dibawa kepada mereka oleh Nabi mereka dan hujjah telah nyata atas
mereka?'
Saya menjawab, 'Bahkan, hal itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan atas mereka.'
Dia bertanya, 'Bukankah itu suatu kezhaliman?'
Saya sangat terperanjat mendengar hal itu. Saya katakan, 'Segala
sesuatu adalah ciptaan Allah dan kepunyaan-Nya, dan Allah tidak ditanya
tentang apa yang dilakukan-Nya, tapi merekalah yang akan ditanya.'
Maka dia mengatakan kepadaku, 'Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya
aku tidak menginginkan dengan apa yang aku tanyakan kepadamu, melainkan
untuk menguji akalmu." [HR. Muslim, bab al-Qadar (VIII/48-49, no. 2650)]
6. Para iman Salafush Shalih dari kalangan ulama telah mengarang kitab tentang masalah ini, bahkan sangat perhatian mengenainya.
Seandainya kita menyatakan larangan membicarakan tentang takdir, berarti
kita telah menganggap mereka sesat dan menilai dungu akal mereka.
7. Seandainya kita tidak membicarakan tentang takdir, niscaya manusia tidak mengerti mengenainya.
Dan mungkin pintu menjadi terbuka bagi ahli bid'ah dan ahli kesesatan
untuk menyebarkan kebathilan mereka dan mencampuradukkan agama kaum
Muslimin.
8. Hilangnya ilmu dan kebajikan. Seandainya kita
tidak membicarakan tentang takdir dan berbagai manfaatnya, niscaya kita
kehilangan ilmu yang melimpah dan kebajikan yang banyak.
Jika
ditanyakan: Bagaimana kita mengkompromikan antara hal ini dengan apa
yang disebutkan tentang celaan membicarakan mengenai takdir, sebagaimana
dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang disebutkan dalam
hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
"Jika para Sahabatku
dibicarakan, maka diamlah; jika bintang-bintang dibicarakan, maka
diamlah; dan jika takdir dibicarakan, maka diamlah." [HR. Ath-Thabrani
dalm al-Kabiir (X/243, no. 10448). Hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar
dalam al-Fath (XI/486) dan Syaikh al-Albani menilainya sebagai hadits
shahih dalam Shahiihul Jaami' (no. 545)]
Demikian pula riwayat
yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat marah
sekali, ketika beliau keluar menemui para Sahabatnya pada suatu hari
saat mereka sedang berdebat tentang masalah takdir, sehingga wajah
beliau memerah, seolah-olah biji delima terbelah di keningnya, lalu
beliau bersabda:
"Apakah dengan ini kalian diperintahkan?
Apakah dengan ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya umat-umat
sebelum kalian telah binasa ketika mereka berselisih mengenai perkara
ini. Oleh karena itu, aku meminta kalian, janganlah berselisih
mengenainya." [HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, kitab al-Qadar, bab
Maa Jaa-a fit Tasydiid fil Khaudh fil Qadar (IV/443, no. 2133). Syaikh
al-Albani menilai hasan dalam Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/223, no.
1732 dan 2231)]
Jawaban mengenai hal itu: Bahwa larangan yang disebutkan tersebut adalah karena mengandung perkara-perkara berikut ini:
1. Membicarakan takdir dengan kebathilan (cara yang bathil) serta
dengan tanpa ilmu dan dalil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..." (Al-Israa': 36)
2. Bersandar hanya kepada akal manusia yang terbatas dalam mengetahui
takdir, jauh dari petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebab, akal manusia
tidak mampu mengetahui hal itu secara terperinci, karena akal mempunyai
keterbatasan dan juga kemampuan yang terbatas, maka wajib bagi akal
untuk berhenti pada dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih.
[Lihat al-Ibaanah, Ibnu Baththah al-'Ukbari (I/421-422)]
3.
Tidak pasrah dan tunduk kepada Allah dalam takdir-Nya. Hal itu karena
takdir adalah perkara ghaib, yang mana perkara ghaib itu landasannya
adalah kepasrahan.
4. Membahas tentang aspek yang tersembunyi
mengenai takdir, yang mana ia merupakan rahasia Allah dalam ciptaan-Nya,
dan (takdir tersebut) tidak diketahui oleh Malaikat yang didekatkan
kepada Allah dan tidak pula oleh Nabi yang diutus, dan hal itu pun
termasuk di antara perkara di mana akal tidak mampu untuk memahami dan
mengetahuinya. [Lihat ad-Diinul Khaalish, Shiddiq Hasan (III/171)]
5. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang tidak sepatutnya ditanyakan, seperti orang yang bertanya dengan nada protes. Mengapa
Allah memberi petunjuk kepada si fulan dan menyesatkan si fulan? Mengapa
Allah membebani (dengan kewajiban) kepada manusia di antara seluruh
makhluk? Mengapa Allah memberi kekayaan kepada si fulan dan memberi
kemiskinan kepada si fulan? Dan seterusnya...
Adapun orang yang bertanya untuk mendapatkan pemahaman, maka tidaklah mengapa, sebab obat kebodohan adalah bertanya.
Adapun orang yang bertanya dengan nada protes -bukan untuk memahami dan
tidak pula untuk belajar- maka itulah yang tidak boleh, baik
pertanyaannya sedikit maupun banyak. [Syarh al-Aqiidah ath=Thahaawiyyah,
Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi, hal. 262; al-Ikhtilaaf fil Lafzh war Radd
'alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, Ibnu Qutaibah, hal. 35; dan Syarhus
Sunnah, al-Barbahari, hal. 36]
6. Berbantah-bantahan mengenai
takdir, yang menyebabkan perselisihan manusia di dalamnya dan
terpecahnya mereka dalam masalah ini. Semua ini termasuk perkara yang
kita dilarang melakukannya.
Tidak termasuk dalam kategori
perbantahan yang tercela: membantah aliran yang sesat, menolak berbagai
syubhat mereka, dan meruntuhkan berbagai argumentasi mereka, karena
usaha tersebut berarti memenangkan kebenaran dan mengalahkan kebathilan.
Dari sini nampakjelas bagi kita, bahwa larangan membicarakan tentang
takdir secara mutlak adalah tidak benar, tetapi larangan tersebut
berlaku untuk perkara-perkara yang telah disebutkan tadi.
Adapun pembahasan dalam perkara yang akal manusia mampu memahaminya,
yang berlandaskan pada nash-nash seperti membahas tentang
tingkatan-tingkatan takdir, macam-macam takdir, kemakhlukan perbuatan
hamba, dan pembahasan-pembahasan tentang takdir lainnya, maka semua ini
telah dimudahkan lagi jelas, juga tidak dilarang untuk membahasnya.
Kendati pun tidak semua orang mampu memahaminya secara terperinci,
tetapi dalam permasalahan ini ada ulama yang mempelajarinya dan
menjelaskan apa yang terdapat di dalamnya.
Di antara yang
menegaskan hal itu -bahwa larangan tersebut bukanlah secara mutlak-
yaitu telah disebutkan dalam hadits terdahulu -yakni dalam hadits Ibnu
Mas'ud-, di samping perintah untuk tidak membicarakan masalah takdir,
ialah perintah untuk tidak membicarakan para Sahabat.
Maksud
dari tidak membicarakan para Sahabat adalah, tidak membicarakan tentang
apa yang diperselisihkan di antara mereka dan tidak membicarakan
keburukan-keburukan mereka dan juga kekurangan-kekurangan mereka.
Adapun menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan memuji mereka, maka ini
adalah perkara yang terpuji tanpa diperselisihkan oleh para ulama.
Sebab, Allah telah memuji mereka dalam al-Qur'an, demikain pula
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di antara yang
menegaskan hal itu, bahwa sebab kemarahan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, sebagaimana dalam hadits terdahulu -yaitu hadits at-Tirmidzi-
hanyalah karena sebab berbantah-bantahannya para Sahabat dalam masalah
takdir.
"Maka membicarakan tentang takdir atau membahasnya
dengan metode ilmiyah yang shahih, tidaklah diharamkan atau dilarang.
Tetapi yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
hanyalah berbantah-bantahan mengenai takdir." [Al-Qadhaa' wal Qadar fil
Islam, Dr. Faruq ad-Dasuqi (I/368)]
Ringkasnya, dalam masalah
ini, bahwa dalam pembicaraan mengenai takdir tidak dibuka secara mutlak
dan tidak pula ditutup secara mutlak. Jika pembicaraan tersebut dengan
haq, maka tidak dilarang, bahkan mungkin wajib, adapun jika dengan
kebathilan, maka dilarang.
(Disalin dari kitab Al-Iman bil
Qadha' wal Qadar, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
hafizhahullah, edisi Indonesia: Kupas Tuntas Masalah Takdir, Pustaka
Ibnu Katsir, Bogor)
____________
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=3611782648265&set=a.3324211219159.2136629.1084713685&type=1
Hukum Membicarakan Masalah Takdir
Faisal Choir Blog :
Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus
0 komentar:
Posting Komentar