Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Orang bilang, cinta adalah segalanya. Karena cinta, tai kucing (nama sejenis makanan di Jawa) pun serasa cokelat. Demi cinta, orang pun rela menyeberangi lautan, menaiki gunung, menuruni lembah, dan mengorbankan harta benda untuk kekasihnya. Apakah rasa cinta juga punya kaitan dengan agama kita?
Kedudukan Cinta
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros segala ajaran agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama islam, dan dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan yang mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allāh, tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)
Dengan kecintaan semacam itulah seorang hamba akan bisa merasakan manisnya iman. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allāh dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allāh. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allāh selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata, “Para ulama -semoga Allāh merahmati mereka- mengatakan bahwa makna manisnya iman adalah kelezatan di saat melakukan ketaatan dan sanggup menanggung berbagai kesulitan demi menggapai keridhaan Allāh ’azza wa jalla dan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam serta lebih mengutamakan itu di atas kesenangan dunia…” (lihat Syarh Muslim [2/96]).
Syaikh as-Sa’di rahimahullāh berkata, “…Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allāh mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Antara Ibadah dan Kecintaan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullāh mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allāh). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Bagaimana Mencintai Allāh?
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu adalah cabang pengenalan terhadapnya. Manusia yang paling mengenal Allāh adalah orang yang paling mencintai-Nya. Setiap orang yang mengenal Allāh pasti akan mencintai-Nya. Tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu nama-nama Allāh dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allāh kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullāh berkata,
“Kecintaan kepada Allāh ta’ālā itu semestinya membuahkan kecintaan terhadap ketaatan kepada-Nya. Karena Allāh mencintai hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Sementara seorang yang mencintai -kekasihnya- niscaya dia juga akan mencintai apa saja yang dicintai oleh kekasihnya, itu sudah pasti.” (lihat Fath al-Majid, hal. 326)
Kelezatan dan Cinta
Ibnul Qoyyim rahimahullāh berkata,
“Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut.
Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allāh, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya, niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna.
Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi?
Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allāh, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allāhul musta’aan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-’Aqidah)
Tanda Kecintaan
Rabi’ bin Anas rahimahullāh menyebutkan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya,
“Tanda cinta kepada Allāh adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya. Sebab sesungguhnya tidaklah kamu mencintai sesuatu melainkan kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allāh, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allāh maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allāh dengan sebanyak-banyaknya…” (QS. al-Ahzab: 41).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allāh.” (QS. al-Munafiqun: 9).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152).
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Katakanlah -hai Muhammad, kepada umatmu-; Apabila kalian benar-benar mencintai Allāh maka ikutilah aku, niscaya Allāh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Dari ayat yang mulia ini kita dapat mengetahui bahwa barangsiapa yang mengikuti Rasul, itu menunjukkan bahwa pengakuan cintanya kepada Allāh adalah jujur. Sebaliknya, orang yang tidak mengikuti Rasul, maka itu menunjukkan bahwa dia tidak termasuk golongan orang yang benar-benar mencintai Allāh ta’ālā (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 128)
Wallāhul muwaffiq.
Artikel Pemudamuslim.com
Oleh Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
Dikutip dari ebook "Offline Abumushlih.com" Download ebooknya disini.
0 komentar:
Posting Komentar