ŲَŲØْŲ³ُ Ų§ŁŁَّŁْŲ³ِ Ų¹َŁْ Ų§ŁŲŖَّŲµَŲ±ُّŁَŲ§ŲŖِ Ų§ŁْŲ¹َŲ§ŲÆِŁَّŲ©ِ
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:
Ų§ŁْŁ
ُŁْŲ« ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆ ŁŲ¹ŲØŲ§ŲÆŲ© Ų§ŁŁŁ Ł
ِŁْ Ų“َŲ®ْŲµ Ł
َŲ®ْŲµُŁŲµ ŲØِŲµِŁَŲ©ٍ Ł
َŲ®ْŲµُŁŲµَŲ©
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].
Dalil Pensyari’atan
I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.
Dalil dari Al Quran
a. Firman Allah ta’ala,
ŁَŲ¹َŁِŲÆْŁَŲ§ Ų„ِŁَŁ Ų„ِŲØْŲ±َŲ§ŁِŁŁ
َ ŁَŲ„ِŲ³ْŁ
َŲ§Ų¹ِŁŁَ Ų£َŁْ Ų·َŁِّŲ±َŲ§ ŲØَŁْŲŖِŁَ ŁِŁŲ·َّŲ§Ų¦ِŁِŁŁَ ŁَŲ§ŁْŲ¹َŲ§ŁِŁِŁŁَ ŁَŲ§ŁŲ±ُّŁَّŲ¹ِ Ų§ŁŲ³ُّŲ¬ُŁŲÆِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang
ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).b. Firman Allah ta’ala,
ŁَŁŲ§ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan
ibadah.[5]
Dalil dari sunnah
a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
Ų£َŁَّ Ų§ŁŁَّŲØِŁَّ – ŲµŁŁ
Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŲ§Łَ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁُ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±َ Ł
ِŁْ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ
ŲَŲŖَّŁ ŲŖَŁَŁَّŲ§Łُ Ų§ŁŁَّŁُ ، Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ų£َŲ²ْŁَŲ§Ų¬ُŁُ Ł
ِŁْ ŲØَŲ¹ْŲÆِŁِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau
beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁُ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±َ Ł
ِŁْ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:
a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,
ŁŲ£Ų¬Ł
Ų¹ŁŲ§ Ų¹ŁŁ Ų£Ł Ų§ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł ŁŲ§ ŁŲ¬ŲØ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŁŲ§Ų³ ŁŲ±Ų¶Ų§ Ų„ŁŲ§ Ų£Ł ŁŁŲ¬ŲØŁ Ų§ŁŁ
Ų±Ų” Ų¹ŁŁ ŁŁŲ³Ł ŁŁŲ¬ŲØ Ų¹ŁŁŁ
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali
seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk
menunaikannya.”[8]b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,
ŁŲ§ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł Ų³ŁŲ© ŲØŲ§ŁŲ§Ų¬Ł
Ų§Ų¹ ŁŁŲ§ ŁŲ¬ŲØ Ų„ŁŲ§ ŲØŲ§ŁŁŲ°Ų± ŲØŲ§ŁŲ§Ų¬Ł
Ų§Ų¹
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat
bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk
beri’tikaf.”[9]c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]
Hukum I’tikaf
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ų„ِŁِّŁ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁْŲŖُ
Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَّŁَ Ų£َŁْŲŖَŁ
ِŲ³ُ ŁَŲ°ِŁِ Ų§ŁŁَّŁْŁَŲ©َ Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁْŲŖُ
Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁْŲ³َŲ·َ Ų«ُŁ
َّ Ų£ُŲŖِŁŲŖُ ŁَŁِŁŁَ ŁِŁ Ų„ِŁَّŁَŲ§ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±ِ
Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±ِ ŁَŁ
َŁْ Ų£َŲَŲØَّ Ł
ِŁْŁُŁ
ْ Ų£َŁْ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŁَŁْŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁْ ».
ŁَŲ§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ų§ŁŁَّŲ§Ų³ُ Ł
َŲ¹َŁُ
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk
mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di
sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan
memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.
Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ł
َŁْ ŁَŲ°َŲ±َ Ų£َŁْ ŁُŲ·ِŁŲ¹َ Ų§ŁŁَّŁَ ŁَŁْŁُŲ·ِŲ¹ْŁُ
“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]
Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]
Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?
Jawab:
Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:
- Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
- Firman Allah ta’ala,
ŁُŁَّŁ َŲ§ ŲÆَŲ®َŁَ Ų¹َŁَŁْŁَŲ§ Ų²َŁَŲ±ِŁَّŲ§ Ų§ŁْŁ ِŲْŲ±َŲ§ŲØَ“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
- dan firman-Nya,
ŁَŲ§ŲŖَّŲ®َŲ°َŲŖْ Ł ِŁْ ŲÆُŁŁِŁِŁ ْ ŲِŲ¬َŲ§ŲØًŲ§“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus. - Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ŁَŁْ Ų£َŲÆْŲ±َŁَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ – Ł َŲ§ Ų£َŲْŲÆَŲ«َ Ų§ŁŁِّŲ³َŲ§Ų”ُ ŁَŁ َŁَŲ¹َŁُŁَّ ŁَŁ َŲ§ Ł ُŁِŲ¹َŲŖْ ŁِŲ³َŲ§Ų”ُ ŲØَŁِŁ Ų„ِŲ³ْŲ±َŲ§Ų¦ِŁŁَ“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]
- Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
- Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
- Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
- Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.
Hikmah I’tikaf
Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan,
“Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.
(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha
Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu
menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.
Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“
Waktu I’tikaf
Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]
b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ŁُŁْŲŖُ ŁَŲ°َŲ±ْŲŖُ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¬َŲ§ŁِŁِŁَّŲ©ِ Ų£َŁْ Ų£َŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŁَŁْŁَŲ©ً ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆِ Ų§ŁْŲَŲ±َŲ§Ł
ِ
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf
semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
Ų„ِŲ°َŲ§ ŁَŲ§Łَ Ł
ُŁِŁŁ
Ų§ً Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±َ Ł
ِŁْ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ ŁَŲ„ِŲ°َŲ§ Ų³َŲ§ŁَŲ±َ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ł
ِŁَ Ų§ŁْŲ¹َŲ§Ł
ِ Ų§ŁْŁ
ُŁْŲØِŁِ Ų¹ِŲ“ْŲ±ِŁŁَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau
bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh
hari.”[23]Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
Ų£َŁَّ Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁَŲ§Łَ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁُ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±ِ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±ِ Ł
ِŁْ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ ŁَŲ³َŲ§ŁَŲ±َ Ų³َŁَŲ©ً ŁَŁَŁ
ْ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁْ ŁَŁَŁ
َّŲ§ ŁَŲ§Łَ Ų§ŁْŲ¹َŲ§Ł
ُ Ų§ŁْŁ
ُŁْŲØِŁُ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ų¹ِŲ“ْŲ±ِŁŁَ ŁَŁْŁ
Ų§ً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama
setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun
berikutnya selama dua puluh hari.”[24]Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.
Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.
[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.
[2] Al Mishbah al Munir 2/424.
[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.
[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.
[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31
[6] HR. Bukhari dan Muslim
[7] HR. Bukhari dan Muslim
[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.
[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah
[10] Fath al-Baari 4/271
[11] HR. Muslim: 1167.
[12] HR. Bukhari: 6318.
[13] HR. Bukhari: 1927.
[14] Fath al-Baari 4/271
[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.
[16] HR. Bukhari: 1940.
[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.
[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445
[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.
[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.
[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.
[22] HR. Bukhari: 1927.
[23] HR. Ahmad: 12036.
[24] HR. Ahmad: 21314.
Waktu Minimal Beri’tikaf
- Pertama, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Umar radhiallahu ‘anhu untuk menunaikan nadzarnya beri’tikaf selama semalam di Masjid Al-Haram[2].
- Kedua, terdapat berbagai riwayat dari para sahabat radhiallahu ‘anhum dan
para salaf yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya
terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Telah
diketahui bahwa puasa tidak akan terealisasi ketika dilaksanakan kurang dari setengah hari.
Ketiga, Jika i’tikaf disyari’atkan dilaksanakan dalam waktu kurang dari setengah hari, maka tentu terdapat riwayat valid dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut dan beliau akan memerintahkan para sahabatnya serta hal itu tentu sangat ma’ruf di tengah-tengah mereka, karena mereka senantiasa hilir mudik ke masjid. - Keempat, para sahabat radhiallahu ‘anhum sering duduk di masjid untuk menunggu shalat, mendengarkan khutbah atau siraman ilmu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kegiatan lainnya, namun tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan ketika mereka melakukan kegiatan itu semua, mereka juga berniat untuk beri’tikaf di masjid.
Di dalam al Fatawa al Kubra tercantum, “Abu al’Abbas (Ibnu Taimiyah) rahimahullah tidak mendukung pendapat yang menganjurkan agar seorang yang pergi ke masjid untuk shalat atau tujuan selainnya, berniat I’tikaf selama berada di dalam masjid.”[3]
Waktu Maksimal Beri’tikaf
Para ulama sepakat tidak ada batas waktu maksimal bagi seorang untuk ber-i’tikaf.[4] Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ‘Aisyah yang redaksinya berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya”[5] memiliki kandungan bahwa I’tikaf tidak dibenci jika dilakukan di setiap waktu dan ulama telah sepakat bahwa tidak ada batas waktu maksimal untuk beri’tikaf.”[6]
Mungkin ada pertanyaan, “ Bukankah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ber-i’tikaf selama sepuluh hari?“
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut:
“Tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidaklah menunjukkan pengkhususan waktu. Namun, hal tersebut dilakukan karena adanya sebab lain, yaitu dalam rangka mencari Lailat al-Qadr, karena malam tersebut terdapat pada malam-malam tersebut. Oleh karena itu, pada hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu dinyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan kemudian diwahyukan kepada beliau bahwa malam tersebut terdapat pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau pun beri’tikaf pada waktu tersebut untuk mencarinya.”[7]
Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan untuk memulai i’tikaf?”
