728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Pembatal Puasa Kontemporer

Semakin berkembangnya zaman, permasalahan berkenaan dengan ibadah shiyam (puasa) semakin berkembang. Di antara yang sangat perlu untuk dikaji adalah masalah pembatal puasa. Karena puasa barulah sah jika kita meninggalkan pembatalnya. Beberapa obat zaman ini dan benda yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, telinga, mata dan saluran lainnya sangat urgent sekali untuk dibahas karena banyak yang belum mengetahui hal ini.

Pembatal Puasa yang Disepakati
1. Makan
2. Minum
3. Jima’ (berhubungan intim)

Dalil yang menunjukkan tiga hal ini membatalkan puasa adalah firman Allah Ta’ala,
فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

4. Darah haid dan nifas
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).

Untuk memahami pembatal puasa berupa makan dan minum terutama dalam masalah kontemporer, maka perlu dipahami apa saja yang termasuk makan dan minum. Para ulama memiliki pembahasan “الجوف”, diistilahkan untuk organ dalam tubuh atau suatu rongga menuju dalam tubuh semacam rongga telinga, kerongkongan dan tenggorokan. Mereka memiliki berbagai tafsiran mengenai hal itu sehingga nanti jika membahas pembatal puasa pun hasilnya berbeda. Istilah ini yang terlebih dahulu perlu dipahami sebelum memahami pembatal puasa yang kita temukan saat ini.

Pandangan Para Ulama Mengenai الجوف” 

Ulama Hanafiyah (madzhab Abu Hanifah) berpendapat bahwa “الجوف” tidak terbatas pada organ perut (lambung), termasuk pula setiap organ dalam tubuh. Setiap saluran yang sampai pada organ dalam tubuh jika terdapat sesuatu yang masuk, maka termasuk membatalkan puasa. Mereka berpandangan, jika ada sesuatu yang masuk melalui tenggorokan, tidak membatalkan puasa kecuali jika masuk sampai dalam organ perut (tubuh). Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa jika ada sesuatu yang masuk melalui otak atau rongga dalam tengkorak kepala, maka termasuk pembatal puasa karena otak memiliki saluran hingga masuk organ dalam tubuh. Begitu pula saluran di kemaluan seperti misalnya ada sesuatu yang masuk melalui kemaluan perempuan hingga masuk ke organ dalam tubuh, maka termasuk membatalkan puasa.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang dimaksud “الجوف” adalah segala organ dalam perut, bukan hanya lambung. Namun ulama Malikiyah berpandangan bahwa jika ada sesuatu masuk dalam tenggorokan walau tidak masuk sampai organ dalam tubuh, maka puasanya batal. Mereka berselisih mengenai sesuatu yang masuk melalui otak (rongga dalam tengkorak kepala). Adapun untuk saluran lain, maka dipersyaratkan ada sesuatu yang masuk membatalkan puasa jika masuk sampai organ dalam tubuh.

Ulama Syafi’iyah yang memiliki pendapat lebih luas mengenai “الجوف”. Mereka menganggap bahwa yang dimaksud “الجوف” adalah segala rongga seperti rongga telinga, rongga dalam tengkorak kepala, rongga (saluran) kemaluan walaupun saluran (rongga) tadi tidak menuju sampai perut (organ dalam tubuh). Jika ada sesuatu yang masuk sampai tenggorokan walau tidak sampai ke perut (organ dalam tubuh), maka puasanya batal.

Ulama Hambali berpendapat bahwa “الجوف” adalah organ dalam perut dan otak. Jadi segala yang masuk sampai ke perut barulah membatalkan puasa.  Sedangkan mengenai rongga pada tengkorak (otak), para ulama Hambali berselisih pendapat apakah termasuk rongga tersendiri sehingga jika ada sesuatu yang diinjeksikan ke otak, maka membatalkan puasa. Ada pula yang memberi syarat bahwa sesuatu yang masuk melalui saluran otak bisa membatalkan jika ada saluran yang menghubungkan antara otak dan organ dalam tubuh.

Kita dapat membagi pendapat ulama madzhab di atas menjadi dua macam:

Macam pertama: Para ulama yang menyatakan bahwa pembatal puasa terjadi jika ada sesuatu yang diinjeksi melalui otak (rongga pada tengkorak kepala), melalui dubur atau semacamnya. Mereka menganggap bahwa saluran-saluran tadi bersambung dengan saluran pada organ dalam perut. Akan tetapi pendapat ini lemah karena penelitian kedokteran terkini membuktikan bahwa saluran-saluran tersebut tidak bersambung dengan organ dalam tubuh.

Macam kedua: Para ulama yang menganggap “الجوف” adalah organ dalam perut saja. Dan ada yang menganggap bahwa “الجوف” bukan hanya organ dalam perut.

Pendapat Terpilih
Pada kenyataannya, mereka tidak memiliki dalil yang kuat yang mendukung pendapat mereka. Padahal dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum.

Pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud “الجوف” adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.

Setelah kita memahami hal ini, kita akan mudah membahas pembatal puasa kontemporer karena telah memiliki pijakan atau landasan yang tepat.

(*) Pembahasan ini bersumber dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam bahasan beliau yang berjudul “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 6 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com


Penggunaan Ventolin (Obat Sprayer Asma)

Asma merupakan penyakit pernafasan yang disebabkan penyempitan saluran nafas (bronkhus) yang tingkatnya bervariasi dari waktu ke waktu. Penyakit ini timbul didasarkan atas reaksi peradangan saluran nafas terhadap zat-zat perangsang yang berhubungan dengan penderita. Berdasarkan cara kerjanya, dikenal 2 jenis obat asma: (1) bronkodilator misalnya salbutamol, aminofilin, dll, yang digunakan untuk melebarkan penyempitan bronkhus, jalan udara lebih lancar, sehingga sesak nafas berkurang atau menghilang, (2) obat anti inflamasi (anti peradangan) yang berfungsi menghilangkan peradangan dan kepekaan bronkhus sehingga tidak terjadi lagi penyempitan bronkhus, dan diharapkan tidak terjadi lagi sesak nafas.

Penderita asma biasa menggunakan ventolin berupa sprayer yang disemprotkan ke dalam mulut ketika asma kambuh. Ventolin ini terdiri dari tiga unsur yaitu: (1) bahan kimia, (2) H20 dan (3) O2. Penggunaan ventolin adalah dengan cara menekan sprayer kemudian gas ventolin masuk melalui mulut ke faring, lalu ke dalam trakea, hingga bronkhus, tetapi ada sebagian kecil yang tetap di faring dan ada pula yang masuk kerongkongan sehingga bisa masuk terus ke dalam perut.

Mengenai penggunaan ventolin, para ulama berselisih pendapat.

Pendapat pertama: Tidak membatalkan puasa. Inilah pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin dan Al Lajnah Ad Daimah.

Alasan mereka:

1. Obat sprayer asma ini masuk ke dalam kerongkongan. Dan sangat sedikit sekali yang masuk ke perut (lambung). Seperti itu tidaklah membatalkan seperti halnya berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً
Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih)

2. Mengenai masuknya obat sprayer ini ke perut bukanlah suatu yang pasti (yakin), cuma keraguan saja (syak), yaitu bisa jadi masuk, bisa jadi tidak. Sehingga asalnya puasa orang yang menggunakan sprayer ini sah atau tidak batal. Karena berlaku kaedah,
اليقين لا يزول بالشك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan sekedar keraguan.”

3. Menggunakan obat sprayer asma semacam ini tidaklah semisal dengan makan dan minum.

4. Para pakar kesehatan menyebutkan bahwa siwak itu mengandung 8 unsur kimia yang bisa merawat gigi dan gusi dari penyakit. Zat siwak tersebut nantinya larut dengan air liur dan masuk ke faring. Padahal menggunakan siwak ini dianjurkan pula ketika sebagaimana ada riwayat secara mu’allaq (tanpa sanad) dari ‘Amir bin Robi’ah, ia berkata,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَسْتَاكُ ، وَهُوَ صَائِمٌ مَا لاَ أُحْصِى أَوْ أَعُدُّ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersiwak saat puasa dan jumlahnya tak terhitung.” Jika unsur-unsur dalam siwak saja dimaafkan masuk ke dalam perut karena jumlahnya sedikit dan bukan maksud untuk makan/minum, maka demikian halnya dengan obat semprot asma dimaafkan pula.

Pendapat kedua: Penggunaan obat spray asma atau ventolin membatalkan puasa dan tidak boleh digunakan saat Ramadhan kecuali dalam keadaan hajat saat sakit dan jika digunakan puasanya harus diqodho’. Inilah pendapat Dr. Fadl Hasan ‘Abbas, Dr. Muhammad Alfi, Syaikh Muhammad Taqiyuddin Al ‘Utsmani dan Dr. Wahbah Az Zuhailiy.

Pendapat terkuat
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak batalnya puasa bagi orang yang menggunakan obat sprayer asma. Alasannya adalah qiyas pada kumur-kumur dan siwak. Dan qiyas tersebut adalah qiyas yang shahih. Wallahu a’lam.

(*) Pembahasan ini adalah faedah dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com

 Meneropong Lambung Dengan Endoskopi

Untuk memeriksa keluhan pada lambung yang ditandai dengan nyeri pada ulu hati, kembung, mual dan muntah bisa dilakukan dengan teknik endoskopi. Alat yang digunakan dimasukkan lewat mulut, lalu menuju faring, sampai ke esophagus hingga ke lambung. Teknik ini bisa mengangkat daging (polip) di tenggorokan (esophagus) atau daging tumbuh (polip) pada lambung. Teknik ini pula bisa mengambil benda-benda yang tertelan seperti koin, gigi palsu, duri ikan, batu baterai (jam tangan), kancing, dll.

Endoskopi adalah pemeriksaan atau tindakan pengobatan ke dalam saluran pencernaan yang mempergunakan peralatan berupa teropong (endoskop). Tindakan endoskopi dapat dibedakan menjadi 3:
  1. Gastroskopi (gastroscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta melakukan tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian atas dari tenggorokan (esophagus), lambung (maag) sampai ke usus 12 jari (duodenum).
  2. Kolonoskopi (colonoscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian bawah (usus besar) dan bagian akhir usus halus.
  3. ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatography), yaitu pemeriksaan untuk melihat kelainan dan tindakan terapi di dalam saluran empedu dan pankreas. (Sumber bacaan: mitrakeluarga.com)

Meninjau Apakah Setiap yang Masuk dalam Perut Membatalkan Puasa?

Sebelum melihat lebih jauh apakah teknik endoskopi bisa membatalkan puasa ataukah tidak, maka perlu dikaji lebih dulu apakah sesuatu yang masuk ke dalam lambung otomatis membatalkan puasa ataukah dipersyaratkan yang masuk adalah makanan.

Para ulama dalam masalah ini berselisih pendapat. Sebab perselisihan yang ada mengenai qiyas makanan dengan selain makanan. Yang dapat dipahami secara tekstual dari dalil hanyalah masuknya makanan ke dalam perut yang bisa membatalkan puasa.

Jika dilogikakan (ma’qul), maka tidak bisa diqiyaskan makanan tadi dengan selain makanan. Namun jika ada yang menganggap bahwa pembahasan ini tidak bisa dilogikakan (ghoiru ma’qul), maka yang dimaksud larangan makan ketika puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh baik yang masuk berupa makanan atau benda lainnya. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Dari penjelasan di atas, untuk permasalahan ini intinya ada dua pendapat ulama:

Pendapat pertama: Mayoritas ulama terdahulu dan saat ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam perut membatalkan puasa walaupun yang masuk bukan berupa makanan, tidak bisa larut dan tidak bisa mencair.  Seandainya ada sepotong besi atau batu masuk dengan sengaja ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Alasan mereka:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghindari celak mata yang bisa masuk melalui mata hingga kerongkongan. Padahal celak mata bukanlah makanan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak disyaratkan yang masuk ke dalam tubuh berupa makanan yang dianggap sebagai pembatal puasa.

Sanggahan:

Hadits yang membicarakan masalah celak sebagai pembatal puasa adalah hadits dho’if (lemah).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 234)

2. Puasa adalah menahan diri (imsak) dari memasukkan segala sesuatu ke dalam tubuh. Jika seseorang memasukkan non makanan, itu berarti tidak menahan diri (imsak). Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa orang yang makan tanah atau batu tetap disebut makan.

Sanggahan:

Padahal penyebutan makan disebutkan oleh mayoritas pakar bahasa dikaitkan dengan makanan seperti dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,
أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً
“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,
الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً
“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,
الأكل تناول المطعم
“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).

3. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata,
إنما الفطر مما دخل وليس مما خرج
Pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk dan bukan yang keluar.” (HR. Al Baihaqi dan dihasankan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 327).

Sanggahan:

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa mengenai hal ini terdapat khilaf (perselisihan pendapat) apakah setiap yang masuk ke dalam tubuh itu membatalkan puasa atau hanyalah dikhususkan makanan. Lagi pula tidak setiap yang keluar itu tidak membatalkan puasa. Buktinya saja, darah haid jika keluar dan muntah dengan sengaja membatalkan puasa padahal itu adalah sesuatu yang keluar. Sehingga perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya tidak bisa jadi dalil pendukung.

Pendapat kedua: Yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman. Pendapat ini dipilih oleh Al Hasan bin Sholih, sebagian ulama Malikiyah dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang kuat, puasa tidaklah batal dengan menggunakan celak mata, injeksi pada saluran kemaluan dan tidak batal pula dengan memasukkan sesuatu yang bukan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 528)

Alasan mereka:

1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf”.

2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.

Pendapat Terkuat

Pendapat yang lebih mendekati dalil adalah pendapat kedua. Namun karena memperhatikan khilaf (muro’atul khilaf), pendapat pertama yang lebih hati-hati dipilih.

Kembali ke permasalahan alat endoskopi yang dimasukkan ke dalam lambung. Jika kita melihat pendapat pertama bahwa segala yang dimasukkan ke dalam tubuh baik berupa makanan atau non makanan membatalkan puasa, maka demikian pula yang berlaku dengan alat endoskopi. Inilah yang jadi pilihan para imam madzhab selain Hanafiyah. Hanafiyah mensyaratkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam tubuh itu keseluruhan bendanya. Seandainya masih ada yang tersisa di luar, maka tidak membatalkan puasa. Sehingga menurut pendapat ulama Hanafiyah menggunakan alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa. Namun ulama madzhab lainnya membatalkan puasa.

Jika yang menjadi pilihan adalah pendapat kedua sebagaimana menjadi pilihan Ibnu Taimiyah, yaitu yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut adalah makanan, maka jelas alat endoskopi yang masuk ke lambung tidak membatalkan puasa. Karena alat endoskopi adalah benda padat (non makanan). Pendapat yang menyatakan teknik endoskopi tidak membatalkan puasa menjadi pilihan Syaikh Muhammad Bakhit (mufti Mesir) dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.

Pendapat yang menyatakan bahwa dimasukkannya alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa, itulah yang lebih tepat. Karena cara kerja alat ini tidak disebut makan secara bahasa dan secara ‘urf. Alat tersebut dimasukkan untuk tujuan diagnosa (pemeriksaan), tidak lebih dari itu.

Peringatan: Jika dokter memasukkan pada alat endoskopi ini suatu zat seperti minyak supaya memperlicin dan mempermudah masuknya alat ke dalam tubuh, maka saat ini puasanya batal (tanpa ragu lagi) karena ada zat yang masuk dan batalnya bukan karena sebab alat tadi.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com

Menggunakan Inhaler dan Tetes Pada Hidung

Sekarang kita akan meneliti lagi pembatal puasa pada jika ada sesuatu yang masuk melalui hidung, setelah sebelumnya dua hal yang dibahas yang masuk lewat mulut. Untuk mengatasi hidung mampet bisa dengan menghirup uap zat aromatik seperti mentol atau kayu putih. Produk inhaler yang mengandung mentol, minyak peppermint, dan Cajeput eucalyptol, komponen dari kayu putih cukup manjur. Cukup dengan meletakkan inhaler tepat di bawah hidung, kemudian dihirup, maka uap dari inhaler akan melonggarkan sinus. Lalu apakah menghirup mentol semacam ini, juga masalah yang sama pada hidung yaitu menggunakan obat tetes atau semprot hidung membatalkan puasa?

Kaitan Hidung dan Kerongkongan
Hidung sudah kita ketahui memiliki saluran menuju kerongkongan sebagaimana dibuktikan pula dengan hadits, realita dan penelitian dokter terkini.

Dalil hadits yang membuktikan hal di atas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Masukkanlah air dengan benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa hidung punya hubungan ke kerongkongan lalu ke perut. Hal ini dibuktikan pula dalam penelitian kedokteran saat ini.

Meninjau Obat Tetes Hidung
Para ulama fikih kontemporer berselisih pendapat mengenai obat tetes hidung apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Tidak membatalkan puasa. Demikian pendapat Syaikh Haytsam Al Khiyath dan Syaikh ‘Ajil An Nasymiy.

Alasan mereka:
1. Zat yang sampai dalam perut dari obat tetes ini amatlah sedikit.
2. Obat pada tetes hidung dalam jumlah sedikit juga bukanlah zat makanan. Padahal alasan makanan bisa membatalkan puasa adalah jika bisa menguatkan dan mengenyangkan sebagaimana telah diterangkan dalam bahasan sebelumnya. Tetes hidung pun tidak dianggap makan dan minum jika ditinjau secara bahasa maupun secara ‘urf. Padahal Allah hanyalah mengaitkan pembatal puasa dengan makan dan minum saja.

Pendapat kedua: Obat tetes pada hidung membatalkan puasa. Demikian pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.

Alasan mereka:
Hadits Laqith bin Shobroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Masukkanlah air dengan benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi orang yang berpuasa menggunakan obat tetes hidung yang nantinya dapat sampai pengaruhnya ke perut.

Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dalam masalah ini, obat tetes hidung tidaklah membatalkan puasa walau ada sedikit yang masuk ke perut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bahasan yang telah lewat bahwa tetes hidung bukanlah aktivitas makan dan minum ditinjau secara bahasa maupun ‘urf. Begitu pula sebagaimana berkumur-kumur itu boleh saat puasa asal tidak berlebihan, padahal ada kemungkinan sedikit air itu masuk. Demikian halnya dengan tetes hidung. Bahkan tetes hidung hanya sedikit zat yang masuk ke dalam perut dibanding berkumur-kumur sehingga dari sini tepat dinilai tidak membatalkan. Wallahu a’lam bish showwab.

Meninjau Obat Semprot Hidung
Ada juga obat yang digunakan berupa semprot (sprayer). Maka bahasannya sebagaimana bahasan ventolin sebelumnya berupa sprayer untuk penderita asma. Dalam pembahasan tersebut disebutkan tidak batalnya puasa. Maka sama halnya dengan obat semprot hidung.

Meninjau Inhaler
Sedangkan penggunaan inhaler yang digunakan untuk melancarkan pernafasan pada hidung bagi yang menderita hidung tersumbat, maka sama halnya dengan dua pembahasan di atas. Penggunaan inhaler tidak membatalkan puasa karena tidak punya pengaruh pada perut, artinya orang yang menggunakan inhaler tidaklah kenyang atau semakin kuat dengan menghirup inhaler. Padahal alasan makan dan minum bisa membatalkan puasa adalah karena alasan bisa mengenyangkan dan menguatkan tubuh sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Begitu pula menghirup inhaler yang mengandung menthol, minyak peppermint dan cajeput eucalyptol, tidaklah disebut makan dan minum secara bahasa maupun secara ‘urf. Wallahu a’lam.

Semoga sajian ilmu ini bermanfaat.
(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com

Anestesi (Pembiusan)

Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang disebabkan oleh pengaruh obat bius atau kita dapat katakan mati rasa. Tanpa adanya anestesi, pembedahan tentu sangat menyiksa pasien.

Bagaimanakah pengaruh anestesi terhadap puasa seorang muslim? Masalah ini perlu adanya rincian karena ada beberapa macam anestesi dan beberapa cara yang dilakukan.

Macam dan Cara Anestesi
Anestesi (pembiusan) ada dua macam: (1) anestesi total, yang membuat pasien tidak sadarkan diri; dan (2) anestesi lokal, yang membuat mati rasa bagian tubuh yang akan diambil tindakan.

Anestesi bisa dilakukan dengan beberapa cara:
  1. Anestesi melalui jalur hidung, di mana orang yang sakit akan menghirup gas yang akan mempengaruhi syarafnya sehingga terjadilah anestesi.
  2. Anestesi kering atau akupuntur Cina. Yaitu, dengan memasukkan jarum kering ke pusat syaraf perasa yang ada di bawah kulit sehingga akan menghasilkan semacam kelenjar untuk melakukan sekresi terhadap morfin alami yang ada dalam tubuh. Dengan itu, si pasien akan kehilangan kemampuan untuk merasa. Secara umum anestesi semacam ini termasuk anestesi lokal dan tidak ada zat yang masuk ke dalam perut.
  3. Anestesi melalui suntikan.
  • Anestesi ini bisa jadi berupa anestesi lokal melalui suntikan pada gusi, otot dan semacamnya.
  • Anestesi ini bisa pula berupa anestesi total dengan cara injeksi melalui pembuluh darah dan beberapa saat langsung tidak sadarkan diri. Boleh jadi suntik yang diberikan terdapat zat makanan dan ada hukum tersendiri mengenai hal tersebut.

Pengaruh Anestesi terhadap Puasa
  • Anestesi dengan cara pertama yaitu melalui hidung tidaklah membatalkan puasa. Karena gas yang dihirup melalui hidup tidaklah mempengaruhi puasa sama sekali, juga bukan merupakan zat makanan, sehingga jelaslah tidak membatalkan puasa.
  • Anestesi akupuntur Cina juga tidak berpengaruh pada puasa. Karena tidak ada sesuatu yang masuk hingga ke perut. Begitu pula anestesi lokal lewat suntikan berlaku hukum yang sama.
  • Sedangkan anestesi total  dengan injeksi melalui pembuluh darah bisa jadi dengan memasukkan zat cair pada pembuluh darah. Atau bisa jadi menyebabkan hilangnya kesadaran. Yang kita tinjau saat ini adalah kondisi yang kedua yaitu hilangnya kesadaran karena pembiusan.
Para ulama berselisih pendapat mengenai batalnya puasa karena hilangnya kesadaran. Kita dapat meninjau bahwa hilangnya kesadaran itu ada dua macam:

Pertama: Hilangnya kesadaran pada seluruh siang. Yang dimaksud seluruh siang adalah tidak sadarkan diri selama waktu diwajibkannya puasa, yaitu mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.

Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan  bahwa siapa yang pingsan pada seluruh siang, puasanya tidaklah sah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151).

Dalam riwayat lain disebutkan,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى ، الصِّيَامُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Muslim no. 1894).

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan-minum dan syahwat. Sedangkan orang yang pingsan tidak melakukan demikian.

Ulama Hanafiyah dan Al Muzani dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa puasanya sah. Karena keadaan seperti itu semisal dengan orang yang tidur dan tidak membawa dampak apa-apa dan ia sudah berniat berpuasa.

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama karena jelas terdapat perbedaan antara orang yang pingsan dan orang yang tidur. Orang yang tidur bisa terbangun ketika diingatkan, namun berbeda halnya dengan orang yang pingsan. Oleh karenanya jika ada yang dibius dan tidak sadarkan diri pada seluruh waktu saat diwajibkannya puasa, puasanya tidaklah sah dan wajib qodho (mengganti puasa di hari lain).

Kedua: Hilangnya kesadaran bukan pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Artinya, bisa mendapati waktu untuk menjalani puasa pada hari tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika telah sadar sebelum waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), maka harus memperbarui niat.

Imam Malik berpendapat bahwa puasanya tetap tidak sah.

Imam Syafi’i  dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jika ia mendapati sebagian waktu siang (waktu diwajibkannya puasa), puasanya sah.

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Jika seseorang mendapati sebagian dari waktu siang, puasanya sah.  Karena tidak ada dalil yang menyatakan batalnya dan masih ada niat untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada sebagian siang. Sebagiamana juga pendapat Ibnu Taimiyah bahwa tidak disyaratkan imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Cukup imsak itu ada pada sebagian siang, puasanya sudah sah. Seperti ini telah tercakup dalam hadits qudsi,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1894).

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang dibius dan tidak sadarkan diri bukan pada seluruh siang, maka pembiusan tadi tidaklah merusak puasa dan tidak menunjukkan batalnya puasa. Adapun jika pembiusan sampai membuat tidak sadarkan diri pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa), maka puasanya batal. Wallahu a’lam.

Semoga pembahasan ini bisa menjawab beberapa permasalahan seputar pembiusan. Misalnya saja, ada yang ingin dikhitan ketika puasa dan terang saja butuh dengan bius saat itu. Karena pembiusan yang dilakukan bukanlah bius total, maka sebagaimana keterangan di atas tidaklah membatalkan puasa. Ini contoh sederhana yang bisa dipraktekkan.

Semoga Allah senantiasa memberi kita ilmu yang bermanfaat.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 18 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com

Penggunaan Obat Tetes Telinga 

Satu lagi pembahasan fikih puasa kontemporer berkenaan dengan pembatal puasa melalui telinga. Kasusnya adalah seperti penggunaan obat tetes telinga dan ear lotion.

Mengenai hukum menggunakan obat tetes telinga, para ulama berselisih pendapat.

Pendapat pertama: Jika memasukkan minya atau air melalui lubang telinga, puasanya batal. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, dan pendapat yang lebih kuat dalam madzhab Syafi’iyah. Sedangkan menurut madzhab Hambali, batal jika sampai pada otak.

Alasan mereka: Sesuatu yang dimasukkan dalam telinga akan mengalir hingga ke kerongkongan atau ke otak.

Pendapat kedua: Tidak membatalkan puasa. Inilah salah satu pendapat Syafi’iyah dan merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Alasan mereka: Tetes telinga tidaklah sampai pada otak dan cuma sampai ke pori-pori.

Intinya, dua pendapat ini tidaklah jauh beda. Untuk menjawab apakah tetes telinga membatalkan puasa ataukah tidak mesti dibuktikan dengan penelitian mutakhir. Dan telah terbukti bahwa tidak ada saluran yang menghubungkan antara telinga dan perut atau antara telinga dan otak di mana saluran tersebut bisa diairi kecuali jika ada yang sobek pada gendang telinga. Sehingga dari pembuktian ini, tetes telinga tidaklah membatalkan puasa.


Adapun jika gendang telinga sobek, maka telinga akan bersambung langsung dengan kerongkongan melalui saluran Eustachian. Jika demikian keadaan telinga hampir sama dengan kondisi hidung. Dan telah diulas ketika membahas obat tetes pada hidung bahwa tetes hidung tidak membatalkan puasa, maka demikian pula dengan tetes telinga.

Penggunaan Ear Lotion
Hukum penggunaan ear lotion seperti hukum tetes telinga. Namun jika gendang telinga sobek lalu telinga diberi ear lotion (mengandung air), maka cairan yang masuk ke dalam telinga tentu lebih banyak daripada tetes telinga tadi. Jika cairan seperti ini dimasukkan dalam jumlah banyak melalui saluran Eustachian hingga menuju kerongkongan, hal ini menyebabkan batalnya puasa.
Namun jika yang dimasukkan ke dalam telinga tidak mengandung unsur air, maka kita kembali pada masalah apakah jika yang masuk non-makanan juga membatalkan puasa. Sebagaimana telah dibahas khilaf (perselisihan ulama) dalam masalah ini ketika membahas “Meneropong Lambung dengan Endoskopi”, yang membatalkan puasa jika yang masuk adalah zat makanan. Sehingga dalam hal ini tidak membatalkan puasa.

Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 19 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com

Penggunaan Tetes Mata

Setelah kemarin kita meninjau pembatal puasa era modern yang masuk melalui mulut dan hidung, juga telinga, saat ini kita beralih melihat pembatal puasa melalui mata. Apakah tetes mata dan bercelak termasuk pembatal? Itulah yang akan ditinjau.

Sejak masa silam para ulama telah berselisih pendapat mengenai sesuatu yang dikenakan atau ditetesi pada mata seperti celak apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Perselisihan ini berasal dari permasalah apakah mata adalah saluran seperti mulut, atau antara mata dan perut terdapat suatu saluran, atau sesuatu yang diteteskan pada mata bisa masuk perut melalui pori-pori.

Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak ada saluran yang menghubungkan antara mata dan perut atau mata ke otak. Sehingga mereka menganggap sesuatu yang diteteskan ke mata tidaklah membatalkan puasa.

Ulama Malikiyah dan Hambali berpendapat bahwa mata adalah rongga sebagaimana mulut dan hidung. Sehingga jika seseorang bercelak dan terasa ada zat makanan dalam kerongkongan, puasanya batal.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 234)

Kalau kita meninjau pendapat para dokter saat ini, mereka menyatakan bahwa terdapat saluran antara mata dan hidung, kemudian akan bersambung ke kerongkongan. Bagaimana pun, baik ada saluran atau tidak masih ada tinjauan lain yang mesti dilihat.

Adapun ulama belakangan, berselisih pendapat mengenai tetes mata apakah membatalkan puasa ataukah tidak.

Pendapat pertama: Inilah pendapat kebanyakan ulama belakangan bahwa tetes mata tidak membatalkan puasa. Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, dan Dr. Wahbah Az Zuhaili.

Alasan  mereka:

1. Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit, cuma satu atau dua tetes. Jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.

2. Tetes mata ketika masuk dalam saluran maka ia langsung terserap dan tidak mengalir terus hingga kerongkongan.

3. Tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena tidak ada nash (dalil tegas) yang menyatakannya sebagai pembatal. Ditambah lagi mata bukanlah saluran tempat masuknya zat makanan dan minuman.

Pendapat kedua: Tetes mata membatalkan puasa. Ulama belakangan yang berpandangan seperti ini adalah Syaikh Muhammad Al Mukhtar As Sulami dan Dr. Muhammad Alfiy.

Alasan mereka:

1. Diqiyaskan (dianalogikan) dengan celak mata karena pengaruhnya sampai ke kerongkongan.
Sanggahan: Mengenai celak sebagaimana disebutkan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Yang tepat, celak mata tidaklah membatalkan puasa. Maka tidak tepat tetes mata diqiyaskan dengan celak mata.

2. Allah sendiri telah menetapkan bahwa ada saluran yang menghubungkan mata dan hidung hingga ke kerongkongan.

Sanggahan: Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit dan jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.

Pendapat yang tepat, tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena melihat beberapa alasan yang dikemukakan di atas.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Sya’ban 1433 H (7 hours before take off from Riyadh to Jogja)
www.rumaysho.com

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pembatal Puasa Kontemporer Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top