Oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berada
dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa ta'ala, banyak
berbuat maksiat, tidak memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan
berbagai bentuk kebobrokan moral lainnya.
Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir, diutus di
saat tidak adanya para Rasul. Vakum masa itu dari para pembawa risalah.
Allah Subhanahu wa ta'ala murka kepada penduduk bumi baik orang Arab dan selainnya
(‘ajam), kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang
sebagian besar dari mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya Allah melihat kapada penduduk bumi. Lalu murka kepada
mereka, Arabnya atau ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab.”
(Shahih, HR. Muslim)
Saat itu, baik bangsa Arab atau lainnya, hanya ada dua jenis manusia.
Pertama, yang berpegang dengan kitab yang sudah dirubah atau dihapus.
Kedua, yang berpegang dengan agama yang punah. Agama yang sebagiannya
tidak diketahui dan sebagian yang lain sudah ditinggalkan. Akibatnya,
seorang ummi (tidak bisa baca tulis) hanya bisa bersemangat ibadah namun
hanya berdasar apa yang ia anggap baik atau disangka memberi manfaat.
Sehingga terjadi penyembahan kepada bintang, berhala, kubur, benda
keramat, dan yang lainnya.
Manusia saat itu benar-benar dalam kebodohan yang parah. Bodoh akan
ucapan-ucapan mereka yang disangka baik padahal bukan, serta bodoh akan
amalan mereka yang disangka baik padahal rusak. Paling pintarnya mereka,
adalah yang mendapat ilmu dari warisan para nabi terdahulu, namun telah
rancu antara yang haq dan batil. Atau yang sibuk dengan sedikit amalan,
itupun kebanyakannya bid’ah yang dibuat-buat. Walhasil, kebatilannya
berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’ Sirathil Mustaqim,
1/74-75)
Inilah gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah pada saat itu,
khususnya di kota Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai
terlihat sejak munculnya Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai
orang yang gemar ibadah dan beramal baik sehingga masyarakat waktu itu
menempatkannya sebagai seorang ulama. Sampai suatu saat, Amr pergi ke
daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah kepada
berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab Samawi
(kitab-kitab dari langit).
Ketika pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama
Hubal. Ia kemudian meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk
Makkah untuk menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wa ta'ala dengan beribadah
kepadanya. Disambutlah seruan itu oleh masyarakat Hijaz, Makkah, Madinah
dan sekitarnya karena disangka sebagai hal yang benar. (Mukhtashar
Sirah Rasul hal. 23 & 73)
Sejak itulah, berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang
menjadi berhala terbesar di Ka’bah dan sekitarnya, sekaligus menjadi
sanjungan orang-orang Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara
Makkah dan Madinah. Manat merupakan sesembahan orang-orang Aus dan
Khazraj (dua qabilah dari Madinah). Juga ada Latta di Thaif dan ‘Uzza.
Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari yang ada. (lihat
Mukhtashar Sirah Rasul 75-76, Rahiqul Makhtar, hal. 35)
Akibatnya, peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat
mencolok. Apalagi, kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu
sebagai bagian dari agama Ibrahim 'Alaihissalam. Padahal, tradisi menyembah
berhala-berhala itu kebanyakannya adalah hasil rekayasa Amr bin Luhay
yang kemudian dianggap bid’ah hasanah.
Dijelaskan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam tentang perbuatan Amr ini: “Aku melihat Amr bin
Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di neraka. Dia yang
pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada berhala dan yang
pertama mengubah agama Ibrahim 'Alaihissalam)” (HR. Al-Bukhari)
Di antara tradisi syirik
masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar berhala itu,
memohonnya, mencari berkah darinya -karena diyakini dapat memberi
manfaat-, thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan sembelihan
dan sesaji kepadanya, dan lain-lain. Mereka melakukan hal itu karena
meyakini itu akan mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan memberi syafaat
sebagaimana Allah Subhanahu wa ta'ala kisahkan dalam Al-Qur’an. Mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
“Dan mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan
mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi
Allah’.” (Yunus: 18)
Selain kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian
dan mengundi nasib dengan tiga anak panah. Caranya dengan menuliskan
pada masing-masingnya dengan “ya”, “tidak” dan kosong. Ketika ingin
bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka
pergi, jika “tidak”, tidak jadi pergi, dan jika yang keluar kosong maka
diundi lagi.
Selain dengan anak panah, mereka juga menggantungkan nasib melalui
burung-burung, yaitu mengusir burung ketika ingin bepergian. Jika
terbang ke kanan berarti terus, dan jika ke kiri berarti harus
diurungkan.
Mereka mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun. Mereka
juga pesimis dengan bulan-bulan tertentu, misalnya bulan Shafar. Mereka
merubah aturan haji dengan tidak mengijinkan orang luar Makkah berhaji
kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan, maka
diharuskan melakukan thawaf dengan telanjang.
Di bidang sosial kemasyarakatan, hubungan lain jenis pun sangat rendah,
khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sampai-sampai pada
salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita menancapkan bendera di
depan rumah. Ini merupakan tanda untuk mempersilahkan bagi laki-laki
siapapun yang ingin ‘mendatanginya’. Jika sampai melahirkan, maka semua
yang pernah melakukan hubungan dikumpulkan dan diundang seorang ahli
nasab untuk menentukan siapa bapaknya, kemudian sang bapak harus
menerimanya.
Poligami saat itu juga tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa
menikahi wanita sebanyak mungkin. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa
seorang anak menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar semau
laki-lakinya. Jika wanita itu tidak mau, maka anak tersebut bisa
melarang si wanita untuk menikah kecuali dengan laki-laki yang
diizinkannya. Sehingga dalam banyak hal, wanita terdzalimi. Sampai yang
tidak berdosapun merasakan kedzaliman itu, yaitu bayi-bayi wanita yang
ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
Tentunya, kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski
tidak dipungkiri di sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang
baik, namun itu semua lebur dalam kerusakan agama, moral yang bejat,
yang di kemudian hari seluruhnya ditentang oleh Islam dengan diutusnya
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sebagai pelita yang sangat terang bagi umat ini.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar