Telah kita pahami bersama bahwa ibadah itu mencakup semua amalan hati, amalan jawarih (anggota badan) maupun ucapan-ucapan lisan yang dicintai dan diridhoi Alloh subhanahu wata’ala, sebab ibadah itu merupakan puncak kecintaan bagi Alloh subhanahu wata’ala, bahkan oleh sebab hikmah ibadah ini pula Alloh azza wajalla menciptakan jin dan manusia.
Kita bisa mengetahui sesuatu itu dicintai dan diridhoi oleh Alloh subhanahu wata’ala adalah dari disyari’atkannya amalan tersebut oleh Alloh azza wajalla maupun oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Bila suatu amalan disyari’atkan oleh Alloh subhanahu wata’ala atau oleh Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan amalan tersebut dicintai dan diridhoi oleh-Nya. Sebaliknya bila tidak disyari’atkan maka berarti amalan tersebut pun tidak dicintai dan tidak pula diridhoi.[1] Jadi ibadah itu hanya kita ketahui ketetapannya dari adanya dalil-dalil yang mensyari’atkannya. Demikian pula tentang tatacara praktik ibadah pun tidak diketahui dengan baik selain dengan memahami dalil-dalil yang menerangkannya. Oleh sebab itulah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa ibadah itu bersifat tauqifiyah.
Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan mengatakan:
“Ibadah itu tauqifiyah, maknanya ia tidak disyari’atkan sedikit pun kecuali dengan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah. Dan apa pun yang tidak disyari’atkan dianggap bid’ah yang tertolak, sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.” Maknanya, amalan tersebut ditolak dan tidak diterima bahkan ia berdosa karenanya, sebab amalan (yang tidak diperintahkan) tersebut termasuk kemaksiatan, bukan ketaatan.”[2]
Dari sini kita pahami bahwa untuk menetapkan suatu amalan tertentu sebagai sebuah ibadah atau bukan, harus berdasarkan dalil bukan dengan perasaan hati, akal atau ilham, bukan pula dengan kira-kira maupun prasangka belaka.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Dan peribadahan kepada Alloh subhanahu wata’ala itu terbangun atas dua hal; puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Pada kecintaan terdapat tuntutan dan pencarian, sedangkan pada penghinaan dan perendahan diri terdapat rasa takut dan al-Harob (lari menjauhi hal yang ditakuti).”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Dan siapa saja yang tunduk dan merendahkan diri kepada seseorang, tetapi disertai kebencian kepadanya maka ia tidak dikatakan telah menghambakan diri kepada orang tersebut. Seandainya seseorang mencintai sesuatu, tetapi tidak ada ketundukan dan penghinaan diri kepadanya ia juga tidak disebut menghambakan diri kepada sesuatu tersebut. Hal ini sama seperti seseorang yang mencintai anak atau temannya. Oleh sebab itu tidaklah mencukupi bila hanya salah satunya saja yang ada dalam sebuah peribadahan, namun yang seharusnya lebih dicintai oleh hamba ialah Alloh subhanahu wata’ala dibanding kecintaan kepada selain-Nya, dan Alloh azza wajalla harus lebih ia agungkan dari selain-Nya, dan tidak ada yang berhak atas kecintaan yang tinggi serta penghinaan dan ketundukannya yang sempurna selain Alloh azza wajalla….”.[17]
Maka, ibadah yang telah Alloh azza wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut padanya dengan sempurna. Peribadahan kepada Alloh azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah.
Di dalam al-Qur’an Alloh azza wajalla menyebutkan rukun-rukun ibadah itu ketika menyifati peribadahan para anbiya’ (nabi-nabi) alaihimus salam dengan firman-Nya (yang artinya):
….. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap (atas rohmat Alloh) dan cemas (akan adzab-Nya). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)
Syaikh DR. Sholih al-Fauzan alaihimus salam mengatakan: “Sesungguhnya ibadah itu tegak di atas tiga rukun; yaitu cinta, takut serta harapan. Kecintaan harus ada bersama penghinaan diri dan ketundukan, sedangkan takut harus ada bersama harapan. Dan dalam sebuah ibadah harus terdapat tiga perkara tersebut (sekaligus).”[19]
Sebagian ulama salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Siapa saja yang beribadah kepada Alloh subhanahu wata’ala hanya dengan cinta maka ia seorang zindiq, dan siapa saja yang beribadah kepada-Nya hanya dengan harapan semata maka ia seorang murji’ah, dan siapa saja yang beribadah kepada-Nya hanya dengan takut semata maka ia seorang haruri yaitu khowarij, sedangkan seorang yang beribadah kepada Alloh azza wajalla dengan kecintaan, rasa takut serta harapannya maka ia seorang mu’min muwahhid (yang meng-Esa-kan Alloh) .”[20]
Untuk menjawab pertanyaan hamba yang peduli dengan peribadahan yang ia lakukan kepada Penciptanya azza wajalla ini, kita harus memahami satu hal bahwa ibadah itu memiliki dua pondasi pokok. Pertama, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh subhanahu wata’ala. Kedua, seorang hamba tidak boleh beribadah kepada Alloh azza wajalla selain dengan perkara yang diperintahkan dan disyari’atkan. Dua pokok ibadah ini -yang menjadi dua syarat diterimanya ibadah- sesungguhnya ialah hakikat dua kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim.[21]
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala tatkala menjelaskan rukun Islam yang pertama mengatakan: “Persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Alloh azza wajalla dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Alloh, itu merupakan satu rukun. Ia merupakan satu rukun meski ia tersusun dari dua bagian. Sebab peribadahan-peribadahan itu hanya terbangun di atas penerapan keduanya sekaligus, yaitu bahwa ibadah itu tidak akan diterima keculai dengan keikhlasan kepada Alloh azza wajalla, dan ini merupakan kandungan dari persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh, dan dengan Ittiba’ (mengikuti) syari’at Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini merupakan kandungan persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam utusan Alloh.”[22]
Jadi syarat diterimanya ibadah itu ada dua:
Tentang dua syarat diterimanya ibadah ini Alloh azza wajalla berfirman (yang artinya):
…… barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robbnya. (QS. al-Kahfi [18]: 110)
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Inilah dua rukun amalan yang diterima, ia harus ikhlas hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala dan tepat di atas syari’at Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan telah diriwayatkan seperti perkataan ini dari al-Qodhi Iyadh rahimahullahu ta’ala dan yang lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Sehingga amalan ibadah apapun yang tidak dibangun di atas kedua syarat tersebut sekaligus, tidak akan diterima oleh Alloh subhanahu wata’ala meski siapa pun dan bagaimana pun serta sebanyak apa pun seseorang telah payah melakukannya. Fudhoil bin Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya sebuah amalan itu bila dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak tepat maka tidak akan diterima. Begitu pula bila ia dilakukan dengan tepat tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak akan diterima juga, sehingga amalan (yang akan diterima) itu harus ikhlas dan tepat, ikhlas ialah hanya bagi Alloh sedangkan tepat ialah sesuai dengan sunnah (Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam).[24]
___________________________________________________
[1] Baca kembali pembahasan makna ibadah di artikel berjudul Keutamaan dan Makna Ibadah.
0 komentar:
Posting Komentar