1. UANG PALSU
Abu Hamid al-Ghozali asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Mengedarkan uang palsu ketika berjual beli adalah kezholiman karena rekan transaksi -yang tidak mengetahui bahwa uang yang dia terima palsu- akan mendapatkan kerugian gara-gara uang palsu tersebut. Ada ulama yang mengatakan bahwa mengedarkan satu dirham uang palsu itu dosanya lebih besar daripada mencuri uang sebesar seratus dirham.” (Ihya’ Ulumuddin jilid 2 hlm. 84 terbitan Dar al-Fikr Beirut, tahun 1428 H)
2. GHOROR YANG DILARANG
Itulah definisi ghoror yang dipilih oleh Lajnah Da’imah. Ketika menjelaskan alasan diharamkannya MLM, Lajnah Da’imah memfatwakan: “Realita menunjukkan bahwa mayoritas anggota MLM itu merugi, kecuali segelintir orang yang berada di level atas. Jika demikian maka yang dominan adalah orang yang mengalami kerugian. Inilah ghoror. Ghoror adalah suatu keadaan di antara dua kemungkinan, dengan kemungkinan yang paling dominan adalah kemungkinan yang paling mengkhawatirkan (baca: rugi), sedangkan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam melarang jual beli ghoror sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya.” (Fatwa Lajnah Da’imah no. 22935 yang dikeluarkan pada tanggal 13 Robi’ul Awwal 1425 H)
3. GHOROR YANG DIBOLEHKAN
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Bahaya yang ada di balik ghoror itu lebih ringan daripada bahaya yang terkandung dalam riba. Karena itu jual beli yang mengandung ghoror itu diperbolehkan jika memang kebutuhan menuntut demikian.
Andai kita haramkan jual beli yang mengandung ghoror dalam kondisi demikian maka bahaya dan kerugian yang timbul malah lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan oleh ghoror ketika itu. Contoh jual beli yang mengandung ghoror yang diperbolehkan adalah jual beli rumah yang tidak diketahui kondisi bagian dalam tembok atau fondasinya. Contoh yang lain adalah jual beli hewan yang bunting atau hewan yang sedang mengeluarkan susu meski bagaimana kondisi janin atau kadar susu tidak diketahui.” [1]
Dari kutipan di atas bisa kita simpulkan bahwa tolok ukur ghoror yang boleh dalam transaksi jual beli menurut Ibnu Taimiyyah adalah:
ضَابِطُ الْغَرَرِ الْـمُبَاحِ: إِذَا كَانَ تَحْرِيْـمُ الْغَرَرِ أَشَدَّ ضَرَرًا مِنْ ضَرَرِ كَوْنِهِ غَرَرًا
“Tolok ukur ghoror yang diperbolehkan adalah jika bahaya atau dampak buruk yang ditimbulkan dari pengharaman ghoror ketika itu lebih besar dibandingkan bahaya yang ditimbulkan oleh ghoror itu sendiri.” [2]
4. TIDAK MENJELASKAN CACAT BARANG
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu'anhu berkata, “Aku mendengar Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang muslim adalah saudaranya muslim yang lain. Tidak halal seorang muslim menjual barang yang mengandung cacat kepada saudaranya sesama muslim, kecuali setelah menjelaskan cacat tersebut kepadanya.” [3]
5. SUDAH JUAL BELI PADAHAL BELUM MENGAJI
فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُـمَرَ رضي الله عنه كَانَ يَطُوْفُ بِالسُّوْقِ وَيَضْرِبُ بَعْضَ التَّجَّارِ بِالدُّرَّةِ، لاَيَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا، شَاءَ أَمْ أبَى
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Kholifah Umar bin Khoththob radhiyallahu'anhu sering berkeliling di pasar lantas memukuli sebagian pedagang dengan tongkatnya sambil mengatakan, “Tidak boleh berdagang di pasar kami kecuali orang yang sudah mengaji (memahami, -edt ) fiqih jual beli. Jika tidak maka mau tidak mau dia pasti akan memakan riba.” [4]Atsar ini juga disebutkan oleh Syaikh Sholih alu Syaikh dalam buku beliau al-Minzhor Fi Bayan Katsir min al-Akhtho’ asy-Syai’ah hlm. 72, cetakan pertama 1427 H, terbitan Maktab Jaliyah di daerah al-Badi’ah, Riyadh.
6. PASAR DUNIA DAN PASAR AKHIRAT
وَقَدْ رَأَى أَنَّ عُـمَرَ رضي الله عنه رُجُـلاً (يُسَمَّى الْقَصِيْرَ) يَبِيْعُ فِي الْـمَسْجِدِ فَقَالَ لَهُ: يَاهَذَا إِنَّ هَذَا سُوْقُ الْآخِرَةِ فَإِنْ أَرَدْتَ الْـبَيْعَ فَاخْرُجْ إِلَى سُوْقِ الدُّنْـيَا
Khalifah Umar bin Khoththob radhiyallahu'anhu melihat seorang laki-laki bernama al-Qoshir mengadakan transaksi jual beli di masjid. Melihat hal tersebut beliau berkata kepadanya, “Hai penjual, masjid adalah pasar akhirat, jika engkau berjual beli, pergilah ke pasar dunia.” [5]Imam Malik rahimahullah menceritakan bahwa ada kabar yang sampai kepada beliau, bahwa Atho’ bin Yasar rahimahullah jika melewati orang yang mengadakan transaksi jual beli di masjid maka beliau memanggilnya lantas menanyainya, “Apa yang Anda bawa dan apa yang Anda inginkan?” Jika orang tersebut mengatakan bahwa, dia ingin menjual barang yang dia bawa maka beliau akan mengatakan, “Pergilah ke pasar dunia karena masjid adalah pasar akhirat.” [6]
7. ANJURAN BERDAGANG
وَقَالَ صلي الله عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالتِّجَارَةِ فَإِنَّ فِيْهَا تِسْعَةَ أَعْشَارِ الرِّزْقِ
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berdagang karena dalam perdagangan terdapat sembilan persepuluh rezeki.”Mengomentari hadits di atas al-Hafizh al-’Iraqi mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ibrohim al-Harbi dalam Ghorib al-Hadits dari Nu’aim bin Abdurrohman dan para perowinya adalah orang-orang yang tsiqoh. Nu’aim ini dikomentari oleh Ibnu Mandah, ‘Namanya disebut dalam barisan para sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam namun itu tidak benar.’ Abu Hatim ar-Rozi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah tabi’in. Sebab itu, hadits di atas adalah hadits yang mursal.” (Catatan kaki Ihya Ulumuddin juz 2 hlm. 71) Hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Ibnu Abdil Barr mengisyaratkan lemahnya hadits ini dalam al-lstidzkar: 8/619, cetakan pertama, 1421 H, dan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no.3402.
8. TERPAKSA BELI DARAH
“Apa hukum jual beli darah? Bolehkah mengambil kompensasi finansial karena telah mendonorkan darah?”
Jawaban Lajnah Da’imah:
“Darah itu najis sehingga tidak boleh dipergunakan dan tidak boleh dikonsumsi meski dengan alasan terapi ataupun alasan lainnya, baik cara mengonsumsinya dengan mulut ataupun dimasukkan melalui pembuluh darah atau cara lainnya. Alasannya adalah terdapat hadits-hadits yang bersifat umum menunjukkan larangan berobat dengan menggunakan benda najis dan benda haram. Namun, jika penyakit yang menjangkiti seseorang itu sudah sampai kondisi terpaksa (untuk diberi tambahan darah) dan dikhawatirkan hilangnya nyawa jika tidak menggunakan darah (baca: transfusi darah) maka dalam kondisi terpaksa diperbolehkan menerjang hal-hal yang terlarang.
Jika kondisi si sakit dikhawatirkan meninggal dunia jika tidak mendapatkan tambahan darah maka dibolehkan bahkan boleh jadi diwajibkan untuk melakukan transfusi darah dalam rangka menyelamatkan nyawa. Adapun membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kantong darah tidak diperbolehkan karena jika Alloh mengharamkan sesuatu maka Alloh juga mengharamkan untuk memperjualbelikannya. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan kantong darah tanpa jual beli maka orang yang membutuhkan darah diperbolehkan menyerahkan kompensasi finansial namun haram bagi penjual kantong darah untuk mengambil kompensasi tersebut.”
Fatwa di atas ditandatangani oleh Ibnu Baz selaku ketua Lajnah Da’imah dan Abdurrozzaq Afifi sebagai wakil ketua serta Abdulloh bin Ghadayan dan Abdulloh bin Mani’ selaku anggota. [7]
9. HALALKAH BERJUALAN DI TK?
Pertama, anak kecil yang belum tamyiz (baca: kurang dari tujuh tahun), transaksi jual beli yang dia lakukan tidak sah, sebagaimana menurut para ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.
Kedua, anak kecil yang sudah tamyiz, ada perselisihan di antara para ulama apakah transaksi jual beli yang dia lakukan sah ataukah tidak.
- Pendapat pertama, transaksi jual beli yang dia lakukan itu tidak sah baik walinya mengizinkan dia melakukan transaksi jual beli ataupun tidak. Alasannya, anak tersebut belum mukal-laf sehingga statusnya serupa dengan anak kecil yang belum tamyiz. Inilah pendapat Syafi’iyyah dan Abu Tsaur.
- Pendapat kedua, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah tamyiz itu sah, asalkan walinya mengizinkannya untuk melakukan transaksi. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq bin Rohawaih, Abu Hanifah, dan Su-fyan ats-Tsauri.
- Pendapat ketiga, boleh mengadakan transaksi meski tanpa izin wali, namun sah tidaknya transaksi tergantung dari apakah wali mengizinkannya ataukah tidak. Inilah salah satu pendapat Imam Abu Hanifah. (Shohih Fiqh as-Sunnah karya Abu Malik Kamal jilid 4 hlm. 261-262, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo)
10. MAKAN PADAHAL BELUM TAHU HARGANYA
Kebanyakan orang yang masuk ke sebuah warung makan, mereka langsung memesan makanan kemudian menikmati pesanannya tersebut tanpa mengetahui harga makanan yang dipesan. Mereka mengandalkan kepercayaan bahwa penjual hanya akan pasang tarif sesuai dengan umumnya harga makanan tersebut di daerah setempat. Bolehkah bentuk jual beli semisal ini? Apakah jual beli semacam ini termasuk jahalah tsaman (tidak diketahui harganya) yang merupakan bagian dari jual beli ghoror yang terlarang?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cenderung menguatkan pendapat bolehnya transaksi jual beli seperti ini. (lihat Manzhumah Ushul Fiqh wa Qowa’iduhu karya Ibnu Utsaimin hlm. 265, terbitan Dar Ibnul Riyadh, cetakan kedua, 1430 H)
_________________
Footnote:
[1]. al-Qowa’id an-Nuroniyyah al-Fiqhiyyah karya Ibnu Taimiyyah — tahqiq Ahmad bin Muhammad al-Kholil hlm. 180, terbitan Dar Ibnul Jauzi, Damam, KSA, cetakan kedua 1428 H
[2]. Faedah dari Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili ketika menjelaskan kaidah-kaidah mu’amalah yang tercantum dalam al-Qowa’id an-Nuroniyyah
[3]. HR. Ibnu Majah no. 2246, dinilai shohih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah hlm. 385 ‘inayah Syaikh Masyhur Hasan alu Salman terbitan Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, cetakan kedua 1429 H
[4]. Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq jilid 3 hlm. 125, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, cetakan keempat, 1403 H
[5]. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz 17 hlm. 179, terbitan Wizaroh al-Auqof wa asy-Syu’un al-Islamiyyah, Kuwait, cetakan keempat, 1427 H
[6]. al-Muwatho’ no. 601, jilid 2 hlm. 244 terbitan Mu’assasah Zayid bin Sulthon, cetakan pertama, 1425 H
[7]. Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 7 (Rajab s.d. Sya’ban 1403 H) hlm. 112-113. Fatwa di atas juga bisa dijumpai dalam Fiqh wa Fatawa al-Buyu‘ yang dikumpulkan oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdil Maqshud hlm. 283-284 terbitan Adhwa’ as-Salaf, Riyadh, cetakan kedua, 1417 H, serta di situs resmi Darul Ifta! di Riyadh http://www.alifta.net/
Sumber:
• Majalah Al-Furqon Gresik, No.110 Edisi 7 Tahun Ke-10_1432 H/ 2011 M
• Ebook yang didownload dari www.ibnumajjah.wordpress.com. Download Ebooknya disini: 10 Faedah Tentang Jual Beli atau ZIP file
0 komentar:
Posting Komentar