Lebaran adalah hari yang tidak asing bagi kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia. Hari yang penuh suka cita, di mana kaum muslimin
dibolehkan kembali makan dan minum di siang hari setelah satu bulan
penuh berpuasa. Namun, jika kita tinjau perayaan lebaran (’Iedul Fitri)
yang telah kita laksanakan, sudah sesuaikah apa yang kita lakukan dengan
keinginan Alloh dan Rosul-Nya? Atau malah kita melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan perintah-Nya, dengan sekedar ikut-ikutan kebanyakan
manusia? Untuk mengetahui perihal ini, mari kita simak bersama bahasan
berikut.
Definisi ‘Ied
Kata “Ied” menurut bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang
kembali berulang-ulang, baik dari sisi waktu atau tempatnya. Kata ini
berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang. Dinamakan “Al ‘Ied”
karena pada hari tersebut Alloh memiliki berbagai macam kebaikan yang
diberikan kembali untuk hamba-hambaNya, yaitu bolehnya makan dan minum
setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji
dengan thowaf, dan penyembelihan daging kurban, dan lain sebagainya.
Dan terdapat kebahagiaan, kegembiraan, dan semangat baru dengan
berulangnya berbagai kebaikan ini. (Ahkamul ‘Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri).
Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul
Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shollallohu’alaihi wa
sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa,
dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR.
Tirmidzi dan Abu dawud, shohih) (Majalah As Sunnah
05/I, Ustadz Abdul Hakim).
Oleh karena itu, makna yang tepat dari
“Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).
Pensyariatan ‘Ied (hari raya) Adalah Tauqifiyyah
Hari raya (tahunan) yang dimiliki oleh kaum muslimin, hanya ada dua,
yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya yang lain?
Jawabnya: tidak ada. Karena pensyariatan hari raya merupakan hak khusus
Alloh ‘azza wa jalla. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Alloh
menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (’Ied).
Namun, jika
tidak, kaum muslimin tidak diperkenankan merayakan atau memperingati
hari tersebut. Alasannya adalah hadits Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Anas rodhiyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Rosululloh
shollallohu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan (pada saat itu)
penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain
(dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah
datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan
untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk
kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (’Iedul Adha)
dan hari fitri (’Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)
Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari
Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan.
Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman
tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. (Ahkamul ‘Iedain,
Syaikh Ali bin Hasan).
Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari
tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk
hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak
diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah
(sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan
menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada
dalil yang benar dari Alloh (Al Qur’an) maupun Rosul-Nya (Al Hadits).
Sehingga tidak benar, apa yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin
saat ini, dengan melakukan berbagai macam peringatan / perayaan yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Di antaranya: peringatan / perayaan maulid Nabi, Isro Mi’roj, Nuzulul Quran, hari Kartini, hari ibu, dan hari ulang tahun.
Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha merupakan salah satu bentuk
ibadah kepada Alloh. Dan ibadah tidak terlepas dari dua hal, yang
semestinya harus ada, yaitu: (1) Ikhlas ditujukan hanya untuk Alloh
semata dan (2) Sesuai dengan tuntunan Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam.
Ada beberapa hal yang dituntunkan Rosululloh shollallohu’ alaihi wa sallam terkait dengan pelaksanaan hari raya, di antaranya:
1. Mandi Sebelum ‘Ied
Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu adalah
tempat berkumpulnya manusia untuk sholat. Namun, apabila hanya berwudhu
saja, itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Dari
Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi
ke tanah lapang untuk sholat (HR. Malik, sanadnya shohih).
Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal
yang disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan
menuju tanah lapang, makan sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al Firyabi dengan sanad shohih, Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
2. Makan di Hari Raya
Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum
melaksanakan sholat dan tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali
dari sholat dan makan dari daging sembelihan kurbannya. Hal ini
berdasarkan hadits dari Buroidah, bahwa beliau berkata: “Rosululloh
dahulu tidak keluar (berangkat) pada saat Iedul Fitri sampai beliau
makan dan pada Iedul Adha tidak makan sampai beliau kembali, lalu beliau
makan dari sembelihan kurbannya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah,
sanadnya hasan).
Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rosululloh mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rosululloh mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
3. Memperindah (berhias) Diri pada Hari Raya
Dalam suatu hadits, dijelaskan bahwa Umar pernah menawarkan jubah sutra kepada Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam agar dipakai untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan untuk menemui utusan. (HR. Bukhori dan Muslim).
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
4. Berbeda Jalan antara Pergi ke Tanah Lapang dan Pulang darinya
Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang, berdasarkan hadits dari Jabir, beliau berkata, “Rosululloh membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.” (HR. Al Bukhori).
Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang, karena sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau bertakbir hingga ke tanah lapang, dan sampai dilaksanakan sholat, jika telah selesai sholat, beliau berhenti bertakbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih).
Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang, karena sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau bertakbir hingga ke tanah lapang, dan sampai dilaksanakan sholat, jika telah selesai sholat, beliau berhenti bertakbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih).
Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa sahabat. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Jika Terkumpul Hari Jum’at dan Hari Raya Dalam Satu Hari
Jika hari raya dan hari Jumat berbarengan dalam satu hari, gugurlah
kewajiban sholat Jum’at bagi orang yang telah melaksanakan sholat ‘Ied,
namun bagi Imam hendaknya tetap mengerjakan sholat Jum’at agar dapat
dihadiri oleh orang yang ingin menghadirinya dan orang yang belum sholat
‘Ied. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Diperbolehkan
bagi mereka (kaum muslimin), jika ‘ied jatuh pada hari Jum’at untuk
mencukupkan diri dengan sholat ‘ied saja dan tidak menghadiri sholat
Jumat.” (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia).
Hal-Hal yang Terkait Sholat Ied Secara Ringkas
Karena terbatasnya jumlah halaman, berikut kami ringkaskan hal-hal yang terkait dengan sholat ‘Ied, di antaranya:
- Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Buhori dan Muslim)
- Hukum sholat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat terkuat.
- Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
- Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Tholib).
- Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama (selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
- Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah, atau seruan apapun sebelum dilaksanakan sholat karena tidak adanya dalil untuk hal tersebut.
- Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat.
- Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri
1. Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan
mendengarkan musik / nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita
yang masih kecil).
Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih).
Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
2. Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama.
Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33).
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
3. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
Fenomena ini
merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirohmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam, “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih).
Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
2. Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama.
Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33).
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
3. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
3. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied.
Tidak terdapat satu
dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk
ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk
ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat
‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan
tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang beramal suatu amalan (untuk tujuan ibadah) di mana tidak termasuk
dalam urusan kami, maka amalnya tersebut tertolak (tidak akan
diterima).” (HR. Muslim)
4. Begadang saat malam ‘Iedul Fitri.
Banyak di antara kaum muslimin
yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat
mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu
orang lain adalah haram. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”
(HR. Muslim).
Sehingga jika memang hendak bertakbir, hendaknya tidak
dengan suara yang keras. Ada lagi di antara kaum muslimin yang
menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu atau
sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan
dari mereka sulit menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada
yang sampai ogah-ogahan menjalankan sholat ‘Ied.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan
balasan yang baik bagi yang menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.
***
Penulis: Adid Adep Dwiatmoko
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar