1. Definisi Wara’
Wara’ diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra’ dan ‘ain
yang berarti menahan, mengepal. Menurut bahasa wara’ adalah menjaga
kesucian yaitu menahan diri dari yang tidak pantas, maka dikatakan
tawara’, jika seseorang merasa sempit. Wara’ adalah bagian dari takwa.
Menurut istilah syariat, wara’ adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Singkatnya, wara’ adalah menjauhi yang syubhat dan mengawasi yang berbahaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Wara’ adalah dari yang ditakuti akibatnya, yaitu dari yang diketahui haramnya dan yang diragukan keharaman nya, dalam meninggalkan nya tidak terdapat bahaya yang lebih besar daripada melakukan nya.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan, penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup semua makna yang terkandung dalam lafazh wara’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya. Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’. Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata : “Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.
Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu memiliki harta yang termasar kehalalan nya dan dia memiliki hutang. Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil dan pelakunya adalah orang yang bodoh.
Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap wara’.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Perkara-perkara yang wajib dan sunnah tidak boleh diterapkan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya. Adapun terhadap perkara yang haram dan makruh layak disikapi dengan zuhud dan wara’ terhadapnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Wara’ dari yang tidak mengandung mudharat, atau mudharatnya sangat kecil, sementara manfaatnya sangat besar atau dapat menghindarkan mudharat yang lebih besar, maka tindakan wara; seperti ini adalah kebodohan dan kezaliman. Karena ada tiga hal yang kita tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya. 1. Manfaatnya yang sebanding. 2. Manfaatnya lebih kuat dan 3. Seluruhnya adalah manfaat. Seperti perkara yang benar- benar mubah atau perkara yang sunnah atau yang wajib. Maka wara’ dari (3 perkara ini) adalah kesesatan (dan kebodohan).”
Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
[Diringkas dari kitab A’maalul Qulub, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Diterjemahkan dengan judul Amalan Hati hal 270 - 284. Cet Maktabah Abiyyu]
Oleh: Prima Ibnu Firdaus Al-Mirluny Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
Menurut istilah syariat, wara’ adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Singkatnya, wara’ adalah menjauhi yang syubhat dan mengawasi yang berbahaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Wara’ adalah dari yang ditakuti akibatnya, yaitu dari yang diketahui haramnya dan yang diragukan keharaman nya, dalam meninggalkan nya tidak terdapat bahaya yang lebih besar daripada melakukan nya.”
2. Dalil tentang Wara’
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
من Øسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Hasan : Sunan Tirmidzi]Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan, penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup semua makna yang terkandung dalam lafazh wara’.
3. Wara' harus dengan Ilmu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan, mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya. Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’. Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata : “Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.
Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu memiliki harta yang termasar kehalalan nya dan dia memiliki hutang. Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil dan pelakunya adalah orang yang bodoh.
Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap wara’.”
4. Dalam hal apa kita wara’ ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Perkara-perkara yang wajib dan sunnah tidak boleh diterapkan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya. Adapun terhadap perkara yang haram dan makruh layak disikapi dengan zuhud dan wara’ terhadapnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Wara’ dari yang tidak mengandung mudharat, atau mudharatnya sangat kecil, sementara manfaatnya sangat besar atau dapat menghindarkan mudharat yang lebih besar, maka tindakan wara; seperti ini adalah kebodohan dan kezaliman. Karena ada tiga hal yang kita tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya. 1. Manfaatnya yang sebanding. 2. Manfaatnya lebih kuat dan 3. Seluruhnya adalah manfaat. Seperti perkara yang benar- benar mubah atau perkara yang sunnah atau yang wajib. Maka wara’ dari (3 perkara ini) adalah kesesatan (dan kebodohan).”
5. Tingkatan wara’
Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
- Pertama : Wajib, yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
- Kedua : Menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
- Ketiga : Meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah, dengan mengambil yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.
6. Potret sikap wara’ orang-orang shaleh
- Wara’nya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
- Wara’nya Abu Bakar Radhiyallahu’anahu
- Wara’ nya Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu
7. Buah dan Manfaat Wara’
- Terhindar dari adzab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
- Menahan diri dari hal yang dilarang.
- Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
- Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
- Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersikap wara’, lalu mengangkat kedua tangan nya untuk berdoa, maka doa nya akan segera dikabulkan.
- Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
- Terdapat perbedaan tingkatan manusia didalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka.
[Diringkas dari kitab A’maalul Qulub, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Diterjemahkan dengan judul Amalan Hati hal 270 - 284. Cet Maktabah Abiyyu]
Oleh: Prima Ibnu Firdaus Al-Mirluny Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
izin copy
BalasHapus