Oleh Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais
Hari raya adalah hari yang di dalamnya ditumpahkan segala rasa suka cita
yang senantiasa dirayakan oleh umat-umat terdahulu hingga kita sekarang
ini. Mereka mengungkapkan segala makna ‘ubudiah (peribadahan) kepada
Sembahan-Sembahan mereka dengan berbagai macam acara yang menurut
persangkaan mereka hal tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang dapat
mendekatkan diri mereka dan memerintahkan kepada pemeluknya untuk
menegakkan kembali fitrah mereka yang lurus dan kokoh mengakar pada
jiwa-jiwa mereka. Namun di antara manusia lebih memilih
perbuatan-perbuatan kosong yang tidak bermanfaat, baik ucapan ataupun
perbuatan dan lebih condong kepada hawa nafsu mereka yang dipenuhi
dengan keburukan dan kejelekkan, sehingga tidak lagi menghiraukan seruan
fithrah mereka.
Islam melarang perbuatan-perbuatan (kosong yang tidak bermanfaat)
seperti merayakan hari raya-hari rayanya orang-orang kafir ataupun ikut
menyaksikannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zur –perbuatan maksiat- dan
apabila mereka melewati perbuatan yang sia-sia (main-main) mereka
melewatinya dengan penuh kemuliaan". [al-Furqan:73]
Para Ulama’ seperti Mujahid, Ibnu Sirin, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah
rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah
hari raya jahiliyah.
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau
mendapati penduduk Madinah merayakan dua hari raya untuk
bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah, maka beliau
bersabda :
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ بِهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
"Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya yang kalian
bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah, dan Allah telah
menggantikan keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian : “Hari raya
kurban dan hari berbuka.". [HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i]
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakr Radhiyallahu 'anhu :
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمَ
"Wahai Abu Bakar sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita".
Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari Arafah, hari qurban dan hari-hari mina adalah hari raya kami, umat
Islam dan hari-hari itu adalah hari makan dan minum". [HR. Abu Daud,
Nasa’ i dan Tirmidzi]
Hal seperti ini memberikan rasa yang lain bagi seorang muslim bahwasanya
dia berbeda dengan penganut agama lain, yang bathil dan sesat, sebab
merekapun memiliki hari raya - hari raya yang khusus. Dan ketika seorang
muslim merasa bangga dengan selain dari kedua hari raya yang telah
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini
akan menyebabkan hilangnya rasa benci kepada orang kafir di dalam
hatinya, dan menghilangkan rasa untuk berlepas diri dari mereka dan dari
perbuatan mereka. Padahal hal tersebut merupakan prinsip yang paling
mendasar dari aqidah seorang muslim, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut". [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya]
Dan saat itu pula rasa bangga dan cinta terhadap hari raya-hari raya
kaum muslimin akan hilang sedikit demi sedikit dari hatinya, sehingga
tidak tersisa sedikitpun.
Berkaitan dengan hal tersebut Syaikhul Islam rahimahullah berkata di dalam Fatawanya:
"Seorang hamba apabila menjadikan dari sebagian hajatnya bukan dari
perkara-perkara yang disyariatkan maka akan memudarlah kecintaanya
terhadap syariat dan keinginannya untuk mengambil manfaat dari syariat
sesuai dengan penyimpanganya terhadap selain yang disyariatkan, berbeda
dengan orang-orang yang mengarahkan kehendak dan keinginannya terhadap
sesuatu yang disyariatkan maka dia lebih mengagungkan kecintaannya
terhadap syariat dan lebih mengutamakan untuk mengambil manfaat dari apa
yang disyariatkan sehingga semakin sempurnalah diinnya dan sempurnalah
Islamnya. Oleh karenanya kamu dapati orang yang gemar mendengarkan musik
dan lagu –qashidah- untuk kebaikan hatinya (katanya!) akan berkurang
kecintaannya untuk mendengarkan Al-Qur’an". [Al-Fatawa].
Di dalam perayaan suatu hari raya, di dalamnya terkandung
keyakinan-keyakinan dari agama-agama tertentu, maka tatkala seorang
muslim ikut serta di dalam suatu perayaan atau pesta hari raya orang
kafir, maka merupakan suatu kepastian dia akan terjerumus ke dalam
kesesatan yang ada pada agama-agama mereka dan mungkin juga akan
terjerumus ke dalam kesyirikan.
HARI RAYA -IED- MERUPAKAN MOMENTUM PERIBADAHAN
Kita tahu bahwasanya setiap umat memiliki hari-hari khusus sebagai hari
raya mereka, yang mereka memfokuskan di dalamnya dengan berbagai macam
keyakinan mereka dan ajaran-ajaran yang mereka dapat dengan
turun-temurun. Bagi mereka, hari raya adalah merupakan suatu momentum
ibadah, ketundukkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala atau
perbuatan kefasikan atau kekejian, permainan dan lain sebagainya.
Sebagaimana hal itu terjadi dan kita dapati pada hari raya-hari raya
kaum Nashara, di antaranya adalah hari raya awal tahun (tahun baru), dan
hari raya akhir tahun (natal).
Adapun Ied –hari raya- di dalam Islam memiliki makna tersendiri saat
mulai datangnya Islam, semua jejak-jejak peribadahan dihapuskan yang
sebelumnya begitu diagungkan oleh penganutnya dan tidak tersisa
sedikitpun. Islam mengarahkannya hanya untuk pengagungan Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata. Islam menghadirkan dua hari raya yang dirayakan
setelah dua ibadah yang sangat agung di dalam Islam:
Yang Pertama: ‘Iedul Fithri, hadir setelah selesainya kewajiban siyam
Ramadlan, yang di dalamnya seorang muslim mencegah syahwatnya dan
menahan keinginan-keinginan kemanusiaannya, mereka juga menghidupkan
malam-malamnya dengan berdiri shalat di hadapan Allah Azza wa Jalla,
sujud dan ruku’ dengan merendahkan dan menghinakan diri memenuhi
seruan-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Yang di dalam sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan itu terdapat satu malam yang merupakan malam terbaik
dalam setahun, yakni Lailatul Qadar (malam kemuliaan).
Yang Kedua: ‘Iedul Adha (hari berkurban), hari terakhir dari sepuluh
hari pada bulan Dzulhijjah, yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyebutkan di dalam sabdanya:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
"Tiada hari-hari yang amal-amal shalih lebih Allah cintai dari hari-hari
ini (yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah)”. Beliau ditanya:
“Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di
jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya
kemudian tidak kembali sama sekali". [HR. Bukhari].
Di dalam riwayat lain disebutkan:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
"Tiada haripun yang lebih agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
tidaklah amal shalih lebih dicintaiNya di dalamnya daripada hari-hari
yang sepuluh ini (sepuluh awal bulan Dzulhijjah) maka perbanyaklah
tahlil, takbir, tahmid di dalamnya". [HR. Ahmad dan Thabrani]
Hari raya ‘Idul Adha datang kepada kaum muslimin setelah berlalu
hari-hari yang dipenuhi dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, siyam,
shadaqah dan ibadah lainnya, datang kepada mereka sedangkan kaum
muslimin yang lainnya berada di tanah suci memenuhi panggilanNya.
IED (HARI RAYA) ADALAH HARI IBADAH
Kita tahu bahwasanya dua hari raya yang ada di dalam Islam dikaitkan
oleh syariat dengan kaitan-kaitan yang disyariatkan, demikian pula
disyariatkan di dalamnya ibadah-ibadah yang agung yang mengikatkan umat
dengan agamanya. Seperti halnya di dalam ‘Idul Fithri, diwajibkan bagi
kaum muslimin untuk berbuka dan diharamkan berpuasa pada hari itu.
Seorang muslim beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari
tersebut dengan berbuka sebagaimana beribadah kepada-Nya dengan berpuasa
pada hari–hari sebelumnya (bulan Ramadhan). Juga disyari’atkan
didalamnya untuk bertakbir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana
Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa) dan bertakbir
–mengagungkan- Allah atas apa yang telah Dia berikan kepadamu agar
kalian menjadi orang-orang yang bersyukur". [al-Baqarah:185]
Pada hari raya ‘Idul Fithri Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan secara
khusus dikeluarkannya zakat fithri yang diberikan kepada saudara sesama
muslim yang kekurangan dan membutuhkan.
Sedangkan pada hari raya ‘Idhul Adha seorang muslim mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menyembelih kurban, sebagai
tanda peribadahannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasa syukur
atas nikmat-nikmat-Nya, juga sebagai tanda meneladani Nabi Ibrahim
Alaihissallam (khalilur rahman/ kekasih Allah) saat di mana dia diuji
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menyembelih anaknya (Ismail
Alaihissallam) dan beliau menyambutnya dengan penuh ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Begitu pula di samping ada pada dirinya rasa untuk mencontoh nabi
Ibrahim Alaihissallam dengan menyembelih kurban bagi Allah Subhanahun wa
Ta'ala, diapun siap siaga untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah.
Tidakkah umat mengambil pelajaran dari hal-hal seperti ini? Tidakah umat
mengambil teladan dari kisah-kisah para syuhada’ yang mempersembahkan
leher-leher mereka begitu murahnya untuk membela kalimat Allah?
Maka, tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya, diapun akan
menunggu perintah untuk menyerahkan lehernya di jalan Allah Subhanahu wa
Ta'ala. sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Seandainya dengan leher-leher mereka Allah akan ridha
Maka merekapun akan menyerahkannya dengan taat dan menerima perintah
Sebagaimana mereka menyerahkannya saat jihad
Kepada musuh-musuh mereka sampai darah mengalir dari leher-leher mereka
Namun mereka enggan untuk menyerahkan leher-leher mereka
Dan yang demikian adalah kehinaan bagi seorang hamba dan bukan ketinggian.
HARI RAYA DAN TAKBIR
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia setelah ayat-ayat puasa:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan agar kalian sempurnakan bilangannya dan agar kalian bertakbir –mengagungkan- kepada Allah atas apa yang telah Allah berikan kepada kalian, dan agar kalian bersyukur". [al-Baqarah:185]
Kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada hari Iedul
Fithri sambil bertakbir sampai ke musholla dan sampai selesai shalat,
dan apabila shalat selesai, beliau menghentikan takbir.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, beliau menjawab:
“Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling baik tentang masalah
takbir yang dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama Salaf dan Fuqaha dari
kalangan sahabat dan para Imam adalah bertakbir mulai pagi hari Arafah
(9 Dzulhijjah) sampai akhir dari hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13
Dzulhijjah) setelah shalat, dan disyariatkan bagi tiap orang untuk
menjaharkan (mengkeraskan suara) saat bertakbir ketika keluar untuk
‘Ied, dan hal ini berdasarkan kesepakatan para Imam yang empat. Dan
adalah Ibnu ‘Umar apabila keluar –ke mushalla- pada hari raya ‘Iedul
Fitri dan ‘Iedul Adha menjaharkan takbir sampai ke mushalla kemudian
bertakbir sampai datangnya Imam". [Al-Fatawa]
Tatkala kita jumpai jalan-jalan penuh dengan orang-orang menuju mushalla
(lapangan) sambil mengumandangkan takbir dengan suara yang nyaring,
dengan menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka
pemandangan semacam ini akan membangkitkan ruh kekuatan dan kemulian
bagi umat. Bagi orang yang menyaksikan akan merasakan bahwasanya umat
terikat dengan diinnya dan tidak akan berpaling dan mengarahkan wajah
kepada selain Allah. Allah adalah Maha Besar bagi mereka dibandingkan
segala sesuatu yang diagungkan oleh seluruh manusia selain-Nya, dengan
penuh kecintaan, pengharapan, takut dan pengagungan terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI HARI RAYA
Kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ied pada dua hari
raya –‘Iedul Fithri dan Iedul Adha- di mushalla (lapangan), yang
letaknya di pintu kota Madinah bagian timur. Beliau memakai pakaian yang
paling baik, beliau juga memiliki selendang yang beliau pakai saat dua
hari raya dan hari jum’at. Dan sebelum pergi ke mushalla pada ‘Iedul
Fithri, beliau makan beberapa biji kurma dan beliau memakannya dengan
jumlah yang ganjil. Adapun pada ‘Iedul Adha beliau tidak makan sampai
beliau kembali dari mushalla, dan belaiu makan dari sembelihan kurban.
Beliau mandi pada dua hari raya, ada hadits dari beliau tentang masalah
ini, dan juga terdapat dua hadits yang dha’if dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhu dari riwayat Jabarah Ibnu Mughlis dan hadits faqih
Ibn Da’id dari riwayat Yusni Ibn Kharij As-Samthi. Namun juga ada
riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu yang dikenal kuat
mengikuti Sunnah, bahwa beliau mandi pada hari ‘Ied sebelum pergi ke
lapangan.
Beliau membuka khuthbahnya dengan pujian kepada Allah, dan tidak
terdapat riwayat yang shahih bahwa beliau membuka khutbahnya dengan
takbir pada dua hari raya. Dan beliau memberi keringanan bagi orang yang
menghadiri ‘Ied untuk duduk mendengarkan khutbah atau tidak
mendengarkannya. Juga beliau memberikan keringanan bagi kaum muslimin,
apabila hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup diadakan
shalat Ied dan tidak diadakan shalat Jum’at.
Dan pada hari ‘Ied beliau mengambil jalan yang berbeda antara pergi dan
pulangnya, ada yang mengatakan hikmahnya adalah untuk memberi salam
kepada orang-orang yang melewati jalan tersebut. Ada juga yang
mengatakan agar orang-orang yang melewati jalan-jalan tersebut mendapati
berkahnya. Ada juga yang mengatakan untuk menunaikan kebutuhan dari
orang-orang yang memiliki kebutuhan. Ada juga yang mengatakan untuk
menampilkan syiar-syiar Islam ke segala penjuru yang beliau lalui. Ada
juga yang mengatakan untuk menimbulkan kemarahan orang-orang munafiq
tatkala melihat kemulian Islam dan para pemeluknya serta tegaknya
syiar-syiar Islam. Ada juga yang mengatakan untuk memperbanyak
persaksian dari tanah yang dilewati, karena orang-orang yang pergi ke
masjid di antara langkah-langkahnya ada yang meninggikan derajat dan
yang lain menghapuskan dosa-dosa sampai dia kembali ke rumahnya. Ada
juga yang mengatakan -dan ini adalah pendapat yang paling shahih- bahwa
yang beliau lakukan adalah untuk hikmah-hikmah yang telah disebutkan di
atas dan hikmah-hikmah lain yang belum disebutkan. [Diambil dari Zadud
Ma’ad dari berbagai tempat]
HARI RAYA DAN JAMA'AH
Pada hari ‘Ied disyariatkan shalat di awal siang dengan berjama’ah, baik
kecil ataupun besar, tua ataupun muda, bahkan wanita, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar orang-orang
mengeluarkan wanita-wanita yang haidh dan gadis-gadis pingitan yang
seyogyanya tidak diperkenankan untuk keluar, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan mereka keluar guna menyaksikan shalat
dan untuk menyaksikan kebaikan dan do’anya kaum muslimin. Di dalam
perirtiwa yang demikian terdapat makna jama’ah dan rasa pada diri umat
bahwasanya mereka seperti satu tubuh, dan makna inilah yang dibutuhkan
oleh umat.
Oleh karena itu syariat Islam datang untuk menegaskan hal tersebut dan
menanamkannya di dalam jiwa kaum muslimin, dan Allah memberikan
jaminannya bagi para hambaNya dengan dihilangkannya perpecahan dari
mereka, yang hal itu merupakan aib jahiliyah dan Allah menjadikan mereka
di dalam satu barisan, sebagaimana firmanNya:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا
"Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian, tatkala kalian berada di dalam
permusuhan, kemudian Allah jadilah kalian bersaudara dengan nikmatNya
dan saat kalian berada di atas bibir jurang neraka kemudian Dia
menyelamatkan kalian darinya". [Ali Imron:103]
Maka Allahlah yang melunakkan hati-hati yang terdapat padanya
permusuhan, kemudian Dia menyatukan hati-hati tersebut, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm saat beliau
berkhutbah pada perang Hunain setelah terjadi apa yang telah terjadi
pada para sahabat:
أَلَمْ آتِكُمْ ضُلاَّلاً فَهَدَاكُمُ اللهُ بِي وَعَالَةً فَأَغْنَاكُمُ اللهُ بِي وَمُتَفَرِّقِيْنَ فَجَمَعَكُمُ اللهُ بِي
"Bukankah aku datang ketika kalian dalam keadaan sesat kemudian Allah
memberikan hidayahNya kepada kalian melalui aku, dan bukankah aku datang
ketika kalian dalam keadaan miskin kemudian Allah jadikan kalian kaya
dengan sebab aku, dan kalian berpecah belah kemudian Allah kumpulkan
kalian lewat aku? [Lihat Zaadul Ma’ad]
Dari keterangan-keterangan di atas sebagian ahli ilmu berpendapat
wajibnya shalat Ied dan wajibnya menghadirinya, sebagaimana dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Oleh karena itu kami
rajihkan (kuatkan pendapat) bahwasanya shalat ‘Ied adalah wajib ‘ain,
sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya, juga merupakan salah
satu dari pendapat-pendapat Imam Syafi’i, dan salah satu pendapat dari
dua pendapat Imam Ahmad. Adapun pendapat yang menyatakan tidak wajib
adalah pendapat yang jauh, sebab shalat ‘Ied salah satu syiar Islam yang
sangat agung, dan manusia berjama’ah untuk mendapatkannya melebihi
shalat jum’at, juga disyari’atkan di dalamnya takbir. Adapun pendapat
yang menyatakan fardhu kifayah tidaklah kuat. [Lihat Al-Fatawa]
Dan pendapat serupa juga dikatakan oleh Shidiq Hasan Khan rahimahullah,
beliau berdalil: “Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
senantiasa mengerjakan shalat ‘Ied selama hidupnya dan tidak pernah
meninggalkannya walaupun sekali, juga beliau memerintahkan manusia untuk
keluar menunaikan ‘Ied, juga memerintahkan wanita-wanita muda dan para
gadis pingitan serta wanita-wanita haid untuk keluar dan menyaksikan
kebaikan dan do’anya kaum muslimin,” kemudian beliau berkata: “Semua itu
menunjukkan akan wajibnya.” [Lihat Raudhatun Nadiyah]
Beliaupun berdalil atas wajibnya shalat ‘Ied dengan perkataan: "Bahwa
shalat ‘Ied menggugurkan shalat juma’at jika bertepatan dengan hari
jum’at".
Di sini bukan tempatnya untuk membahas hukum fiqih, akan tetapi banyak
nash yang menguatkan untuk berjama’ah pada hari yang mulia tersebut. Di
dalam shalat berjama’ah itu juga terkandung makna, bahwasanya umat ini
adalah umat yang satu dan satu jama’ah yang besar. Mulai mereka
berkumpul untuk shalat lima waktu, kemudian bertambah besar saat mereka
berkumpul untuk mengadakan shalat jum’at, kemudian lebih besar lagi dan
paling besar saat mereka berkumpul dari berbagai penjuru dunia di tempat
yang sama dalam rangka memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dan yang lebih menunjukkan makna jama’ah dan rasa satu tubuh adalah saat
zakat fithri dikeluarkan oleh seorang muslim untuk menutupi kebutuhaan
orang-orang yang membutuhkannya, atau untuk membahagiakan orang-orang
yang tidak bahagia dengan datangnya ‘Ied. Sehingga merekapun dapat
merasakan bahwa orang-orang yang membutuhkan makanan pada hari tersebut
juga membutuhkannya di hari-hari yang lain, dan mereka yang membutuhkan
pakaian pada hari tersebut juga membutuhkannya di hari-hari yang lain.
Begitu pula pada hari ‘Iedul Adha, saat seorang muslim menyembelih hewan
kurbannya, diapun tidak melupakan saudara-saudaranya yang membutuhkan,
dia bersedekah, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
membagi-bagikan daging kurbannya itu kepada orang-orang yang
membutuhkannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
"Dan makanlah kalian dari sembelihan tersebut dan berilah orang-orang fakir yang membutuhkan". [Al-Hajj:8]
Hal itupun mengingatkan mereka bahwasanya orang-orang yang membutuhkan
daging pada hari tersebut juga membutuhkannya pada hari-hari yang lain.
HARI RAYA DAN TAUHID
Sebagaimana di dalam ‘Ied terkandung makna jama’ah dan makna peribadahan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, di dalamnya juga terkandung makna
tauhid, hal itu tidaklah asing dan aneh, sebab tauhid adalah jalan bagi
kehidupan manusia, maka saat tauhid seseorang kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala lurus maka lurus pulalah kehidupannya, kepribadian dan akhlaknya.
Dan saat hancurnya dasar dan fondasi ini maka akan hancur pula seluruh
kehidupannya.
Pada Hari ‘Iedul Adha seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah
dengan menumpahkan darah hewan kurbannya sebagai tanda rasa syukur atas
nikmat-nikmat yang telah dia rasakan. Tidak sebagaimana orang-orang yang
menyembelih hewan di hadapan bangkai-bangkai yang telah luluh lantak,
tulang-tulang yang dimakan oleh masa atau karena mengikuti perintah para
tukang sihir dan orang-orang yang dianggap pintar, yang hal itu
merupakan perbuatan yang sangat kotor dan praktek kesyirikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Pemilik Alam semesta". [Al-An’am:162]
Juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ
"Allah melaknat orang yang menyembelih sembelihan untuk selain Allah,
Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat
orang yang melindungi pelaku bid’ah, Allah melaknat orang yang merubah
tanda batas tanah". [HR. Muslim].
Tatkala seorang muslim menyembelih hewan kurbannya dia akan ingat
bahwasanya orang-orang musyrik telah meremehkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, dan tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah pada diri-diri
mereka, mereka menghancurkan tauhid dan menghidupkan syirik dengan
menyembelih sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah, bukankah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah kurban bagi-Nya". [Al-Kautras:2]
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah bagi
Allah Rabb semesta alam yang tidak ada sekutu bagiNya dan untuk yang
demikianlah aku diperintahkan dan aku bagian dari orang muslim".
[Al-An’am:162]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling gigih dalam
melindungi dan menjaga tauhid dari umatnya, bahkan tatkala seorang
meminta izin kepada beliau untuk menyembelih seekor unta –karena nadzar
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala – maka beliaupun bertanya kepadanya:
apakah di sana –di tempat tersebut- dirayakan hari raya jahiliyah atau
terdapat berhala di antara berhala-berhala mereka? Kemudian ketika dia
menjawab: tidak, maka beliaupun mengizinkan nadzar tersebut.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya dan dibahas
secara panjang lebar oleh Syaikh Abdurrahman Ali Syaikh di dalam Fathul
Majid bab tentang Dabs.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tahu bahwasanya sahabatnya tidaklah
mengadakan penyembelihan dan kurban melainkan hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala saja, akan tetapi beliau ingin membersihkan kaum
muslimin dari segala macam sarana yang menghantarkan kaum muslimin
kepada perbuatan-perbuatan syirik. Maka tidaklah boleh seseorang
mengadakan penyembelihan bagi Allah di tempat yang dipakai untuk
menyembelih sembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah. Dan
tidaklah Allah Subhanahu wa Ta'ala disembah/diibadahi di tempat yang
digunakan untuk beribadah kepada selain Allah.
Maka makna-makna inilah yang dirasakan oleh setiap muslim sambil bertakbir menuju ke mushallahnya.
HARI RAYA HARI BERHIAS
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menamakan hari ‘Ied di dalam Kitab-Nya dengan yaum Az-Zinah –hari berhias-
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
"Dia berkata hari yang dijanjikan bagi kalian adalah hari berhias –‘Ied-
dan agar manusia berkumpul pada waktu dhuha". [Thaha: 59]
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakai perhiasannya pada hari ‘Ied.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Umar Radhiyallahu 'anhu bahwasanya
‘Umar Ibn Al-Khathab Radhiyallahu 'anhu melihat jubah dari sutra,
kemudian dia membelinya untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
hadiah baginya, kemudian Umar berkata kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallm : “Hendaklah anda berhias dengan ini untuk hari ‘Id dan
menyambut tamu utusan.” Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Ini adalah baju bagi orang yang tidak memiliki bagian (di
akhirat). [Lihat Zaadul Ma’ad].
Dari hadits ini nampak bagi kita bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dahulu berhias untuk hari ‘Ied dan menyambut tamu utusan, para
sahabat menginginkan agar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakai
pakaian terbaiknya di hari-hari khusus bagi beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Kemudian penolakan beliau itu bukan penolakan untuk berhias,
namun penolakan tersebut untuk mengambil perhiasan yang dilarang dan
mengambil pakaian yang diharamkan. Karena tidaklah laki-laki memakai
sutra kecuali tidak akan memiliki bagian di akhirat kelak.
Dan kebiasaan Ibnu ‘Umar memakai pakaian terbaiknya saat tiba dua hari
raya. [Diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dan Al-Baihaqi dengan sanad yang
shahih sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani di
dalam Al-Fath].
Perhiasan adalah tanda yang paling menonjol yang membedakan hari raya
dengan hari-hari lainnya, namun kaum muslimin sekarang pada umumnya
memahami dengan pengertian yang lain. Di antara mereka ada yang berhias
dengan mencukur jenggotnya, padahal hal ini merupakan penyerupaan dengan
pelaku-pelaku kesyirikan dan menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Sebagian mereka juga yang mengulurkan pakaianya –baik sarung atau celana
dan yang lainnya- melebihi dua mata kaki, hiasan semacam ini tidak
semestinya bagi seorang muslim, bahkan seharusnya seorang muslim melihat
bahwa yang demikian justru mengotori perhiasan, sebagaimana Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ n ثَلاَثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
"Tiga golongan yang Allah tidak mengajak bicara mereka pada hari kiamat,
tidak akan melihat mereka, dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi
mereka adzab yang pedih”. Abu Dzar bertanya: “Betapa kecewa dan
meruginya mereka, siapa mereka wahai Rasulullah? Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Al-musbil (orang yang mengulurkan
pakaiannya di bawah mata kaki), Al-Mannan (orang yang
mengungkit-ngungkit pemberian), dan orang yang menjual dagangannya
dengan sumpah palsu". [HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat
At-Targhib wat Tarhib oleh Al-Mundziri].
Kita juga lihat para wanita mereka menampakkan lekuk-lekuk, hal ini
merupakan penyimpangan yang sangat besar, baik dilihat dari sisi syariat
maupun fitrah yang lurus, padahal Allah telah memerintahkan adalah agar
para wanita mempercantik diri dan berhias dengan hijabnya dan
kesuciannya yang merupakan pakaian yang telah Allah khususkan bagi
mereka dan juga Allah perintahkan mereka agar menutupi diri mereka
dengan hijab tersebut.
Seorang muslim haqiqi haruslah menolak untuk berhias dengan segala apa
yang telah Allah haramkan, dan tatkala dia melihat pakaian tersebut atau
orang yang memakainya maka dia melihatnya dengan penilaian hal tersebut
adalah aib, tidak sesuai dengan fitrah, bahkan bertentangan dengan apa
yang telah diperintahkan. Maka pakaian dan perhiasan yang sempurna pada
hari ‘Ied adalah yang menghiasi seseorang dengan peribadahan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
PAKAIAN TAQWA ADALAH YANG PALING BAIK
Tatkala seorang muslim memperhatikan dirinya dan melihat ke cermin dan
melihat dirinya sudah berhias secara dhahir dan memperhatikan segala
apa yang merusak penampilannya secara dhahir, dan dia bertanya-tanya
pada dirinya sendiri apakah dirinya sudah tampan? Tetapi bagaimanakah
dengan penampilannya secara batin? Bagaimana dengan perhiasan taqwa dan
iman? Apakah setelah dia memperbaiki penampilan dhahir juga memperbaiki
penampilan batin?
Apabila badan sudah memakai perhiasannya, apakah hatinya juga akan
dipakaikan perhiasan? Kemudian akan muncul lagi pertanyaan-pertanyaan
lain pada dirinya. Apa yang akan dilakukan apabila kotoran menimpa
pakaiannya? Bukankah dirinya akan bersegera untuk menghilangkan dan
membersihkannya? Dan bagaimana dengan dosa-dosa yang telah mengotori
hatinya? Berapa banyak perbuatan dan dosa-dosa yang telah mengotori
hatinya? Berapa banyak perbuatan dosa yang sudah mencemari kesucian dan
kemurniannya? Apakah dia ridha dengan kotoran-kotoran (dosa-dosa)
tersebut dan bangga dengannya?
Seseorang bersedia untuk menyerahkan uangnya untuk membersihkan
kotoran-kotoran dari pakaiannya demi penampilan yang sempurna, namun
bagaimana bisa terjadi seseorang tidak ridha dengan kotoran-kotoran
dhahir, tetapi dia ridha dengan kotoran-kotoran bathin? Bahkan lebih
dari itu. Dia malah berusaha dan mencari kotoran-kotoran bathin! Laa
haula walaa quwwata illa billah.
Orang-orang semacam ini tatkala menyadari keadaannya, hendaklah
bersegera untuk menghapuskannya dan membersihkannya dengan taubat nasuha
dan mengangkat dua tangannya memohon ampunan dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Ketika seseorang berkata: “Aku telah menyempurnakan perhiasan dhahir dan
akan berusaha untuk menyempirnakan perhiasaan bathin, kemudian dia
membaca”:
يَابَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
"Wahai anak Adam sesungguhnya telah Kami turunkan bagi kalian pakaian
yang dapat kalian pergunakan untuk menutupi aurat kalian dan pakaian
taqwa adalah lebih baik, yang demikian merupakan bagian dari ayat-ayat
Allah agar mereka mau berfikir". [Al-A’raf:36]
Demikianlah penjelasan sekilas tentang makna hari raya di dalam Islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Amiin
[Ditulis ulang oleh: Abu ‘Abdillah T. Abdul Ghanie Naasih Salim, dari
kaset yang berjudul: Al-‘Ied Wa Ma’naahu fil Islam yang disampaikan oleh
Syaikh Muhammad Ibn Ibrahim Ad-Duwais, dengan perubahan di beberapa
tempat].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422/2001M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Sumber: http://almanhaj.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar