Oleh: Ustadz Aris Munandar hafidzahullah
1. BEDAKAN MASALAH KHILAFIYYAH DAN IJTIHADIYYAH
Slogan “Tidak boleh inkarul munkar atau saling menyalahkan
dalam masalah khilafiyyah” secara mutlak adalah slogan yang tidak tepat
karena masalah yang diperselisihkan atau khilafiyyah itu ada dua macam:
Pertama: Masalah khilafiyyah yang terdapat dalil
dari al-Qur’an dan Sunnah atau ijma’ yang menunjukkan benarnya salah
satu pendapat yang ada. Dalam kondisi ini kita wajib mengikuti dalil dan
mengingkari orang yang mengambil pendapat selainnya, dengan tetap
memaklumi (semacam memberi udzur, -ed) ulama mujtahid yang mengambil
pendapat yang salah.
Kedua: Masalah
khilafiyyah (perbedaan) yang tidak terdapat di dalamnya dalil tegas dari
al-Qur’an dan Sunnah ataupun ijma’. Masalah semacam ini disebut masalah
ijtihadiyyah, karena tiap-tiap ulama yang berselisih itu beramal atau
berfatwa berdasarkan hasil ijtihadnya. Nah, dalam masalah semacam ini
tidak boleh ada inkarul munkar atau saling menyalahkan. Tidak sepatutnya
dalam kondisi ini ada pihak-pihak yang memaksakan pendapatnya kepada
pihak lain karena semua pihak yang ada tidak menyelisihi dalil atau
ijma’, hanya menyelisihi ijtihad sebagian ulama yang berijtihad. (Lihat Bayan ad-Dalil ‘ala Buthlani at-Tahlil karya Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan takhrij Hamdi Abdul Majid as-Salafi hlm. 145-146, terbitan al-Maktab al-Islami Beirut, cetakan pertama 1988; I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Robbil ‘Alamin
karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Masyhur bin Hasan ali Salman 5/242-243,
terbitan Dar Ibnul Jauzi Damam KSA, cetakan pertama 1423 H; dan ad-Duror as-Saniyyah fil Ajwibah an-Najdiyyah 4/8-9, cetakan pertama 1414 H)
2. KONSEKUENSI DARI MASALAH IJTIHADIYYAH
Ketika menjelaskan Masa’il Jahiliyyah (perilaku orang-orang jahiliah) yang kedua, Syaikh Shalih al-Fauzan
hafidzahullah mengatakan: “Jika penduduk suatu negeri itu menganut
salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang masuk dalam ranah
ijtihad, itulah pendapat-pendapat yang tidak tampak secara jelas
kebenaran salah satu pendapat, mereka bersatu untuk mengamalkan salah
satu pendapat fiqih yang bersifat sebagaimana di atas, maka tidak boleh
bagi siapa pun untuk memecah belah persatuan ini, bahkan sepatutnya
menjaga kebersamaan dan tidak menimbulkan perselisihan.” (Syarh Masa’il Jahiliyyah hlm. 46, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama 1421 H)
3. DUA JENIS PERBEDAAN PENDAPAT
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan pendapat itu ada dua macam. Yang pertama adalah perbedaan
pendapat yang hukumnya haram. Sedangkan macam yang kedua tidaklah
kukatakan hukumnya haram (baca: boleh). Perbedaan pendapat seperti apa
yang hukumnya haram?
Jawabannya, semua perkara yang telah Allah jelaskan secara gamblang
hukum perkara tersebut baik dalam al-Qur’an maupun melalui lisan
Nabi-Nya, maka tidaklah halal bagi semua orang yang telah mengetahui
dalil tersebut untuk berbeda pendapat tentangnya.
Sedangkan perbedaan pendapat jenis kedua adalah semua masalah yang
memang multi sudut pandang atau hukumnya mungkin untuk diketahui dengan
menggunakan qiyas. Oleh karena itu, ada yang menyimpulkan hukum
berdasarkan makna yang memang sangat mungkin dimuat oleh dalil atau ada
yang membuat kesimpulan hukum berdasarkan qiyas meski hasil hukumnya
berbeda dengan yang lain. Menurutku, orang tersebut tidak perlu
disudutkan sebagaimana orang yang menyelisihi dalil tegas disudutkan.” (ar-Risalah
karya Imam asy-Syafi’i, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir hlm. 536-537,
terbitan Maktabah Dar at-Turots kairo, cetakan ketiga 1426 H)
4. DUA JENIS PERBEDAAN PENDAPAT DALAM AL-QUR’AN
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan pendapat sebagaimana yang Alloh sebutkan dalam al-Qur’an itu
ada dua jenis. Yang pertama, perbedaan pendapat di antara dua belah
pihak dan keduanya tercela.” Lalu beliau contohkan dengan beberapa ayat
dalam al-Qur’an semisal QS. al-Baqoroh [2]:186, Ali Imron [3]:19, dan
al-Mu’minun [23]: 53.
Kemudian beliau menyebutkan bahwa perbedaan pendapat jenis pertama
ini disebutkan dua hal: (1) kezholiman, dan (2) kebodohan. Kemudian
beliau mengatakan: “Kebodohan dan kezholiman adalah akar dari semua
bentuk kejelekan.”
Selanjutnya, beliau mengatakan: “Mayoritas perselisihan yang berujung
dengan munculnya berbagai kelompok ahli bid’ah itu termasuk dalam
perselisihan jenis pertama. Demikian pula, perselisihan yang berujung
pada pertumpahan darah, perampasan harta, permusuhan, dan kebencian.
Salah satu kelompok tidak mau mengakui kebenaran yang ada pada kelompok
yang lain dan tidak mau bersikap adil kepada kelompok lain. Bahkan
kebenaran yang ada pada satu kelompok itu bercampur dengan berbagai
kebatilan. Demikian pula kondisi kelompok yang kedua.” (Iqtidho’ ash-Shiroth al-Mustakim li Mukholafati Ashhab al-Jahim, tahqiq Dr. Nashir al-‘Aql 1/146-156)
5. PERBEDAAN VARIATIF DAN PERBEDAAN KONTRADIKTIF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa perbedaan pendapat itu ada dua macam:
Pertama, perbedaan variatif (tanawwu’). Perbedaan jenis ini memiliki beberapa bentuk:
- Dua-duanya disyariatkan, semisal perbedaan dalam cara baca (qiro’ah) al-Qur’an, perbedaan redaksi adzan, iqomah, do’a iftitah, bacaan tasyahud, tata cara shalat khouf, bilangan takbir dalam shalat ‘id atau dalam shalat jenazah.
- Perbedaan ungkapan dengan muatan makna yang sama, semisal perbedaan di antara ulama dalam mendefinisikan berbagai istilah.
- Makna berbeda namun tidak bertolak belakang; yang pertama benar, yang kedua tidak salah. Di antara contohnya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar melaksanakan shalat di perkampungan Bani Quroizhoh.
- Dua hal yang keduanya dibenarkan dalam syari’at lalu ada satu pihak memilih satu hal dan pihak kedua memilih hal yang lain. Semisal ada pesantren yang menekankan penguasaan terhadap ilmu-ilmu keislaman dan pesantren yang menitikberatkan pada hafalan al-Qur’an.
Kedua, perbedaan kontradiktif. Itulah dua pendapat
yang saling bertolak belakang, boleh jadi dalam masalah aqidah ataupun
dalam masalah fiqih. Dalam masalah aqidah, semisal dua kelompok yang
saling menyesatkan kelompok yang lain. Dalam masalah fiqih, semisal satu
perbuatan yang diwajibkan oleh satu pihak namun diharamkan oleh pihak
yang lain. (Lihat Iqtidho’ karya Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Nashir al-‘Aql 1/149-151, cetakan ketujuh 1419 H diterbitkan oleh Depag KSA)
6. MADZHAB ZHOHIRI
Syaikh Abdul Aziz ar-Rois rahimahullah mengatakan:
ومما قال شيخ الاسلام إبن تيمية في المجلد الخامس من (منهاج السنة ): “كل قول تفردت به الظاهرية فهو خطأ” وذلك أنهم إذا انفردوا بقول فقد صار قولهم قولا محدثا لان الظاهرية متأخرون، وقد أشار إلي هذا الوجه إبن رجب في شرحه علي البخري “.
“Di antara perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di jilid kelima
dari Minhajus Sunnah adalah: ‘Semua pendapat yang hanya dikatakan oleh
madzhab Zhohiri adalah pendapat yang salah.’ Hal ini dikarenakan jika
ada suatu pendapat yang hanya dikatakan oleh Zhohiri maka pendapat
mereka adalah pendapat yang baru karena kemunculan zhohiriyyah itu
belakangan. Penjelasan semacam ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Rojab
dalam syarh beliau untuk Shahih al-Bukhari.” (Syarh Dalil ath-Thalib oleh Syaikh Abdul Aziz bin Rois ar-Rois, Muqoddimah fi Dirosah al-Fiqh hlm. 12, bisa didownload di situs resmi beliau)
7. BEDA PENDAPAT KARENA TAKUT KEHILANGAN PENDAPATAN
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan:
وإن هذه الامة لم تختلف في ربها عز وجل ولا في نبيها ولا في كتابها، انما اختلفوا في الدينار والدرهم
“Sesungguhnya umat ini tidaklah berselisih gara-gara Robbnya,
nabi, ataupun kitab sucinya. Mereka hanya berselisih gara-gara dinar dan
dirham (baca: uang).” (Shifah ash-Shofwah, karya Ibnul
Jauzi, tahqiq Mahmud Fakhuri dan Muhammad Rowwas Qol’aji 2/115, terbitan
Darul ma’rifah Beirut, cetakan ketiga 1405 H)
8. PERBEDAAN UMATKU ADALAH RAHMAT ?!
Abu Hamid al-Ghozali mengatakan:
فإنتظام أمر الكل بتعاون الكل وتكفل كل فريق بعمل ولو أقبل كلهم علي صنعة واحدة لتعطلت البواقي وهلكوا وعلى هذا حمل بعض الناس قوله صلي الله عليه وسلم إختلاف امتي رحمة ، أي إختلاف همهم في الصناعات والحرف
“Keteraturan dunia itu jika semua penduduk dunia saling bekerja
sama dan masing-masing kelompok manusia melakukan apa yang menjadi
profesinya. Andai semua manusia hanya melakukan satu profesi saja dan
tidak ada yang menjalani profesi yang lain, niscaya penduduk dunia akan
binasa. Oleh karena itu, sebagian manusia menafsirkan hadits Nabi
“Perbedaan umatku adalah rahmat”[1] artinya perbedaan bakat umatku dalam industri dan profesi.’ (Ihya’ Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghozali 2/83, Darul Ma’rifah Beirut)
9. AHLUS SUNNAH MENJAUHI KHILAF
Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah mengatakan: “Dan kami –yaitu Ahli Sunnah- menjauhi kenyelenèhan, khilaf, dan perpecahan.”
Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Artinya nyelenèh dalam artian menyimpang dari Sunnah dan khilaf dalam pengertian menyelisihi al-jama’ah yang sama dengan salaf.” (al-Aqidah ath-Thahawiyyah Syarhun wa Ta’liqun
karya al-Albani hlm. 80, terbitan al-Ma’arif Riyadh, cetakan pertama
1422 H).
Jadi, di antara karakter Ahli Sunnah adalah menjauhi khilaf
dalam pengertian menyelisihi ijma’ salaf.
10. MENINGGALKAN NAHI MUNKAR PENYEBAB PERSELISIHAN
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٠٤) وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kalian
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang besar. (QS. Ali Imron [3]: 104-105)
Setelah ayat yang menunjukkan wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi
munkar, Allah lanjutkan dengan larangan berselisih dan berpecah-belah.
Apa hikmah di balik dihubungkannya dua ayat di atas?
Ibnu ‘Asyur mengatakan: “Dalam dua ayat di atas terdapat isyarat
bahwa meninggalkan amar ma’ruf adalah penyebab terjadinya perpecahan dan
perselisihan. Karena dengan hilangnya amar ma’ruf nahi munkar, banyak
mucul sengketa dan berbagai bentuk godaan setan. Dengannya umat akan
terpecah belah sejadi-jadinya.” (at-Tahrir wat Tanwir karya Muhammad ath-Thahir Ibnu ‘Asyur 4/42, terbitan Dar Sahnun Tunisia, 1997)
[1] Hadits ini tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kembali majalah AL FURQON edisi 9 tahun ke-8 dalam rubrik hadits.
Sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/
Sumber: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar