الحمد لله رب
العالمين، والصلاة والسلام على خاتم الأنبياء والمرسلين، وبعد.
Segala puji hanya bagi Allah semata, dan
shalawat dan salam semoga senantiasa dianugerahkan atas Rasulullah dan atas
keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya.
Amma ba'du :
Sesunguhnya motivasi yang mendorong untuk menulis makalah ini adalah apa yang terlihat belakangan ini, yakni, semakin gencarnya kegiatan Rafidhah (syi'ah) dalam mendakwahi ajaran mereka ketaraf dunia Islam, dan bahaya terhadap agama islam yang dimiliki oleh golongan yang keluar ini, serta kelengahan dari kebanyakkan dari awam kaum muslimin terhadap bahaya mereka, serta apa-apa yang terdapat dalam akidah mereka berupa syirik, celaan terhadap Al Quran, celaan terhadap para sahabat, ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap para imam. Sungguh penyusun telah bertekad untuk menulis makalah ini, dan menjawab apa yang menjadi problem dalam permasalahan ini secara ringkas, mengikuti metode syaikh kita Syaikh Alaamah abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin -semoga Allah menjaganya- dalam kitab beliau ((At Ta'liiqaatu 'Ala Matni Lum'atil 'Itiqaad)), dan dengan cara menukil dari buku-buku Rafidhah yang terkenal dan tersohor di kalangan mereka, serta dari buku-buku ahli sunnah dari kalangan para imam-imam terdalulu dan belakangan, dimana mereka telah membantah dan menerangkan kerusakan akidah mereka yang berdiri atas kesyirikan, ghuluw (sikap berlebih-lebihan), kedustaan, caci maki, celaan, tikaman, dll.
Sesungguhnya penyusun telah berusaha dalam makalah yang singkat dan kurang berharga ini, untuk membuktikan kesalahan mereka dari buku-buku mereka dan karangan-karangan yang terpercaya di kalangan mereka, sebagaimana perkataan Syaikh Ibrahim bin Sulaiman Al Jabhan -semoga Allah menjaganya- : "Dari mulutmu aku menghukummu wahai pemeluk syi'ah".
Akhirnya, penyusun memohon kepada Allah 'Azza wa Jalla semoga makalah ini bermanfaat bagi orang-orang yang bisa memandang dengan baik, sebagaimana firman Allah:
Amma ba'du :
Sesunguhnya motivasi yang mendorong untuk menulis makalah ini adalah apa yang terlihat belakangan ini, yakni, semakin gencarnya kegiatan Rafidhah (syi'ah) dalam mendakwahi ajaran mereka ketaraf dunia Islam, dan bahaya terhadap agama islam yang dimiliki oleh golongan yang keluar ini, serta kelengahan dari kebanyakkan dari awam kaum muslimin terhadap bahaya mereka, serta apa-apa yang terdapat dalam akidah mereka berupa syirik, celaan terhadap Al Quran, celaan terhadap para sahabat, ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap para imam. Sungguh penyusun telah bertekad untuk menulis makalah ini, dan menjawab apa yang menjadi problem dalam permasalahan ini secara ringkas, mengikuti metode syaikh kita Syaikh Alaamah abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin -semoga Allah menjaganya- dalam kitab beliau ((At Ta'liiqaatu 'Ala Matni Lum'atil 'Itiqaad)), dan dengan cara menukil dari buku-buku Rafidhah yang terkenal dan tersohor di kalangan mereka, serta dari buku-buku ahli sunnah dari kalangan para imam-imam terdalulu dan belakangan, dimana mereka telah membantah dan menerangkan kerusakan akidah mereka yang berdiri atas kesyirikan, ghuluw (sikap berlebih-lebihan), kedustaan, caci maki, celaan, tikaman, dll.
Sesungguhnya penyusun telah berusaha dalam makalah yang singkat dan kurang berharga ini, untuk membuktikan kesalahan mereka dari buku-buku mereka dan karangan-karangan yang terpercaya di kalangan mereka, sebagaimana perkataan Syaikh Ibrahim bin Sulaiman Al Jabhan -semoga Allah menjaganya- : "Dari mulutmu aku menghukummu wahai pemeluk syi'ah".
Akhirnya, penyusun memohon kepada Allah 'Azza wa Jalla semoga makalah ini bermanfaat bagi orang-orang yang bisa memandang dengan baik, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى
السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya " (Surat : Qoof, ayat :
37).
Dan penyusun mengucapkan terima kasih, kepada setiap orang yang ikut menanam saham bersama penyusun dalam menerbitkan buku kecil ini, Wallahu 'Alam, semoga Allah senantiasa menganugerahkan shalawat dan salam atas Rasulullah dan atas keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya.
Ditulis oleh:
Syaikh Abdullah bin Muhammad As Salafi
Firqah ini tumbuh tatkala muncul seorang Yahudi mendakwakan dirinya sudah masuk Islam, namanya Abdullah bin Saba'. Mendakwakan kecintaan terhadap ahli bait, dan terlalu memuja-muji Ali, dan mendakwakan, bahwa Ali punya wasiat untuk mendapatkan khalifah, kemudian ia mengangkat Ali sampai ke tingkat Ketuhanan, hal ini diakui oleh buku-buku syi'ah sendiri.
Al Qummi berkata dalam bukunya "Al Maqaalaat wal Firaq"[1] : “Ia mengakui keberadaannya, dan menganggapnya orang pertama yang berbicara tentang wajibnya keimaman Ali, dan raj’iyah Ali[2], dan menampakkan celaan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman serta seluruh sahabat, seperti yang dikatakan oleh An Nubakhti di bukunya "Firaqus Syi'ah"[3]. Sebagaimana Al Kissyi mengatakan demikian juga di bukunya yang dikenal dengan "Rijaalul Kissyi"[4]. Pengakuan adalah tuan argumen (argumen yang akurat), dan mereka-mereka ini semuanya adalah syaikh-syaikh besar Rafidhah.”
Al Baghdadi berkata : “Kelompok Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang telah berlebih-lebihan (dalam memuji) Ali, dan mendakwakan, bahwasanya Ali adalah nabi, kemudian bersikap berlebih-lebihan lagi, sehingga ia mendakwakan bahwasanya Ali adalah Allah.”
Al Baghdadi berkata juga : “Adalah ia (Abdullah bin Saba') anak orang berkulit hitam, asal usulnya adalah orang Yahudi dari penduduk Hirah (Yaman), lalu mengumumkan keislamannya, dan menginginkan agar ia mempunyai kerinduan dan kedudukan di sisi penduduk negeri Kufah, dan ia juga menyebutkan kepada mereka, bahwasanya ia membaca di Taurat, bahwa sesungguhnya bagi tiap-tiap nabi punya orang yang diwasiatkan, dan sesungguhnya Ali adalah orang yang diwasiatkan Muhammad Sholallahu ‘alaihi wassalam.”
Dan As Syahrastaani menyebutkan dari ibnu Saba', bahwasanya ia adalah orang yang pertama kali menyebarkan perkataan keimaman Ali secara nas / telah ditetapkan, dan ia menyebutkan juga dari kelompok Sabaiyah, bahwa kelompok ini adalah firqah (golongan) yang pertama sekali mengatakan masalah ghaibah[5] dan akidah raj’iyah, kemudian syiah mewarisinya setelah itu, meskipun mereka itu berbeda, dan pecahan golongan mereka banyak. Perkataan tentang keimaman dan kekhilafan Ali merupakan nas dan wasiat, itu merupakan dari kesalahan-kesalahan Ibnu Saba'. Yang akhirnya syi'ah sendiri berpecah menjadi golongan-golongan dan perkataan-perkataan yang banyak sampai puluhan golongan dan perkataan.
Begitulah syiah membuat bid'ah dalam perkataan tentang keyakinan wasiat, raj’iyah, ghaibah, bahkan perkataan menjadikan imam-imam sebagai tuhan[6], karena mengikuti Ibnu Saba' orang yahudi itu.
Dan penyusun mengucapkan terima kasih, kepada setiap orang yang ikut menanam saham bersama penyusun dalam menerbitkan buku kecil ini, Wallahu 'Alam, semoga Allah senantiasa menganugerahkan shalawat dan salam atas Rasulullah dan atas keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya.
Ditulis oleh:
Syaikh Abdullah bin Muhammad As Salafi
Kapan
Munculnya Firqah Rafidhah?
Firqah ini tumbuh tatkala muncul seorang Yahudi mendakwakan dirinya sudah masuk Islam, namanya Abdullah bin Saba'. Mendakwakan kecintaan terhadap ahli bait, dan terlalu memuja-muji Ali, dan mendakwakan, bahwa Ali punya wasiat untuk mendapatkan khalifah, kemudian ia mengangkat Ali sampai ke tingkat Ketuhanan, hal ini diakui oleh buku-buku syi'ah sendiri.
Al Qummi berkata dalam bukunya "Al Maqaalaat wal Firaq"[1] : “Ia mengakui keberadaannya, dan menganggapnya orang pertama yang berbicara tentang wajibnya keimaman Ali, dan raj’iyah Ali[2], dan menampakkan celaan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman serta seluruh sahabat, seperti yang dikatakan oleh An Nubakhti di bukunya "Firaqus Syi'ah"[3]. Sebagaimana Al Kissyi mengatakan demikian juga di bukunya yang dikenal dengan "Rijaalul Kissyi"[4]. Pengakuan adalah tuan argumen (argumen yang akurat), dan mereka-mereka ini semuanya adalah syaikh-syaikh besar Rafidhah.”
Al Baghdadi berkata : “Kelompok Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang telah berlebih-lebihan (dalam memuji) Ali, dan mendakwakan, bahwasanya Ali adalah nabi, kemudian bersikap berlebih-lebihan lagi, sehingga ia mendakwakan bahwasanya Ali adalah Allah.”
Al Baghdadi berkata juga : “Adalah ia (Abdullah bin Saba') anak orang berkulit hitam, asal usulnya adalah orang Yahudi dari penduduk Hirah (Yaman), lalu mengumumkan keislamannya, dan menginginkan agar ia mempunyai kerinduan dan kedudukan di sisi penduduk negeri Kufah, dan ia juga menyebutkan kepada mereka, bahwasanya ia membaca di Taurat, bahwa sesungguhnya bagi tiap-tiap nabi punya orang yang diwasiatkan, dan sesungguhnya Ali adalah orang yang diwasiatkan Muhammad Sholallahu ‘alaihi wassalam.”
Dan As Syahrastaani menyebutkan dari ibnu Saba', bahwasanya ia adalah orang yang pertama kali menyebarkan perkataan keimaman Ali secara nas / telah ditetapkan, dan ia menyebutkan juga dari kelompok Sabaiyah, bahwa kelompok ini adalah firqah (golongan) yang pertama sekali mengatakan masalah ghaibah[5] dan akidah raj’iyah, kemudian syiah mewarisinya setelah itu, meskipun mereka itu berbeda, dan pecahan golongan mereka banyak. Perkataan tentang keimaman dan kekhilafan Ali merupakan nas dan wasiat, itu merupakan dari kesalahan-kesalahan Ibnu Saba'. Yang akhirnya syi'ah sendiri berpecah menjadi golongan-golongan dan perkataan-perkataan yang banyak sampai puluhan golongan dan perkataan.
Begitulah syiah membuat bid'ah dalam perkataan tentang keyakinan wasiat, raj’iyah, ghaibah, bahkan perkataan menjadikan imam-imam sebagai tuhan[6], karena mengikuti Ibnu Saba' orang yahudi itu.
[1] Lihat "Al Maqaalaat wal
Firaq" oleh Al Qummi, hal : 10-21
[2] Keyakinan bahwa
Ali akan kembali ke dunia sebelum hari kiyamat
[3] Lihat "Firaqus
Syi'ah" oleh An Nubakhti, hal : 19-20
[4] Lihat : apa yang
dicantumkan oleh Al Kissyi dalam beberapa riwayat dari Ibnu Saba' dan
akidah-akidahnya, lihat no : 170, 171, 172, 173, 174, dari hal :
106-108
[5] Keyakinan
menghilangnya imam Askari yang mereka tunggu-tunggu
[6] Ushul 'Itiqad
Ahli Sunnah Wal Jama'ah, Al Lalikaai, 1/22-23
Penamaan ini disebutkan oleh syaikh mereka Al Majlisi dalam bukunya "Al Bihaar" dan ia mencantumkan empat hadits dari hadits-hadits mereka[1].
Ada yang mengatakan : mereka dinamakan rafidhah, karena mereka datang ke Zaid bin Ali bin Husein, lalu mereka berkata : "Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar sehingga kami bisa bersamamu!", lalu beliau menjawab : "Mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) adalah sahabat kakekku, bahkan aku setia kepada mereka". Mereka berkata : "Kalau begitu, kami menolakmu (rafadhnaak) maka dinamakanlah mereka Raafidhah (yang menolak), dan orang yang membai'at dan sepakat dengan Zaid bin Ali bin Husein disebut Zaidiyah[2].
Ada yang mengatakan : mereka dinamakan dengan Raafidhah, karena mereka menolak keimaman (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar[3]. Dan dikatakan mereka dinamakan dengan Rafidhah karena mereka menolak agama[4].
Kenapa
Syi'ah Dinamakan Dengan Rafidhah?
Penamaan ini disebutkan oleh syaikh mereka Al Majlisi dalam bukunya "Al Bihaar" dan ia mencantumkan empat hadits dari hadits-hadits mereka[1].
Ada yang mengatakan : mereka dinamakan rafidhah, karena mereka datang ke Zaid bin Ali bin Husein, lalu mereka berkata : "Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar sehingga kami bisa bersamamu!", lalu beliau menjawab : "Mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) adalah sahabat kakekku, bahkan aku setia kepada mereka". Mereka berkata : "Kalau begitu, kami menolakmu (rafadhnaak) maka dinamakanlah mereka Raafidhah (yang menolak), dan orang yang membai'at dan sepakat dengan Zaid bin Ali bin Husein disebut Zaidiyah[2].
Ada yang mengatakan : mereka dinamakan dengan Raafidhah, karena mereka menolak keimaman (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar[3]. Dan dikatakan mereka dinamakan dengan Rafidhah karena mereka menolak agama[4].
[1] Lihat buku : Al
Bihaar, oleh Al Majlisi, hal : 68-96-97. (Dia ini merupakan salah seorang tempat
bertanya orang-orang rafidhah (syi'ah) untuk zaman-zaman
terakhir).
[2] At Ta'liiqaatu
'Ala Matni Lum'atil 'Itiqaad, oleh : Syeikh Alaamah Abdullah bin Abdurrahman Al
Jibrin, -semoga Allah menjaganya-, hal : 108.
[3] Lihat : catatan
kaki buku Maqaalaat Al Islamiyiin, oleh Muhyiddin Abdul Hamid,
(1/89).
[4] Lihat : di buku
Maqaalaat Al Islamiyiin, (1/89).
Ditemukan di dalam buku Daairatul Ma'arif bahwasanya : golongan yang muncul dari cabang-cabang syi'ah jauh melebihi dari angka tujuh puluh tiga golongan yang terkenal itu[1].
Bahkan dikatakan oleh seorang rafidhah Mir Baqir Ad Damaad[2], sesungguhnya seluruh firqoh-firqoh yang tersebut dalam hadits, yaitu hadits berpecahnya umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan, maksudnya adalah firqoh-firqoh syi'ah. Dan sesungguhnya golongan yang selamat itu dari mereka adalah golongan Imamiyah.
Al Maqrizi menyebutkan bahwa jumlah firqoh-firqoh mereka itu sampai 300 (tiga ratus) firqoh[3].
As Syahrastaani berkata : “Sesungguhnya Rafidhah terbagi menjadi lima bagian : Al Kisaaniyah, Az Zaidiyah, Al Imamiyah, Al Ghaliyah dan Al Ismailiyah [4].”
Al Baghdadi berkata : “Sesungguhnya Rafidhah setelah masa Ali ada empat golongan : Zaidiyah, Imamiyah, Ghulaah dan Kisaaniyah.[5]”
Perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya Az Zaidiyah tidak termasuk dari firqoh-forqoh Rafidhah, kecuali kelompok Al Jarudiyah.
Rafidhah Terpecah Menjadi Berapa Firqoh (Golongan)?
Ditemukan di dalam buku Daairatul Ma'arif bahwasanya : golongan yang muncul dari cabang-cabang syi'ah jauh melebihi dari angka tujuh puluh tiga golongan yang terkenal itu[1].
Bahkan dikatakan oleh seorang rafidhah Mir Baqir Ad Damaad[2], sesungguhnya seluruh firqoh-firqoh yang tersebut dalam hadits, yaitu hadits berpecahnya umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan, maksudnya adalah firqoh-firqoh syi'ah. Dan sesungguhnya golongan yang selamat itu dari mereka adalah golongan Imamiyah.
Al Maqrizi menyebutkan bahwa jumlah firqoh-firqoh mereka itu sampai 300 (tiga ratus) firqoh[3].
As Syahrastaani berkata : “Sesungguhnya Rafidhah terbagi menjadi lima bagian : Al Kisaaniyah, Az Zaidiyah, Al Imamiyah, Al Ghaliyah dan Al Ismailiyah [4].”
Al Baghdadi berkata : “Sesungguhnya Rafidhah setelah masa Ali ada empat golongan : Zaidiyah, Imamiyah, Ghulaah dan Kisaaniyah.[5]”
Perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya Az Zaidiyah tidak termasuk dari firqoh-forqoh Rafidhah, kecuali kelompok Al Jarudiyah.
[1] Daairatul
Ma'arif, (4/67).
[2] Dia adalah
Muhammad Baqir bin Muhammad Al Asadi, termasuk tokoh besar
syi'ah
[3] Dia adalah Al
Maqrizi du Al Khuthath, ((2/351).
[4] Al Milal wan
Nihal, oleh As Syahrastani, hal :147
[5] Al Farqu Bainal
Firaq, oleh Al Baghdadi, hal : 41
Al Badaa’ yaitu bermakna tampak (muncul) setelah sembunyi, atau bermakna timbulnya pandangan baru. Al Badaa’ sesuai dengan kedua makna itu, haruslah didahului oleh ketidaktahuan, serta baru diketahui. Keduanya ini merupakan suatu hal yang mustahil atas diri Allah, akan tetapi orang Rafidhah (syiah) menisbatkan kepada Allah sifat Al Badaa'.
Telah diriwayatkan dari Ar Rayaan bin Al Sholt, ia berkata : "Saya telah mendengar Al Ridha berkata: "Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali mengharamkan khamar, dan mengakui bahwa Allah itu memiliki sifat Al Badaa'"[1]. Dan dari Abi Abdillah ia berkata : "Tidak pernah Allah diibadati dengan sesuatu apapun seperti (mengibadatinya dengan) Al Badaa'[2]. Maha Tinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang besar.
Lihatlah wahai saudaraku muslim, bagaimana mungkin mereka menisbatkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sifat jahal (ketidaktahuan), sedangkan Dia mengatakan tentang diri-Nya :
Apakah yang dimaksud dengan akidah Al Badaa’ yang diimani oleh
Rafidhah?
Al Badaa’ yaitu bermakna tampak (muncul) setelah sembunyi, atau bermakna timbulnya pandangan baru. Al Badaa’ sesuai dengan kedua makna itu, haruslah didahului oleh ketidaktahuan, serta baru diketahui. Keduanya ini merupakan suatu hal yang mustahil atas diri Allah, akan tetapi orang Rafidhah (syiah) menisbatkan kepada Allah sifat Al Badaa'.
Telah diriwayatkan dari Ar Rayaan bin Al Sholt, ia berkata : "Saya telah mendengar Al Ridha berkata: "Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali mengharamkan khamar, dan mengakui bahwa Allah itu memiliki sifat Al Badaa'"[1]. Dan dari Abi Abdillah ia berkata : "Tidak pernah Allah diibadati dengan sesuatu apapun seperti (mengibadatinya dengan) Al Badaa'[2]. Maha Tinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang besar.
Lihatlah wahai saudaraku muslim, bagaimana mungkin mereka menisbatkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sifat jahal (ketidaktahuan), sedangkan Dia mengatakan tentang diri-Nya :
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا
اللَّهُ
"Katakanlah!, Tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi yang tahu ghaib kecuali Allah." (an naml: 65)
Dan di sisi lain Rafidhah (syi'ah) meyakini bahwa sesungguhnya para imam mengetahui seluruh ilmu, dan tidak akan tersembunyi baginya sesuatu apapun.
Apakah ini akidah/keyakinan Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad -Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam- ???.
Dan di sisi lain Rafidhah (syi'ah) meyakini bahwa sesungguhnya para imam mengetahui seluruh ilmu, dan tidak akan tersembunyi baginya sesuatu apapun.
Apakah ini akidah/keyakinan Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad -Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam- ???.
[1] Ushulul Kafi, hal
:40
[2] Ushulul Kafi,
oleh Al Kulaini di kitab tauhid : 1/133
Adalah Rafidhah orang yang pertama kali mengatakan tajsiim (bersifat seperti tubuh manusia). Sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menentukan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan ini dari kalangan kaum Rafidhah adalah Hisyam ibnul Hakam[1], dan Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman Al Qummi, dan Abu Ja'far Al Ahwal[2].
Seluruh orang yang disebutkan tadi termasuk syaikh-syaikh besar golongan Itsna Asyriyah (Rafidhah), kemudian mereka menjadi pemeluk paham Jahmiyah mu'athilah, sebagaimana sekumpulan riwayat mereka mensifati Rabb semesta alam dengan sifat-sifat negetif yang mereka masukkan sebagai sifat yang tetap bagi Allah. Dan sungguh Ibnu Babawaih meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang mengatakan bahwa Allah Ta'ala, tidak disifati dengan zaman, tidak dengan tempat, tidak dengan bagaimananya, tidak dengan gerak, tidak dengan berpindah, tidak dengan sesuatupun dari sifat-sifat tubuh, Dia bukan yang bisa diraba, bukan bertubuh dan berbentuk."[3] Maka syaikh-syaikh mereka mengikuti jalan (metode) yang sesat ini dengan menta'til (menghilangkan) sifat-sifat yang tercantum dalam AlQuran dan sunnah.
Sebagaimana mereka mengingkari turunnya Allah yang Maha Agung. Mereka mengatakan Al Quran makhluk, mereka mengingkari ru'yah (melihat kepada Allah) pada hari akhirat. Tercantum dalam kitab "Biharul Anwar", bahwasanya Abu Abdillah Ja'far As Shodiq ditanya tentang Allah ta'ala, apakah bisa dilihat pada hari akhirat? Beliau berkata : "Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar, sesungguhnya pandangan tidak akan bisa mencapai kecuali hal-hal yang mempunyai warna dan bentuk, dan Allah yang menciptakan warna-warni dan bentuk".
Bahkan mereka mengatakan : "Jika seandainya dinisbatkan kepada Allah sebagian sifat seperti ru'yah, maka dihukum sebagai murtad, sebagaimana yang didapatkan dari syaikh mereka Ja'far Al Najfi di kitab "Kasyful Ghitho'" hal : 417. Perlu diketahui bahwasanya melihat kepada Allah pada hari akhirat adalah benar adanya dan sudah konsisten dalam Kitab dan Sunnah tanpa meliputi seluruhnya dan tanpa bagaimananya, sebagaimana firman Allah :
Apa Akidah
Rafidhah Dalam Masalah Sifat?
Adalah Rafidhah orang yang pertama kali mengatakan tajsiim (bersifat seperti tubuh manusia). Sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menentukan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan kedustaan ini dari kalangan kaum Rafidhah adalah Hisyam ibnul Hakam[1], dan Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman Al Qummi, dan Abu Ja'far Al Ahwal[2].
Seluruh orang yang disebutkan tadi termasuk syaikh-syaikh besar golongan Itsna Asyriyah (Rafidhah), kemudian mereka menjadi pemeluk paham Jahmiyah mu'athilah, sebagaimana sekumpulan riwayat mereka mensifati Rabb semesta alam dengan sifat-sifat negetif yang mereka masukkan sebagai sifat yang tetap bagi Allah. Dan sungguh Ibnu Babawaih meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang mengatakan bahwa Allah Ta'ala, tidak disifati dengan zaman, tidak dengan tempat, tidak dengan bagaimananya, tidak dengan gerak, tidak dengan berpindah, tidak dengan sesuatupun dari sifat-sifat tubuh, Dia bukan yang bisa diraba, bukan bertubuh dan berbentuk."[3] Maka syaikh-syaikh mereka mengikuti jalan (metode) yang sesat ini dengan menta'til (menghilangkan) sifat-sifat yang tercantum dalam AlQuran dan sunnah.
Sebagaimana mereka mengingkari turunnya Allah yang Maha Agung. Mereka mengatakan Al Quran makhluk, mereka mengingkari ru'yah (melihat kepada Allah) pada hari akhirat. Tercantum dalam kitab "Biharul Anwar", bahwasanya Abu Abdillah Ja'far As Shodiq ditanya tentang Allah ta'ala, apakah bisa dilihat pada hari akhirat? Beliau berkata : "Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari hal itu dengan ketinggian yang besar, sesungguhnya pandangan tidak akan bisa mencapai kecuali hal-hal yang mempunyai warna dan bentuk, dan Allah yang menciptakan warna-warni dan bentuk".
Bahkan mereka mengatakan : "Jika seandainya dinisbatkan kepada Allah sebagian sifat seperti ru'yah, maka dihukum sebagai murtad, sebagaimana yang didapatkan dari syaikh mereka Ja'far Al Najfi di kitab "Kasyful Ghitho'" hal : 417. Perlu diketahui bahwasanya melihat kepada Allah pada hari akhirat adalah benar adanya dan sudah konsisten dalam Kitab dan Sunnah tanpa meliputi seluruhnya dan tanpa bagaimananya, sebagaimana firman Allah :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ - إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ .
"Wajah-wajah pada saat itu berseri-seri,
kepada Rabbnya melihat" (Al Qiyamah : 22,23).
Dan dari sunnah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Jarir bin Abdillah Al Bajali, berkata:
"Adalah kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, lalu beliau melihat kepada purnama, pada malam empat belas, lalu bersabda : "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang, sebagaimana kalian melihat ini (purnama), dimana kalian tidak berdesakan melihatnya"[4].
Dan ayat-ayat serta hadits-hadits dalam masalah itu banyak sekali, yang tidak memungkinkan kita untuk menyebutkannya.[5]
Dan dari sunnah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Jarir bin Abdillah Al Bajali, berkata:
"Adalah kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, lalu beliau melihat kepada purnama, pada malam empat belas, lalu bersabda : "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang, sebagaimana kalian melihat ini (purnama), dimana kalian tidak berdesakan melihatnya"[4].
Dan ayat-ayat serta hadits-hadits dalam masalah itu banyak sekali, yang tidak memungkinkan kita untuk menyebutkannya.[5]
[1] Minhaaj sunnah
(1/20) oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
[2] 'Itiqadaat Firaqul
Muslimin Wal Musyrikin, hal : 97
[3] At Tauhid, oleh Abu
Babawaih, hal : 57
[4] Bukhari no :
544, dan Muslim no : 633
[5] Lihat
karangan-karangan Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam menetapkan ru'yah, seperti kitab
Ar Ru'yah oleh Daruqutni, dan kitab imam Al Lalikai dan
lainnya
Sesungguhnya Rafidhah yang dinamakan pada zaman kita sekarang ini dengan syiah, mengatakan sesungguhnya Al Quran yang ada pada kita, bukanlah Al Quran yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, akan tetapi telah dirubah, ditukar, ditambah dan dikurangi. Jumhur ahli hadits dari kalangan syi'ah meyakini adanya pelencengan (perubahan) dalam Al Quran seperti yang disebutkan oleh An Nuuri Al Tibrisi dalam kitabnya "Fashlul Khithab Fi Tahrifil Kitabi Rabbil Arbab".[1]
Dan Muhammad bin Ya'qub Al Kulaini berkata di "Ushulul Kafi" di bawah Bab bahasan: "Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengumpulkan Al Quran seluruhnya, kecuali para iman" dari Jabir ia berkata : saya telah mendengar Abu Ja'far berkata : "Tidaklah seseorang dari manusia mendakwakan bahwasanya dia telah mengumpulkan Al Quran secara keseluruhannya sebagaimana Allah telah menurunkannya, kecuali ia itu adalah orang pendusta. Tidak ada yang mampu mengumpulkannya dan menghafalnya seperti yang telah diturunkan Allah kecuali Ali bin Abi Talib dan para imam setelah mereka".
Dan Ahmad Al Tibrisi dalam kitab "Al Ihtijaaj" dan Al Mulla Hasan dalam tafsirnya "As Shaafi" sesungguhnya Umar telah berkata kepada Zaid bin Tsabit : Sesungguhnya Ali telah datang kepada kita dengan membawa Al Quran, yang di dalamnya tercantum aib-aib orang muhajirin dan anshor.
Dan sungguh kami telah memandang untuk mengumpulkan Al Quran dan menghilangkan setiap apa-apa yang di dalamnya terdapat aib-aib muhajirin dan anshor. Dan Zaid pun telah memenuhinya untuk itu, kemudian berkata : "Jika saya telah selesai dari (mengumpulkan) Al Quran sesuai yang anda minta, lalu jelas bagi saya Al Quran yang dikumpulkannya (Ali), bukankah itu menghancurkan setiap apa yang telah anda kerjakan?
Maka berkata Umar : "Jadi bagaimana jalan keluarnya? Berkata Zaid : Anda lebih tahu dengan jalan keluarnya", berkata Umar : Tiada jalan keluar kecuai kita harus membunuhnya agar kita lega darinya. Lalu ia pun merancang pembunuhannya (Ali) lewat tangan Khalid bin Walid, akan tetapi dia tidak mampu melakukannya[2].
Tatkala Umar menjadi khalifah, mereka (para sahabat) meminta Ali untuk mendatangkan Al Quran kepada mereka, agar mereka sama mereka merubahnya. Lantas Umar berkata : Wahai Abul Hasan, alangkah baiknya kalau seandainya kamu membawa Al Quran yang pernah kamu bawa ke hadapan Abu Bakar, agar kita bersatu atasnya. Lalu Ali berkata : Tidak mungkin, dan tidak mungkin ada jalan untuk itu, sebenarnya saya membawanya ke hadapan Abu Bakar hanyalah untuk menegakkan hujjah atasnya, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat
Apa
Keyakinan Rafidhah (Syiah) Terhadap Al Quran-ul Karim Yang Ada Di Tengah-Tengah
Kita Sekarang, Padahal Allah Telah Berjanji Untuk Menjaganya?
Sesungguhnya Rafidhah yang dinamakan pada zaman kita sekarang ini dengan syiah, mengatakan sesungguhnya Al Quran yang ada pada kita, bukanlah Al Quran yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, akan tetapi telah dirubah, ditukar, ditambah dan dikurangi. Jumhur ahli hadits dari kalangan syi'ah meyakini adanya pelencengan (perubahan) dalam Al Quran seperti yang disebutkan oleh An Nuuri Al Tibrisi dalam kitabnya "Fashlul Khithab Fi Tahrifil Kitabi Rabbil Arbab".[1]
Dan Muhammad bin Ya'qub Al Kulaini berkata di "Ushulul Kafi" di bawah Bab bahasan: "Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengumpulkan Al Quran seluruhnya, kecuali para iman" dari Jabir ia berkata : saya telah mendengar Abu Ja'far berkata : "Tidaklah seseorang dari manusia mendakwakan bahwasanya dia telah mengumpulkan Al Quran secara keseluruhannya sebagaimana Allah telah menurunkannya, kecuali ia itu adalah orang pendusta. Tidak ada yang mampu mengumpulkannya dan menghafalnya seperti yang telah diturunkan Allah kecuali Ali bin Abi Talib dan para imam setelah mereka".
Dan Ahmad Al Tibrisi dalam kitab "Al Ihtijaaj" dan Al Mulla Hasan dalam tafsirnya "As Shaafi" sesungguhnya Umar telah berkata kepada Zaid bin Tsabit : Sesungguhnya Ali telah datang kepada kita dengan membawa Al Quran, yang di dalamnya tercantum aib-aib orang muhajirin dan anshor.
Dan sungguh kami telah memandang untuk mengumpulkan Al Quran dan menghilangkan setiap apa-apa yang di dalamnya terdapat aib-aib muhajirin dan anshor. Dan Zaid pun telah memenuhinya untuk itu, kemudian berkata : "Jika saya telah selesai dari (mengumpulkan) Al Quran sesuai yang anda minta, lalu jelas bagi saya Al Quran yang dikumpulkannya (Ali), bukankah itu menghancurkan setiap apa yang telah anda kerjakan?
Maka berkata Umar : "Jadi bagaimana jalan keluarnya? Berkata Zaid : Anda lebih tahu dengan jalan keluarnya", berkata Umar : Tiada jalan keluar kecuai kita harus membunuhnya agar kita lega darinya. Lalu ia pun merancang pembunuhannya (Ali) lewat tangan Khalid bin Walid, akan tetapi dia tidak mampu melakukannya[2].
Tatkala Umar menjadi khalifah, mereka (para sahabat) meminta Ali untuk mendatangkan Al Quran kepada mereka, agar mereka sama mereka merubahnya. Lantas Umar berkata : Wahai Abul Hasan, alangkah baiknya kalau seandainya kamu membawa Al Quran yang pernah kamu bawa ke hadapan Abu Bakar, agar kita bersatu atasnya. Lalu Ali berkata : Tidak mungkin, dan tidak mungkin ada jalan untuk itu, sebenarnya saya membawanya ke hadapan Abu Bakar hanyalah untuk menegakkan hujjah atasnya, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
"Sesungguhnya kami akan hal ini dalam keadaan
lengah" (Al A'raf :172),
atau agar kalian tidak mengatakan;
"Kamu tidak pernah mendatangkannya kepada kami" (Al A’raf ).
Sesungguhnya Al Quran ini tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci, dan orang-orang yang diwasiatkan dari kalangan anakku. Lalu berkata Umar : "Apakah ada waktu untuk menampakkannya diketahui? Lantas Ali berkata : "Ya, jika telah bangkit seseorang dari anakku, ia akan menampakkannya dan membawa manusia atasnya[3].
Walau bagaimanapun orang syiah menampakkan sikap berlepas dirinya terhadap buku An Nuri al Tibrisi ini, demi mengamalkan akidah Taqiyah, akan tetapi kitab itu terselubung dan tersimpan dalam ratusan nas-nas (pernyataan-pernyataan) dari ulama mereka dalam kitab-kitab yang diakui, menetapkan hal itu, dan bahwasanya mereka betul-betul yakin dengan perubahan itu, dan beriman dengannya, akan tetapi mereka tidak ingin timbul kehebohan sekitar akidah mereka ini terhadap alquran.
Dan tinggal setelah itu, bahwa ada dua Al Quran, yang pertama yang diketahui, dan yang lain khusus, tersembunyi. Diantaranya surat Wilayah, dan diantara yang didakwakan oleh syi'ah Rafidhah, bahwa ada satu ayat telah dihapus dari Al Quran yaitu :
"Dan kami telah menjadikan Ali sebagai menantumu", Mereka mendakwakan ayat ini dihapus dari surat Alam Nasyrah, sementara mereka tidak pernah malu dangan dakwaan mereka ini, karena mereka mengetahui bahwa surat itu adalah makkiyah, dan Ali belum menjadi menantu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam saat di Mekah.
atau agar kalian tidak mengatakan;
"Kamu tidak pernah mendatangkannya kepada kami" (Al A’raf ).
Sesungguhnya Al Quran ini tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci, dan orang-orang yang diwasiatkan dari kalangan anakku. Lalu berkata Umar : "Apakah ada waktu untuk menampakkannya diketahui? Lantas Ali berkata : "Ya, jika telah bangkit seseorang dari anakku, ia akan menampakkannya dan membawa manusia atasnya[3].
Walau bagaimanapun orang syiah menampakkan sikap berlepas dirinya terhadap buku An Nuri al Tibrisi ini, demi mengamalkan akidah Taqiyah, akan tetapi kitab itu terselubung dan tersimpan dalam ratusan nas-nas (pernyataan-pernyataan) dari ulama mereka dalam kitab-kitab yang diakui, menetapkan hal itu, dan bahwasanya mereka betul-betul yakin dengan perubahan itu, dan beriman dengannya, akan tetapi mereka tidak ingin timbul kehebohan sekitar akidah mereka ini terhadap alquran.
Dan tinggal setelah itu, bahwa ada dua Al Quran, yang pertama yang diketahui, dan yang lain khusus, tersembunyi. Diantaranya surat Wilayah, dan diantara yang didakwakan oleh syi'ah Rafidhah, bahwa ada satu ayat telah dihapus dari Al Quran yaitu :
"Dan kami telah menjadikan Ali sebagai menantumu", Mereka mendakwakan ayat ini dihapus dari surat Alam Nasyrah, sementara mereka tidak pernah malu dangan dakwaan mereka ini, karena mereka mengetahui bahwa surat itu adalah makkiyah, dan Ali belum menjadi menantu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam saat di Mekah.
[1] Fashlul
Khithab, oleh Hasan bin Muhammad Taqiyun Nuri Al Tibrisi, hal :
32
[2] Lihatlah
saudara seiman, alangkah kejinya kisah yang dibuat-buat oleh kaum syiah terhadap
para sahabat
[3] Al Ihtijaaj
oleh Al Tibrisi hal :225, kitab Fashlul Khithab, hal :
7
Bagaimana Akidah Rafidhah Terhadap Para Sahabat Rasulullah?
Akidah Rafidhah berdiri atas caci maki, mencela dan mengkafirkan para sahabat -semoga Allah meridhoi para sahabat-. Al Kulaini menyebutkan di "Furu' Al Kafi" dari Ja'far 'alaihi salam: "Manusia menjadi murtad setelah Nabi (meninggal) kecuali tiga orang, lalu aku bertanya : siapa tiga orang itu ? beliau berkata : Al miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi[1].
Al Majlisi dalam kitab "Haqqul Yakin" menyebutkan : "Bahwasanya seorang budak Ali bin Husein berkata kepadanya : saya mempunyai hak pelayanan yang wajib atas dirimu, maka beritahu aku tentang Abu Bakar dan Umar, lalu ia menjawab : "Mereka berdua adalah orang kafir, dan orang yang mencintai mereka maka ia orang kafir juga."[2]
Dalam tafsir Al Qummi pada firman Allah (An Nahl : 90) :
Bagaimana Akidah Rafidhah Terhadap Para Sahabat Rasulullah?
Akidah Rafidhah berdiri atas caci maki, mencela dan mengkafirkan para sahabat -semoga Allah meridhoi para sahabat-. Al Kulaini menyebutkan di "Furu' Al Kafi" dari Ja'far 'alaihi salam: "Manusia menjadi murtad setelah Nabi (meninggal) kecuali tiga orang, lalu aku bertanya : siapa tiga orang itu ? beliau berkata : Al miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi[1].
Al Majlisi dalam kitab "Haqqul Yakin" menyebutkan : "Bahwasanya seorang budak Ali bin Husein berkata kepadanya : saya mempunyai hak pelayanan yang wajib atas dirimu, maka beritahu aku tentang Abu Bakar dan Umar, lalu ia menjawab : "Mereka berdua adalah orang kafir, dan orang yang mencintai mereka maka ia orang kafir juga."[2]
Dalam tafsir Al Qummi pada firman Allah (An Nahl : 90) :
إِنَّ اللّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.” (an nahl: 90)
Mereka mengatakan : al fahsyaa' (keji) adalah Abu Bakr, al-munkar adalah Umar dan baghyi (kezoliman) adalah Utsman[3].
Mereka mengatakan dalam buku mereka "Miftahul Jinaan" : Ya Allah anugerahkanlah salawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan laknatlah dua berhala kaum Quraisy dan dua yang mereka sembah selain Allah[4]. dan dua thoghut serta anak perempuan mereka berdua....dan seterusnya[5]. Dan yang mereka maksudkan dengan itu adalah Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah.
Pada hari asyura (hari ke sepuluh bulan Muharram), mereka membawa seekor anjing lalu mereka namakan dengan umar, kemudian mereka menghujani dengan pukulan pakai tongkat, serta melontarnya dengan batu sampai mati, kemudian mereka menghadirkan seekor anak kambing, mereka beri nama dengan Aisyah, kemudian mereka mulai mencabut bulunya, dan menghujani dengan pukulan pakai sandal, sampai mati[6].
Sebagaimana mereka merayakan hari terbunuhnya Faruq Umar bin Khatab dan mereka memberi nama pembunuh umar yaitu abu Lu’lu’ al Majusi dengan nama Baba Syujaa'uddin (bapak) pemberani agama (pahlawan agama)[7], semoga Allah meridhoi seluruh sahabat dan para ummul mukminin.
Lihatlah wahai saudaraku muslim, alangkah dengkinya dan alangkah kejinya golongan yang keluar dari agama ini, tentang apa yang telah mereka katakan terhadap manusia pilihan setelah para nabi, yang mana Allah dan rasul-Nya telah memuji mereka. Dan telah sepakat umat ini atas keadilan (kelurusan dan keterpercayaan) dan keutamaan mereka. Sejarah dan kenyataan pun telah membuktikan dan menyaksikan serta perkara-perkara ini sudah merupakan pengetahuan yang wajib diketahui (oleh setiap umat) atas kebaikan, dan posisi mereka selalu di depan serta jihad mereka dalam Islam.
Mereka mengatakan : al fahsyaa' (keji) adalah Abu Bakr, al-munkar adalah Umar dan baghyi (kezoliman) adalah Utsman[3].
Mereka mengatakan dalam buku mereka "Miftahul Jinaan" : Ya Allah anugerahkanlah salawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan laknatlah dua berhala kaum Quraisy dan dua yang mereka sembah selain Allah[4]. dan dua thoghut serta anak perempuan mereka berdua....dan seterusnya[5]. Dan yang mereka maksudkan dengan itu adalah Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah.
Pada hari asyura (hari ke sepuluh bulan Muharram), mereka membawa seekor anjing lalu mereka namakan dengan umar, kemudian mereka menghujani dengan pukulan pakai tongkat, serta melontarnya dengan batu sampai mati, kemudian mereka menghadirkan seekor anak kambing, mereka beri nama dengan Aisyah, kemudian mereka mulai mencabut bulunya, dan menghujani dengan pukulan pakai sandal, sampai mati[6].
Sebagaimana mereka merayakan hari terbunuhnya Faruq Umar bin Khatab dan mereka memberi nama pembunuh umar yaitu abu Lu’lu’ al Majusi dengan nama Baba Syujaa'uddin (bapak) pemberani agama (pahlawan agama)[7], semoga Allah meridhoi seluruh sahabat dan para ummul mukminin.
Lihatlah wahai saudaraku muslim, alangkah dengkinya dan alangkah kejinya golongan yang keluar dari agama ini, tentang apa yang telah mereka katakan terhadap manusia pilihan setelah para nabi, yang mana Allah dan rasul-Nya telah memuji mereka. Dan telah sepakat umat ini atas keadilan (kelurusan dan keterpercayaan) dan keutamaan mereka. Sejarah dan kenyataan pun telah membuktikan dan menyaksikan serta perkara-perkara ini sudah merupakan pengetahuan yang wajib diketahui (oleh setiap umat) atas kebaikan, dan posisi mereka selalu di depan serta jihad mereka dalam Islam.
[1] Furuu' Al Kafi,
oleh Al Kulaini, hal : 115
[2] Haqqul Yakiin,
oleh Al Majlisi, hal : 522. Di sini perlu di isyaratkan bahwa sesungguhnya Ali
bin Hasein dan Ahlu Bait semuanya berlepas diri dari semua ini yaitu kedustaan
yang diada-adakan oleh kaum Rafidah atas diri mereka, semoga Allah memerangi
kaum rafidhah, alangkah jeleknya kedustaan yang mereka buat. (Insya Allah
penterjemah akan membuat satu edisi yang berisikan sikap Ahlul Bait terhadap
para sahabat, yang akan diambil dari buku-buku pegangan mereka sendiri, agar
pembaca mengetahui sebenarnya mereka telah menyelisihi ahlul Bait sendiri dalam
bersikap terhadap para sahabat Rasul.)
[3] Tafsir Al Qummi,
hal : 218
[4] Ketahuilah pembaca budiman :
Mereka sendiri telah menjadikan kuburan Kumaini sebagai tempat yang suci, dan
mendirikan di atasnya bangunan seperti Ka'bah sebagai tandingan Ka'bah kita yang
mulia
[5] Miftahul Jinaan,
hal : 114. Lihat doa dua berhala Quraisy, insya Allah di edisi ke
15
[6] Tabdiidul Zhilaam
wa tanbiihun Niyam, oleh Ibrahim Al Jabhaan, hal : 27
[7] Abbas Al Qummi,
(Alkuna wal Alqaab) 2/55
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata : ”Bukti dari, sesungguhnya bencana Rafidhah adalah bencana Yahudi, hal itu terlihat pada :
Apa
Segi Kesamaan Antara Yahudi dengan Rafidhah?
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata : ”Bukti dari, sesungguhnya bencana Rafidhah adalah bencana Yahudi, hal itu terlihat pada :
- Sesungguhnya orang Yahudi mengatakan : Tidak boleh yang menjadi raja kecuali dari keluarga nabi Daud, Rafidhah berkata : Tidak boleh menjadi imam kecuali dari anak Ali.
- Yahudi mengatakan : Tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluar Masehid Dajjal dan diturunkan pedang. Orang Rafidhah mengatakan : Tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluar Al Mahdi, dan datangnya penyeru yang menyeru dari langit.
- Orang Yahudi mengakhirkan (mengundurkan) shalat sampai bintang bertebaran, begitu juga orang Rafidhah mereka mengundurkan shalat maghrib sampai bintang-bintang bertebaran, padahal hadits mengatakan : "Senantiasa umatku di atas fitrah, selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai bintang bertebaran[1].
- Orang Yahudi telah merubah taurat, begitu juga orang Rafidhah, mereka telah merubah Al Quran.
- Orang Yahudi tidak memandang bolehnya mengusap khuf (sepatu kulit yang menutupi mata kaki), begitu juga orang Rafidhah.
- Orang Yahudi membenci malaikat Jibril, mereka mengatakan : Malaikat Jibril adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Begitu juga orang Rafidhah, mereka mengatakan : Malaikat Jibril telah salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam[2].
- Begitu juga orang Rafidhah menyerupai orang kristen pada satu ajaran nasrani yaitu, wanita-wanita mereka tidak memiliki hak mendapatkan mahar, akan tetapi hanya bersenang-senang dengan mereka dengan kesenangan, begitu juga orang Rafidhah, mereka menikah dengan cara mut'ah, dan mereka menghalalkan itu.
- Orang yahudi dan kristen lebih utama dari orang Rafidhah dengan satu sifat (yaitu) :
- Orang yahudi jika ditanya : siapakah orang yang terbaik di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah sahabat-sahabat Musa.
- Orang Kristen jika ditanya : siapakah orang yang terbaik di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah Hawari (sahabat-sahabat) Isa.
- Orang rafidhah jika ditanya : siapakah orang yang terburuk di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah sahabat-sahabat Muhammad.”[3]
[1] Hadits
diriwayatkan oleh : Imam Ahmad : 4/147. 5/417, 422, Abu Daud, no : 418, dan Abnu
Majah, no : 689, di dalam jawaid dikatakan : sanadnya hasan
(baik).
[2] Ada juga suatu
kelompok yang mengatakan yang aneh-aneh, mereka mengatakan : sesungguhnya Jibril
telah berkhianat, dimana ia menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, sedangkan
yang lebih utama dan lebih berhak terhadap risalah adalah Ali bin Abi Thalib,
oleh karena inilah mereka mengatakan : telah berkhianat Amiin (malaikan jibril)
dan ia telah menghalang risalah sampai ke Haidari (Ali).
Wahai saudaraku muslim,
bagaimana mungkin mereka menuduh Jibril Alaihi salam telah berkhianat, sedangkan
Allah telah menyifatinya dengan amanah (terpercaya), sebagaimana Allah telah
berfirman: Telah dibawa oleh Ruhul Amiin (malaikat Jibril), dan firman-Nya :
selalu taat kemudian terpercaya". Apakah yang akan anda katakan wahai muslim
terhadap keyakinan yang diimani oleh orang-orang rafidhah ini?
[3] Minhaajus Sunnah,
oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah : 1/24
Rafidhah mendakwakan kema'suman (terjaga dari dosa) bagi para imam, dan bahwasanya mereka mengetahui hal ghaib. Dinukil oleh Al Kulaini dalam Usulul Kafi : "Telah berkata Imam Ja'far as Shodiq : "Kami adalah perbendaharaan ilmu Allah, kami adalah penterjemah perintah Allah, kami adalah kaum yang maksum, telah diperintahkan untuk menta'ati kami, dan dilarang untuk menentang kami, kami adalah hujjah Allah yang kuat terhadap siapa yang berada di bawah langit dan di atas bumi"[1].
Al Kulaini meriwayatkan di Al Kafi : Bab "Sesungguhnya para imam, jika mereka berkehendak untuk mengetahui, maka mereka pasti mengetahuinya". Dari Jafar ia berkata : "Sesungguhnya Imam jika ia berkehendak mengetahui, maka ia pasti mengetahui, dan sesungguhnya para imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali dengan pilihan mereka sendiri."[2]
Khumaini yang celaka menyebutkan - dalam salah satu tulisannya bahwa para imam lebih afdhal (mulia) dari para nabi dan rasul, ia berkata -semoga Allah menghinakannya- : "Sesungguhnya imam-imam kita mempunyai suatu kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang didekatkan, dan tidak pula oleh nabi yang diutus"[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Orang Rafidhah mendakwakan sesungguhnya agama ini diserahkan kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib, maka yang halal itu adalah yang dihalalkan mereka, dan yang haram itu adalah yang diharamkan mereka, serta agama itu adalah apa yang mereka syariatkan".[4]
Jika pembaca ingin melihat kekufuran, kesyirikan dan ghuluw (sikap berlebih-lebihan mereka) -semoga Allah melindungi kita- maka bacalah syair-syair yang diungkapkan oleh syaikh mereka zaman sekarang ini yaitu Ibrahim Al Amili, terhadap Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridhai Ali- :
Apa
Akidah Orang Rafidhah Terhadap Para Imam Mereka?
Rafidhah mendakwakan kema'suman (terjaga dari dosa) bagi para imam, dan bahwasanya mereka mengetahui hal ghaib. Dinukil oleh Al Kulaini dalam Usulul Kafi : "Telah berkata Imam Ja'far as Shodiq : "Kami adalah perbendaharaan ilmu Allah, kami adalah penterjemah perintah Allah, kami adalah kaum yang maksum, telah diperintahkan untuk menta'ati kami, dan dilarang untuk menentang kami, kami adalah hujjah Allah yang kuat terhadap siapa yang berada di bawah langit dan di atas bumi"[1].
Al Kulaini meriwayatkan di Al Kafi : Bab "Sesungguhnya para imam, jika mereka berkehendak untuk mengetahui, maka mereka pasti mengetahuinya". Dari Jafar ia berkata : "Sesungguhnya Imam jika ia berkehendak mengetahui, maka ia pasti mengetahui, dan sesungguhnya para imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali dengan pilihan mereka sendiri."[2]
Khumaini yang celaka menyebutkan - dalam salah satu tulisannya bahwa para imam lebih afdhal (mulia) dari para nabi dan rasul, ia berkata -semoga Allah menghinakannya- : "Sesungguhnya imam-imam kita mempunyai suatu kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang didekatkan, dan tidak pula oleh nabi yang diutus"[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Orang Rafidhah mendakwakan sesungguhnya agama ini diserahkan kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib, maka yang halal itu adalah yang dihalalkan mereka, dan yang haram itu adalah yang diharamkan mereka, serta agama itu adalah apa yang mereka syariatkan".[4]
Jika pembaca ingin melihat kekufuran, kesyirikan dan ghuluw (sikap berlebih-lebihan mereka) -semoga Allah melindungi kita- maka bacalah syair-syair yang diungkapkan oleh syaikh mereka zaman sekarang ini yaitu Ibrahim Al Amili, terhadap Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridhai Ali- :
Abu hasan, engkaulah hakikat Tuhan (yang
diibadati),
dan alamat kekuasaan-Nya yang
tinggi.
Engkaulah yang menguasai ilmu
ghaib,
maka mungkinkah tersembunyi bagimu akan
sesuatu yang hasul.
Engkaulah yang mengendalikan poros
alam,
bagimu para ulamanya yang
tinggi.
Bagimu amar (urusan) bila engkau menghendaki,
kau menghidupkan besok,
bila engkau menghendaki
kau cabut ubun-ubun.
Ali bin Sulaiman Al Mazidi mengutarakan
syairnya dalam memuji Ali bin Abi Thalib :
Abu Hasan engkaulah suami orang yang
suci,
Dan (engkaulah) sisi tuhan yang diibadati
serta jiwa rasul.
Dan (engkaulah) purnama kesempuranaan dan
matahari akal,
(engkau) Hamba dari tuhan, dan engkaulah yang
Maha Raja.
Engkau dipanggil oleh nabi khaidir
dihari...,
Dan telah menaskan atas dirimu sesuai dengan
kejadian Ghadir
Bahwasanya engkau bagi kaum mukminin adalah
amir (pemimpin),
dia telah mengkalungkan kepadamu buhul
kekuasaannya.
Kepadamulah kembalinya seluruh
perkara,
dan engkaulah yang maha mengetahui dengan
kandungan dada.
Engkaulah yang akan membangkitkan apa yang
ada dalam kubur
Bagimulah pengadilan hari kiamat berdasarkan
kepada nas.
Engkaulah yang maha mendengar dan engkaulah
yang maha melihat
Engkau atas setiap sesuatu maha
mampu.
Kalaulah tidak karena engkau, pasti bintang
tidak berjalan
Kalaulah tidak karena engkau, pasti planet
tidak berputar.
Engkaulah, dengan setiap makhluk
mengetahui,
Engkaulah yang berbicara dengan ahli
kitab.
Kalaulah tidak karena engkau, tidak mungkin
musa
akan diajak berbicara, Maha suci Dzat yang
telah menciptakanmu
Engkau akan melihat rahasia namamu di jagat
raya,
Kecintaan terhadap dirimu seperti matahari di
atas kening.
Kebencian terhadap dirimu di wajah orang yang
membenci,
Bagaikan peniup api, maka tidak akan
beruntung yang membencimu.
Siapa itu yang telah ada, dan siapa itu yang
ada,
Tidak para nabi dan tidak (pula) para
rasul,
Tidak (pula) qalam lauh dan tidak (pula) alam
semesta,
(kecuali) Seluruhnya adalah hamba-hamba
bagimu.
Wahai Abu Hasan wahai yang mengatur
wujud,
(wahai) goa orang yang terusir, dan tempat
berlindung pendatang.
yang memberi minum pengagungmu pada hari
berkumpul (hari kiamat).
orang yang mengingkari hari berbangkit,
adalah orang yang mengingkarimu.
Wahai Abu Hasan wahai Ali yang
gagah.
Kesetiaan padamu bagiku di dalam kuburku
sebagai tanda penunjuk,
Namamu bagiku dalam keadaan sempit merupakan
lambang
Dan kecintaan kepadamu adalah yang
memasukkanku kedalam surgamu
Dengan lantaran dirimu kemulian yang ada pada
diriku.
Bila datang perintah Tuhan yang Maha
Mulia
Menyeru penyeru, berangkat-berangkat
(kematian-kematian).
Dan tidaklah mungkin engkau akan meninggalkan
orang yang berlindung denganmu.
Apakah syi'ir seperti ini diucapkan oleh
seorang muslim yang memeluk agama Islam?, Demi Allah, bahkan sesungguhnya
orang-orang jahiliyah (Kafir) sekalipun belum pernah jatuh dalam kesyirikan dan
kekufuran, terlalu memuja-muji / ghuluw seperti yang diperbuat oleh orang
rafidhah celaka ini.[5]
[1] Usulul Kafi, hal
: 165. (mari kita simak apa firman Allah yang menerangkan tentang sifat nabi
Muhammad, Allah berfirman dalam surat Al An'am ayat 50 :
قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ
عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ
لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
(artinya) : "Katakanlah : "Aku
tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengatakan yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku…."(pent)
[2] Usulul Kafi, di
dalam kitabul Hujjah : (1/258). (mengetahui mati dan di mana akan mati itu
adalah rahasia yang tidak diketahui kecuali hanya Allah semata, Allah berfirman
dalam surat Lukman ayat 34,
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ
السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي
نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
(artinya) : "Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorangpun yagn dapat mengetahui(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahi lagi Maha Mengenal."
(pent)
[3] Hukumatul
Islamiyah, Khumaini,(berarti para imam mereka lebih mulia dari Rasulullah
sendiri, apakah perkataan seperti ini boleh keluar dari mulut seorang muslim
yang memeluk agama Islam???. pent)
[4] Minhajus Sunnah,
oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (1/482).
[5] Penterjemah
melihat sendiri bagaimana cara mereka membaca syair-syair di kuburan baqi'
(madinah), dibacakan dan dinyanyi-nyanyikan oleh ketua regunya, yang lain
menangis dan merapat seperti orang Yahudi meratap di depan dinding mesjid
Aqsha
Orang Rafidhah telah membuat bidah Raj’ah, berkata Al Mufid : "Telah sepakat mazhab Imamiyah atas wajibnya terjadi Raj’ah di kebanyakan dari para orang yang telah mati"[1]. Yaitu (yang mereka maksudkan dengan Raj’ah ini) bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim pada akhir zaman, ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuh politiknya, dan mengembalikan kepada syiah hak-hak mereka yang dirampas oleh kelompok-kelompok lain sepanjang masa (yang telah berlalu)[2].
Berkata sayid Al Murtadho di dalam kitabnya "Al Masail An Nashiriyah" : "Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar disalib pada saat itu di atas suatu pohon di zaman Al Mahdi -yakni imam mereka yang kedua belas- yang mereka beri nama Qaaim Ali Muhammad (penegak keluarga Muhammad), dan pohon itu pertamanya basah sebelum penyaliban, lalu menjadi kering setelahnya[3].
Berkata Al Majlisi di dalam Kitab "Haqul Yakin" dari Muhammad Al Baqir (berkata) : "Jika Al Mahdi telah keluar, maka sesungguhnya ia akan menghidupkan 'Aisyah Ummul Mukminin dan ia melaksanakan (menjatuhkan) hukum had (hudud) atas diri Aisyah".[4]
Kemudian bagi mereka pemahaman Raj’ah ini berkembang, dan mengatakan (berlakunya) Raj’ah (kembali hidup) seluruh orang syiah dan imam-imam mereka dan seluruh musuh mereka bersama imam-imam mereka. Akidah khurafat ini mengungkapkan rasa dengki yang tersembunyi di dalam diri mereka, yang mereka ungkapkan rasa dengki itu dengan cerita dongeng seperti ini. Dan adalah keyakinan ini merupakan sarana (jembatan) yang diambil oleh orang-orang Sabaiyah untuk mengingkari hari akhirat.
Apa
Akidah Raj’ah Yang Diimani Oleh Orang Rafidhah?
Orang Rafidhah telah membuat bidah Raj’ah, berkata Al Mufid : "Telah sepakat mazhab Imamiyah atas wajibnya terjadi Raj’ah di kebanyakan dari para orang yang telah mati"[1]. Yaitu (yang mereka maksudkan dengan Raj’ah ini) bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim pada akhir zaman, ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuh politiknya, dan mengembalikan kepada syiah hak-hak mereka yang dirampas oleh kelompok-kelompok lain sepanjang masa (yang telah berlalu)[2].
Berkata sayid Al Murtadho di dalam kitabnya "Al Masail An Nashiriyah" : "Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar disalib pada saat itu di atas suatu pohon di zaman Al Mahdi -yakni imam mereka yang kedua belas- yang mereka beri nama Qaaim Ali Muhammad (penegak keluarga Muhammad), dan pohon itu pertamanya basah sebelum penyaliban, lalu menjadi kering setelahnya[3].
Berkata Al Majlisi di dalam Kitab "Haqul Yakin" dari Muhammad Al Baqir (berkata) : "Jika Al Mahdi telah keluar, maka sesungguhnya ia akan menghidupkan 'Aisyah Ummul Mukminin dan ia melaksanakan (menjatuhkan) hukum had (hudud) atas diri Aisyah".[4]
Kemudian bagi mereka pemahaman Raj’ah ini berkembang, dan mengatakan (berlakunya) Raj’ah (kembali hidup) seluruh orang syiah dan imam-imam mereka dan seluruh musuh mereka bersama imam-imam mereka. Akidah khurafat ini mengungkapkan rasa dengki yang tersembunyi di dalam diri mereka, yang mereka ungkapkan rasa dengki itu dengan cerita dongeng seperti ini. Dan adalah keyakinan ini merupakan sarana (jembatan) yang diambil oleh orang-orang Sabaiyah untuk mengingkari hari akhirat.
[1] Awaailul
Maqaalaat, oleh Al Mufiid, Hal : 51
[2] Al Khuthuthul
'Ariidhah, oleh Muhibbudin Al Khatiib, hal : 80
[3] Awaailul
Maqaalaat, oleh syeikh mereka yang bergelar Al Mufiid, Hal :
95.
[4] Haqul Yakiin,
oleh Muhammad Al Baqir Al Majlisi, hal : 347.
Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama mereka zaman sekarang dengan ucapannya : "Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini[1]; untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu"[2].
Bahkan mereka mendakwakan bawah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah melakukannya (Taqiyah) tatkala Abdullah bin Ubai bin Salul kepala orang-orang munafik meninggal, dimana beliau datang untuk menyolatkannya, lalu Umar berkata kepadanya : Tidakkah Allah telah melarangmu dari hal itu? -yakni berdiri di atas kuburan munafik ini-, lalu Rasulullah menjawabnya : "Celaka kamu, kamu tidak tahu apa yang saya ucapkan : sesungguhnya saya mengucapkan : Ya Allah isilah perutnya dengan api, dan penuhilah kuburannya dengan api dan selalulah api membakar dirinya ".[3]
Lihatlah wahai saudaraku muslim, bagaimana mereka telah menyandarkan kepada diri Rasulullah kedustaan. Apakah masuk akal, bahwa para sahabat Rasulullah mendoakan rahmat untuknya (Abdullah bin Ubai), sedangkan Nabi melaknatnya?
Al Kulaini menukilkan di usul Kafi : "Berkata Abu Abdillah: "wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah, Taqiyah ada pada setiap sesuatu kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada menyapu khuuf (kaus atau kulit)." Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia berkata : "Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah."[4]
Maka orang Rafidhah memandang Taqiyah itu adalah fardu (wajib), tidak akan berdiri mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakannya Taqiyah itu terlebih-lebih, bila kondisi yang sulit telah mengepung mereka, maka hati-hatilah dari orang Rafidhah wahai kaum muslimin!.
Apa
Akidah Taqiyah Menurut Orang Rafidhah?
Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama mereka zaman sekarang dengan ucapannya : "Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini[1]; untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu"[2].
Bahkan mereka mendakwakan bawah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah melakukannya (Taqiyah) tatkala Abdullah bin Ubai bin Salul kepala orang-orang munafik meninggal, dimana beliau datang untuk menyolatkannya, lalu Umar berkata kepadanya : Tidakkah Allah telah melarangmu dari hal itu? -yakni berdiri di atas kuburan munafik ini-, lalu Rasulullah menjawabnya : "Celaka kamu, kamu tidak tahu apa yang saya ucapkan : sesungguhnya saya mengucapkan : Ya Allah isilah perutnya dengan api, dan penuhilah kuburannya dengan api dan selalulah api membakar dirinya ".[3]
Lihatlah wahai saudaraku muslim, bagaimana mereka telah menyandarkan kepada diri Rasulullah kedustaan. Apakah masuk akal, bahwa para sahabat Rasulullah mendoakan rahmat untuknya (Abdullah bin Ubai), sedangkan Nabi melaknatnya?
Al Kulaini menukilkan di usul Kafi : "Berkata Abu Abdillah: "wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah, Taqiyah ada pada setiap sesuatu kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada menyapu khuuf (kaus atau kulit)." Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia berkata : "Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah."[4]
Maka orang Rafidhah memandang Taqiyah itu adalah fardu (wajib), tidak akan berdiri mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakannya Taqiyah itu terlebih-lebih, bila kondisi yang sulit telah mengepung mereka, maka hati-hatilah dari orang Rafidhah wahai kaum muslimin!.
[1] Inilah hakikat
kemunafikan, yaitu menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang
dibatin, atau menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. Dengan kata
lain, takiyah / nifak itu adalah lain di mulut lain di hati. Itulah akidah orang
syiah, maka hati-hatilah dari tipu muslihat mereka,
(pent).
[2] As Syi'ah fil
Mizaan, oleh Muhammad Jawaad Mughniyah, hal : 48
[3] Furuu'ul Kafii,
kitab AL Janaaiz, hal : 188
[4] Usuulul Kafii,
hal : 482-483
Yang dimaksud dengan at thiinah (tanah) menurut orang Rafidhah adalah tanah perkuburan Husain –radhiallahu ‘anhu-. Salah seorang dari orang-orang sesat mereka yang bernama Muhammad An Nu’man Al Haritsi yang bergelar dengan “Syaikh Al Mufid”, menukilkan di kitabnya “Al Mazaar” dari Abi Abdillah ia berkata : “Di tanah perkuburan Husain terdapat obat untuk segala penyakit dan ia merupakan obat yang paling besar (ampuh)”.
Berkata Abdullah : “Oleskanlah di mulut bayi kalian tanah (perkuburan) Husain”
Ia berkata : Telah dikirim kepada Abi Hasan Al Ridha dari negeri Khurasan sebuah bungkusan kain di antaranya terdapat segumpal tanah, maka dikatakan kepada utusan itu: Apa ini? Ia berkata : Tanah perkuburan Husain, tidaklah ia mengirim sedikitpun dari bungkusan kain atau lainnya, kecuali ia meletakkan di dalamnya tanah itu, dan berkata tanah itu pengaman insya Allah. Dikatakan kepadanya: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Shadiq tentang pengambilannya akan tanah perkuburan Husain, maka Shodiq menjawab : “Apa bila kamu mengambilnya maka ucapkanlah: “Ya Allah sesungguhnya saya meminta kepadamu disebabkan oleh hak malaikat yang telah mengenggamnya (tanah ini), dan meminta kepadamu, disebabkan oleh hak Nabi yang telah menyimpannya, dan oleh hak Al Washi (Ali) yang telah bersatu di dalamnya agar Engkau melimpahkan Shalawat kepada Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan agar Engkau menjadikannya obat penawar untuk seluruh penyakit, dan pengaman dari seluruh ketakutan, dan penjaga dari seluruh kejahatan.
Abu Abdillah ditanya tentang penggunaan dua jenis tanah dari perkuburan Hamzah dan pekuburan Husain serta mana yang paling utama diantara keduanya, maka ia berkata: “Tasbih yang dibuat dari tanah perkuburan Husain akan bertasbih (sendirinya) ditangan, tanpa (pemiliknya) bertasbih.”[1]
Sebagaimana orang Rafidhah mendakwakan, sesungguhnya orang syi’ah tercipta dari tanah yang khusus dan orang Sunni tercipta dari tanah yang lain, lalu terjadilah pengadukkan antara kedua tanah tadi dengan cara tertentu, maka apa-apa yang terdapat pada orang syiah dari kemaksiatan dan kejahatan, maka itu merupakan pengaruh dari tanah sunni, dan apa-apa yang terdapat pada orang sunni dari kebaikan dan amanah, maka itu disebabkan oleh pengaruh tanah syi’ah. Dan apabila pada hari Kiamat nanti, maka kejelekan dan dosa-dosa orang syi’ah diletakkan di atas Ahli Sunnah, dan kebaikan (pahala) Ahli Sunnah akan diberikan kepada orang syi’ah.[2]
Apa
Keyakinan At-thiinah (Tanah) Yang Diimani Oleh Orang
Rafidhah?
Yang dimaksud dengan at thiinah (tanah) menurut orang Rafidhah adalah tanah perkuburan Husain –radhiallahu ‘anhu-. Salah seorang dari orang-orang sesat mereka yang bernama Muhammad An Nu’man Al Haritsi yang bergelar dengan “Syaikh Al Mufid”, menukilkan di kitabnya “Al Mazaar” dari Abi Abdillah ia berkata : “Di tanah perkuburan Husain terdapat obat untuk segala penyakit dan ia merupakan obat yang paling besar (ampuh)”.
Berkata Abdullah : “Oleskanlah di mulut bayi kalian tanah (perkuburan) Husain”
Ia berkata : Telah dikirim kepada Abi Hasan Al Ridha dari negeri Khurasan sebuah bungkusan kain di antaranya terdapat segumpal tanah, maka dikatakan kepada utusan itu: Apa ini? Ia berkata : Tanah perkuburan Husain, tidaklah ia mengirim sedikitpun dari bungkusan kain atau lainnya, kecuali ia meletakkan di dalamnya tanah itu, dan berkata tanah itu pengaman insya Allah. Dikatakan kepadanya: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Shadiq tentang pengambilannya akan tanah perkuburan Husain, maka Shodiq menjawab : “Apa bila kamu mengambilnya maka ucapkanlah: “Ya Allah sesungguhnya saya meminta kepadamu disebabkan oleh hak malaikat yang telah mengenggamnya (tanah ini), dan meminta kepadamu, disebabkan oleh hak Nabi yang telah menyimpannya, dan oleh hak Al Washi (Ali) yang telah bersatu di dalamnya agar Engkau melimpahkan Shalawat kepada Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan agar Engkau menjadikannya obat penawar untuk seluruh penyakit, dan pengaman dari seluruh ketakutan, dan penjaga dari seluruh kejahatan.
Abu Abdillah ditanya tentang penggunaan dua jenis tanah dari perkuburan Hamzah dan pekuburan Husain serta mana yang paling utama diantara keduanya, maka ia berkata: “Tasbih yang dibuat dari tanah perkuburan Husain akan bertasbih (sendirinya) ditangan, tanpa (pemiliknya) bertasbih.”[1]
Sebagaimana orang Rafidhah mendakwakan, sesungguhnya orang syi’ah tercipta dari tanah yang khusus dan orang Sunni tercipta dari tanah yang lain, lalu terjadilah pengadukkan antara kedua tanah tadi dengan cara tertentu, maka apa-apa yang terdapat pada orang syiah dari kemaksiatan dan kejahatan, maka itu merupakan pengaruh dari tanah sunni, dan apa-apa yang terdapat pada orang sunni dari kebaikan dan amanah, maka itu disebabkan oleh pengaruh tanah syi’ah. Dan apabila pada hari Kiamat nanti, maka kejelekan dan dosa-dosa orang syi’ah diletakkan di atas Ahli Sunnah, dan kebaikan (pahala) Ahli Sunnah akan diberikan kepada orang syi’ah.[2]
[1] Kitab Al Mazaar,
oleh syeikh mereka yang bergelar “Syeikh Al Mufid” hal :
125
[2] ‘Ilal-As Syaraai’ hal :
490-491, Bihar Al Anwar : 5/247-248
Akidah orang Rafidhah berdiri di atas penghalalan harta dan darah ahli sunnah. Al Shoduq di kitab (Al ‘Ilal) meriwayatkan dengan sanadnya kepada Daud bin Farqad, ia berkata : “Saya telah berkata kepada Abi Abdillah : Apa yang anda katakan terhadap An Naashib (Ahli Sunnah), ia berkata : “Darahnya halal, akan tetapi saya berTaqiyah atasmu, jika kamu mampu untuk membalikkan dinding atas dirinya (ahli sunnah) atau menenggelamkannya di laut, agar ia tidak akan bersaksi atas dirimu, maka lakukanlah. Saya berkata : Apa pandanganmu pada hartanya? Ia menjawab: “Ambillah semampumu”.[1]
Bahkan orang syi’ah Rafidhah memandang, bahwa kekafiran Ahli Sunnah lebih berat dari kekafiran orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka (Yahudi dan Nasrani) menurut Rafidhah orang-orang kafir asli, dan mereka ini (ahli sunnah) adalah kafir murtad, dan kafir murtad lebih berat menurut ijma’, oleh karena itu mereka (mau) berkerja sama dengan orang-orang kuffar untuk melawan kaum muslimin, hal itu seperti yang disaksikan oleh sejarah.[2]
Terdapat di dalam kitab “Wasaail As Syi’ah” (diriwayatkan) dari Al Fudhail bin Yasaar, ia berkata : saya telah bertanya kepada Abu Ja’far tentang wanita ‘Arifah (yakni wanita bermazhab Rafidhah) apakah saya menikahkannya dengan An Nashib (ahli Sunnah)? Maka ia berkata : “Tidak; karena Nashiba (ahli sunnah ) orang kafir.”[3]
An Nawasib (orang-orang An Nasib) menurut pemahaman Ahli sunnah adalah mereka yang membenci Ali bin Abi Thalib –radhiallahu ‘anhu-, akan tetapi menurut orang Rafidhah, mereka menamakan Ahli sunnah dengan Nawashib (An Nashib), karena mereka mendahulukan keimaman Abu Bakr, dan Umar dan Utsman atas Ali, padahal sesungguhnya mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas diri Ali telah terjadi sejak zaman Nabi, dalilnya perkataan Ibnu Umar : “Adalah kami di zaman rasulullah memilih di antara sahabat siapa yang terbaik, maka kami memilih (orang yang terbaik) Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman”. (H.R. Bukhari), dan ditambah oleh At Thabrani di Kitab “Mu’jam Al Kabir” : Nabi pun mengetahui hal yang demikian dan tidak mengingkarinya”. Dan bagi Ibnu Asaakir : “Adalah kami mengutamakan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali”.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib sesungguhnya ia berkata : “Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kalau aku berkehendak pasti aku telah menyebutkan orang yang ketiga”. Berkata Adz Dzahabi: Hadits ini Mutawatir.”[4]
Apa
Akidah Orang Rafidhah Terhadap Ahli Sunnah?
Akidah orang Rafidhah berdiri di atas penghalalan harta dan darah ahli sunnah. Al Shoduq di kitab (Al ‘Ilal) meriwayatkan dengan sanadnya kepada Daud bin Farqad, ia berkata : “Saya telah berkata kepada Abi Abdillah : Apa yang anda katakan terhadap An Naashib (Ahli Sunnah), ia berkata : “Darahnya halal, akan tetapi saya berTaqiyah atasmu, jika kamu mampu untuk membalikkan dinding atas dirinya (ahli sunnah) atau menenggelamkannya di laut, agar ia tidak akan bersaksi atas dirimu, maka lakukanlah. Saya berkata : Apa pandanganmu pada hartanya? Ia menjawab: “Ambillah semampumu”.[1]
Bahkan orang syi’ah Rafidhah memandang, bahwa kekafiran Ahli Sunnah lebih berat dari kekafiran orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka (Yahudi dan Nasrani) menurut Rafidhah orang-orang kafir asli, dan mereka ini (ahli sunnah) adalah kafir murtad, dan kafir murtad lebih berat menurut ijma’, oleh karena itu mereka (mau) berkerja sama dengan orang-orang kuffar untuk melawan kaum muslimin, hal itu seperti yang disaksikan oleh sejarah.[2]
Terdapat di dalam kitab “Wasaail As Syi’ah” (diriwayatkan) dari Al Fudhail bin Yasaar, ia berkata : saya telah bertanya kepada Abu Ja’far tentang wanita ‘Arifah (yakni wanita bermazhab Rafidhah) apakah saya menikahkannya dengan An Nashib (ahli Sunnah)? Maka ia berkata : “Tidak; karena Nashiba (ahli sunnah ) orang kafir.”[3]
An Nawasib (orang-orang An Nasib) menurut pemahaman Ahli sunnah adalah mereka yang membenci Ali bin Abi Thalib –radhiallahu ‘anhu-, akan tetapi menurut orang Rafidhah, mereka menamakan Ahli sunnah dengan Nawashib (An Nashib), karena mereka mendahulukan keimaman Abu Bakr, dan Umar dan Utsman atas Ali, padahal sesungguhnya mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas diri Ali telah terjadi sejak zaman Nabi, dalilnya perkataan Ibnu Umar : “Adalah kami di zaman rasulullah memilih di antara sahabat siapa yang terbaik, maka kami memilih (orang yang terbaik) Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman”. (H.R. Bukhari), dan ditambah oleh At Thabrani di Kitab “Mu’jam Al Kabir” : Nabi pun mengetahui hal yang demikian dan tidak mengingkarinya”. Dan bagi Ibnu Asaakir : “Adalah kami mengutamakan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali”.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib sesungguhnya ia berkata : “Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kalau aku berkehendak pasti aku telah menyebutkan orang yang ketiga”. Berkata Adz Dzahabi: Hadits ini Mutawatir.”[4]
[1] Al Mahasin An
Nafsaaniyah, Hal : 166.
[2] Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata : “Sesungguhnya orang Rafidhah berkerjasama dengan orang-orang
Tatar tatkala orang Tatar menyerang negeri kaum Muslimin. (Fatawa : 35/151).
Lihatlah kitab :Kaifa Dakhalat Tatar Bilaadal Muslimin (Bagaimana orang Tatar
(bisa) masuk ke negeri kaum muslimin) oleh Dr. Sulaiman bin Hamd Al
Audah
[3] Wasaail As Syi’ah, oleh
Al Hur Al ‘Amili (7/431), At Tahdzib (7/303)
[4] At Ta’liiqaat ‘Ala Matan
Lum’atil ‘Itiqaad, oleh Syeikh kita Al Allamah Abdullah bin Jibrin –semoga Allah
menjaganya-, hal : 91.
Nikah mut’ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah -Al’iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab “Manhaj As Shodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap/sah. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.”[1]
Al Qummi menukilkan di dalam kitab “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih” dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari setiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah”[2].
Orang Rafidhah tidak pernah mensyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah. Tercantum dalam kitab “Furuu’ Al Kafi” dan At Tahdziib” dan “Al Istibshoor” dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata : “Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan”[3].
Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :
Apa
Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Nikah Mut’ah? Dan Apa Keutamaannya Menurut
Mereka?
Nikah mut’ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah -Al’iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab “Manhaj As Shodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap/sah. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.”[1]
Al Qummi menukilkan di dalam kitab “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih” dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari setiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah”[2].
Orang Rafidhah tidak pernah mensyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah. Tercantum dalam kitab “Furuu’ Al Kafi” dan At Tahdziib” dan “Al Istibshoor” dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata : “Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan”[3].
Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
(5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ
ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Siapa mencari yang
di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (Al
Mukminun : 5-7).
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina –wal’iyaadzubillah-.
Syaikh Abdullah bin Jibriin berkata : “Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisa’ yaitu firman Allah :
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina –wal’iyaadzubillah-.
Syaikh Abdullah bin Jibriin berkata : “Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisa’ yaitu firman Allah :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
كِتَابَ اللّهِ
عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا
وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban;”. (An Nisa : 24).
Jawab:
Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka[4].
Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab “Al Istibshoor” dari Ali bin Al Hakam ia berkata: “Saya telah mendengar Shofwan berkata: “Saya telah berkata kepada Al Ridha: Sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata: Apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab: Ya, hal itu boleh baginya”[5].
Jawab:
Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka[4].
Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab “Al Istibshoor” dari Ali bin Al Hakam ia berkata: “Saya telah mendengar Shofwan berkata: “Saya telah berkata kepada Al Ridha: Sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata: Apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab: Ya, hal itu boleh baginya”[5].
[1] Manhaj As Shodiqiin,
karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356
[2] “Man Laa Yahduruhu Al
Faqiih”, hal : 330.
[3] Al Furuu’ min Al
Kafii, (2/43), dan kitab “ At Tahdziib” (2/188).
[4] Dari perkataan
Syeikh Ibnu Jibrin -semoga Allah mengangkat darajatnya-, adapun dalil dari
Sunnah dalam mengharamkan nikah mut’ah adalah hadits Ar Rafi’ bin Sirah Al
Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia
(bapaknya) bersama Rasulullah, maka beliau bersabda : wahai Manusia sesungguhnya
saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah
mut’ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah
mut’ah) sampai hari Kiamat, siapa yagn memiliki seseorang wanita darinya maka
hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa
yang telah kalian berikan kepadanya.” (H.R. Muslim no:
1406).
[5] Al Istibshoor,
(3/243).
Orang syi’ah sungguh telah menjadikan tempat-tempat perkuburan imam-imam mereka baik imam dakwaan mereka belaka atau hakiki, sebagai tempat yang haram dan suci (seperti haram Makkah) : maka kota Kufah adalah haram, Karbala haram, Qum haram. Dan mereka meriwayatkan dari As Shidiq : “Sesungguhnya Allah memiliki haram yaitu kota Mekkah, dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam memilik haram yaitu kota Madinah, dan Amirul mukminin memiliki haram yaitu kota Kufah dan kita memiliki haram yaitu Qum.
Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka’bah. Hal ini tercantum dalam kitab “Al Bihaar” dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : “sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka’bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku menciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina-dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam.[1]
Dan tercantum juga di dalam kitab “Al Mazaar” karangan Muhammad An Nu’man yang diberi gelar dengan syaikh Mufid, di dalam Bab “Ucapan saat berdiri di atas kuburan” yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :
“Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku.”
Dan tercantum dalam kitab “Al Mazaar” tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja’far Al Shodiiq ia berkata : “Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh[2].
Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka itu jatuh dalam kesyirikan, karena mereka meminta kepada selain Allah dalam menyelesaikan dan memenuhi hajat kebutuhan, meminta dan memohon pengampunan dosa-dosa kepada manusia, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Allah telah berfirman :
Apa
Keyakinan Orang Rofidhah Terhadap Najaf Dan Karbala? Dan Apa Keutamaan
Menziarahinya Menurut Mereka?
Orang syi’ah sungguh telah menjadikan tempat-tempat perkuburan imam-imam mereka baik imam dakwaan mereka belaka atau hakiki, sebagai tempat yang haram dan suci (seperti haram Makkah) : maka kota Kufah adalah haram, Karbala haram, Qum haram. Dan mereka meriwayatkan dari As Shidiq : “Sesungguhnya Allah memiliki haram yaitu kota Mekkah, dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam memilik haram yaitu kota Madinah, dan Amirul mukminin memiliki haram yaitu kota Kufah dan kita memiliki haram yaitu Qum.
Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka’bah. Hal ini tercantum dalam kitab “Al Bihaar” dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : “sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka’bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku menciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina-dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam.[1]
Dan tercantum juga di dalam kitab “Al Mazaar” karangan Muhammad An Nu’man yang diberi gelar dengan syaikh Mufid, di dalam Bab “Ucapan saat berdiri di atas kuburan” yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :
“Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku.”
Dan tercantum dalam kitab “Al Mazaar” tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja’far Al Shodiiq ia berkata : “Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh[2].
Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka itu jatuh dalam kesyirikan, karena mereka meminta kepada selain Allah dalam menyelesaikan dan memenuhi hajat kebutuhan, meminta dan memohon pengampunan dosa-dosa kepada manusia, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Allah telah berfirman :
وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ
“Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah” (Ali Imran : 135).
Kita berlindung dengan Allah dari perbuatan
syirik.
[1] Kitab Al Bihaar :
(10/107)
[2] Kitab Al Mazaar,
karangan Muhammad An Nu’man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, hal :
99.
Berkata : Nizhomuddin Muhammad Al 'Azhomi di dalam mukaddimah buku "Syiah dan Nikah Mut'ah": Sesungguhnya perbedaan antara kita dengan mereka bukanlah terfokus pada perbedaan cabang-cabang fikih, seperti masalah nikah mut'ah saja, sama sekali tidak, sesungguhnya perbedaan itu pada dasarnya adalah perbedaan dalam masalah pokok-pokok prinsip, ya.. perbedaan dalam akidah terfokus di beberapa point dibawah ini :
1. Rafidhah mengatakan sesungguhnya Al Quran telah dirubah (diselewengkan) dan kurang.
Apa Segi
Perbedaan Antara Syi'ah Rafidhah Dengan Ahli Sunnah?
Berkata : Nizhomuddin Muhammad Al 'Azhomi di dalam mukaddimah buku "Syiah dan Nikah Mut'ah": Sesungguhnya perbedaan antara kita dengan mereka bukanlah terfokus pada perbedaan cabang-cabang fikih, seperti masalah nikah mut'ah saja, sama sekali tidak, sesungguhnya perbedaan itu pada dasarnya adalah perbedaan dalam masalah pokok-pokok prinsip, ya.. perbedaan dalam akidah terfokus di beberapa point dibawah ini :
1. Rafidhah mengatakan sesungguhnya Al Quran telah dirubah (diselewengkan) dan kurang.
Sedangkan kita (Ahli
Sunnah) mengatakan : Sesungguhnya Al Quran adalah kalamullah lengkap tanpa ada
kekurangan, tidak pernah dan tidak akan dihinggapi oleh penukar balikan,
mengurangkan dan perubahan sampai Allah mewariskan bumi ini dan orang-orang yang
ada di atasnya (hari Kiamat), sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami pasti
memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)
2. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam terkecuali beberapa orang, telah murtad setelah Rasulullah wafat, mereka berbalik 180 derajat, mereka mengkhianati amanah dan agama, terutama tiga orang khalifah; As Shidiq (Abu Bakar), Al Faruq (Umar) dan Dzu Nurain (Utsman), oleh karena itu mereka yang bertiga ini menurut mereka (Rafidhah) adalah termasuk orang yang paling bersangatan kekufuran, kesesatan dan kesalahannya.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, dan sesungguhnya mereka itu adalah adil (baik agamanya/ istiqomah) seluruhnya, tidak pernah sengaja berdusta atas nabi mereka, mereka orang-orang yang terpercaya dalam menukilkan berita.
3. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para imam adalah imam-imam Rafidhah yang dua belas yang ma'shum (terjaga dari dosa), mereka mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan, sesungguhnya mereka itu adalah manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, tiada perbedaan antara mereka, diantara imam-imam itu adalah ahli fikih, ulama dan khalifah, dan kita tidak menisbahkan (menghubungkan) kepada mereka apa yang tidak pernah mereka katakan terhadap diri mereka sendiri, bahkan kita berlepas diri darinya dan mereka pun (para imam) berlepas diri dari hal itu.[1]
2. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam terkecuali beberapa orang, telah murtad setelah Rasulullah wafat, mereka berbalik 180 derajat, mereka mengkhianati amanah dan agama, terutama tiga orang khalifah; As Shidiq (Abu Bakar), Al Faruq (Umar) dan Dzu Nurain (Utsman), oleh karena itu mereka yang bertiga ini menurut mereka (Rafidhah) adalah termasuk orang yang paling bersangatan kekufuran, kesesatan dan kesalahannya.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, dan sesungguhnya mereka itu adalah adil (baik agamanya/ istiqomah) seluruhnya, tidak pernah sengaja berdusta atas nabi mereka, mereka orang-orang yang terpercaya dalam menukilkan berita.
3. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para imam adalah imam-imam Rafidhah yang dua belas yang ma'shum (terjaga dari dosa), mereka mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan, sesungguhnya mereka itu adalah manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, tiada perbedaan antara mereka, diantara imam-imam itu adalah ahli fikih, ulama dan khalifah, dan kita tidak menisbahkan (menghubungkan) kepada mereka apa yang tidak pernah mereka katakan terhadap diri mereka sendiri, bahkan kita berlepas diri darinya dan mereka pun (para imam) berlepas diri dari hal itu.[1]
[1] Mukaddimah kitab As- Syi'ah wal Mut'ah, oleh
Nizhomuddin Muhammad Al 'Azhomi, Hal : 6.
Sesungguhnya Rafidhah mengadakan perayaan dan perkumpulan dan ratapan tangis, mereka melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan umum. Mereka memakai pakaian hitam tanda duka cita dalam memperingati mati syahidnya Husain dengan mengkonsentrasikan pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram di setiap tahun, dengan keyakinan sesungguhnya perbuatan itu termasuk dari sebaik-baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka mereka memukul-mukul pipi dengan tangan mereka sendiri, memukul-mukul dada dan punggung mereka. Mereka merobek-robek baju sambil menangis dan berteriak-teriak dengan menyeru : wahai Husain, wahai Husain. Terlebih-lebih pada hari ke sepuluh setiap bulan Muharram, bahkan mereka memukul diri mereka sendiri dengan rantai besi dan pedang, seperti yang terjadi di negeri-negeri yang dihuni oleh Rafidhah seperti Iran.
Dan para ulama mereka mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang bodoh ini dimana hal itu menjadi bahan tawaan semua umat. Sungguh salah seorang dari pembesar mereka yaitu Muhammad Hasan Alu Kasyif al Ghatha, telah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh pengikut golongannya seperti memukul dan menampar wajah.... dst, ia berkata : sesungguhnya ini termasuk dari mengagungkan syiar-syiar Allah :[1]
Apa
Keyakinan Orang Rafidhah Pada Hari Asyura (Sepuluh Muharram) Dan Apa
Keutamaannya Menurut Mereka?
Sesungguhnya Rafidhah mengadakan perayaan dan perkumpulan dan ratapan tangis, mereka melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan umum. Mereka memakai pakaian hitam tanda duka cita dalam memperingati mati syahidnya Husain dengan mengkonsentrasikan pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram di setiap tahun, dengan keyakinan sesungguhnya perbuatan itu termasuk dari sebaik-baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka mereka memukul-mukul pipi dengan tangan mereka sendiri, memukul-mukul dada dan punggung mereka. Mereka merobek-robek baju sambil menangis dan berteriak-teriak dengan menyeru : wahai Husain, wahai Husain. Terlebih-lebih pada hari ke sepuluh setiap bulan Muharram, bahkan mereka memukul diri mereka sendiri dengan rantai besi dan pedang, seperti yang terjadi di negeri-negeri yang dihuni oleh Rafidhah seperti Iran.
Dan para ulama mereka mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang bodoh ini dimana hal itu menjadi bahan tawaan semua umat. Sungguh salah seorang dari pembesar mereka yaitu Muhammad Hasan Alu Kasyif al Ghatha, telah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh pengikut golongannya seperti memukul dan menampar wajah.... dst, ia berkata : sesungguhnya ini termasuk dari mengagungkan syiar-syiar Allah :[1]
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى
الْقُلُوبِ
"Dan siapa mengagungkan
syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati". (QS.
Al hajj: 32)
[1] Perbuatan yang bodoh dan lucu ini dilakukan
mereka setiap tahun. Dan ketahuilah sesungguhnya Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah melarang di dalam
hadits yang shahih yang dikeluarkan oleh Muslim dengan no : 103, melarang
menampar wajah (pipi) dan merobek baju..., akan tetapi orang Rafidhah -semoga
Allah mempermalukan mereka- membuang hadits ini jauh-jauh, karena mereka ini
adalah firqah (golongan) yang paling pendusta terhadap
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.
Orang Rafidhah menganggap setiap pemerintahan selain pemerintahan Itsna 'Asyara (syi'ah Itsna "asyarah/ Imammiyah/ Rafidhah) adalah pemerintahan yang batil (tidak sah). Diriwayatkan di dalam kitab "Al Kaafii" dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani dan di dalam kitab Al Ghaibah oleh An Nu'mani, dari Abi Ja'far, ia berkata : "Setiap bendera yang diangkat (dikibarkan) sebelum bendera Al Qaaim -Mahdinya orang Rafidhah- maka pemiliknya adalah thoghut".[1]
Dan tidak boleh menta'ati seorang hakim yang bukan dari Allah, kecuali dengan cara Taqiyah (kemunafikan), penguasa yang absolut dan zholim tidaklah pantas untuk menjadi pemimpin, dan setiap pemimpin yang bersifat serupa dengan itu. Seluruhnya gelar itu mereka berikan nama itu kepada penguasa kaum muslimin yang bukan dari imam-imam mereka, orang paling utama dari mereka itu adalah khulafaurasyidin -semoga Allah meridhoi mereka- yaitu : Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Tokoh Rafidhah Al Majlisi, dimana ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang sesat dari mereka, pengarang kitab "Bihaarul Anwar", berkata tentang tiga orang khalifah rasyidin : "Sesungguhnya mereka tiada lain kecuali perampas yang zholim, murtad dari agama, semoga laknat Allah atas mereka dan terhadap orang-orang yang mengikuti mereka di dalam menzholimi ahlu bait dari pertama sampai terakhir".[2]
Inilah yang dikatakan oleh imam mereka Al Majlisi yang kitabnya dikatagorikan ke dalam reffrensi mereka (rujukan) yang pokok dan terpenting dalam hadits mengenai umat yang paling mulia setelah para rasul dan nabi.
Berdasarkan kepada keyakinan mereka terhadap khilifah kaum muslimin, maka mereka menganggap setiap orang yang bekerjasama dengan mereka adalah thoghut dan zholim. Al Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Hanzholah, ia berkata : "Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah tentang dua orang dari golongan kita, di antara mereka berdua terjadi perselisihan dalam masalah agama atau harta warisan, lalu mereka berdua berhukum (minta diselesaikan secara hukum) kepada penguasa dan kepada hakim, apakah hal itu halal? Ia berkata : siapa berhukum (meminta diselesaikan secara hukum) kepada mereka, dengan kebenaran atau kebatilan, maka sesungguhnya mereka berhukum kepada thoghut, dan apa yang telah diputuskan untuknya sesungguhnya yang ia ambil adalah harta haram, walaupun sebenarnya itu haknya, karena ia telah mengambilnya dengan hukum thoghut".[3]
Berkata Khumaini yang celaka -semoga Allah menghukumnya dengan hukum yang pantas dan setimpal- dalam mengomentari pembicaraan mereka ini : "Imam itu sendiri dilarang untuk merujuk kepada penguasa-penguasa dan hakim-hakim mereka, dan merujuk kepada mereka dikatagorikan merujuk kepada thoghut."[4]
Apakah
Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Bai'at
Orang Rafidhah menganggap setiap pemerintahan selain pemerintahan Itsna 'Asyara (syi'ah Itsna "asyarah/ Imammiyah/ Rafidhah) adalah pemerintahan yang batil (tidak sah). Diriwayatkan di dalam kitab "Al Kaafii" dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani dan di dalam kitab Al Ghaibah oleh An Nu'mani, dari Abi Ja'far, ia berkata : "Setiap bendera yang diangkat (dikibarkan) sebelum bendera Al Qaaim -Mahdinya orang Rafidhah- maka pemiliknya adalah thoghut".[1]
Dan tidak boleh menta'ati seorang hakim yang bukan dari Allah, kecuali dengan cara Taqiyah (kemunafikan), penguasa yang absolut dan zholim tidaklah pantas untuk menjadi pemimpin, dan setiap pemimpin yang bersifat serupa dengan itu. Seluruhnya gelar itu mereka berikan nama itu kepada penguasa kaum muslimin yang bukan dari imam-imam mereka, orang paling utama dari mereka itu adalah khulafaurasyidin -semoga Allah meridhoi mereka- yaitu : Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Tokoh Rafidhah Al Majlisi, dimana ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang sesat dari mereka, pengarang kitab "Bihaarul Anwar", berkata tentang tiga orang khalifah rasyidin : "Sesungguhnya mereka tiada lain kecuali perampas yang zholim, murtad dari agama, semoga laknat Allah atas mereka dan terhadap orang-orang yang mengikuti mereka di dalam menzholimi ahlu bait dari pertama sampai terakhir".[2]
Inilah yang dikatakan oleh imam mereka Al Majlisi yang kitabnya dikatagorikan ke dalam reffrensi mereka (rujukan) yang pokok dan terpenting dalam hadits mengenai umat yang paling mulia setelah para rasul dan nabi.
Berdasarkan kepada keyakinan mereka terhadap khilifah kaum muslimin, maka mereka menganggap setiap orang yang bekerjasama dengan mereka adalah thoghut dan zholim. Al Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Hanzholah, ia berkata : "Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah tentang dua orang dari golongan kita, di antara mereka berdua terjadi perselisihan dalam masalah agama atau harta warisan, lalu mereka berdua berhukum (minta diselesaikan secara hukum) kepada penguasa dan kepada hakim, apakah hal itu halal? Ia berkata : siapa berhukum (meminta diselesaikan secara hukum) kepada mereka, dengan kebenaran atau kebatilan, maka sesungguhnya mereka berhukum kepada thoghut, dan apa yang telah diputuskan untuknya sesungguhnya yang ia ambil adalah harta haram, walaupun sebenarnya itu haknya, karena ia telah mengambilnya dengan hukum thoghut".[3]
Berkata Khumaini yang celaka -semoga Allah menghukumnya dengan hukum yang pantas dan setimpal- dalam mengomentari pembicaraan mereka ini : "Imam itu sendiri dilarang untuk merujuk kepada penguasa-penguasa dan hakim-hakim mereka, dan merujuk kepada mereka dikatagorikan merujuk kepada thoghut."[4]
[1] Kitab "Al Kaafii"
dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani, dan lihat kitab Al Bihaar
(25/113).
[2] Kitab Al Bihaar oleh Al
Majlisi (4/385).
[3] Kitab "Al Kaafii" oleh Al
Kulaini (1/67), kitab At Tahdziib (6/301) dan kitab Man Laa Yahsuruhu Al Faqiih
: (3/5).
[4] Al Hukumaatul Islamiyah,
hal : 74.
Saudaraku pembaca yang budiman, saya cukupkan saja dalam masalah ini, dengan mencantumkan tulisan dari tulisan-tulisan DR. Nashir AL Qafari di dalam kitabnya : "Masalah At Taqriib", yaitu tulisan yang ke tujuh, dimana beliau berkata -semoga Allah menjaganya- :
"Bagaimana mungkin mendekatkan antara orang yang mencaci kitab Allah dan menafsirkannya tidak sesuai dengan tafsirannya, dan mendakwakan turunnya kitab-kitab ilahi (wahyu) kepada imam-imamnya setelah Al Quranul Karim?, dan ia memandang keimaman itu adalah kenabian, para imam baginya seperti para nabi dan bahkan lebih mulia, dan ia menafsirkan mengibadati Allah semata yang mana itu adalah inti dari misi (ajaran) para rasul seluruhnya tidak sesuai dengan maknanya yang hakiki, dan mendakwakan bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah ta'at kepada para imam. dan sesungguhnya syirik kepada Allah adalah mentaati selain mereka (para imam) bersama mereka, ia mengkafirkan orang-orang yang terbaik dari para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, dan mengklaim seluruh sahabat murtad, kecuali tiga atau empat atau tujuh sesaui dengan perbedaan riwayat mereka. Dan orang ini (orang Syiah) tampil berbeda dengan keganjilan dari jamaah kaum muslimin dengan masalah-masalah akidah dan keyakinan di dalam keimaman, kemaksuman (terjaga dari dosa), Taqiyah (kemunafikan), dan mengatakan Raj’ah (imam kembali ke dunia), Al qhaibah (menghilangnya As Kaari) dan Al Bada'[1]."[2]
Apakah
Hukum Usaha Mendekatkan Antara Ahli Sunnah Yang Bertauhid Dengan Rafidhah Yang
Musyrik?
Saudaraku pembaca yang budiman, saya cukupkan saja dalam masalah ini, dengan mencantumkan tulisan dari tulisan-tulisan DR. Nashir AL Qafari di dalam kitabnya : "Masalah At Taqriib", yaitu tulisan yang ke tujuh, dimana beliau berkata -semoga Allah menjaganya- :
"Bagaimana mungkin mendekatkan antara orang yang mencaci kitab Allah dan menafsirkannya tidak sesuai dengan tafsirannya, dan mendakwakan turunnya kitab-kitab ilahi (wahyu) kepada imam-imamnya setelah Al Quranul Karim?, dan ia memandang keimaman itu adalah kenabian, para imam baginya seperti para nabi dan bahkan lebih mulia, dan ia menafsirkan mengibadati Allah semata yang mana itu adalah inti dari misi (ajaran) para rasul seluruhnya tidak sesuai dengan maknanya yang hakiki, dan mendakwakan bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah ta'at kepada para imam. dan sesungguhnya syirik kepada Allah adalah mentaati selain mereka (para imam) bersama mereka, ia mengkafirkan orang-orang yang terbaik dari para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, dan mengklaim seluruh sahabat murtad, kecuali tiga atau empat atau tujuh sesaui dengan perbedaan riwayat mereka. Dan orang ini (orang Syiah) tampil berbeda dengan keganjilan dari jamaah kaum muslimin dengan masalah-masalah akidah dan keyakinan di dalam keimaman, kemaksuman (terjaga dari dosa), Taqiyah (kemunafikan), dan mengatakan Raj’ah (imam kembali ke dunia), Al qhaibah (menghilangnya As Kaari) dan Al Bada'[1]."[2]
[1] Defenisi ini lihat
kembali edisi-edisi yang telah berlalu, diantaranya edisi : 2, 6 dan
7.
[2] "Masalah At Taqriib" DR.
Nashir AL Qafari (2/302).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah berkata: "Dan sungguh telah sepakat ahli ilmu dalam bidang naql, riwayat dan sanad, bahwasanya Rafidhah adalah yang paling pendusta dari kalangan kelompok-kelompok (yang sesat), berbohong terdapat dalam diri mereka sudah sejak lama, oleh karena inilah para imam-imam Islam menggelarkan keistimewaan mereka dengan sering (banyak) berdusta.
Asyhab bin Abdul Aziz telah berkata : Imam Malik telah ditanya tentang Rafidhah, maka beliau menjawab : Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan janganlah mengambil riwayat dari mereka, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berdusta (pembohong).
Dan berkata Imam Malik : orang yang mecaci maki para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ia tidak berhak mendapatkan nama, atau tempat di dalam Islam.
Berkata Ibnu Katsir di dalam firman Allah :
Apakah
perkataan para Imam terdahulu dan kemudian tentang Rafidhah
(Syi'ah)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah berkata: "Dan sungguh telah sepakat ahli ilmu dalam bidang naql, riwayat dan sanad, bahwasanya Rafidhah adalah yang paling pendusta dari kalangan kelompok-kelompok (yang sesat), berbohong terdapat dalam diri mereka sudah sejak lama, oleh karena inilah para imam-imam Islam menggelarkan keistimewaan mereka dengan sering (banyak) berdusta.
Asyhab bin Abdul Aziz telah berkata : Imam Malik telah ditanya tentang Rafidhah, maka beliau menjawab : Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan janganlah mengambil riwayat dari mereka, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berdusta (pembohong).
Dan berkata Imam Malik : orang yang mecaci maki para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ia tidak berhak mendapatkan nama, atau tempat di dalam Islam.
Berkata Ibnu Katsir di dalam firman Allah :
مُّحَمَّدٌ
رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً
مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي
وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ
فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam
Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min)".
(Al Fath: 29).
"Dari ayat ini, maka Imam Malik menyimpulkan di dalam satu riwayat darinya, dengan mengkafirkan orang-orang rafidhah dimana mereka membenci para sahabat, beliau berkata : "Karena para sahabat menjengkelkan hati mereka (orang-orang rafidhah), siapa yang dijengkeli oleh para sahabat maka ia adalah kafir oleh ayat ini".
Al Qarthubi telah berkata : "Sungguh Imam Malik telah berbuat baik dalam ucapannya dan ia telah benar dalam menafsirkannya, maka siapa mencela seorang saja dari mereka atau mencela riwayatnya maka ia sungguh telah membantah Allah Rabb semesta alam, dan telah menggugurkan syari'at-syari'at kaum muslimin."[1]
Abu Hatim telah berkata : "Telah menceritakan kepada kami Harmalah, ia berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi'i berkata : "Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mudah bersaksi dengan kepalsuan daripada Rafidhah".
Muammil bin Ahab telah berkata : "Saya telah mendengar Yazid bin Harun berkata : "Ditulis (riwayat hadits) dari setiap pelaku bid'ah bila tidak mengajak ke bid'ahnya, kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka itu pendusta."
Dan Muhammad bin Sa'ad Al Ashbahaani telah berkata : "Saya telah mendengar syaikh Syuraik berkata : "Ambillah ilmu itu dari setiap orang yang kamu jumpai kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka membuat-buat (memalsukan) hadits, dan mereka menjadikan hal itu sebagai agama". Syuraik ini adalah Syuraik bin Abdullah Qodhi (hakim) kota Kufah.
Mu'awiyah telah berkata : "Saya telah mendengar Al 'Amasy berkata : Saya menjumpai sekelompok manusia, dan mereka tidaklah menyebutkan tentang mereka (rafidhah) kecuali (digolongkan kepada) orang-orang sangat pembohong", maksudnya (mereka pembohong itu) adalah pengikut Al Mughirah bin Sa'id yang bermadzhab rafidhah lagi pendusta, seperti yang disifati oleh imam Adz Dzahabi.[2]
Syaikhul Islam telah berkata dalam mengomentari apa yang dikatakan oleh para imam salaf : "Dan adapun Rafidhah asal usul bid'ah mereka diambil dari Zindiq dan kufur serta unsur kesengajaan, kebohongan banyak sekali di tengah-tengah mereka, dan mereka mengakui hal itu, dengan mengatakan : Agama kita adalah Taqiyah, yaitu salah seorang dari mereka mengucapkan dengan lidahnya berbeda dengan apa yang ada di hatinya. Dan inilah hakikat kebohongan dan kemunafikan, maka mereka dalam hal itu sebagaimana pepadah : "Ia telah melemparku dengan penyakitnya lalu ia lari".[3]
Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hambal : Saya telah bertanya kepada bapakku tentang Rafidhah, maka ia mengatakan : "Yaitu orang-orang yang mencaci maki atau mencela Abu Bakar dan Umar". Dan Imam Ahmad ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, maka ia menjawab : Doa'kanlah mereka berdua agar diberi rahmat, dan berlepas dirilah dari orang yang membenci mereka berdua".[4]
Al Khallal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci maki Abu Bakar dan Umar serta 'Aisyah, maka ia berkata : "Saya tidak memandangnya di dalam Islam (artinya orang yang mencaci itu telah keluar dari Islam -pent).[5]
Al Khallal meriwayatkan, ia berkata : Saya telah diberi tahu oleh Harb bin Ismail Al Karmaani, ia berkata : Telah bercerita kapada kami Musa bin Harun bin Ziad, ia berkata : saya telah mendengar Al Firyaabi sedangkan seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang orang yang mencaci maki Abu Bakar, ia berkata : Kafir. Lalu ia berkata lagi, apakah disolatkan? Ia berkata: Tidak."
Ibnu Hazam telah berkata : tentang Rafidhah tatkala ia berdebat dengan orang Kristen, dan orang-orang memberikan kepadanya kitab-kitab Rafidhah untuk bantahan terhadapnya (Ibnu Hazam dan berkata) : "Sesungguhnya Rafidhah bukanlah kaum muslimin, dan perkataan mereka bukanlah argumen terhadap agama, akan tetapi Rafidhah itu hanyalah suatu golongan, mulai terjadinya kira-kira dua puluh lima tahun setelah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam Wafat, dan permulaannya adalah merespon pangilan orang yang hampir masuk islam dari orang-orang yang dihina Allah. Rafidhah itu adalah kelompok yang berjalan diatas jalan ajaran Yahudi dan Nasrani dalam kebohongan dan kekufuran."[6]
Abu Zur'ah Ar Raazi berkata : "Bila kamu melihat seseorang yang mencaci salah seorang dari para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ketahuilah sesungguhnya dia itu Zindiq."
Lajnah Daimah Lil Ifta' (Lembaga tetap untuk Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya dengan satu pertanyaan, dalam pertanyaan itu penanya mengatakan bahwa ia dan sekelompok teman bersamanya berada di perbatasan utara berdekatan dengan cek point negara Iraq. Di sana ada sekelompok penduduk yang bermadzhab Al Ja'fariyah, dan diantara mereka (kelompok penanya) ada orang yang enggan untuk memakan sembelihan penduduk itu, dan diantara mereka ada yang makan, maka kami bertanya: Apakah halal bagi kami untuk memakan sembelihan mereka, ketahuilah sesungguhnya mereka berdoa minta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta seluruh pemimpin-pemimpin mereka di dalam keadaan sulit dan keadaan lapang ? Lalu Lajnah (lembaga) yang diketuai oleh Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baz dan (anggota-anggotanya); Syaikh Abdul Razaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayan, dan Syaikh Abdullah bin Qu'uud, semoga Allah memberi pahala kepada mereka semua.
Jawabannya:
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga dianugerahkan kepada rasul-Nya dan keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya, dan adapun selanjutnya:
Jika permasalahannya seperti yang disebutkan oleh penanya, bahwa sesungguhnya jamaah (kelompok) yang memiliki ajaran Ja'fariyah, mereka berdo'a dan meminta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta pemimpin-pemimpin mereka, maka mereka itu adalah orang-orang musyrik murtad, keluar dari agama Islam, semoga Allah melindungi kita dari itu, tidaklah halal memakan sembelihan mereka, karena sembelihan itu adalah bangkai, walaupun mereka menyebut nama Allah saat menyembelihnya."[7]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin ditanya,
Pertanyaan itu berbunyi :
wahai syaikh yang mulia, di negeri kami terdapat seorang rafidhah (bermadzhab syi'ah rafidhah) bekerja sebagai tukang sembelih, maka ahlusunnah datang kepadanya untuk menyembelih sembelihan mereka, dan begitu juga sebagian rumah makan, bekerja sama dengan orang rafidhah ini, dan dengan rafidhah lainnya yang berprofesi sama, apakah hukumnya bertransaksi atau berkoneksi dengan orang rafidhah ini dan semisalnya? Apakah hukum sembelihannya, apakah sembelihannya halal atau haram, berikanlah kepada kami fatwa, semoga syaikh diberi pahala oleh Allah.
Beliau menjawab
Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh wa ba'du,
Tidaklah halal sembelihan orang rafidhah, dan juga memakan sembelihannya, sesungguhnya orang rafidhah pada umumnya adalah orang-orang musyrik, dimana mereka selalu menyeru Ali bin Abi Thalib di waktu sempit dan lapang, sampai di Arafah dan saat tawaf dan sa'i, mereka juga menyeru anak-anak beliau dan imam-imam mereka seperti yang sering kita dengar dari mereka, perbuatan ini adalah syirik akbar (paling besar) dan keluar dari agama Islam yang berhak dihukum mati atasnya.
Sebagaimana mereka sangat berlebih-lebihan dalam mensifati Ali, mereka mensifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah 'Azza wa jalla, sebagaimana kita mendengarnya dari mereka di Arafah, dan mereka disebabkan perbuatan itu telah murtad, yang mana mereka telah menjadikannya sebagai Rabb, Sang Pencipta, dan Yang mengatur Alam, Yang mengetahui ghaib, yang menguasai kemudaratan dan manfaat, dan semisal itu.
Dan sebagaimana mereka mencela Al Quran, mereka mendakwakan bawah para sahabat telah merubah, menghilangkan dari Al Quran ayat-ayat yang banyak berhubungan dengan Ahlu Bait dan musuh-musuh mereka, lalu mereka tidak berpedoman kepada Al Quran dan mereka tidak memandangnnya sebagai dalil dan argumen.
Sebagaimana mereka mencela pemuka-pemuka sahabat, seperti tiga orang khalifah rasyidin, dan selain mereka dari orang yang diberi kabar gembira jaminan masuk surga, para umul mukminin (istri-istri Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam), para Sahabat yang terkenal, seperti Anas, Jabir, Abu Hurairah dan semisalnya, maka mereka tidak menerima hadits-hadits para sahabat tersebut, karena mereka itu orang kafir menurut dakwaan mereka, mereka tidak mengamalkan hadits-hadits dalam sohih Bukhari dan Muslim kecuali yang berasal dari Ahlu Bait. Mereka bergantung dengan hadits-hadits palsu atau hadits-hadits yang di dalamnya tidak ada bukti atas apa yang mereka katakan. Akan tetapi walaupun demikian, mereka itu adalah bersikap munafik, maka mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada pada hati mereka (yang tidak mereka yakini), mereka menyembunyikan dalam diri mereka apa yang tidak mereka tampakkan kepadamu, mereka berkata : siapa tidak bersikap Taqiyah (nifaq) maka tidak ada agama baginya. Maka dakwaan mereka itu tidak bisa diterima dalam ukhwah persaudaraan, dan dakwaan mereka akan cinta syari'at... dan seterusnya. Sikap nifaq adalah merupakan akidah bagi mereka. Semoga Allah menjaga (kita) dari kejelekan mereka, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga beliau serta para sahabatnya.[8]
"Dari ayat ini, maka Imam Malik menyimpulkan di dalam satu riwayat darinya, dengan mengkafirkan orang-orang rafidhah dimana mereka membenci para sahabat, beliau berkata : "Karena para sahabat menjengkelkan hati mereka (orang-orang rafidhah), siapa yang dijengkeli oleh para sahabat maka ia adalah kafir oleh ayat ini".
Al Qarthubi telah berkata : "Sungguh Imam Malik telah berbuat baik dalam ucapannya dan ia telah benar dalam menafsirkannya, maka siapa mencela seorang saja dari mereka atau mencela riwayatnya maka ia sungguh telah membantah Allah Rabb semesta alam, dan telah menggugurkan syari'at-syari'at kaum muslimin."[1]
Abu Hatim telah berkata : "Telah menceritakan kepada kami Harmalah, ia berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi'i berkata : "Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mudah bersaksi dengan kepalsuan daripada Rafidhah".
Muammil bin Ahab telah berkata : "Saya telah mendengar Yazid bin Harun berkata : "Ditulis (riwayat hadits) dari setiap pelaku bid'ah bila tidak mengajak ke bid'ahnya, kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka itu pendusta."
Dan Muhammad bin Sa'ad Al Ashbahaani telah berkata : "Saya telah mendengar syaikh Syuraik berkata : "Ambillah ilmu itu dari setiap orang yang kamu jumpai kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka membuat-buat (memalsukan) hadits, dan mereka menjadikan hal itu sebagai agama". Syuraik ini adalah Syuraik bin Abdullah Qodhi (hakim) kota Kufah.
Mu'awiyah telah berkata : "Saya telah mendengar Al 'Amasy berkata : Saya menjumpai sekelompok manusia, dan mereka tidaklah menyebutkan tentang mereka (rafidhah) kecuali (digolongkan kepada) orang-orang sangat pembohong", maksudnya (mereka pembohong itu) adalah pengikut Al Mughirah bin Sa'id yang bermadzhab rafidhah lagi pendusta, seperti yang disifati oleh imam Adz Dzahabi.[2]
Syaikhul Islam telah berkata dalam mengomentari apa yang dikatakan oleh para imam salaf : "Dan adapun Rafidhah asal usul bid'ah mereka diambil dari Zindiq dan kufur serta unsur kesengajaan, kebohongan banyak sekali di tengah-tengah mereka, dan mereka mengakui hal itu, dengan mengatakan : Agama kita adalah Taqiyah, yaitu salah seorang dari mereka mengucapkan dengan lidahnya berbeda dengan apa yang ada di hatinya. Dan inilah hakikat kebohongan dan kemunafikan, maka mereka dalam hal itu sebagaimana pepadah : "Ia telah melemparku dengan penyakitnya lalu ia lari".[3]
Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hambal : Saya telah bertanya kepada bapakku tentang Rafidhah, maka ia mengatakan : "Yaitu orang-orang yang mencaci maki atau mencela Abu Bakar dan Umar". Dan Imam Ahmad ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, maka ia menjawab : Doa'kanlah mereka berdua agar diberi rahmat, dan berlepas dirilah dari orang yang membenci mereka berdua".[4]
Al Khallal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci maki Abu Bakar dan Umar serta 'Aisyah, maka ia berkata : "Saya tidak memandangnya di dalam Islam (artinya orang yang mencaci itu telah keluar dari Islam -pent).[5]
Al Khallal meriwayatkan, ia berkata : Saya telah diberi tahu oleh Harb bin Ismail Al Karmaani, ia berkata : Telah bercerita kapada kami Musa bin Harun bin Ziad, ia berkata : saya telah mendengar Al Firyaabi sedangkan seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang orang yang mencaci maki Abu Bakar, ia berkata : Kafir. Lalu ia berkata lagi, apakah disolatkan? Ia berkata: Tidak."
Ibnu Hazam telah berkata : tentang Rafidhah tatkala ia berdebat dengan orang Kristen, dan orang-orang memberikan kepadanya kitab-kitab Rafidhah untuk bantahan terhadapnya (Ibnu Hazam dan berkata) : "Sesungguhnya Rafidhah bukanlah kaum muslimin, dan perkataan mereka bukanlah argumen terhadap agama, akan tetapi Rafidhah itu hanyalah suatu golongan, mulai terjadinya kira-kira dua puluh lima tahun setelah Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam Wafat, dan permulaannya adalah merespon pangilan orang yang hampir masuk islam dari orang-orang yang dihina Allah. Rafidhah itu adalah kelompok yang berjalan diatas jalan ajaran Yahudi dan Nasrani dalam kebohongan dan kekufuran."[6]
Abu Zur'ah Ar Raazi berkata : "Bila kamu melihat seseorang yang mencaci salah seorang dari para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ketahuilah sesungguhnya dia itu Zindiq."
Lajnah Daimah Lil Ifta' (Lembaga tetap untuk Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya dengan satu pertanyaan, dalam pertanyaan itu penanya mengatakan bahwa ia dan sekelompok teman bersamanya berada di perbatasan utara berdekatan dengan cek point negara Iraq. Di sana ada sekelompok penduduk yang bermadzhab Al Ja'fariyah, dan diantara mereka (kelompok penanya) ada orang yang enggan untuk memakan sembelihan penduduk itu, dan diantara mereka ada yang makan, maka kami bertanya: Apakah halal bagi kami untuk memakan sembelihan mereka, ketahuilah sesungguhnya mereka berdoa minta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta seluruh pemimpin-pemimpin mereka di dalam keadaan sulit dan keadaan lapang ? Lalu Lajnah (lembaga) yang diketuai oleh Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baz dan (anggota-anggotanya); Syaikh Abdul Razaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayan, dan Syaikh Abdullah bin Qu'uud, semoga Allah memberi pahala kepada mereka semua.
Jawabannya:
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga dianugerahkan kepada rasul-Nya dan keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya, dan adapun selanjutnya:
Jika permasalahannya seperti yang disebutkan oleh penanya, bahwa sesungguhnya jamaah (kelompok) yang memiliki ajaran Ja'fariyah, mereka berdo'a dan meminta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta pemimpin-pemimpin mereka, maka mereka itu adalah orang-orang musyrik murtad, keluar dari agama Islam, semoga Allah melindungi kita dari itu, tidaklah halal memakan sembelihan mereka, karena sembelihan itu adalah bangkai, walaupun mereka menyebut nama Allah saat menyembelihnya."[7]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin ditanya,
Pertanyaan itu berbunyi :
wahai syaikh yang mulia, di negeri kami terdapat seorang rafidhah (bermadzhab syi'ah rafidhah) bekerja sebagai tukang sembelih, maka ahlusunnah datang kepadanya untuk menyembelih sembelihan mereka, dan begitu juga sebagian rumah makan, bekerja sama dengan orang rafidhah ini, dan dengan rafidhah lainnya yang berprofesi sama, apakah hukumnya bertransaksi atau berkoneksi dengan orang rafidhah ini dan semisalnya? Apakah hukum sembelihannya, apakah sembelihannya halal atau haram, berikanlah kepada kami fatwa, semoga syaikh diberi pahala oleh Allah.
Beliau menjawab
Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh wa ba'du,
Tidaklah halal sembelihan orang rafidhah, dan juga memakan sembelihannya, sesungguhnya orang rafidhah pada umumnya adalah orang-orang musyrik, dimana mereka selalu menyeru Ali bin Abi Thalib di waktu sempit dan lapang, sampai di Arafah dan saat tawaf dan sa'i, mereka juga menyeru anak-anak beliau dan imam-imam mereka seperti yang sering kita dengar dari mereka, perbuatan ini adalah syirik akbar (paling besar) dan keluar dari agama Islam yang berhak dihukum mati atasnya.
Sebagaimana mereka sangat berlebih-lebihan dalam mensifati Ali, mereka mensifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah 'Azza wa jalla, sebagaimana kita mendengarnya dari mereka di Arafah, dan mereka disebabkan perbuatan itu telah murtad, yang mana mereka telah menjadikannya sebagai Rabb, Sang Pencipta, dan Yang mengatur Alam, Yang mengetahui ghaib, yang menguasai kemudaratan dan manfaat, dan semisal itu.
Dan sebagaimana mereka mencela Al Quran, mereka mendakwakan bawah para sahabat telah merubah, menghilangkan dari Al Quran ayat-ayat yang banyak berhubungan dengan Ahlu Bait dan musuh-musuh mereka, lalu mereka tidak berpedoman kepada Al Quran dan mereka tidak memandangnnya sebagai dalil dan argumen.
Sebagaimana mereka mencela pemuka-pemuka sahabat, seperti tiga orang khalifah rasyidin, dan selain mereka dari orang yang diberi kabar gembira jaminan masuk surga, para umul mukminin (istri-istri Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam), para Sahabat yang terkenal, seperti Anas, Jabir, Abu Hurairah dan semisalnya, maka mereka tidak menerima hadits-hadits para sahabat tersebut, karena mereka itu orang kafir menurut dakwaan mereka, mereka tidak mengamalkan hadits-hadits dalam sohih Bukhari dan Muslim kecuali yang berasal dari Ahlu Bait. Mereka bergantung dengan hadits-hadits palsu atau hadits-hadits yang di dalamnya tidak ada bukti atas apa yang mereka katakan. Akan tetapi walaupun demikian, mereka itu adalah bersikap munafik, maka mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada pada hati mereka (yang tidak mereka yakini), mereka menyembunyikan dalam diri mereka apa yang tidak mereka tampakkan kepadamu, mereka berkata : siapa tidak bersikap Taqiyah (nifaq) maka tidak ada agama baginya. Maka dakwaan mereka itu tidak bisa diterima dalam ukhwah persaudaraan, dan dakwaan mereka akan cinta syari'at... dan seterusnya. Sikap nifaq adalah merupakan akidah bagi mereka. Semoga Allah menjaga (kita) dari kejelekan mereka, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga beliau serta para sahabatnya.[8]
[1] Ushul Madzhab As Syi'ah
Al Imamiyah Al Itsna Asyara, oleh Dr. Nashir AL Qafaari,
(3/1250).
[2] Minhaajus Sunnah, oleh
Syeikhul Islam Ibnu Timiyah, (1/59-60).
[3] Minhaajus Sunnah, oleh
Syeikhul Islam Ibnu Timiyah, (1/68).
[4] Al Masail dan Al Rasail
Al Mawiyah 'An Imam Ahmad bin Hambal, oleh Abdul Ilah bin Sulaiman Al Ahmadi,
(2/357).
[5] As Sunnah oleh Khalal
(3/493). Ini merupakan pernyataan yang jelas dari imam Ahmad dalam menghukum
kafir orang Rafidhah.
[6] Al Fashlu Fi Al Milal wa
An Nihal, oleh Ibnu Hazam (2/78).
[7] Fatwa Lajnah Daimah Lil
Iftak, (2/264).
[8] Fatwa ini keluar dari
syeikh setelah dilontarkan kepada beliau suatu soal yang berhubungan dengan
sikap bergaul dengan orang rafidhah pada tahun 1414 H, dan penyusun ingin
menerangkan sekitar apa yang terdengar bahwa syeikh Abdullah Al Jibrin -semoga
Allah melindunginya- beliau seorang yang mengkafirkan orang-orang Rafidhah, yang
benarnya adalah bahwa para imam dari terdahulu sampai belakangan ini
mengkafirkan kelompok ini, hal itu disebabkan karena hujjah telah ditegakkan
kepada mereka, dan hilangnya uzur kebodohan dari mereka. (Insya Allah penerjemah
akan membuat edisi khusus tentang perkataan ulama salaf terhadap
rafidhah).
- Penyusun: Syaikh Abdullah bin Muhammad As-Salafi
- Penerjemah: Muhammad Elvi Syams, Lc.
- Sumber: Ebook Kumpulan Buku Tentang Syi'ah (CHM)
0 komentar:
Posting Komentar