Pahala Mencari Nafkah
Para pengusaha muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan dalam berusaha sehingga menjadi pengusaha yang tangguh, mandiri dan mampu memberantas kemiskinan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri.”(1)
Islam sangat membenci pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri dengan meminta-minta belas kasihan orang sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallohu’anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun.(2)
Abu Qasim Al Khatly bertanya kepada Imam Ahmad: Apa komentar anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rizkiku tidak akan lari dan pasti datang? Maka beliau menjawab: Orang tersebut bodoh terhadap ilmu, apakah tidak mendengarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam: Allah menjadikan rizkiku di bawah kilatan pedang (jihad). (3)
Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: Barangsiapa yang merusak tawakkal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah. (4)
Allah subhanahu wata’ala tidak melarang para hamba-Nya berusaha, bahkan Allah mencintai segala bentuk usaha asalkan sesuai dengan kaidah dan prinsip agama, maka tidak ada alasan untuk mencela jalur-jalur usaha yang halal, tetapi yang tercela adalah usaha yang haram atau melalaikan ibadah kepada Allah. Bahkan Allah akan memberi ampunan kepada orang yang kelelahan karena mencari nafkah dan gigih bekerja sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam: Barangsiapa yang bermalam badannya lelah karena pekerjaannya, maka bermalam dalam keadaan terampuni dosanya. (5)
Wahai saudaraku, saya sengaja memaparkan beberapa atsar dari para ulama yang mulia untuk menepis anggapan sebagian orang bodoh bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian bahkan Abu Darda’ berkata: Termasuk tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.(6)
Pengusaha Muslim Harus Bangkit
Krisis global yang melanda sebagian pengusaha sekarang ini jangan mematahkan semangat para pengusaha muslim untuk mengembangkan usahanya, justru keadaan ini digunakan untuk mengoreksi apa yang menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, menenggak khamer atau bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seorang Muslim dalam menghadapi setiap krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, ketawakalan dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis harus menjadi cambuk bagi para pengusaha muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka kran rizki yang mampet. Karena pengusaha muslim dituntut menjadi teladan paripurna, termasuk semangatnya dalam mengais rizki dan membuka lapangan kerja yang halal. Abdurrahman bin Auf radhiyallohu’anhu ketika datang di Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah, karena konsekwensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Makkah. Pada kondisi seperti itu beliau mendapat tawaran bantuan namun beliau mengatakan “Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah”. Dalam waktu yang tidak begitu lama beliau sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Kesibukan para utusan Allah subhanahu wata’ala dan para ulama salaf, dalam mencari ilmu dan berda’wah tidak melalaikan mereka mengais rizki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Maka, para pengusaha muslim harus bisa meneladani mereka, kesibukannya dalam berusaha jangan membuatnya lalai menuntut ilmu atau alasan menuntut ilmu membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang muslim asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita, hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi dengan profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat, sementara mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya di pandangan manusia seperti bekerja di perusahan asing ternama atau jabatan kelas tinggi atau bekerja ditempat yang basah duitnya, namun kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha dihadapan Allah serta terpuji dipandangan syariat islam.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah, nabi Zakaria menjadi tukang kayu, nabi Idris menjahit pakaian dan nabi Daud membuat baju perang, sehingga bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allah subhanahu wata’ala dan berusaha untuk mencari nafkah baik dengan berniaga, bertani atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal.(7)
Begitu pula para ulama salaf mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab radhiyallohu’anhu ketika menjadi Khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.(8)
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, daya tariknya untuk memberi manfaat orang lain, hasil pekerjaannya, dan martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya, maka seorang pengusaha muslim harus hidup berkecukupan agar menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh.
Footnote:
1. Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (2072) dan Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8/ 6
2. H.R Bukhari, Muslim dan Nasa’i dalam sunannya.
3. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 302.
4. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 299.
5. LIhat fathul Bari, 4/353.
6. Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlahul Mal Hal:223, Ibnu Abu Syaibah (34606) dan Al Baihaqi dalam As Syuab (2/365)
7. Lihat Fathul Bary, Juz 4. / l 358 dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim Juz, 15/ 133.
8. Lihat Fathul Bary, 4 / 357.
Penulis: Ustadz Zainal Abidin www.zainalabidin.org
Artikel: Salafiyunpad.Wordpress.Com
Para pengusaha muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan dalam berusaha sehingga menjadi pengusaha yang tangguh, mandiri dan mampu memberantas kemiskinan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri.”(1)
Islam sangat membenci pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri dengan meminta-minta belas kasihan orang sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallohu’anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun.(2)
Abu Qasim Al Khatly bertanya kepada Imam Ahmad: Apa komentar anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rizkiku tidak akan lari dan pasti datang? Maka beliau menjawab: Orang tersebut bodoh terhadap ilmu, apakah tidak mendengarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam: Allah menjadikan rizkiku di bawah kilatan pedang (jihad). (3)
Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: Barangsiapa yang merusak tawakkal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah. (4)
Allah subhanahu wata’ala tidak melarang para hamba-Nya berusaha, bahkan Allah mencintai segala bentuk usaha asalkan sesuai dengan kaidah dan prinsip agama, maka tidak ada alasan untuk mencela jalur-jalur usaha yang halal, tetapi yang tercela adalah usaha yang haram atau melalaikan ibadah kepada Allah. Bahkan Allah akan memberi ampunan kepada orang yang kelelahan karena mencari nafkah dan gigih bekerja sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam: Barangsiapa yang bermalam badannya lelah karena pekerjaannya, maka bermalam dalam keadaan terampuni dosanya. (5)
Wahai saudaraku, saya sengaja memaparkan beberapa atsar dari para ulama yang mulia untuk menepis anggapan sebagian orang bodoh bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian bahkan Abu Darda’ berkata: Termasuk tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.(6)
Pengusaha Muslim Harus Bangkit
Krisis global yang melanda sebagian pengusaha sekarang ini jangan mematahkan semangat para pengusaha muslim untuk mengembangkan usahanya, justru keadaan ini digunakan untuk mengoreksi apa yang menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, menenggak khamer atau bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seorang Muslim dalam menghadapi setiap krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realita yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, ketawakalan dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis harus menjadi cambuk bagi para pengusaha muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka kran rizki yang mampet. Karena pengusaha muslim dituntut menjadi teladan paripurna, termasuk semangatnya dalam mengais rizki dan membuka lapangan kerja yang halal. Abdurrahman bin Auf radhiyallohu’anhu ketika datang di Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah, karena konsekwensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Makkah. Pada kondisi seperti itu beliau mendapat tawaran bantuan namun beliau mengatakan “Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah”. Dalam waktu yang tidak begitu lama beliau sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Kesibukan para utusan Allah subhanahu wata’ala dan para ulama salaf, dalam mencari ilmu dan berda’wah tidak melalaikan mereka mengais rizki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Maka, para pengusaha muslim harus bisa meneladani mereka, kesibukannya dalam berusaha jangan membuatnya lalai menuntut ilmu atau alasan menuntut ilmu membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang muslim asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita, hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi dengan profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat, sementara mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya di pandangan manusia seperti bekerja di perusahan asing ternama atau jabatan kelas tinggi atau bekerja ditempat yang basah duitnya, namun kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha dihadapan Allah serta terpuji dipandangan syariat islam.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah, nabi Zakaria menjadi tukang kayu, nabi Idris menjahit pakaian dan nabi Daud membuat baju perang, sehingga bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allah subhanahu wata’ala dan berusaha untuk mencari nafkah baik dengan berniaga, bertani atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal.(7)
Begitu pula para ulama salaf mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab radhiyallohu’anhu ketika menjadi Khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.(8)
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, daya tariknya untuk memberi manfaat orang lain, hasil pekerjaannya, dan martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya, maka seorang pengusaha muslim harus hidup berkecukupan agar menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh.
Footnote:
1. Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (2072) dan Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8/ 6
2. H.R Bukhari, Muslim dan Nasa’i dalam sunannya.
3. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 302.
4. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 299.
5. LIhat fathul Bari, 4/353.
6. Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlahul Mal Hal:223, Ibnu Abu Syaibah (34606) dan Al Baihaqi dalam As Syuab (2/365)
7. Lihat Fathul Bary, Juz 4. / l 358 dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim Juz, 15/ 133.
8. Lihat Fathul Bary, 4 / 357.
Penulis: Ustadz Zainal Abidin www.zainalabidin.org
Artikel: Salafiyunpad.Wordpress.Com
0 komentar:
Posting Komentar