Keutamaan Mendatangi Masjid
(Keutamaan Mendatangi Masjid Secara Umum Baik Berjalan Kaki Maupun Berkendara)
Mendatangi dan berangkat menuju masjid adalah banyak keutamaan yang
disebutkan oleh hadits-hadits nabawiah. Kami mencukupkan dengan hanya
menyebutkan sebagian di antaranya:
Pertama :
”Barangsiapa yang berwudhu di rumahnya dan memperbaiki wudhunya
kemudian dia mendatangi masjid, maka dia adalah orang yang berziarah
kepada Allah, dan sudah kewajiban bagi yang diziarahi untuk memuliakan
orang yang berziarah.”
Al-Mundziri berkata tentang hadits ini (1/130), ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dari Salman radhiyallahu'anhu dengan dua sanad, salah satunya jayyid. Al-Baihaqi meriwayatkan yang semakna dengannya secara mauquf dari sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih.”
Al-Haitsami berkata (2/31), ”Ath-Thabarani meriwayatkannya dalam
Al-Kabir dan perawi salah satu dari kedua sanadnya adalah perawi
Ash-Shahih.”
Saya berkata: Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abdullah bin Mas’ud secara marfu’ dengan lafazh, ”Sesungguhnya
rumah-rumah Allah di bumi adalah masjid-masjid, dan sesungguhnya wajib
atas Allah untuk memuliakan orang yang berziarah.”
Al-Haitsami berkata (2/22), ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir dan di dalam sanadnya adalah Abdullah bin Ya’qub Al-Kirmani,
seorang rawi yang lemah.”
Saya berkata: Sanadnya di dalam Al-Kabir sebagai berikut: Al-Abbas bin
Hamdan Al-Ashbahani menceritakan kepada kami (dia berkata): Abdullah bin
Abi -demikian yang tertulis- Ya`qub Al-Kirmani (dia berkata): Abdullah
bin Yazid Al-Muqri` mengabarkan kepada kami (dia berkata): Al-Mas’udi
mengabarkan kepada kami dari Ibnu Ishaq dari Amr bin Maimun dan
seterusnya.
Al-Abbas bin Hamdan ini adalah Al-Hanafi, Ath-Thabarani sangat sering
meriwayatkan hadits darinya dan dia meriwayatkan satu haditsnya di dalam
Al-Mu’jam Ash-Shaghir (hal. 121) karyanya. Saya tidak menemukan ulama
yang menyebutkan biografinya, dan mungkin dia terdapat dalam Thabaqat
Al-Ashbahaniyin karya Ibnu Hibban. Dan di antaranya adalah sebuah
manuskrip dalam Perpustakaan Azh-Zhahiriah, maka silakan merujuk
kepadanya. Semua perawi lainnya tsiqah kecuali Al-Kirmani, karena dia
adalah rawi yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dan
Adz-Dzahabi sebelumnya.
Kedua :
”Barangsiapa yang pergi atau berangkat ke masjid maka Allah
akan mempersiapkan untuknya hidangan di dalam surga setiap kali dia
pergi atau berangkat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/117), Muslim (2/132) dan
Ahmad (2/508-509) dari Yazid bin Harun -guru Ahmad dalam sanadnya- (dia
berkata): Muhammad bin Mutharrif mengabarkan kepada kami dari Zaid bin
Aslam dari Atha` bin Yasar dari Abu Hurairah secara marfu’.
Al-Hafizh berkata, ”Lahiriah hadits ini menunjukkan adanya pahala bagi
siapa yang mendatangi masjid secara mutlak. Akan tetapi yang dimaksudkan
di sini terkhusus bagi siapa yang mendatanginya untuk beribadah, dan
ibadah terbesar adalah shalat, wallahu a’lam.”
Ketiga :
”Barangsiapa yang berangkat ke masjid jamaah, maka setiap
langkahnya akan menghapuskan kejelekan dan setiap langkahnya akan
dituliskan pahala, pergi dan pulangnya.”
Ini berasal dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
Diriwayatkan oleh Ahmad (2/172) dari jalan Ibnu Lahiah (dia berkata):
Huyaiy bin Abdillah menceritakan kepada kami bahwa Abu Abdirrahman
menceritakan kepadanya bahwa dia mendengar Abdullah bin Amr bin Al-Ash
menceritakannya secara marfu’.
Ini adalah sanad yang hasan. Yang dikhawatirkan dari Ibnu Lahiah
hanyalah kalau dia bersendirian karena hafalannya yang jelek, walaupun
pada dasarnya dia sendiri adalah rawi yang tsiqah, dan di sini dia telah
mendapat dukungan.
Al-Haitsami berkata (2/29) setelah dia membawakan hadits ini,
”Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, dan semua
perawi Ath-Thabarani adalah perawi Ash-Shahih sementara perawi Ahmad, di
antara mereka ada Ibnu Lahiah.”
Al-Munawi berkata (1/125), ”Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang
hasan, serta Ath-Thabarani dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya.”
Kelihatannya Ibnu Hibban juga meriwayatkannya selain dari jalan Ibnu
Lahiah, karena Ibnu Lahiah sendiri lemah menurut Ibnu Hibban.
Dia berkata tentangnya, ”Saya telah meneliti semua hadits-haditsnya dari
riwayat orang-orang yang meriwayatkan darinya terdahulu dan yang
belakangan, maka saya melihat adanya percampurbauran dalam riwayat
orang-orang yang meriwayatkan darinya belakangan dan dari riwayat
orang-rang yang terdahulu ada banyak riwayat yang tidak ada asalnya.
Lalu saya kembali mengumpulkan jalan-jalannya, maka saya menemukan dia
sering melakukan tadlis dari rawi-rawi yang lemah tapi menyandarkannya
kepada rawi-rawi yang dianggap oleh Ibnu Lahiah sebagai rawi yang
tsiqah, lalu dia menyandakan riwayat-riwayat palsu itu kepada mereka.”
Kemudian, kelihatannya Ath-Thabarani meriwayatkannya selain dari jalan
Huyaiy bin Abdillah karena dia ini bukan termasuk perawi Ash-Shahih.
Sementara Al-Haitsami berkata tentang perawi haditsnya, ”Mereka semua adalah rawi yang shahih,” tanpa ada pengecualian.
Keempat :
”Barangsiapa yang berjalan di kegelapan malam menuju ke masjid
maka dia akan berjumpa dengan Allah -Azza wa Jalla- dengan cahaya pada
hari kiamat.”
Ini dibawakan oleh Al-Mundziri (1/129) dari hadits Abu Ad-Darda` secara marfu’.
Dia (Al-Mundziri) berkata, ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir dengan sanad yang hasan dan juga Ibnu Hibban dalam Shahihnya.
Lafazhnya adalah, ”Barangsiapa yang berjalan di kegelapan malam menuju
ke masjid-masjid maka Allah akan memberikan kepadanya cahaya pada hari
kiamat.”
Al-Haitsami berkata (2/30), ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan semua perawinya tsiqah.”
Hadits ini mempunyai banyak pendukung yang semakna dengannya, yang
dengannya hadits ini bisa naik ke derajat shahih. Di antaranya adalah:
Dari Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath
dengan sanad yang hasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mundziri dan
Al-Haitsami mengikutinya.
[Diringkas dari Ats-Tsamar Al-Mustathab jilid 1 karya Asy-Syaikh Al-Albani pada bab hukum-hukum seputar masjid]
Keutamaan Berjalan Kaki ke Masjid
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa menuju masjid pada waktu pagi hari atau sore hari maka
Allah akan memberikan jamuan hidangan baginya di surga pada setiap pagi
dan sore.” (HR. Al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 669)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah
satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu
dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya
salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan
mengangkat derajat.” (HR. Muslim no. 1553)
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding
shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan)
pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena
bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari
rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan
shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya
kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu
kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun
untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya
Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian
senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan
shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Dari Abu Musa katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh
perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat
hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang
melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim no. 662)
Penjelasan ringkas :
Di antara rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beribadah,
Allah tidak hanya memberikan pahala kepada mereka atas ibadahnya, akan
tetapi Allah juga memberikan pahala pada semua perkara yang melengkapi
dan menjadi wasilah dan sebab terjadinya ibadah tersebut, baik pelengkap
tersebut berada sebelum ibadah itu maupun berada setelahnya.
Tatkala berjalan pulang balik masjid merupakan pelengkap dan wasilah
ibadah di masjid, maka Allah Ta’ala juga memberikan pahala atas
berjalannya sebagaimana Allah memberikan pahala atas semua ibadahnya di
masjid. Bahkan pahala berjalan ke masjid sama pahalanya seperti ribath
(berjaga di daerah perbatasan musuh). Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ, فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
“Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah akan
menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab,
“Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada
keadaan yang dibenci (seperti pada keadaan yang sangat dingin, pent.),
banyak berjalan ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah
shalat. Maka itulah ribath, itulah ribath.” (HR. Muslim no. 251)
Adapun langkah pulangnya dari masjid, maka Allah Ta’ala juga menetapkan
pahala baginya. Dari Ubay bin Kaab radhiyallahu'anhu dia berkata:
“Ada seorang dari
golongan sahabat Anshar yang saya tidak mengetahui seseorang pun yang
rumahnya lebih jauh letaknya dari rumah orang itu jikalau hendak ke
masjid, tetapi ia tidak pernah terlambat oleh sesuatu shalat (yakni
setiap shalat fardhu ia mesti mengikuti berjamaah, pent.). Lalu
dikatakan kepadanya, “Alangkah baiknya jikalau engkau membeli seekor
keledai yang dapat engkau naiki di waktu malam gelap gulita serta di
waktu teriknya panas matahari.” Dia menjawab, “Saya tidak senang kalau
rumahku itu ada di dekat masjid, sesungguhnya saya ingin kalau jalanku
sewaktu pergi ke masjid dan sewaktu pulang dari masjid untuk kembali ke
tempat keluargaku itu dicatat pahalanya untukku.” Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah mengumpulkan untukmu pahala kesemuanya itu (yakni waktu pergi dan pulangnya semuanya diberi pahala, pent.).” (HR. Muslim)
Melihat semua keutamaan di atas, maka hendaknya orang yang sanggup untuk
berjalan kaki ke masjid, hendaknya dia tidak menggunakan kendaraan
karena pahalanya tidaklah sama. Ini ditunjukkan oleh hadits Ubay bin
Ka’ab di atas.
________
Sumber: http://al-atsariyyah.com/ Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar