Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk
beribadah kepada-Nya. Para nabi dan rasul pun diutus untuk mengajari
umat manusia bagaimanakah tata cara yang benar dalam beribadah
kepada-Nya. Ibadah dibangun di atas dalil dan hujjah, bukan di atas
pemikiran, perasaan, atau hawa nafsu manusia. Oleh sebab itu sebagai
hamba Allah kita punya kewajiban yang mulia di atas muka bumi ini yaitu
terus menimba ilmu agar ibadah yang kita jalani benar-benar sesuai
dengan aturan dan kehendak-Nya.
[1] Pengertian Ibadah
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah merupakan sebuah istilah
yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa
ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat,
zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti
kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi
orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil, maupun budak dari kalangan manusia atau binatang
piaraan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu
semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya,
rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama
untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya,
ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya,
takut kepada azab-Nya, dan semisalnya adalah termasuk ibadah kepada
Allah.” (Lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at
ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa
cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim
[1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa
ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta
dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam
syari’at-Nya (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub
al-’Ilmiyah)
[2] Pilar Tegaknya Ibadah
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu
mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga
pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu.
Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum
beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal
cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa
harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya
dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.”
(Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu
Khuzaimah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa
cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya
(Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus
dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun
merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun
berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala
Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan
adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan
kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk
mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan
sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu
yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena
sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun
ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan
hakikat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk
ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada
ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab
at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan
adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan
pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakikat
dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba
kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih
diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya
kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi
penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus
tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan
bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid
Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
[3] Syarat Diterimanya Ibadah
Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya
diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk
siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang
keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan
terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak
akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Demi Rabbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semuanya
tentang apa saja yang mereka amalkan.” (QS. al-Hijr: 92-93). Allah
ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka benar-benar Kami akan
menanyai orang-orang yang rasul itu diutus kepada mereka dan Kami juga
pasti akan menanyai para utusan itu, maka akan Kami kisahkan kepada
mereka dengan penuh pengetahuan dan tidaklah Kami tidak menyaksikan -apa
yang telah mereka lakukan-.” (QS. al-A’raaf: 6-7) (lihat Ighatsat
al-Lahfan, hal. 113).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.”
(QS. al-Kahfi: 110).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah
amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak
mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk
mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima
di sisi-Nya (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah
at-Taufiqiyah. Baca juga al-Qawa’id wa al-Ushul aj-Jami’ah wa al-Furuq
wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, hal. 40-42 cet. Dar al-Wathan)
Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Amal tidak akan baik kecuali
dengan tiga hal; ketakwaan kepada Allah, niat yang baik, dan
benar/sesuai tuntunan.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan
diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga
tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan
bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan
kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan
amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima
ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.”
(lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah,
hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dengan judul Bab. Ilmu
sebelum ucapan dan amalan (Lihat Shahih al-Bukhari cet. Maktabah
al-Iman, hal. 30). Ibnul Munayyir rahimahullah mengatakan, “Beliau -Imam
Bukhari- ingin menjelaskan bahwa ilmu menjadi syarat sah ucapan dan
amalan. Keduanya tidak dinilai apabila tidak dilandasi ilmu. Oleh sebab
itu ilmu lebih didahulukan di atas keduanya; sebab ilmu merupakan faktor
yang meluruskan niat, dan niat itulah yang menentukan kelurusan
amalan.” (Lihat Fath al-Bari [1/195] cet. Dar al-Hadits)
[4] Intisari Ibadah
Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian
beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian
kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan
masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR.
Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3372] dinyatakan sahih oleh Syaikh
al-Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah
ta’ala selain doa.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3370],
dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani, al-Hakim dalam al-Mustadrak
[1852], beliau berkata: Hadits ini sanadnya sahih namun tidak
dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama
ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu
berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan
permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan
hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1856])
Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba
melakukan suatu bentuk ibadah melainkan dia mengharapkan pahala dan
keselamatan dari siksa. Ini artinya secara lisanul hal itu menunjukkan
bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya juga mengandung doa/permintaan.
Adakalanya perbuatan (amal ibadah) itu juga disertai doa dengan lisannya
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/162] cet. Maktabah
al-Ilmu, lihat juga al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 37)
Secara bahasa, doa memiliki beberapa makna, diantaranya: tuntutan dan
permintaan, ibadah. Diantara para ulama yang memaknai doa dengan ibadah
adalah Abu Ishaq az-Zajaj, ad-Damighani, Ibnul Jauzi, dan al-Fairuz
Abadi (lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 34-35)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada
selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan
madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar
termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim
al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam
ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid
itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun
bersama -doa kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih
as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian
beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat
al-Ushul, hal. 15, lihat juga keterangan serupa oleh Syaikh al-Utsaimin
dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 35)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa
kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas
tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di
sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”
(QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah
ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah
at-Taufiqiyah)
[5] Larangan Beribadah Kepada Selain Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada
selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan
madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar
termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim
al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam
ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid
itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun
bersama -doa kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih
as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian
beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat
al-Ushul, hal. 15, lihat juga keterangan serupa oleh Syaikh al-Utsaimin
dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 35)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa
kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas
tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di
sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”
(QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah
ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah
at-Taufiqiyah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat
daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah,
sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat.
Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka.
Tatkala umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka
itu justru menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari
peribadahan yang ditujukan kepada dirinya.” (QS. al-Ahqaf: 5-6)
[6] Hakikat Ikhlas
Siapakah orang-orang yang ikhlas? Tsa’lab berkata, “Yaitu orang-orang
yang memurnikan ibadahnya untuk Allah ta’ala, dan mereka itulah
orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla. Sehingga orang-orang
yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas
adalah orang-orang yang bertauhid. Adapun yang dimaksud dengan kalimatul
ikhlas adalah kalimat tauhid.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85).
al-Munawi berkata, “Ikhlas adalah membersihkan hati dari berbagai kotoran yang merusak kejernihannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85). al-Jurjani berkata, “Ikhlas yaitu kamu tidak ingin mencari saksi atas amalmu kepada selain Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas,
hal. 86). Abu Utsman al-Maghribi berkata, “Ikhlas adalah melupakan
pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan Allah.
Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak
dimilikinya niscaya akan jatuh kedudukannya di mata Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)
Oleh sebab itu, seorang muslim tidak akan rela mempersembahkan ibadah
apa pun kepada selain Allah, entah itu sholat, sembelihan, ataupun
ibadah-ibadah yang lain. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah;
Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk
Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang
diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama
pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).
[7] Ciri-Ciri Keikhlasan
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan,
“Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa
kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan
bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)
Orang yang benar-benar ikhlas merasa dirinya belum ikhlas. as-Susi
berkata, “Ikhlas itu adalah dengan tidak memandang diri telah ikhlas.
Karena barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya
benar-benar telah ikhlas itu artinya keikhlasannya masih belum
sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86).
Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku
tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk
menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah
berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang salih, maka aku
merasa bukan termasuk golongan mereka.” Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (lihat al-Ighatsah, hal. 115).
Suatu saat ada seorang lelaki berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai
orang yang riya’!”. Maka beliau menjawab, “Sejak kapan kamu mengenal
namaku? Tidak ada yang mengenal namaku selain kamu.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 93)
Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231). al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Ilmu dan amal terbaik adalah yang tersembunyi dari pandangan manusia.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku sangat ingin
orang-orang mengetahui ilmu ini dalam keadaan tidak disandarkan kepadaku
satu huruf pun darinya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Dari Yazid bin Abdullah bin asy-Syikhkhir, dia menceritakan bahwa ada
seorang lelaki yang bertanya kepada Tamim ad-Dari, “Bagaimana sholat
malammu?”. Maka beliau pun marah sekali, beliau berkata, “Demi Allah,
sungguh satu raka’at yang aku kerjakan di tengah malam dalam keadaan
rahasia itu lebih aku sukai daripada aku sholat semalam suntuk kemudian
hal itu aku ceritakan kepada orang-orang.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 234)
Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata, “Jangan bertanya
kepada saudaramu tentang puasanya. Sebab kalau dia menjawab, ‘Aku sedang
puasa.’ nafsunya akan senang dengannya. Dan apabila dia menjawab, ‘Aku
tidak puasa.’ nafsunya pun merasa sedih. Sedangkan keduanya adalah
termasuk ciri-ciri riya’. Perbuatan itu akan mencoreng muka yang ditanya
dan membuka aurat oleh penanya.” Oleh sebab itu apabila Ibrahim bin
Adham ditawari makan sementara beliau sedang puasa (sunnah) beliau pun
makan dan tidak mau berkata, “Saya sedang puasa.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 245-246)
Ibrahim at-Taimi adalah seorang ulama yang suka mengenakan pakaian
ala anak muda. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kalau beliau itu
ulama kecuali sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “Orang yang
ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya
sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)
[8] Akibat Tidak Ikhlas
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menceritakan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah: [Pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi
mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya
nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.”
Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan
tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam
api neraka. [Kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya
serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya,
sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu
dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang
alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan
itu telah kamu dapatkan di dunia.” Lalu Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [Ketiga] Seorang
lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia
pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak
ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak
padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu
dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan
sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di
dunia.” Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam
keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke
dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 1905)
[9] Menjauhi Bid’ah
Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima,
demikian pula orang yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka
amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa
keikhlasan dan tanpa ittiba’ (Lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar Syarh Jawami’ al-Akhbar karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 14 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah, tahun 1423 H).
Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) dalam surat al-Mulk [ayat 2] sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar (Lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).
Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi (Lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, hal. 19 cet. Dar al-Hadits, tahun 1418 H). Bukan dengan cara-cara bid’ah.
Bid’ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi
syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah
kepada Allah ta’ala (lihat al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, hal. 13).
Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at
Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan
dengan cara dan sarana yang baik pula (Lihat pula Ighatsat al-Lahfan min Masha’id asy-Syaithan, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 16 cet. Dar Thaibah, tahun 1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.
****
Sumber: http://syaabb.wordpress.com/perbaikan-ibadah/
Perbaikan Ibadah
Faisal Choir Blog :
Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus
0 komentar:
Posting Komentar