Jawab:
Seorang dianjurkan untuk masuk ke dalam masjid ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Hal ini berdasarkan pendapat ulama ketika meneliti berbagai dalil terkait hal ini.
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para sahabat,
Ų„ِŁِّŁ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁْŲŖُ
Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَّŁَ Ų£َŁْŲŖَŁ
ِŲ³ُ ŁَŲ°ِŁِ Ų§ŁŁَّŁْŁَŲ©َ Ų«ُŁ
َّ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁْŲŖُ
Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁْŲ³َŲ·َ Ų«ُŁ
َّ Ų£ُŲŖِŁŲŖُ ŁَŁِŁŁَ ŁِŁ Ų„ِŁَّŁَŲ§ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±ِ
Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±ِ ŁَŁ
َŁْ Ų£َŲَŲØَّ Ł
ِŁْŁُŁ
ْ Ų£َŁْ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŁَŁْŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁْ ».
ŁَŲ§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ų§ŁŁَّŲ§Ų³ُ Ł
َŲ¹َŁُ
“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan dalam rangka mencari malam Lailat al-Qadr. Kemudian saya
beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi
oleh (Jibril) dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh
hari terakhir Ramadhan. Oleh karena itu, siapa diantara kalian yang
ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beritikaf
bersama beliau.”[8]Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz,
Ł
َŁْ ŁَŲ§Łَ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ł
َŲ¹ِŁ ŁَŁْŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁِ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±َ
“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[9]Sepuluh hari pertama yang dimaksud dimulai pada malam ke-21 Ramadhan karena malam ke-21 Ramadhan termasuk malam ganjil yang turut dinyatakan sebagai malam turunnya Lailatul Qadr.[10] Oleh karena itu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas-, beri’tikaf semenjak pertengahan Ramadhan untuk mencari malam tersebut dan dilanjutkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Pertanyaan: Bukankah disana terdapat hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang redaksinya
ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- Ų„ِŲ°َŲ§ Ų£َŲ±َŲ§ŲÆَ Ų£َŁْ ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁْŁَŲ¬ْŲ±َ Ų«ُŁ
َّ ŲÆَŲ®َŁَ Ł
ُŲ¹ْŲŖَŁَŁَŁُ
Apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat
i’tikafnya.[11]Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa I’tikaf dimulai ketika selesai Shalat Subuh pada hari ke-21?
Jawab:
Hal ini telah dijawab oleh dua ulama ternama, yaitu imam an Nawawi dan al ‘Allamah Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahumallah. Berikut jawaban mereka berdua,
An Nawawi rahimahullah menjawab hal tersebut dengan mengatakan sebenarnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah lebih dahulu beri’tikaf di masjid. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tersebut bukanlah menunjukkan nabi memulai I’tikaf pada saat itu, namun nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh (pada hari setelahnya) barulah beliau menyendiri di tempat I’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau (mu’takaf).[12]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Seorang yang beri’tikaf mulai beri’tikaf ketika terbenamnya matahari pada malam ke-21 Ramadhan, karena pada saat itulah sepuluh hari terakhir yang dimaksud dalam hadits dimulai. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits ‘Aisyah dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, meskipun redaksi kedua hadits tersebut memiliki perbedaan.
(Ketika terjadi hal seperti ini), maka (redaksi hadits) yang dijadikan pegangan adalah redaksi yang lebih dekat pada indikasi (kandungan) bahasa, yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Aisyah yang merupakan hadits pertama dalam bab “Al I’tikaf fi Syawwal” hal 382 juz 4 yang terdapat dalam kitab Fathul Baari. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhamengatakan,
Ų§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ
Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁُ ŁِŁ ŁُŁِّ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ ، ŁَŲ„ِŲ°َŲ§ ŲµَŁَّŁ
Ų§ŁْŲŗَŲÆَŲ§Ų©َ ŲÆَŲ®َŁَ Ł
َŁَŲ§ŁَŁُ Ų§ŁَّŲ°ِŁ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ ŁِŁŁِ
“Rasulullah senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila
beliau melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf
yang digunakan untuk beri’tikaf.”Demikian pula hadits Abu Sa’id, hadits kedua pada bab “Taharri Lail al Qadr fi al Witr min Al ‘Usyr al Awakhir hal. 952″, dia mengatakan,
ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ –
ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁُŲ¬َŲ§ŁِŲ±ُ ŁِŁ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁَّŲŖِŁ ŁِŁ
ŁَŲ³َŲ·ِ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ±ِ ، ŁَŲ„ِŲ°َŲ§ ŁَŲ§Łَ ŲِŁŁَ ŁُŁ
ْŲ³ِŁ Ł
ِŁْ Ų¹ِŲ“ْŲ±ِŁŁَ ŁَŁْŁَŲ©ً
ŲŖَŁ
ْŲ¶ِŁ ، ŁَŁَŲ³ْŲŖَŁْŲØِŁُ Ų„ِŲْŲÆَŁ ŁَŲ¹ِŲ“ْŲ±ِŁŁَ ، Ų±َŲ¬َŲ¹َ Ų„ِŁَŁ Ł
َŲ³ْŁَŁِŁِ
ŁَŲ±َŲ¬َŲ¹َ Ł
َŁْ ŁَŲ§Łَ ŁُŲ¬َŲ§ŁِŲ±ُ Ł
َŲ¹َŁُ . ŁَŲ£َŁَّŁُ Ų£َŁَŲ§Ł
َ ŁِŁ Ų“َŁْŲ±ٍ
Ų¬َŲ§ŁَŲ±َ ŁِŁŁِ Ų§ŁŁَّŁْŁَŲ©َ Ų§ŁَّŲŖِŁ ŁَŲ§Łَ ŁَŲ±ْŲ¬ِŲ¹ُ ŁِŁŁَŲ§ ، ŁَŲ®َŲ·َŲØَ
Ų§ŁŁَّŲ§Ų³َ ، ŁَŲ£َŁ
َŲ±َŁُŁ
ْ Ł
َŲ§ Ų“َŲ§Ų”َ Ų§ŁŁَّŁُ ، Ų«ُŁ
َّ ŁَŲ§Łَ « ŁُŁْŲŖُ
Ų£ُŲ¬َŲ§ŁِŲ±ُ ŁَŲ°ِŁِ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ ، Ų«ُŁ
َّ ŁَŲÆْ ŲØَŲÆَŲ§ ŁِŁ Ų£َŁْ Ų£ُŲ¬َŲ§ŁِŲ±َ ŁَŲ°ِŁِ
Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±َ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±َ ، ŁَŁ
َŁْ ŁَŲ§Łَ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ Ł
َŲ¹ِŁ ŁَŁْŁَŲ«ْŲØُŲŖْ ŁِŁ
Ł
ُŲ¹ْŲŖَŁَŁِŁِ ، ŁَŁَŲÆْ Ų£ُŲ±ِŁŲŖُ ŁَŲ°ِŁِ Ų§ŁŁَّŁْŁَŲ©َ Ų«ُŁ
َّ Ų£ُŁْŲ³ِŁŲŖُŁَŲ§
ŁَŲ§ŲØْŲŖَŲŗُŁŁَŲ§ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¹َŲ“ْŲ±ِ Ų§ŁŲ£َŁَŲ§Ų®ِŲ±ِ ŁَŲ§ŲØْŲŖَŲŗُŁŁَŲ§ ŁِŁ ŁُŁِّ ŁِŲŖْŲ±ٍ ،
ŁَŁَŲÆْ Ų±َŲ£َŁْŲŖُŁِŁ Ų£َŲ³ْŲ¬ُŲÆُ ŁِŁ Ł
َŲ§Ų”ٍ ŁَŲ·ِŁŁٍ » . ŁَŲ§Ų³ْŲŖَŁَŁَّŲŖِ
Ų§ŁŲ³َّŁ
َŲ§Ų”ُ ŁِŁ ŲŖِŁْŁَ Ų§ŁŁَّŁْŁَŲ©ِ ، ŁَŲ£َŁ
ْŲ·َŲ±َŲŖْ ، ŁَŁَŁَŁَ Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆُ
ŁِŁ Ł
ُŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁَّŲØِŁِّ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŁْŁَŲ©َ Ų„ِŲْŲÆَŁ
ŁَŲ¹ِŲ“ْŲ±ِŁŁَ ، ŁَŲØَŲµُŲ±َŲŖْ Ų¹َŁْŁِŁ Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
–
ŁَŁَŲøَŲ±ْŲŖُ Ų„ِŁَŁْŁِ Ų§ŁْŲµَŲ±َŁَ Ł
ِŁَ Ų§ŁŲµُّŲØْŲِ ، ŁَŁَŲ¬ْŁُŁُ Ł
ُŁ
ْŲŖَŁِŲ¦ٌ
Ų·ِŁŁًŲ§ ŁَŁ
َŲ§Ų”ً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan. Ketika berada pada waktu sore di hari ke-20, malam menjelang dan hari ke-21 akan segera tiba, beliau kembali ke rumah dan orang-orang yang beri’tikaf bersama beliau juga turut kembali.
Pada malam itu,-dimana beliau beri’tikaf dan kemudian kembali ke rumah-, beliau berkhutbah kepada manusia kemudian memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki Allah, beliau kemudian berkata kepada mereka, “Semula, saya beri’tikaf pada sepuluh hari ini (yaitu pada pertengahan Ramadhan), kemudian diwahyukan kepadaku agar beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (agar memperoleh Lailat al-Qadr). Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap tinggal di tempat i’tikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, namun aku terlupa. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada sepuluh hari terakhir, di malam yang ganjil, dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut) saya melihat diriku sujud di atas tanah dan air.”
Anas mengatakan, “Pada malam tersebut (yakni ketika beliau berkhutbah kepada para sahabat-pen), langit menurunkan hujan yang sangat lebat dan air hujan menembus atap masjid dan mengucur di tempat shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (saat itu) pada malam ke-21. Pandangan saya memperhatikan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saya melihat ketika beliau selesai menunaikan shalat Subuh, wajahnya dipenuhi tanah dan air.”
(Syaikh Utsaimin mengatakan), “Pada hadits ‘Aisyah tercantum redaksi berikut ” ŲÆŲ®Ł Ł ŁŲ§ŁŁ Ų§ŁŲ°Ł Ų§Ų¹ŲŖŁŁ ŁŁŁ “. Redaksi ini berkonsekuensi bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlebih dahulu berada di masjid sebelum masuk ke dalam mu’takaf[13], karena perkataan ‘Aisyah “Ų§Ų¹ŲŖŁŁ” merupakan fi’il madhi (kata kerja lampau) dan hukum asalnya kata tersebut digunakan sesuai dengan hakikatnya.
Pada hadits Abu Sa’id tercantum redaksi:
ŁŲ„Ų°Ų§ ŁŲ§Ł ŲŁŁ ŁŁ
Ų³Ł Ł
Ł Ų¹Ų“Ų±ŁŁ ŁŁŁŲ© ŲŖŁ
Ų¶Ł ŁŁŲ³ŲŖŁŲØŁ Ų„ŲŲÆŁ ŁŲ¹Ų“Ų±ŁŁ
sore merupakan akhir siang dan merupakan waktu tiba bagi malam selanjutnya. Berdasarkan hal ini, khutbah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi di akhir siang pada hari ke-20 Ramadhan, hal ini dikuatkan oleh riwayat kedua dalam hadits beliau, yaitu hadits ketiga pada bab “Al I’tikaf fi al ‘Usyr al Awakhir wa Al I’tikaf fi Al Masajid Kulliha” hlm. 172. Anas mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada suatu tahun
kemudian pada malam ke-21 beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin
beri’tikaf bersamaku, hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir. Sungguh telah diwahyukan kepadaku waktu Lailatul Qadr, namun
kemudian saya dilupakan mengenai waktunya. Dan sungguh (pada saat
Lailatul Qadr tersebut), saya melihat diriku bersujud di air dan tanah
(dalam kondisi becek-pen) pada waktu Subuh.” Anas mengatakan, “Maka pada
malam tersebut, turunlah hujan yang sangat lebat, dan di waktu Subuh
pada hari ke-21, saya melihat dahi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terdapat bekas air dan tanah.”[14]Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa I’tikaf dianjurkan dilakukan pada malam ke-21 Ramadhan. Inilah pendapat yang paling hati-hati dalam masalah ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Dr. Khalid al Musyaiqih hafizhahullah.[15]
Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan mengakhiri I’tikaf?”
Jawab:
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan, “Seorang yang beri’tikaf mengakhiri i’tikafnya apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied.”[16]
Sebagian ulama salaf menganjurkan agar seorang tetap tinggal beri’tikaf pada malam ‘Ied dan baru mengakhirinya ketika hendak melaksanakan shalat ‘Ied. Imam Malik menyatakan bahwa dia melihat sebagian ulama apabila beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, mereka tidak pulang ke keluarga mereka hingga mereka menghadiri shalat ‘Ied bersama manusia.”[17]
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Asy Syafi’i dan murid-murid beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya dia memasuki masjid sebelum matahari terbenam pada malam ke-21 agar dia tidak terluput (untuk memperoleh Lailat al-Qadr). Dan dia keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Ied, baik bulan Ramadhan telah berakhir sempurna, atau tidak. Dan yang lebih afdhal, dia tetap tinggal di masjid (pada malam ‘Ied) sampai menunaikan shalat “Ied di masjid atau dia (tetap tinggal di masjid di malam ‘Ied) dan keluar dari masjid ketika hendak menuju tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Ied, jika dia mengerjakannya disana.”[18]
[1] Fiqh Al I’tikaf hlm. 54-55.
[2] HR. Bukhari: 1927.
[3] Al Fatawa al Kubra 5/380
[4] Fath al-Baari 4/272, al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/78, Bidayah al Mujtahid 1/445.
[5] HR. Bukhari: 1922 dan Muslim: 1172.
[6] Al I’lam bi Fawaid ‘Umdah al Ahkam 5/430; dikutip dari Fiqh al I’tikaf hlm. 56.
[7] Fiqh al-I’tikaf hlm. 56.
[8] HR. Muslim: 1167.
[9] HR. Bukhari: 1923.
[10] HR. Ahmad: 22815, Tirmidzi: 792.
[11] HR. Muslim: 1172.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 4/207.
[13] Tempat yang digunakan orang yang beri’tikaf untuk menyendiri agar bisa beribadah di dalamnya.
[14] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/121; Asy Syamilah.
[15] Fiqh al-I’tikaf hlm. 61
[16] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/119; Asy Syamilah.
[17] Al Muwaththa:1/315.
[18] Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.
Syarat I’tikaf
Syarat-syarat i’tikaf adalah sebagai berikut:
1. Islam
ŁَŁ
َŲ§ Ł
َŁَŲ¹َŁُŁ
ْ Ų£َŁْ
ŲŖُŁْŲØَŁَ Ł
ِŁْŁُŁ
ْ ŁَŁَŁَŲ§ŲŖُŁُŁ
ْ Ų„ِŁŲ§ Ų£َŁَّŁُŁ
ْ ŁَŁَŲ±ُŁŲ§ ŲØِŲ§ŁŁَّŁِ
ŁَŲØِŲ±َŲ³ُŁŁِŁِ ŁَŁŲ§ ŁَŲ£ْŲŖُŁŁَ Ų§ŁŲµَّŁŲ§Ų©َ Ų„ِŁŲ§ ŁَŁُŁ
ْ ŁُŲ³َŲ§ŁَŁ ŁَŁŲ§
ŁُŁْŁِŁُŁŁَ Ų„ِŁŲ§ŁَŁُŁ
ْ ŁَŲ§Ų±ِŁُŁŁَ (Ł„Ł¤)
“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya nafkah-nafkah
mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak
(pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At Taubah: 54).Al ‘Allamah Abdurrahman as Sa’di rahimahullah mengatakan,
ŁŲ§ŁŲ£Ų¹Ł
Ų§Ł ŁŁŁŲ§ Ų“Ų±Ų· ŁŲØŁŁŁŲ§ Ų§ŁŲ„ŁŁ
Ų§Ł، ŁŁŲ¤ŁŲ§Ų” ŁŲ§ Ų„ŁŁ
Ų§Ł ŁŁŁ
“Persyaratan agar seluruh amal ibadah diterima adalah iman,
sedangkan mereka yang tersebut dalam ayat ini tidak memiliki keimanan.”[1]
2. Niat, Berakal, dan Tamyiz
I’tikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ų„ِŁَّŁ
َŲ§ Ų§ŁْŲ£َŲ¹ْŁ
َŲ§Łُ ŲØِŲ§ŁŁِّŁَŲ§ŲŖِ
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “[2]Maksud dari hadits tersebut adalah keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan.[3]
Seorang yang masuk ke dalam masjid memiliki beraneka ragam tujuan, diantara mereka ada yang hendak shalat, mendengarkan ta’lim, beri’tikaf, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang yang hendak beri’tikaf membutuhkan niat untuk membedakan tujuan dari ibadah selainnya yang juga turut dikerjakan di masjid seperti shalat. Dan niat tersebut hanya mampu dilakukan oleh seorang yang berakal. Wallahu a’lam.
3. Suci dari Haidh dan Nifas
Pertama, firman Allah ta’ala,
ŁَŲ§ Ų£َŁُّŁَŲ§ Ų§ŁَّŲ°ِŁŁَ
Ų¢Ł
َŁُŁŲ§ ŁŲ§ ŲŖَŁْŲ±َŲØُŁŲ§ Ų§ŁŲµَّŁŲ§Ų©َ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų³ُŁَŲ§Ų±َŁ ŲَŲŖَّŁ ŲŖَŲ¹ْŁَŁ
ُŁŲ§
Ł
َŲ§ ŲŖَŁُŁŁُŁŁَ ŁَŁŲ§ Ų¬ُŁُŲØًŲ§ Ų„ِŁŲ§ Ų¹َŲ§ŲØِŲ±ِŁ Ų³َŲØِŁŁٍ ŲَŲŖَّŁ ŲŖَŲŗْŲŖَŲ³ِŁُŁŲ§
ŁَŲ„ِŁْ ŁُŁْŲŖُŁ
ْ Ł
َŲ±ْŲ¶َŁ Ų£َŁْ Ų¹َŁَŁ Ų³َŁَŲ±ٍ Ų£َŁْ Ų¬َŲ§Ų”َ Ų£َŲَŲÆٌ Ł
ِŁْŁُŁ
ْ
Ł
ِŁَ Ų§ŁْŲŗَŲ§Ų¦ِŲ·ِ Ų£َŁْ ŁŲ§Ł
َŲ³ْŲŖُŁ
ُ Ų§ŁŁِّŲ³َŲ§Ų”َ ŁَŁَŁ
ْ ŲŖَŲ¬ِŲÆُŁŲ§ Ł
َŲ§Ų”ً
ŁَŲŖَŁَŁ
َّŁ
ُŁŲ§ ŲµَŲ¹ِŁŲÆًŲ§ Ų·َŁِّŲØًŲ§ ŁَŲ§Ł
ْŲ³َŲُŁŲ§ ŲØِŁُŲ¬ُŁŁِŁُŁ
ْ ŁَŲ£َŁْŲÆِŁŁُŁ
ْ
Ų„ِŁَّ Ų§ŁŁَّŁَ ŁَŲ§Łَ Ų¹َŁُŁًّŲ§ ŲŗَŁُŁŲ±ًŲ§ (Ł¤Ł£)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (An Nisa: 43).Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
ŁŁŁŁ ŲŖŲØŲ§Ų±Ł ŁŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ų¹ŲØŲ§ŲÆŁ
Ų§ŁŁ
Ų¤Ł
ŁŁŁ Ų¹Ł ŁŲ¹Ł Ų§ŁŲµŁŲ§Ų© ŁŁ ŲŲ§Ł Ų§ŁŲ³ŁŲ± Ų§ŁŲ°Ł ŁŲ§ ŁŲÆŲ±Ł Ł
Ų¹Ł Ų§ŁŁ
ŲµŁŁ Ł
Ų§ ŁŁŁŁ ŁŲ¹Ł
ŁŲ±ŲØŲ§Ł Ł
ŲŲ§ŁŁŲ§ Ų§ŁŲŖŁ ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų³Ų§Ų¬ŲÆ ŁŁŲ¬ŁŲØ Ų„ŁŲ§ Ų£Ł ŁŁŁŁ Ł
Ų¬ŲŖŲ§Ų²Ų§ Ł
Ł ŲØŲ§ŲØ Ų„ŁŁ ŲØŲ§ŲØ Ł
Ł
ŲŗŁŲ± Ł
ŁŲ«
“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman
mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui
makna surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub
mendekati tempat shalat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari
satu pintu ke pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya.”[4]Sisi pendalilan dari ayat ini adalah ketika Allah ta’ala melarang seorang yang junub mendekati masjid, maka hukum ini juga berlaku pada wanita yang sedang mengalami haidh, karena haidh yang dialaminya merupakan hadats yang jauh lebih berat daripada sekedar junub. Oleh karena itu, seorang yang haidh dilarang bercampur dengan suami, berpuasa, dan kewajiban shalat digugurkan darinya.[5]
Kedua, sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram kemudian tertimpa haidh,
Ų§ŁْŲ¹َŁِŁ Ł
َŲ§ ŁَŁْŲ¹َŁُ Ų§ŁْŲَŲ§Ų¬ُّ ŲŗَŁْŲ±َ Ų£َŁْ ŁŲ§َ ŲŖَŲ·ُŁŁِŁ ŲØِŲ§ŁْŲØَŁْŲŖِ ŲَŲŖَّŁ ŲŖَŲ·ْŁُŲ±ِŁ
“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji, namun janganlah engkau berthawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci.”[6]Ketiga, perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
ŁُŁَّ Ų§ŁْŁ
ُŲ¹ْŲŖَŁِŁَŲ§ŲŖُ Ų„Ų°َŲ§ ŲِŲ¶ْŁَ Ų£َŁ
َŲ±َ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁَّŁِ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁَّŁُ Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ ŲØِŲ„ِŲ®ْŲ±َŲ§Ų¬ِŁِŁَّ Ų¹َŁْ Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆِ
“Kami wanita yang beri’tikaf, apabila mengalami haidh, maka
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk
mengeluarkannya dari masjid.”[7]Pertanyaan: Bagaimanakah hukum seorang wanita yang mengalami istihadhah, bolehkah dia beri’tikaf?
Jawab:
Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَŲŖْ Ł
َŲ¹َ Ų±َŲ³ُŁŁِ Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– Ų§Ł
ْŲ±َŲ£َŲ©ٌ Ł
ِŁْ Ų£َŲ²ْŁَŲ§Ų¬ِŁِ ، ŁَŁَŲ§ŁَŲŖْ ŲŖَŲ±َŁ Ų§ŁŲÆَّŁ
َ ŁَŲ§ŁŲµُّŁْŲ±َŲ©َ ، ŁَŲ§ŁŲ·َّŲ³ْŲŖُ ŲŖَŲْŲŖَŁَŲ§ ŁَŁْŁَ ŲŖُŲµَŁِّŁ
“Salah seorang istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan beristihadhah. Istri beliau
tersebut mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan
shalat dan di bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah
tersebut).”[8]Al ‘Aini rahimahullah mengatakan,
“Diantara kesimpulan hukum yang dapat dipetik adalah wanita yang mengalami istihadhah boleh beri’tikaf dan shalat, karena kondisinya adalah kondisi suci. Wanita tersebut meletakkan bejana (di bawahnya) agar darah tersebut tidak mengenai baju atau masjid. Selain itu, darah istihadhah juga encer, tidak seperti darah haidh. Hukum bolehnya I’tikaf bagi wanita yang mengalami istihadhah ini juga diberlakukan bagi kondisi yang semisal seperti seorang yang sering mengeluarkan urin (beser), madzi, wadi, dan mengalami luka yang senantiasa mengalirkan darah.”[9]
4. Bagi wanita, memperoleh Izin dari suami dan aman dari fitnah
‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dia mengatakan,
ŁَŲ§ŁَŲŖْ ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ
Ų§ŁŁَّŁِ – ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
– ŁَŲ¹ْŲŖَŁِŁُ ŁِŁ ŁُŁِّ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ ، ŁَŲ„ِŲ°َŲ§
ŲµَŁَّŁ Ų§ŁْŲŗَŲÆَŲ§Ų©َ ŲÆَŲ®َŁَ Ł
َŁَŲ§ŁَŁُ Ų§ŁَّŲ°ِŁ Ų§Ų¹ْŲŖَŁَŁَ ŁِŁŁِ – ŁَŲ§Łَ –
ŁَŲ§Ų³ْŲŖَŲ£ْŲ°َŁَŲŖْŁُ Ų¹َŲ§Ų¦ِŲ“َŲ©ُ Ų£َŁْ ŲŖَŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŁَŲ£َŲ°ِŁَ ŁَŁَŲ§ ŁَŲ¶َŲ±َŲØَŲŖْ
ŁِŁŁِ ŁُŲØَّŲ©ً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beri’tikaf
di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh,
beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf. (Salah seorang perawi hadits ini mengatakan), “Maka
‘Aisyah pun meminta izin kepada nabi untuk beri’tikaf. Beliau pun
mengizinkannya dan ‘Aisyah pun membuat kemah di dalam masjid.”[10]Hadits ini juga menjadi dasar bahwa seorang wanita harus terlebih dahulu meminta izin kepada suami jika hendak beri’tikaf.
Dalam riwayat yang lain tercantum lafadz
ŁَŲ³َŲ£َŁَŲŖْ ŲَŁْŲµَŲ©ُ Ų¹َŲ§Ų¦ِŲ“َŲ©َ Ų£َŁْ ŲŖَŲ³ْŲŖَŲ£ْŲ°ِŁَ ŁَŁَŲ§
“Hafshah meminta bantuan ‘Aisyah agar memintakan izin baginya
kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk beri’tikaf).”[11]Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
ŁŁŁŲ³ ŁŁŲ²ŁŲ¬Ų© Ų£Ł ŲŖŲ¹ŲŖŁŁ Ų„ŁŲ§
ŲØŲ„Ų°Ł Ų²ŁŲ¬ŁŲ§ ŁŁŲ§ ŁŁŁ
Ł
ŁŁŁ Ų£Ł ŁŲ¹ŲŖŁŁ Ų„ŁŲ§ ŲØŲ„Ų°Ł Ų³ŁŲÆŁ ŁŲ£Ł Ł
ŁŲ§ŁŲ¹ŁŲ§ Ł
Ł
ŁŁŁŲ© ŁŲŗŁŲ±ŁŁ
Ų§
ŁŲ§ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł ŁŁŁŲŖŁŲ§ ŁŁŁ
ŁŲ¹ Ų§Ų³ŲŖŁŁŲ§Ų”ŁŲ§ ŁŁŁŲ³ ŲØŁŲ§Ų¬ŲØ Ų¹ŁŁŁŁ
Ų§ ŲØŲ§ŁŲ“Ų±Ų¹ ŁŁŲ§Ł ŁŁŲ§
Ų§ŁŁ
ŁŲ¹ Ł
ŁŁ
“Istri tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh suami.
Begitupula dengan budak, dia tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan
oleh majikannya. Hal ini dikarenakan manfaat yang ada pada diri mereka
juga dimiliki oleh selain mereka (yaitu suami dan majikan). I’tikaf akan
menghilangkan dan menghambat manfaat tersebut. Selain itu, I’tikaf
tidaklah wajib bagi mereka. Dengan demikian, I’tikaf menjadi terlarang
bagi mereka (kecuali setelah diizinkan).”[12]
5. Dilaksanakan di Masjid
Dalil akan hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah ta’ala,
ŁَŁَŲ§ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ (Ł”ŁØŁ§)
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).Ayat ini menyatakan bahwa i’tikaf disyari’atkan di masjid.[13]
Ibnu Hajr Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
ŁَŁَŲ¬َŲÆَ Ų§ŁŲÆَّŁَŲ§ŁَŲ© Ł
ِŁْ
Ų§ŁْŲ¢ŁَŲ© Ų£َŁَّŁُ ŁَŁْ ŲµَŲَّ ŁِŁ ŲŗَŁْŲ± Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆ ŁَŁ
ْ ŁَŲ®ْŲŖَŲµَّ ŲŖَŲْŲ±ِŁŁ
Ų§ŁْŁ
ُŲØَŲ§Ų“َŲ±َŲ©ِ ŲØِŁِ ، ŁِŲ£َŁَّ Ų§ŁْŲ¬ِŁ
َŲ§Ų¹ Ł
ُŁَŲ§Łٍ ŁِŁِŲ§Ų¹ْŲŖِŁَŲ§Łِ
ŲØِŲ§ŁْŲ„ِŲ¬ْŁ
َŲ§Ų¹ِ ، ŁَŲ¹ُŁِŁ
َ Ł
ِŁْ Ų°ِŁْŲ±ِ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ Ų£َŁَّ Ų§ŁْŁ
ُŲ±َŲ§ŲÆَ
Ų£َŁَّ Ų§ŁِŲ§Ų¹ْŲŖِŁَŲ§Łَ ŁَŲ§ ŁَŁُŁŁ Ų„ِŁَّŲ§ ŁِŁŁَŲ§
“Indikasi hukum yang terdapat pada ayat ini adalah jika i’tikaf
sah dilakukan di selain masjid, maka tentulah pengharaman mubasyarah
(jima’) tidak dikhususkan di dalam masjid. Hal ini dikarenakan jima’
membatalkan i’tikaf secara ijma’. Dengan demikian, dapat diketahui
maksud penyebutan masjid di dalam ayat tersebut adalah i’tikaf tidaklah
sah kecuali dikerjakan di dalam masjid.”[14]b. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan bahwa ketika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh ‘Aisyah dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak.[15]
c. Ijma’ yang diklaim oleh sejumlah ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
Ų£Ų¬Ł
Ų¹ Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ų§Ų” Ų¹ŁŁ Ų£Ł Ų§ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł ŁŲ§ ŁŁŁŁ ŁŁ Ų„ŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų³Ų¬ŲÆ
“Ulama bersepakat bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di dalam masjid.”[16]Pertanyaan: Bagaimana kriteria masjid yang dapat dipakai untuk beri’tikaf?
Jawab:
Kriteria masjid yang dipakai oleh pria untuk beri’tikaf adalah masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah, mengingat pria diwajibkan untuk menunaikan shalat wajib secara berjama’ah di masjid.[17]
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,
ŁŲ§ Ų§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł Ų„ŁŲ§ ŁŁ Ł
Ų³Ų¬ŲÆ ŲŖŲ¬Ł
Ų¹ ŁŁŁ Ų§ŁŲµŁŁŲ§ŲŖ
“Tidak ada I’tikaf melainkan di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah.”[18]Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid Jami’ (masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum’at).[19]
Jika seorang diperkenankan untuk beri’tikaf di masjid yang di dalamnya tidak ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah, maka hal ini akan menimbulkan dua dampak negatif bagi seorang, yaitu,
- Meninggalkan shalat wajib secara berjama’ah yang diwajibkan kepada setiap pria.
- Atau menggiring seorang untuk keluar dari masjid yang digunakannya beri’tikaf untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah. Tindakan itu akan senantiasa terulang, padahal sangat memungkinkan dia tidak melakukannya, yaitu dengan memilih masjid yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Tindakannya tersebut justru akan menafikan tujuan i’tikaf, karena esensi I’tikaf adalah berdiam diri dan menegakkan ketaatan di dalam masjid.[20]
Jawab:
Teks lengkap hadits Hudzaifah tersebut adalah sebagai berikut, Ath Thahawi rahimahullah berkata Muhammad bin Sinan Asy Syairazi[21] memberitakan kepada kami, Hisyam bin ‘Ammar[22] memberitakan kepada kami, Sufyan ibn ‘Uyainah memberitakan kepada kami, riwayat dari Jami’ bin Abi Rasyid dari Abu Wail, dia mengatakan, Hudzaifah berkata kepada Abdullah,
Ų§ŁŁŲ§Ų³ Ų¹ŁŁŁ ŲØŁŁ ŲÆŲ§Ų±Ł ŁŲÆŲ§Ų±
Ų£ŲØŁ Ł
ŁŲ³Ł ŁŲ§ ŲŖŲŗŁŲ±؟! ، ŁŁŲÆ Ų¹ŁŁ
ŲŖ Ų£Ł Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
ŁŲ§Ł : « ŁŲ§
Ų§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł Ų„ŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų³Ų§Ų¬ŲÆ Ų§ŁŲ«ŁŲ§Ų«Ų© : Ų§ŁŁ
Ų³Ų¬ŲÆ Ų§ŁŲŲ±Ų§Ł
ŁŁ
Ų³Ų¬ŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
ŁŲ³ŁŁ
ŁŁ
Ų³Ų¬ŲÆ ŲØŁŲŖ Ų§ŁŁ
ŁŲÆŲ³ » ŁŲ§Ł : Ų¹ŲØŲÆ Ų§ŁŁŁ ŁŲ¹ŁŁ ŁŲ³ŁŲŖ ŁŲŁŲøŁŲ§ ، ŁŲ£Ų®Ų·Ų£ŲŖ
ŁŲ£ŲµŲ§ŲØŁŲ§
“Terdapat sekelompok orang yang beri’tikaf di antara rumahmu dan
rumah Abu Musa, dan anda tidak menegurnya, padahal anda tahu rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Tidak ada I’tikad kecuali di tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabi, dan masjid Bait al-Maqdis? Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin anda yang lupa dan mereka yang mengingatnya, dan mungkin anda yang keliru dan merekalah yang benar.”[23]
Jawaban akan hal tersebut adalah sebagai berikut:[24]
Pertama, hadits tersebut masih diperselisihkan apakah berstatus marfu’ (bersambung kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau mauquf (hanya sampai kepada Hudzaifah radhiallahu ‘anhu saja), yang tepat hadits tersebut berstatus mauquf.[25]
Kedua, dalam riwayat tersebut, sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak menerima riwayat Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Hal ini tidak mungkin terjadi seandainya Ibnu Mas’ud mengetahui bahwa hadits tersebut memang sanadnya bersambung sampai kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut berasal dari ijtihad Hudzaifah radhiallahu ‘anhu semata.[26]
Ketiga, jika memang benar riwayat Hudzaifah tersebut shahih dan marfu’, maka hadits tersebut menjelaskan keutamaan yang lebih jika I’tikaf dilakukan di ketiga masjid tersebut. Al Kasani rahimahullah[27] mengatakan, “I’tikaf yang paling utama dikerjakan di masjid al-Haram, kemudian di masjid Madinah, masjid al-Aqsha, dan masjid besar yang banyak jama’ahnya.”
Keempat, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“I’tikaf di selain masjid yang tiga, yaitu masjid al-Haram, masjid an-Nabawi, dan masjid al-Aqsha, disyari’atkan pada waktunya dan tidak hanya khusus di tiga masjid tersebut. Bahkan, I’tikaf itu dapat dilakukan di masjid selain ketiga masjid tersebut.
Inilah pendapat para imam kaum muslimin, para imam madzhab yang
diikuti oleh kaum muslimin, yaitu imam Ahmad, Malik, Asy Syafi’i, Abu
Hanifah, dan selain mereka rahimahumullah berdasarkan firman Allah ta’ala,
Dengan demikian, redaksi ayat ini, -yang menyebutkan perihal i’tikaf-, (juga) merupakan seruan kepada setiap orang yang diseru untuk menunaikan puasa. Oleh karena itu, berbagai hukum yang saling terkait ini ditutup dalam redaksi dan seruan yang berbunyi,
Adapun hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu dengan redaksi “ŁŲ§ Ų§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł Ų„ŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ Ų³Ų§Ų¬ŲÆ Ų§ŁŲ«ŁŲ§Ų«Ų©”, jika memang selamat dari berbagai cacat, maksudnya adalah menafikan kesempurnaan (i’tikaf yang dilaksanakan di selain ketiga masjid tersebut). Dengan demikian, maknanya adalah I’tikaf yang paling sempurna adalah yang dilakukan di tiga masjid tersebut, dikarenakan kemuliaan dan keutamaan ketiga masjid tersebut daripada masjid-masjid yang lain.
Redaksi seperti ini banyak contohnya dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksud saya bahwa penafian (yang terdapat dalam redaksi sebuah hadits) terkadang maksudnya penafian kesempurnaan, bukan (semata-mata) penafian hakikat (eksistensi) dan keabsahan sesuatu.
Hal ini seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan hadits yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa hukum asal penafian yang terdapat dalam suatu nash adalah penafian keabsahan dan eksistensi sesuatu. Akan tetapi, apabila terdapat dalil yang tidak mendukung hal tersebut, maka wajib berpegang dengannya. Hal ini sebagaimana hadits Hudzaifah, jika memang hadits tersebut selamat dari berbagai cacat. Wallahu a’alam.[28]
Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa, bukankah puasa termasuk syarat i’tikaf berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan I’tikaf dengan berpuasa?
Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, pendapat yang terkuat adalah puasa bukanlah syarat untuk mengerjakan I’tikaf. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut:[29]
Pertama, firman Allah ta’ala,
Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.
Kedua, firman Allah ta’ala,
Pada ayat ini Allah menyebut tindakan kaum musyrikin yang berdiam di samping berhala mereka dengan sebutan i’tikaf, meskipun mereka tidak berpuasa. Maka seorang yang mengekang diri untuk Allah di rumah-Nya (yakni masjid), bisa juga disebut seorang yang beri’tikaf, meskipun dia tidak berpuasa.
Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits di atas menunjukkan bahwa I’tikaf dapat dilakukan tanpa dibarengi dengan puasa, karena malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Jika puasa merupakan syarat I’tikaf, tentulah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan ‘Umar radhiallahu ‘anh untuk beri’tikaf.
Keempat, pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan dan baru melaksanakannya pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.[31]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat I’tikaf, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal dan hari ‘Ied termasuk di dalam rentang waktu tersebut. Telah dimaklumi bersama bahwa berpuasa ketika hari ‘Ied tidak diperbolehkan, karena nabi melarang hal tersebut.[32]
Kelima, Thawus rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya.[33]
Keenam, seorang yang beri’tikaf lebih dari sehari, maka tentu dia akan beri’tikaf di siang dan malam hari. Konsekuensi pendapat yang menyatakan puasa merupakan syarat I’tikaf adalah status I’tikaf yang dilakukan orang tersebut pada malam hari tidaklah sah.
Adapun tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa berpuasa ketika beri’tikaf, maka bisa kita menjawabnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah lebih memilih kondisi yang paling afdhal dalam I’tikaf yang dilakukannya. Oleh karena itu, beliau beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, padahal beri’tikaf di selain waktu tersebut diperbolehkan. Demikian pula, beliau beri’tikaf selama sepuluh hari, padahal beri’tikaf dalam rentang waktu yang lebih pendek dari itu juga diperbolehkan.
[1] Taisir Karim ar Rahman hlm. 340.
[2] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.
[3] Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alu Asy Syaikh.
[4] Tafsir Quran al-’Azhim 2/308; Asy Syamilah.
[5] Al Hawi 1/384. Dikutip dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 73.
[6] HR. Bukhari: , Muslim: .
[7] Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”
[8] HR. Bukhari: 304.
[9] ‘Umdah al-Qari 3/280; Asy Syamilah.
[10] HR. Bukhari: 1936.
[11] HR. Bukhari: 1940.
[12] Al Mughni 3/151.
[13] Tafsir Surat Al Baqarah 2/358.
[14] Fath al Baari 4/345.
[15] HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297.
[16] Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324; Asy Syamilah.
[17] Salah satu dalil akan hal ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
[18] HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad).
[19] Al Majmu’ 6/480; Asy Syamilah.
Catatan: Seorang yang tidak beri’tikaf di masjid Jami’, maka wajib keluar untuk shalat Jum’at. Keluarnya tersebut terhitung sebagai udzur syar’i sehingga tidak membatalkan i’tikafnya, lagipula hal itu hanya dilakukan sekali dalam seminggu, tidak berulangkali. Al Kasani rahimahullah mengatakan, “Demikian pula keluar untuk menunaikan shalat Jum’at termasuk darurat, karena hukum menunaikan shalat Jum’at adalah faradhiallahu ‘anhuu ‘ain dan tidak mungkin dilaksanakan di setiap masjid. Sehingga, seorang harus keluar (ke masjid Jami’) untuk menunaikannya seperti (seorang yang keluar dari masjid tempatnya beri’tikaf) untuk menunaikan hajat. Keluarnya tersebut tidaklah membatalkan i’tikafnya.” (Badai’ Ash-Shanai’ 2/114).
[20] Al Mughni 3/187. Dikutip dari ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 64.
[21] Adz Dzahabi rahimahullah dalam al Mizan 3/575 menyifati beliau dengan “ŲµŲ§ŲŲØ Ł ŁŲ§ŁŲ±”, perawi yang sering membawakan riwayat mungkar.
[22] Memiliki kelemahan dalam hafalan dan tatkala memasuki usia senja hafalan beliau mulai berubah. Lihat at-Tahdzib 11/51-54.
[23] HR. Ath Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/265; Asy Syamilah.
[24] Bagi para pembaca yang ingin memperluas pembahasan hal ini, dapat melihat Fiqh al-I’tikaf hlm. 120-123, ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 66-69, al-Inshaf fi Ahkam al-I’tikaf hlm. 26-41.
[25] HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 4/348.
[26] Asy Syaukani rahimahullah ketika mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengingkari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, berkata,
“Perkataan beliau (Ibnu Mas’ud) ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan ini, Hudzaifah tidak berdalil dengan satu hadits pun yang berasal dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hal itu diperkuat karena) Abdullah (Ibnu Mas’ud) menyelisihinya dan (malah) membolehkan I’tikaf dilakukan di setiap masjid. Jika terdapat hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang menerangkan hal itu) tentulah Abdullah bin Mas’ud tidak menyelisihinya.” (Nailul Authar 4/360).
[27] Badai’ ash Shanai’ 2/113.
[28] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin 20/112; Asy Syamilah.
[29] Diadaptasi dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 98-106.
[30] HR. Bukhari: 1927.
[31] HR. Muslim: 1172.
[32] HR. Muslim: 1140.
[33] HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 8370.
ŁَŁŲ§َ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ
ŁَŲ£َŁŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ ŲŖِŁْŁَ ŲُŲÆُŁŲÆُ Ų§ŁŁَّŁِ ŁَŁŲ§َ
ŲŖَŁْŲ±َŲØُŁŁَŲ§ ŁَŲ°Ų§ŁِŁَ ŁُŲØَŁِّŁُ Ų§ŁŁَّŁُ Ų¢ŁَŲ§ŲŖِŁِ ŁِŁŁَّŲ§Ų³ِ ŁَŲ¹َŁَّŁُŁ
ْ
ŁَŲŖَّŁُŁŁَ
Kata “Ų§ŁŁ
Ų³Ų§Ų¬ŲÆ” dalam ayat tersebut umum dan mencakup seluruh masjid
di penjuru bumi. Redaksi ayat ini berada dalam urutan akhir dari
rentetan ayat-ayat puasa yang hukumnya mencakup seluruh umat Islam di
penjuru bumi.Dengan demikian, redaksi ayat ini, -yang menyebutkan perihal i’tikaf-, (juga) merupakan seruan kepada setiap orang yang diseru untuk menunaikan puasa. Oleh karena itu, berbagai hukum yang saling terkait ini ditutup dalam redaksi dan seruan yang berbunyi,
ŲŖِŁْŁَ ŲُŲÆُŁŲÆُ Ų§ŁŁَّŁِ ŁَŁŲ§َ ŲŖَŁْŲ±َŲØُŁŁَŲ§ ŁَŲ°Ų§ŁِŁَ ŁُŲØَŁِّŁُ Ų§ŁŁَّŁُ Ų¢ŁَŲ§ŲŖِŁِ ŁِŁŁَّŲ§Ų³ِ ŁَŲ¹َŁَّŁُŁ
ْ ŁَŲŖَّŁُŁŁَ
Sangat mustahil, Allah memerintahkan umat ini dengan sebuah seruan
yang hanya mencakup sebagian kecil dari umat ini (padahal di awal
rentetan ayat, Allah menyeru semua umat ini).Adapun hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu dengan redaksi “ŁŲ§ Ų§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł Ų„ŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ Ų³Ų§Ų¬ŲÆ Ų§ŁŲ«ŁŲ§Ų«Ų©”, jika memang selamat dari berbagai cacat, maksudnya adalah menafikan kesempurnaan (i’tikaf yang dilaksanakan di selain ketiga masjid tersebut). Dengan demikian, maknanya adalah I’tikaf yang paling sempurna adalah yang dilakukan di tiga masjid tersebut, dikarenakan kemuliaan dan keutamaan ketiga masjid tersebut daripada masjid-masjid yang lain.
Redaksi seperti ini banyak contohnya dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksud saya bahwa penafian (yang terdapat dalam redaksi sebuah hadits) terkadang maksudnya penafian kesempurnaan, bukan (semata-mata) penafian hakikat (eksistensi) dan keabsahan sesuatu.
Hal ini seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ŁŲ§ ŲµŁŲ§Ų© ŲØŲŲ¶Ų±Ų© Ų·Ų¹Ų§Ł
“Tidak sempurna shalat seorang ketika makanan telah dihidangkan baginya”dan hadits yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa hukum asal penafian yang terdapat dalam suatu nash adalah penafian keabsahan dan eksistensi sesuatu. Akan tetapi, apabila terdapat dalil yang tidak mendukung hal tersebut, maka wajib berpegang dengannya. Hal ini sebagaimana hadits Hudzaifah, jika memang hadits tersebut selamat dari berbagai cacat. Wallahu a’alam.[28]
Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa, bukankah puasa termasuk syarat i’tikaf berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan I’tikaf dengan berpuasa?
Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, pendapat yang terkuat adalah puasa bukanlah syarat untuk mengerjakan I’tikaf. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut:[29]
Pertama, firman Allah ta’ala,
ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ (Ł”ŁØŁ§)
“Sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.
Kedua, firman Allah ta’ala,
ŁَŲ¬َŲ§ŁَŲ²ْŁَŲ§ ŲØِŲØَŁِŁ
Ų„ِŲ³ْŲ±َŲ§Ų¦ِŁŁَ Ų§ŁْŲØَŲْŲ±َ ŁَŲ£َŲŖَŁْŲ§ Ų¹َŁَŁ ŁَŁْŁ
ٍ ŁَŲ¹ْŁُŁُŁŁَ Ų¹َŁَŁ
Ų£َŲµْŁَŲ§Ł
ٍ ŁَŁُŁ
ْ ŁَŲ§ŁُŁŲ§ ŁَŲ§ Ł
ُŁŲ³َŁ Ų§Ų¬ْŲ¹َŁْ ŁَŁَŲ§ Ų„ِŁَŁًŲ§ ŁَŁ
َŲ§ ŁَŁُŁ
ْ
Ų¢ŁِŁَŲ©ٌ ŁَŲ§Łَ Ų„ِŁَّŁُŁ
ْ ŁَŁْŁ
ٌ ŲŖَŲ¬ْŁَŁُŁŁَ (Ł”Ł£ŁØ)
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang bertapa (beri’tikaf) menyembah berhala mereka,
Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk Kami sebuah Tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa
menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui
(sifat-sifat Tuhan).” (Al A’raaf: 138).Pada ayat ini Allah menyebut tindakan kaum musyrikin yang berdiam di samping berhala mereka dengan sebutan i’tikaf, meskipun mereka tidak berpuasa. Maka seorang yang mengekang diri untuk Allah di rumah-Nya (yakni masjid), bisa juga disebut seorang yang beri’tikaf, meskipun dia tidak berpuasa.
Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ŁُŁْŲŖُ ŁَŲ°َŲ±ْŲŖُ ŁِŁ Ų§ŁْŲ¬َŲ§ŁِŁِŁَّŲ©ِ Ų£َŁْ Ų£َŲ¹ْŲŖَŁِŁَ ŁَŁْŁَŲ©ً ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³ْŲ¬ِŲÆِ Ų§ŁْŲَŲ±َŲ§Ł
ِ ŁَŲ§Łَ « ŁَŲ£َŁْŁِ ŲØِŁَŲ°ْŲ±ِŁَ »
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf
semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[30]Hadits di atas menunjukkan bahwa I’tikaf dapat dilakukan tanpa dibarengi dengan puasa, karena malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Jika puasa merupakan syarat I’tikaf, tentulah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan ‘Umar radhiallahu ‘anh untuk beri’tikaf.
Keempat, pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan dan baru melaksanakannya pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.[31]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat I’tikaf, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal dan hari ‘Ied termasuk di dalam rentang waktu tersebut. Telah dimaklumi bersama bahwa berpuasa ketika hari ‘Ied tidak diperbolehkan, karena nabi melarang hal tersebut.[32]
Kelima, Thawus rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya.[33]
Keenam, seorang yang beri’tikaf lebih dari sehari, maka tentu dia akan beri’tikaf di siang dan malam hari. Konsekuensi pendapat yang menyatakan puasa merupakan syarat I’tikaf adalah status I’tikaf yang dilakukan orang tersebut pada malam hari tidaklah sah.
Adapun tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa berpuasa ketika beri’tikaf, maka bisa kita menjawabnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah lebih memilih kondisi yang paling afdhal dalam I’tikaf yang dilakukannya. Oleh karena itu, beliau beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, padahal beri’tikaf di selain waktu tersebut diperbolehkan. Demikian pula, beliau beri’tikaf selama sepuluh hari, padahal beri’tikaf dalam rentang waktu yang lebih pendek dari itu juga diperbolehkan.
[1] Taisir Karim ar Rahman hlm. 340.
[2] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.
[3] Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alu Asy Syaikh.
[4] Tafsir Quran al-’Azhim 2/308; Asy Syamilah.
[5] Al Hawi 1/384. Dikutip dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 73.
[6] HR. Bukhari: , Muslim: .
[7] Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”
[8] HR. Bukhari: 304.
[9] ‘Umdah al-Qari 3/280; Asy Syamilah.
[10] HR. Bukhari: 1936.
[11] HR. Bukhari: 1940.
[12] Al Mughni 3/151.
[13] Tafsir Surat Al Baqarah 2/358.
[14] Fath al Baari 4/345.
[15] HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297.
[16] Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324; Asy Syamilah.
[17] Salah satu dalil akan hal ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ŁَŁَŲÆْ ŁَŁ
َŁ
ْŲŖُ Ų£َŁْ
Ų¢Ł
ُŲ±َ ŲØِŲ§ŁŲµَّŁŲ§َŲ©ِ ŁَŲŖُŁَŲ§Ł
َ Ų«ُŁ
َّ Ų£ُŲ®َŲ§ŁِŁَ Ų„ِŁَŁ Ł
َŁَŲ§Ų²ِŁِ ŁَŁْŁ
ٍ ŁŲ§َ
ŁَŲ“ْŁَŲÆُŁŁَ Ų§ŁŲµَّŁŲ§َŲ©َ ŁَŲ£ُŲَŲ±ِّŁَ Ų¹َŁَŁْŁِŁ
ْ
“Saya sangat berkeinginan memerintahkan agar shalat ditegakkan,
kemudian saya bertolak ke rumah para pria yang tidak menghadiri shalat
berjama’ah, lalu saya bakar mereka.” (HR. Bukhari: 2288).[18] HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad).
[19] Al Majmu’ 6/480; Asy Syamilah.
Catatan: Seorang yang tidak beri’tikaf di masjid Jami’, maka wajib keluar untuk shalat Jum’at. Keluarnya tersebut terhitung sebagai udzur syar’i sehingga tidak membatalkan i’tikafnya, lagipula hal itu hanya dilakukan sekali dalam seminggu, tidak berulangkali. Al Kasani rahimahullah mengatakan, “Demikian pula keluar untuk menunaikan shalat Jum’at termasuk darurat, karena hukum menunaikan shalat Jum’at adalah faradhiallahu ‘anhuu ‘ain dan tidak mungkin dilaksanakan di setiap masjid. Sehingga, seorang harus keluar (ke masjid Jami’) untuk menunaikannya seperti (seorang yang keluar dari masjid tempatnya beri’tikaf) untuk menunaikan hajat. Keluarnya tersebut tidaklah membatalkan i’tikafnya.” (Badai’ Ash-Shanai’ 2/114).
[20] Al Mughni 3/187. Dikutip dari ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 64.
[21] Adz Dzahabi rahimahullah dalam al Mizan 3/575 menyifati beliau dengan “ŲµŲ§ŲŲØ Ł ŁŲ§ŁŲ±”, perawi yang sering membawakan riwayat mungkar.
[22] Memiliki kelemahan dalam hafalan dan tatkala memasuki usia senja hafalan beliau mulai berubah. Lihat at-Tahdzib 11/51-54.
[23] HR. Ath Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/265; Asy Syamilah.
[24] Bagi para pembaca yang ingin memperluas pembahasan hal ini, dapat melihat Fiqh al-I’tikaf hlm. 120-123, ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 66-69, al-Inshaf fi Ahkam al-I’tikaf hlm. 26-41.
[25] HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 4/348.
[26] Asy Syaukani rahimahullah ketika mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengingkari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, berkata,
“Perkataan beliau (Ibnu Mas’ud) ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan ini, Hudzaifah tidak berdalil dengan satu hadits pun yang berasal dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hal itu diperkuat karena) Abdullah (Ibnu Mas’ud) menyelisihinya dan (malah) membolehkan I’tikaf dilakukan di setiap masjid. Jika terdapat hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang menerangkan hal itu) tentulah Abdullah bin Mas’ud tidak menyelisihinya.” (Nailul Authar 4/360).
[27] Badai’ ash Shanai’ 2/113.
[28] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin 20/112; Asy Syamilah.
[29] Diadaptasi dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 98-106.
[30] HR. Bukhari: 1927.
[31] HR. Muslim: 1172.
[32] HR. Muslim: 1140.
[33] HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 8370.
Pembatal I’tikaf
a. Jima’ (bersetubuh)
Allah ta’ala berfirman,
ŁَŁŲ§ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
ŲØŁŁ Ų¬Ł ŲŖŲ¹Ų§ŁŁ Ų£Ł Ų§ŁŲ¬Ł
Ų§Ų¹ ŁŁŲ³ŲÆ Ų§ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§Ł ŁŲ§Ų¬Ł
Ų¹ Ų£ŁŁ Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ų¹ŁŁ Ų£Ł Ł
Ł Ų¬Ų§Ł
Ų¹ Ų§Ł
Ų±Ų£ŲŖŁ ŁŁŁ Ł
Ų¹ŲŖŁŁ Ų¹Ų§Ł
ŲÆŲ§ ŁŲ°ŁŁ ŁŁ ŁŲ±Ų¬ŁŲ§ Ų£ŁŁ Ł
ŁŲ³ŲÆ ŁŲ§Ų¹ŲŖŁŲ§ŁŁ
“Allah ta’ala menjelaskan bahwa berjima’ membatalkan i’tikaf dan
para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang berjima’ dengan istrinya
secara sengaja sementara dia sedang ber-i’tikaf, maka dia telah
membatalkan i’tikafnya.”[1]Ibnu Hazm mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat jima’ membatalkan i’tikaf.”[2]
b. Bercumbu
Bercumbu dengan pasangan yang disertai syahwat diharamkan bagi mu’takif berdasarkan kesepakatan ulama.[3] Namun, para ulama berselisih apakah hal itu membatalkan i’tikaf-nya.Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur yang menyatakan bercumbu tidaklah membatalkan i’tikafnya kecuali bercumbu tersebut menyebabkan dirinya orgasme (maaf: mengeluarkan mani).
Ath Thabari rahimahullah ketika mengomentari firman Allah ta’ala ” ŁَŁŲ§ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ “, beliau mengatakan,
ŁŲ£ŁŁŁ Ų§ŁŁŁŁŁŁ Ų¹ŁŲÆŁ
ŲØŲ§ŁŲµŁŲ§ŲØ ŁŁŁ Ł
Ł ŁŲ§Ł : Ł
Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ : Ų§ŁŲ¬Ł
Ų§Ų¹ Ų£Ł Ł
Ų§ ŁŲ§Ł
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų§Ų¹ Ł
Ł
Ų§ Ų£ŁŲ¬ŲØ ŲŗŲ³ŁŲ§
Ų„ŁŲ¬Ų§ŲØŁ ŁŲ°ŁŁ Ų£ŁŁ ŁŲ§ ŁŁŁ ŁŁ Ų°ŁŁ Ų„ŁŲ§ Ų£ŲŲÆ ŁŁŁŁŁ : Ų„Ł
Ų§ Ų¬Ų¹Ł ŲŁŁ
Ų§ŁŲ§ŁŲ© Ų¹Ų§Ł
Ų§ Ų£Ł
Ų¬Ų¹Ł ŲŁŁ
ŁŲ§ ŁŁ Ų®Ų§Ųµ Ł
Ł Ł
Ų¹Ų§ŁŁ Ų§ŁŁ
ŲØŲ§Ų“Ų±Ų© ŁŁŲÆ ŲŖŲøŲ§ŁŲ±ŲŖ Ų§ŁŲ£Ų®ŲØŲ§Ų± Ų¹Ł Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ ŲµŁŁ
Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
: Ų£Ł ŁŲ³Ų§Ų”Ł ŁŁ ŁŲ±Ų¬ŁŁŁ ŁŁŁ Ł
Ų¹ŲŖŁŁ ŁŁŁ
Ų§ ŲµŲ Ų°ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų¹ŁŁ
Ų£Ł
Ų§ŁŲ°Ł Ų¹ŁŁ ŲØŁ Ł
Ł Ł
Ų¹Ų§ŁŁ Ų§ŁŁ
ŲØŲ§Ų“Ų±Ų© Ų§ŁŲØŲ¹Ų¶ ŲÆŁŁ Ų§ŁŲ¬Ł
ŁŲ¹
“Pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang
menyatakan bahwa maknanya adalah jima’ dan segala hal yang serupa dengan
itu yang mengharuskan pelakunya mandi. Kemungkinan yang ada hanya dua,
yaitu memberlakukan ayat tersebut secara umum atau mengkhususkan ayat
tersebut untuk sebagian makna dari mubasyarah. Banyak hadits dari
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas menginformasikan
bahwa istri-istri beliau menyisir rambut beliau ketika sedang
ber-i’tikaf, maka dapat diketahui bahwa makna mubasyarah dalam ayat ini
hanya mencakup sebagian maknanya, bukan seluruhnya.”[4]
c. Keluar dari Masjid
Mu’takif diperkenankan keluar dari masjid jika terdapat udzur
syar’i atau hendak menunaikan suatu kebutuhan yang mendesak. Contoh
akan hal ini, mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid untuk makan dan
minum, jika tidak ada orang yang membawakan makanan dan minuman baginya
ke masjid. Demikian pula, dia diperbolehkan keluar masjid untuk mandi
janabah atau berwudhu, jika tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang ber-i’tikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak.”[5]
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa mu’takif yang keluar dari tempat i’tikafnya di dalam masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak, tidak pula karena darurat, atau melakukan suatu perkara kebaikan yang diperintahkan atau dianjurkan, maka i’tikaf yang dilakukannya telah batal.”[6]
d. Memutus Niat untuk ber-i’tikaf
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa niat untuk ber-i’tikaf termasuk
syarat i’tikaf. Dengan demikian, mu’takif yang tidak lagi berniat untuk
ber-i’tikaf, maka batallah i’tikafnya. Hal ini berdasarkan keumuman
sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ų„ِŁَّŁ
َŲ§ Ų§ŁْŲ£َŲ¹ْŁ
َŲ§Łُ ŲØِŲ§ŁŁِّŁَŲ§ŲŖِ
“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “[7]
Berbagai Perkara yang Dianjurkan ketika ber-i’tikaf
a. Memperbanyak ibadah mahdhah
Mu’takif (orang yang ber-i’tikaf) disyari’atkan memperbanyak ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, membaca Al-Quran, dzikir,
dan ibadah yang semisal. Berbagai ibadah ini dapat membantu seorang
untuk merealisasikan tujuan dan hikmah I’tikaf, yaitu memfokuskan hati
dalam beribadah kepada-Nya dan memutus kesibukan dengan makhluk.Demikian pula, yang termasuk dianjurkan adalah berpuasa ketika ber-i’tikaf di luar bulan Ramadhan menurut kalangan yang berpendapat bahwa puasa tidak termasuk sebagai syarat i’tikaf.
b. Melakukan ibadah muta’addiyah
Melakukan ibadah muta’addiyah (ibadah yang berdampak sosial) disyari’atkan bagi mu’takif apabila hukum ibadah muta’adiyah tersebut wajib dan tidak memakan waktu yang lama seperti mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, membalas salam, memberi fatwa, dan yang semisal.Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ibadah muta’addiyah ketika ber-i’tikaf apabila tidak wajib dan memakan waktu yang lama, seperti melaksanakan kajian atau berdiskusi dengan seorang ‘alim, dan yang semisal. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut disyari’atkan, sebagian yang lain berpendapat sebaliknya.
Ibnu Rusyd mengatakan, “Akar perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini adalah dikarenakan hal tersebut tidak disebutkan hukumnya. Maka, ulama yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri di masjid dengan melakukan aktivitas yang khusus, maka mereka berpendapat seorang mutakif hanya boleh melakukan ibadah shalat dan membaca Al-Quran. Sedangkan yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri dengan melakukan seluruh kegiatan ukhrawi, maka mereka membolehkan hal tersebut.”[8]
Pendapat yang kuat adalah hal tersebut disyari’atkan dan hal ini merupakan pendapat madzhab Hanafi[9] dan Syafi’i[10]. Pendapat ini berlandaskan pada beberapa dalil berikut:
Pertama, hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha[11], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan para istri beliau.
Kedua, hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu[12], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan memberi pengarahan kepada para sahabatnya.
Hukum yang terkandung dalam kedua hadits ini juga dapat diterapkan pada aktivitas kajian ketika ber-i’tikaf.
Ketiga, hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha[13] yang menyisirkan rambut nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau tengah ber-i’tikaf. Segi pendalilan dari hadits ini, jika menyisirkan rambut yang hukumnya mubah diperbolehkan tentulah melakukan ibadah selain shalat dan tilawah Al Quran lebih diperbolehkan.
c. Membuat Sekat atau Tenda di dalam Masjid
Disunnahkan bagi mu’takif, baik pria maupun wanita, membuat
sekat atau tenda yang bisa dipergunakan untuk mengisolir diri dari para
mu’takif lainnya. Hal ini berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[14] dan para istri beliau[15].Hal ini lebih ditekankan bagi wanita yang ber-i’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah agar dirinya tidak terlihat oleh para pria sehingga tidak menimbulkan fitnah.[16]
d. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
Mu’takif hendaknya meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[17] Hal ini berdasarkan dalil berikut:- Hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang telah lalu disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf di sebuah tenda kecil yang berpintukan lembaran tikar.[18]
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ber-i’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya).[19]
- Kedua hadits ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif hendaknya menyendiri agar bisa fokus beribadah dan hal itu baru dapat tercapai jika dia meninggalkan berbagai perkara yang tidak bermanfaat.
- Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ł
ِŁْ ŲُŲ³ْŁِ Ų„ِŲ³ْŁŲ§َŁ
ِ Ų§ŁْŁ
َŲ±ْŲ”ِ ŲŖَŲ±ْŁُŁُ Ł
َŲ§ ŁŲ§َ ŁَŲ¹ْŁِŁŁِ
“Merupakan tanda baiknya keislaman seorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya.”[20]
e. Bergegas Menunaikan Shalat Jum’at
Mu’takif yang tidak beri’tkaf di masjid Jami’ dianjurkan untuk bergegas menunaikan shalat Jum’at berdasarkan keumuman hadits yang menganjurkan seorang untuk bersegera pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at.[21]
f. Tetap Berdiam di Masjid ketika Malam ‘Ied
Sebagian ulama menganjurkan agar mu’takif tetap berdiam di masjid pada malam ‘Ied dan baru keluar ketika hendak menunaikan shalat ‘Ied.[22]
Berbagai Perkara yang Diperbolehkan ketika ber-i’tikaf
a. Minum, Makan, dan Tidur
Ulama sepakat bahwa mu’takif diperbolehkan makan, minum, dan tidur di dalam masjid.[23] Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:Firman Allah ta’ala,
ŁَŁŲ§ ŲŖُŲØَŲ§Ų“ِŲ±ُŁŁُŁَّ ŁَŲ£َŁْŲŖُŁ
ْ Ų¹َŲ§ŁِŁُŁŁَ ŁِŁ Ų§ŁْŁ
َŲ³َŲ§Ų¬ِŲÆِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif haruslah berada di dalam masjid, dengan demikian hal tersebut berkonsekuensi dirinya makan, minum, dan tidur di dalam masjid.
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ber-i’tikaf tidak masuk ke dalam rumah kecuali terdapat kebutuhan yang mendesak.[24] Sehingga dapat dipahami bahwa beliau makan, minum, dan tidur di dalam masjid.
b. Dikunjungi Keluarga
Mu’takif boleh menerima kunjungan keluarganya berdasarkan Hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha yang datang menjenguk beliau ketika ber-i’tikaf. [25]
Namun, kunjungan tersebut hendaklah tidak terlalu lama dan tidak sering dilakukan sehingga tidak mengurangi nilai dan tujuan ber-i’tikaf.
c. Menikah dan Menikahkan
Mu’takif juga diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, menjadi saksi
dalam pernikahan yang dilangsungkan di dalam masjid tempat dirinya
ber-i’tikaf.Dalil bagi hal ini adalah dalil-dalil yang membolehkan seorang mu’takif menjenguk orang sakit dan menyalati jenazah di dalam masjid. Selain itu, semua hal tersebut merupakan ketaatan dan pada umumnya tidak banyak menyita waktu, sehingga tidak menafikan tujuan ber-i’tikaf.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Seorang mu’takif diperbolehkan menikah dan menikahkan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i dalam Al Muktashar dan para rekan (beliau) sepakat akan hal ini serta saya tidak tahu ada khilaf akan hal ini.”[26]
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Buaran Indah, Tangerang.
Maraji’ :
- Al Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir; Asy Syamilah.
- Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf karya Syaikh ‘Ali Hasan al Halabi.
- Al Jami’ li Ahkam Al Quran karya Imam Al Qurthubi; Asy Syamilah.
- Al Majmu’ karya Imam An Nawawi; Asy Syamilah.
- Al Qur-an dan Terjemahannya
- Fiqhul I’tikaf karya Syaikh Dr. Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih.
- Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin; Asy Syamilah.
- Shahih Fiqhis Sunnah jilid 2 karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim
- Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alusy Syaikh.
- Tafsir Quran al-’Azhim 2/308 karya Imam Ibnu Katsir; Asy Syamilah.
- Tafsir Surat Al Baqarah 2/358 karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin.
- Taisir Karim ar Rahman karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di.
- ‘Umdah al-Qari karya Imam Al ‘Aini; Asy Syamilah.
- ‘Uudu ila Khairil ‘Ibad karya Syaikh Dr. Muhammad bin Isma’il Al Muqaddam.
- Zaadul Ma’ad karya Imam Ibnul Qayyim.
- Dll.
[1] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/324.
[2] Maratibul Ijma’ hlm. 41.
[3] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/332; Tafsir Ibnu Katsir 1/298; Asy Syamilah.
[4] Jami’ul Bayan 2/181.
[5] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.
[6] Maratibul Ijma’ hlm. 48.
[7] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.
[8] Bidayatul Mujtahid 1/312.
[9] Fathul Qadir 2/396.
[10] Al Umm 2/105; Al Majmu’ 6/528.
[11] HR. Bukhari: 1933.
[12] HR. Muslim: 1167.
[13] HR. Bukhari: 1925; HR. Muslim: 297.
[14] HR. Muslim: 1167.
[15] HR. Bukhari: 1929.
[16] Asy Syarhul Kabir ma’al Inshaf 7/582.
[17] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Majmu’ 6/533.
[18] HR. Muslim: 1167.
[19] HR. Muslim: 1172.
[20] HR. Tirmidzi: 2318.
[21] HR. Bukhari: 841; Muslim: 850.
[22] Al Muwaththa:1/315; Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.
[23] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Mudawwanah 1/206; Raudhatut Thalibin 2/393; Al Mughni 4/383.
[24] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.
[25] HR. Bukhari: 1933.
[26] Al Majmu’ 6/559.
Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar