Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai taulan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri
sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan
sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini
menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri
masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan
juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya
dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri
seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan
kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena
banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta
berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas
“wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk
mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak
diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia
lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi
demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri.
Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita
saksikan bisa diminimalkan. Ber-Iedul Fitri tidak harus
menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru
karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi,
tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang
sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu
bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri
tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah. Berikut
ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Definisi Ied (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Ied dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu
Taimiyyah berkata: “Ied adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu
terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan,
mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq
Al-Furayyan)
Ied dalam Islam adalah Iedul Fitri, Iedul Adha dan Hari Jum’at
.عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik
ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang
Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian
lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya
waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian
dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Hukum Shalat Ied
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Ied menjadi 3 pendapat:
- Pertama: Shalat Ied merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
- Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
- Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari
Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari
raya) Iedul Fitri dan Idul Adha yaitu
gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun
yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan
dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang
dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya
meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz
Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah
perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat
shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan
udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang
lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar
berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena
keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya
sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni
shalat). Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Ied adalah bahwa
Shalat Ied menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam
satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan
suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat
Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186,
As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah
pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang
intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang
mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya:
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan,
disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu
beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang
pertama. Yaitu Shalat Ied tidak disyariatkan bagi musafir, karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan
melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan
ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20
peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya
beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Ied…” (Majmu’ Fatawa,
24/177-178)
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى“
Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri
sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam
Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam
atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu
'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu
mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali
radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Iedul Adha, dan hari Iedul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))
Memakai Wewangian (Kecuali Wanita)
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Iedul fitri.”
(Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan
untuk mandi di hari Ied. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di
hari Ied, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin
Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta
agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Memakai Pakaian yang Bagus
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar
mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu
'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan
pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang
yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari
Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas
Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang
biasa diantara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Ied
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar di hari fitri
sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata:
Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya:
“Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab
Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Iedul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Ied, diantara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.
”Diantara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
- Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
- Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
- Karena sunnahnya Shalat Iedul Fitri lebih siang (dibanding Iedul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa.
Berbeda dengan Shalat Iedul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Iedul Fitri
lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai
shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih,
Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh
Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa
yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama
perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak diantara mereka mulai
menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi
sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental
keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta
terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk
kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan
padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian
manusia [2]…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)
Lafadz Takbir
Tentang
hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan
itu ada beberapa lafadz.Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih
mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad
yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan
Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu
‘Abbas disebutkan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat
Shalat Ied
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu
melakukannya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat
berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian
riwayat hadits berikut ini
.عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا
Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Iedul
Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya
dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah
dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban.
Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…”
(Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi
Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini
dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat
di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di
tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu
meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan
dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Ied di
luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya
tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Ied, -pent.). Lalu
orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, 6/144)
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Iedul Fitri
dan Iedhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah
shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang
mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan
memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila
beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin
memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi
Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang
dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara
tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.”
Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di
sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…”
(dinukil dari
Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani,
hal. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalat
يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata:
Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pergi bersama orang-orang di Hari Iedul Fitri atau
Iedhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami
dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir
Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id:
1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti
Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah
ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya
waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat
Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu
Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Ied tidak
boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya.
Shalat Ied hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat
sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun
sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit
matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat
Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah,
Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya
Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena
menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar,
Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar
menuju Shalat Ied kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian
mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Ied. Ini menunjukkan
bahwa Shalat Ied dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan
shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Iedul Fitri lebih Didahulukan daripada Iedul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Iedul Fitri dan disegerakan waktu Iedul
Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang
dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Iedul Fitri serta menyegerakan Iedul
Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak
keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya
menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab,
6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Iedul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Iedul
Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan
manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka.
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)
Tanpa Adzan dan Iqamah
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri
dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka
ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan:
“Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika
keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak
ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR.
Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat
diantara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Ied
tanpa adzan dan iqamah.” Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang
tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan
dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya
Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil
dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu
Az-Zuhri. Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun
pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun
riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong
dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah
tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Diantaranya bahwa pada Shalat
Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu,
sementara Shalat Ied tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat
shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab,
6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata:
“Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang
menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
Shalat Ied tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini
diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Ied adalah bid’ah, dengan lafadz
apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata:
Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka
mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan
“Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan
sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)
Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Ied
Shalat
Ied dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat
yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir
pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5
kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan
pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana
dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri
dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud
dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10,
Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir
pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan
dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan
para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal.
(Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam
hal ini terjadi perbedaan pendapat:
- Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
- Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama
dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz
Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ
“Selain
takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no.
6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam
sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama
Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan
oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari
sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84,
tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan
Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat
tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi
dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat
Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah).
Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar
(keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara
salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan,
kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan
sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula
Tanwirul ‘Ainain hal. 149)
Khutbah Ied
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Dari
Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Ied bersama Rasulullah,
Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum
khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Ied)
Dalam
berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap
manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita
secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata
kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Ied dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari
‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah
Shalat Ied, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami
berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah
duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR.
Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya
untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan
Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Ied berubah
menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang
tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid
Wanita
yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Ied, walaupun tidak boleh
melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk
menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan
hukum Shalat Ied.
Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah
benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang
diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya
kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini,
seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan
tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini
disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid.
Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah
Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah
kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Ied.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ
“Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu
apabila keluar pada hari Ied, beliau memerintahkan untuk membawa tombak
kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya,
sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya
dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan
Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan
Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Ied, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam
Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal
shalat Ied maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang
yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Ied kita
pemeluk Islam’.” Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Ied
beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya?
Menurut
Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam
satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang dari Shalat Ied Melalui Rute Lain saat Berangkat
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Dari Jabir, ia berkata:” Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Ied, beliau mengambil
jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man
Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986,
karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama
menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu
jalan menuju Shalat Ied maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu
adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan
seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para
ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, diantaranya agar lebih banyak
bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta.
(Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad,
1/433)
Bila Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Dari Iyas bin Abi
Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan
bersama Rasulullah, dua Ied berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab:
“Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab:
“Beliau Shalat Ied lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan
mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka
shalatlah’.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2
Ied, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Ied) telah mencukupinya
dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya
diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah
berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut
Shalat Ied maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi
imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin
mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Ied bisa
mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.”
(Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada
sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, diantaranya
‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama.
(Lihat At-Tamhid, 10/270-271)
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu
Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan
sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para
shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Ied,
sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Taqobbalallohu minna wa minka
“Semoga
Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah
ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa,
24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
Footnote :
[1]. 'Ied artinya kembali.
[2].
Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain
halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.
Sumber: http://asysyariah.com/ Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar