Ditanya kepada Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah:
Ada masalah yang sering terjadi pada sebagian orang. Bagaimana Allah menghukum pelaku maksiat, padahal Dia telah mentakdirkannya kepada manusia?
Jawab:
Sebenarnya ini bukan masalah. Yakni seorang yang melakukan perbuatan
jahat (dosa) kemudian dihukum. Sebab dia melakukan kejahatan tersebut dengan kemauannya. Tidak ada seorang pun yang menghunus pedang di
hadapannya dan berkata:
"Lakukan kemunkaran ini!"
Tetapi (perbuatan dosa itu) adalah suatu perbuatan yang dilakukan ATAS KEMAUANNYA.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami TELAH MENUNJUKINYA JALAN YANG LURUS; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir (mengingkari)." (Al-Insan: 3)
Allah telah menunjukkan dan menjelaskan kepada orang-orang yang
bersyukur dan kepada orang-orang yang kafir, jalan yang lurus. Namun di
antara manusia itu ada yang memilih jalan ini (jalan yang lurus), dan di
antara manusia yang lain ada pula yang tidak memilihnya.
Untuk menjelaskan hal tersebut, bisa dilakukan dengan dua metode: Pertama, ilzam (keharusan) dan kedua, al-bayan (penjelasan).
Dengan ilzam, maka kita katakan kepada orang tersebut:
"Perbuatan anda yang sifatnya DUNIAWI dan perbuatan anda yang UKHRAWI
(untuk akhirat), keduanya sama dan anda harus menjadikannya sama. Sudah
diketahui, seandainya ada dua proyek duniawi pada anda; yang pertama
anda melihatnya baik untuk anda dan yang kedua anda melihatnya jelek
bagi anda, maka sudah dapat dipastikan bahwa anda akan memilih proyek
yang pertama, yaitu yang baik dan bermanfaat bagi anda.
Dalam
keadaan bagaimana pun, anda tidak akan memilih proyek yang kedua, yaitu
yang jelek dan membahayakan, kemudian anda berkata: "Sesungguhnya takdir
telah mengharuskan saya untuk memilih ini."
Dalam urusan
akhirat, semestinya anda memberlakukan hal yang sama dengan urusan dunia
tersebut. Kami mengatakan bahwa Allah menjadikan dua proyek di hadapan
anda.
Pertama, perbuatan jelek yang bertentangan dengan syari'at.
Kedua, perbuatan baik yang sesuai dengan syari'at.
Kenapa anda tidak memilih perbuatan yang baik untuk urusan akhirat?
Seyogyanya anda mengharuskan diri anda untuk memilih perbuatan yang
baik dalam masalah akhirat, sebagaimana anda mengharuskan diri anda
untuk memilih perbuatan yang baik untuk urusan dunia. Inilah yang
disebut metode ilzam.
Adapun metode bayan, maka kami katakan bahwa kita semua TIDAK MENGETAHUI apa yang TELAH DITENTUKAN oleh Allah kepada kita.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok." (Luqman: 34)
Seorang di antara kita yang melaksanakan suatu perbuatan, maka dia
melakukannya DENGAN KEMAUAN SENDIRI. Bukan dengan pengetahuan bahwasanya
Allah telah menentukannya dan menganjurkannya. Salah seorang ulama
berkata: "Sesungguhnya takdir adalah rahasia yang tidak terduga."
Kita semua TIDAK MENGETAHUI bahwasanya Allah telah menentukan sesuatu,
KECUALI JIKA PERBUATAN ITU TELAH DILAKUKAN. Dengan demikian, ketika kita
melakukan suatu perbuatan, maka kita tidak melakukannya lantaran alasan
ia (perbuatan tersebut) telah ditentukan oleh Allah untuk kebaikan atau
kejelekan kita. Akan tetapi, kita melakukannya DENGAN KEMAUAN KITA
SENDIRI. Setelah terjadi, baru kita mengetahui bahwasanya Allah telah
mentakdirkannya.
Oleh sebab itu, seseorang TIDAK BISA berhujjah
dengan takdir kecuali setelah terjadi perbuatan. Namun itu BUKAN HUJJAH
LAGI atasnya.
Disebutkan bahwasanya suatu hari dihadapkan
kepada Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, seorang
pencuri yang sudah memenuhi syarat untuk dipotong tangannya karena
mencuri. Umar memerintahkan untuk dipotong tangannya. Pencuri tersebut
berkata:
"Sebentar wahai Amirul Mukminin! Demi Allah, saya tidak mencuri kecuali karena takdir Allah."
Umar berkata kepadanya:
"Kami juga tidak memotong tangan anda kecuali karena takdir Allah."
Umar berhujjah (beralasan) kepadanya dengan hujjah yang dipakai pencuri
tersebut karena dia mengambil harta orang muslim. Padahal Umar BISA
berhujjah kepadanya dengan TAKDIR atau AGAMA. Karena beliau
diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun si pencuri, maka tidak
mungkin dia berhujjah kecuali dengan takdir (saja), (itu pun) kalau
boleh ia berhujjah dengannya.
Dengan demikian, tidak ada
seorang pun yang boleh berhujjah dengan takdir untuk melakukan
kemaksiatan kepada Allah. Karena realitanya TIDAK ADA HUJJAH baginya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"(Mereka Kami utus) Selaku
rasul-rasul pembawa berita gembira dan PEMBERI PERINGATAN agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu." (An-Nisaa': 165)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (dengan mengatakan):
"agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu."
Padahal APA YANG DILAKUKAN OLEH MANUSIA setelah diutusnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah KARENA TAKDIR ALLAH. Seandainya
takdir bisa dijadikan hujjah, maka Rasul senantiasa akan diutus
selama-lamanya. Dengan demikian, jelaslah bagi kita secara dalil atau
akal bahwasanya orang yang melakukan maksiat itu TIDAK BOLEH beralasan
dengan takdir. Karena dia TIDAK PERNAH DIPAKSA untuk itu.
(Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin, 2/94)
Pada lain kesempatan, Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah ditanya:
"Jika perbuatanku termasuk takdir Allah, bagaimana aku dihukum karena maksiat, padahal itu termasuk takdir Allah?"
Jawab:
Anda tidak boleh berhujjah dengan takdir dalam hal maksiat kepada
Allah. Karena Allah TIDAK PERNAH MEMAKSA ANDA untuk melakukan
kemaksiatan. Ketika anda melakukannya, anda tidak mengetahui kalau itu
telah ditakdirkan kepada anda. Manusia tidak pernah mengetahui takdirnya
kecuali setelah terjadi. Kenapa sebelum anda melakukan maksiat, anda
tidak memperkirakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mentakdirkan bagi
anda ketaatan, sehingga anda melakukan ketaatan (bukan kemaksiatan)?
Sebagaimana anda dalam urusan keduniaan, anda berusaha untuk melakukan
sesuatu yang anda anggap baik dan menjauhi yang anda anggap jelek.
Kenapa anda tidak melakukan hal yang sama dalam masalah akhirat?
Saya tidak percaya ada orang yang memilih jalan yang sulit (berbahaya)
kemudian mengatakan ini telah ditakdirkan kepada saya. Sebaliknya, dia
pasti memilih jalan yang mudah dan AMAN.
Ini tidak berbeda
dengan orang yang mengatakan kepada anda bahwa Surga memiliki jalan; dan
Neraka juga memiliki jalan. Jika anda menempuh jalan Neraka, maka anda
seperti orang yang menempuh jalan berbahaya dan menakutkan. Kenapa anda
RELA menempuh jalan Neraka dan MENINGGALKAN jalan yang penuh kenikmatan
(Surga)?
Seandainya manusia boleh memiliki hujjah (alasan)
melakukan kemaksiatan dengan takdir, maka hujjah ini menjadi GUGUR
dengan diutusnya Rasul, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"(Mereka Kami utus) Selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
PEMBERI PERINGATAN agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (An-Nisaa': 165)
(Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin, 2/80. Dengan diringkas)
Sebagai tambahan, telah terdapat keterangan bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan mensucikan-Nya dari
keburukkan, dalam ucapan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:
“…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di
kedua tangan-Mu, dan KEBURUKAN TIDAKLAH DINISBATKAN kepada-Mu. Aku
berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi…”
(HR. Muslim, No. 771).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka ia
bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya.
Sedangkan Iblis, ia TETAP MENERUSKAN DOSA dan menghujat, maka Allah
melaknat dan mengusirnya. Barangsiapa yang bertaubat (dengan menyesali
dan meninggalkan dosanya), maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam
Alaihissalam, dan barangsiapa yang MENERUSKAN DOSANYA serta BERDALIH
DENGAN TAKDIR, ia sesuai dengan sifat Iblis. Maka orang-orang yang
berbahagia akan mengikuti bapak mereka dan orang-orang yang celaka akan
mengikuti musuh mereka, Iblis." (Majmu’ul Fatawa,, VIII/64)
Semoga bermanfaat...
Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=3633467390370&set=a.1342668921840.2043909.1084713685&type=1&theater
Imam Abu Hanifah (Imam mazhab Hanafi) rahimahullah memiliki perkataan yang bagus dalam menjelaskan prinsip takdir yang benar:
“Tidak
ada hamba yang oleh takdir Allah dipaksa untuk beriman atau untuk
kafir. Namun Allah menciptakan para hamba-Nya dengan memiliki pribadi
masing-masing. Iman dan kufur adalah perbuatan hamba. Namun Allah Ta’ala
MENGETAHUI (bukan memaksa) siapa saja yang kafir. Dan jika hamba yang
kafir tersebut lalu beriman, Allah mencintainya dan sesungguhnya Allah
sudah mengetahuinya (bahwa ia akan beriman) tanpa ada perubahan ilmu
pada sisi Allah (dari tidak mengetahui menjadi mengetahui)” (Al Fiqhu Al
Akbar, hal. 302)
[Dinukil dari I’tiqad A-immatil Arba’ah, Muhammad Bin Abdirrahman Al Khumais]
Kenapa Pelaku Maksiat di Siksa Padahal Perbuatannya Termasuk Takdir?
Faisal Choir Blog :
Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus
0 komentar:
Posting Komentar