Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
مَنْ
تَرَكَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ مِمَّنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ قِيلَ
لَهُ: لِمَ لَا تُصَلِّي؟ فَإِنْ ذَكَرَ نِسْيَانًا، قُلْنَا: فَصَلِّ
إِذَا ذَكَرْتَ، وَإِنْ ذَكَرَ مَرَضًا، قُلْنَا: فَصَلِّ كَيْفَ أَطَقْتَ ؛
قَائِمًا، أَوْ قَاعِدًا، أَوْ مُضْطَجِعًا، أَوْ مُومِيًا، فَإِنْ قَالَ:
أَنَا أُطِيقُ الصَّلَاةَ وَأُحْسِنُهَا، وَلَكِنْ لَا أُصَلِّي، وَإِنْ
كَانَتْ عَلَيَّ فَرْضًا قِيلَ لَهُ: الصَّلَاةُ عَلَيْكَ شَيْءٌ لَا
يَعْمَلُهُ عَنْكَ غَيْرُكَ، وَلَا تَكُونُ إِلَّا بِعَمَلِكَ، فَإِنْ
صَلَّيْتَ، وَإِلَّا اسْتَتَبْنَاكَ، فَإِنْ تُبْت وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ،
فَإِنَّ الصَّلَاةَ أَعْظَمُ مِنَ الزَّكَاةِ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib bagi orang yang telah masuk Islam (muslim), dikatakan kepadanya : ‘Mengapa engkau tidak shalat ?’. Jika ia mengatakan : ‘Kami lupa’, maka kita katakan : ‘Shalatlah jika engkau mengingatnya’. Jika ia beralasan sakit, kita katakan kepadanya : ‘Shalatlah semampumu. Apakah berdiri, duduk, berbaring, atau sekedar isyarat saja’.
Apabila ia berkata : ‘Aku mampu mengerjakan shalat dan membaguskannya,
akan tetapi aku tidak shalat meskipun aku mengakui kewajibannya’. Maka
dikatakan kepadanya : ‘Shalat adalah kewajiban bagimu yang tidak
dapat dikerjakan orang lain untuk dirimu. Ia mesti dikerjakan oleh
dirimu sendiri. Jika tidak, kami minta engkau untuk bertaubat. Jika
engkau bertaubat (dan kemudian mengerjakan shalat, maka diterima). Jika
tidak, engkau akan kami bunuh. Karena shalat itu lebih agung daripada
zakat” [Al-Umm, 1/281. Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 3/117].
حُضُورُ
الْجُمُعَةِ فَرْضٌ، فَمَنْ تَرَكَ الْفَرْضَ تَهَاوُنًا كَانَ قَدْ
تَعَرَّضَ شَرًّا، إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ، كَمَا لَوْ أَنَّ رَجُلًا
تَرَكَ صَلَاةً حَتَّى يَمْضِيَ وَقْتَهَا، كَانَ قَدْ تَعَرَّضَ شَرًّا،
إِلَّا أَنْ يَعْفُوَ اللَّهُ.
“Menghadiri
shalat Jum’at adalah wajib. Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban
karena meremehkannya, maka ia akan mendapatkan akibat buruk, kecuali Allah memaafkannya. Sebagaimana jika seseorang meninggalkan shalat hingga lewat dari waktunya, maka ia pun akan mendapatkan akibat yang buruk, kecuali jika Allah memaafkannya” [Al-Umm, 1/228. Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 2/528].
Dari sini dapat kita ketahui pendapat Asy-Syaafi’iy bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan selama ia mengakui kewajibannya, statusnya masih muslim. Hukum bunuh yang dijatuhkan kepadanya adalah sebagai hadd, bukan karena kekafirannya. Ini ditegaskan oleh pernyataan para ulama madzhab beliau (Syaafi'iyyah) sebagaimana di bawah.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
Dari sini dapat kita ketahui pendapat Asy-Syaafi’iy bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkan selama ia mengakui kewajibannya, statusnya masih muslim. Hukum bunuh yang dijatuhkan kepadanya adalah sebagai hadd, bukan karena kekafirannya. Ini ditegaskan oleh pernyataan para ulama madzhab beliau (Syaafi'iyyah) sebagaimana di bawah.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
وَذَهَبَ
الآخَرُونَ إِلَى أَنَّهُ لا يُكَفَّرُ، وَحَمَلُوا الْحَدِيثَ عَلَى
تَرْكِ الْجُحُودِ، وَعَلَى الزَّجْرِ وَالْوَعِيدِ.وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ
زَيْدٍ، وَمَكْحُولٌ، وَمَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ: تَارِكُ الصَّلاةِ
كَالْمُرْتَدِّ، وَلا يَخْرُجُ بِهِ عَنِ الدِّينِ.
“Ulama lain berpendapat bahwasannya ia (orang yang meninggalkan shalat) tidak dikafirkan. Mereka membawa pengertian hadits[1] pada meninggalkan karena juhuud (pengingkaran),
juga pada pengertian celaan dan ancaman. Hammaad bin Zaid, Mak-huul,
Maalik, dan Asy-Syaafi’iy berkata : Orang yang meninggalkan shalat
seperti orang murtad, namun ia tidak keluar dari agama” [Syarhus-Sunnah, 2/180].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
في مذاهب العلماء فيمن ترك الصلاة تكاسلا مع اعتقاده وجوبها: فمذهبنا المشهور ما سبق انه يقتل حدا ولا يكفر وبه
“Dalam
madzhab-madzhab para ulama terhadap orang yang meninggalkan shalat
karena malas bersamaan dengan keyakinan akan kewajibannya, maka madzhab
kami (yaitu madzhab Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’) yang masyhuur adalah sebagaimana yang telah lewat yaitu ia dibunuh sebagai hadd, namun tidak dikafirkan” [Al-Majmuu’, 3/16].
فذهب
مالك والشافعي رحمهما الله والجماهير من السلف والخلف إلى أنه لا يكفر بل
يفسق ويستتاب فإن تاب وإلا قتلناه حدا كالزاني المحصن ، ولكنه يقتل بالسيف
“Maalik dan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah serta
jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwasannya ia (orang yang
meninggalkan shalat karena malas, namun masih mengakui kewajibannya – Abul-Jauzaa’)
tidak dikafirkan, namun difasikkan dan diminta untuk bertaubat. Jika ia
bertaubat (maka diterima), dan jika tidak, maka kita membunuhnya
sebagai hadd seperti pelaku zina muhshan....” [Syarh Shahih Muslim, lihat : http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=268&idto=273&bk_no=53&ID=44].
Al-Maawardiy rahimahullah berkata :
Al-Maawardiy rahimahullah berkata :
وَإِنْ
لَمْ يَتُبْ وَأَقَامَ عَلَى امْتِنَاعِهِ مِنْ فِعْلِهَا فَقَدِ
اخْتَلَفَ النَّاسُ فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ : أَحَدُهَا : وَهُوَ
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ أَنَّ دَمَهُ مُبَاحٌ وَقَتْلَهُ وَاجِبٌ
، وَلَا يَكُونُ بِذَلِكَ كَافِرًا .
“Apabila ia tidak bertaubat dan menolak meninggalkan perbuatannya[2],
para ulama berselisih pendapat dalam tiga madzhab. Pertama, yaitu
madzhab Asy-Syaafi’iy dan Maalik yang menyatakan darahnya boleh
(ditumpahkan) dan membunuhnya adalah wajib, namun ia tidak dikafirkan......” [Al-Haawiy, 2/525].
Pernyataan ulama non-Syaafi’iyyah tentang pendapat Asy-Syaafi’iy dapat dituliskan secara ringkas sebagai berikut :
Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata :
Pernyataan ulama non-Syaafi’iyyah tentang pendapat Asy-Syaafi’iy dapat dituliskan secara ringkas sebagai berikut :
Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah berkata :
وذهب
الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى
أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه
المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر
سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله
وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
“Adapun
Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf –
semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam.
Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan
shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman
Allah subhaanahu tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS.
Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran
yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari
hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
والرواية
الثانية يقتل حدا مع الحكم بإسلامه كالزاني المحصن وهذا اختيار أبي عبد
الله بن بطة وأنكر قول من قال : أنه يكفر وذكر أن المذهب على هذا لم يجد في
المذهب خلافا فيه وهذا قول أكثر الفقهاء وقول أبي حنيفة و مالك و الشافعي
“Dan riwayat yang kedua menyatakan bahwa ia dibunuh sebagai hadd bersamaan dengan status keislaman dirinya (bukan kafir – Abul-Jauzaa’) seperti pezina muhshan.
Pendapat ini dipilih oleh Abu ‘Abdillah bin Baththah, dan ia
mengingkari perkataan orang yang mengatakan bahwasannya orang tersebut
dikafirkan. Dan ia (Ibnu Baththah) menyebutkan bahwasannya madzhab
Hanaabilah ada di atas pendapat ini, dan ia tidak mendapatkan adanya
perselisihan dalam madzhab. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan fuqahaa, dan juga merupakan pendapat Abu Haniifah, Maalik, dan Asy-Syaafi’iy...” [Al-Mughniy, 2/297].
Adapun para ulama kontemporer, maka Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan shalat menurut Asy-Syaafi’iy ?, maka beliau menjawab :
Adapun para ulama kontemporer, maka Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan shalat menurut Asy-Syaafi’iy ?, maka beliau menjawab :
المعروف
عن مذهب الشافعية أنهم لا يرون كفر تارك الصلاة ولكن الأدلة تدل على كفره
والواجب على المؤمن اتباع ما دل عليه كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه
وسلم
“Yang ma’ruf dalam madzhab Asy-Syaafi’iyyah bahwasannya mereka tidak
berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Akan tetapi
dalil-dalil menunjukkan akan kekafirannya, dan wajib bagi seorang mukmin
untuk mengikuti dalil yang terdapat dalam Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam....” [sumber : http://islamancient.com/play.php?catsmktba=38082].
Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab Al-‘Aqil berkata saat memberikan kesimpulan pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahullah dalam hal ini :
Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab Al-‘Aqil berkata saat memberikan kesimpulan pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahullah dalam hal ini :
والحاصل أن الشافعي رحم الله يرى عدم كفر تارك الصلاة كسلا.....
“Dan kesimpulannya, Asy-Syaafi’iy rahimahullah berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas.....” [Manhaj Al-Imaam Asy-Syaafi’iy, hal. 220].
Catatan Penting :
Catatan Penting :
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata :
وقد
اختلف أهل العلم في تارك الصلاة كما ذكرنا , فجعله بعضهم بذلك مرتدا عن
الإسلام , و جعل حكمه حكم ما يستتاب في ذلك , فإن تاب وإلا قتل , منهم
الشافعي رحمة الله تعالي عليه
“Para
ulama telah berselisih pendapat dalam masalah hukum meninggalkan shalat
sebagaimana yang pernah kami sebutkan. Sebagian ulama ada yang
menyatakan orang yang meninggalkan shalat berarti murtad dari Islam dan ia pun harus dimintai taubat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah.” [Musykiilul-Aatsaar, 4/228].
Ini adalah wahm dari Ath-Thahawiy rahimahullah karena menyelisihi perkataan Asy-Syaafi’iy sendiri dan juga para ulama lain sebagaimana disebutkan di atas. Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy hafidhahullah menegaskan penyelisihan Ath-Thahawiy tersebut Sabiilun-Najaah [lihat : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=8089].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Ini adalah wahm dari Ath-Thahawiy rahimahullah karena menyelisihi perkataan Asy-Syaafi’iy sendiri dan juga para ulama lain sebagaimana disebutkan di atas. Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy hafidhahullah menegaskan penyelisihan Ath-Thahawiy tersebut Sabiilun-Najaah [lihat : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=8089].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
NB : Tulisan ini bukan bertujuan membahas hukum orang yang meninggalkan shalat, akan tetapi terbatas membahas pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagaimana tertera dalam judul artikel.
NB : Tulisan ini bukan bertujuan membahas hukum orang yang meninggalkan shalat, akan tetapi terbatas membahas pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagaimana tertera dalam judul artikel.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ
“(Batas) antara seorang hamba dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat”.
[2]
Yaitu menolak meninggalkan perbuatannya meninggalkan shalat – bersamaan
dengan pengakuannya akan kewajiban shalat pada dirinya – Abul-Jauzaa’.
Ass, Pak Ustadz.
BalasHapusBagaimanakah cara bertaubatnya orang yang pernah meninggalkan sholat lima waktu dan puasa dibulan Ramadhan selama 6 tahun lebih, karena kondisi dan pengaruh lingkungan ( waktu itu saya merantau di negara kafir ), apakah bisa di qadha?