1. Memahami Tauhid dan Ibadah
Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu–
bahwa tauhid itu berarti mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid ini
adalah ajaran para rasul di mana Allah mengutus para Rasul untuk
beribadah kepada-Nya.
Demikian bagian pertama yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad At
Tamimi ketika membahas berbagai argumen orang musyrik dalam membela
kesyirikannya.
Apa yang Dimaksud Tauhid?
Seperti kita ketahui bersama bahwa tauhid berasal dari mashdar wahhada-yuwahhidu-tauhidan,
secara bahasa berarti menjadikan sesuatu menjadi satu. Sedangkan yang
dimaksud dalam pembahasan Syaikh Muhammad adalah mengesakan Allah dalam
ibadah yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak untuk
diibadahi.
Apa yang Dimaksud Ibadah?
Apa yang dimaksud ibadah? Ibadah secara bahasa berarti tunduk dan
merendahkan diri. Sedangkan menurut istilah syar’i, ada berbagai macam
versi yang disampaikan oleh para ulama. Ada tiga definisi yang bisa kami
sebutkan kali ini:
- Ibadah adalah sesuatu yang dituntut oleh syari’at dan diberikan ganjaran ketika mengerjakannya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika membicarakan masalah wudhu.
- Ibadah adalah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Alah yang mencakup perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam kitab Al ‘Ubudiyah.
- Ibadah adalah segala sesuatu yang dituntut untuk dilakukan tanpa memakai pertimbangan logika atau ‘urf (kebiasaan). Demikian yang biasa dijelaskan ulama ushul ketika mendefinisikan ibadah.
Dari berbagai macam versi definisi ibadah berarti jika ada sesuatu
amalan yang mencakup definisi tersebut, maka hanya boleh ditujukan pada
Allah saja. Jika ditujukan pada selain Allah, itulah syirik. Amalan
batin termasuk ikhlas, bertawakkal, takut, harap dan cinta hanya boleh
ditujukan pada Allah semata. Begitu pula amalan lahiriyah seperti do’a,
isti’anah (meminta tolong) dan istighotsah (meminta tolong setelah
tertimpa musibah), itu semua harus ditujukan pada Allah saja.
Dakwah Para Rasul, Dakwah Anti Syirik
Perintah tauhid atau mengesakan Allah dalam ibadah menjadi dakwah
rasul. Tidak ada seorang rasul pun diutus untuk menyampaikan suatu
amalan kecuali diawali dengan menjelaskan tauhid terlebih dahulu. Ketika
halal dan haram dijelaskan, dakwah anti syirik tetap didahulukan.
Karena menjauhi kesyirikan dan mentauhidkan Allah itulah yang menjadi
hikmah diciptakannya manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah mentauhidkan)-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Dakwah para rasul adalah untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan tradisi kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An Nahl: 36).Demikian serial pertama dari pembahasan dalam kitab Kasyfu Syubuhat. Moga Allah semakin mengokohkan tauhid kita. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Syarh Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
2. Awal Mula Kesyirikan dari Berlebihan pada Orang Sholih
Melanjutkan
berbagai argumen orang musyrik dalam membela kesyirikan mereka.
Sekarang kita akan melihat kembali perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi
berikutnya. Di mana beliau akan menjelaskan tentang Rasul pertama adalah
Nuh dan dan akan dijelaskan pula sesembahan yang ada di masa Nabi Nuh alaihis salam. Dan kita bisa menarik kesimpulan bagaimana kesyirikan bisa muncul di masa itu.
Syaikh rahimahullah berkata, “Awal rasul adalah Nuh alaihis salam. Di mana Allah mengutus Nuh kepada kaumnya. Kaum Nuh beribadah secara berlebihan kepada Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr.” (*)
Ini bagian kedua yang dari penjelasan Syaikh dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhaat dan akan kita ulas secara ringkas apa yang dimaksud dengan penjelasan beliau di atas.
Nuh Rasul Pertama
Nuh adalah rasul pertama dan beliau adalah di antara rasul ‘ulul ‘azhmi. Dan keturunan Nuh tetap terus ada di muka bumi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan” (QS. Ash Shaffaat: 77). Manusia selanjutnya adalah keturunan dari Nabi Nuh ‘alaihis salam. Anak Nuh ada tiga yaitu Sam, Ham dan Yafits. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 380.
Adapun Nabi Adam adalah Nabi yang diajak bicara oleh Allah dan
bukanlah Rasul. Sebagaimana disebutkan dalam hadits mengenai Nabi Adam,
آدَمُ أَنَبِيٌّ كَانَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، نَبِيٌّ مُكَلَّمٌ
“Adam, apakah seorang Nabi? Iya, dia adalah Nabi yang diajak bicara.” (HR. Ahmad 5: 178).
Nuh Diutus pada Kaum yang Berlebihan terhadap Orang Sholih
Nuh diutus pada kaum yang berbuat syirik di mana mereka telah
berlebihan dalam mengagungkan orang sholih. Orang sholih yang dimaksud
di sini yang pertama adalah Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr.
Coba kita perhatikan dalam surat Nuh,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq
dan nasr” (QS. Nuh: 23). Ibnu Katsir berkata bahwa ini adalah nama-nama berhala-berhala orang musyrik. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 389.
Disebutkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa berhala-berhala tersebut adalah berhala yang disembah di zaman Nabi Nuh. (Idem, 7: 390).
Awal Mula Kesyirikan: Berlebihan pada Orang Sholih
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nama-nama yang
disebutkan dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang sholih dari kaum
Nuh. Ketika orang-orang sholih tersebut mati, maka orang-orang mulai
i’tikaf di kubur-kubur mereka. Kemudian berlalulah waktu hingga mereka
membuat bentuk untuk orang-orang sholih tersebut dengan wujud patung.
Dan perlu dipahami bahwa berdiam (beri’tikaf) di kubur, mengusap-ngusap
kubur, menciumnya dan berdo’a di sisi kubur serta semacam itu adalah
asal dari kesyirikan dan asal mula penyembahan berhala. Oleh karena itu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ
“Ya Allah, janganlah jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 79).
Ibnu Taimiyah di tempat lain juga mengatakan,
“Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan bahwa mereka yang disebut
dalam surat Nuh adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka
mati, orang-orang pada i’tikaf di sisi kubur mereka. Lalu mereka membuat
patung orang sholih tersebut. Lantas orang sholih tersebut disembah.
Ini sudah masyhur dalam kitab tafsir dan hadits, serta selainnya seperti disebutkan oleh Imam Bukhari . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya dan mencegah agar tidak terjadi kesyirikan seperti itu. Sampai-sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang menjadikan kubur para nabi dan orang sholih sebagai
masjid. Terlarang shalat di kubur semacam itu walau kubur tersebut
tidak dimintai syafa’at. Begitu pula terlarang shalat menghadap kubur
tadi. ‘Ali bin Abi Tholib pun pernah diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk meratakan kubur yang tinggi dan menghancurkan berhala-berhala,
serta juga menumpas berbagai patung atau gambar yang diagungkan. Dari
Abul Hiyaj Al Asadi, ia berkata bahwa ‘Ali bin Abi Tholib berkata
kepadanya, “Aku akan mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutusku, yaitu untuk memerintah agar menghancurkan berhala,
meratakan kubur yang ditinggakan.” Dalam lafazh lain disebutkan agar
gambar yang diagungkan itu dihapuskan. Demikian dikeluarkan oleh Imam
Muslim.” (Majmu’ Al Fatawa, 1: 151-152).
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kesyirikan yang muncul di masa
Nabi Nuh bahwasanya awal mula kesyirikan itu muncul dari sikap
berlebihan terhadap orang sholih. Di antara sikap berlebihan adalah
beri’tikaf (bersemedi atau berdiam) di kuburnya, berdo’a di sisi kubur
orang sholih, membuatkan patung atau monumen untuk mengenang mereka.
Maka lihat pula kesyirikan yang terjadi pada para wali, kyai, ustadz dan
sunan yang saat ini muncul bermulanya dari sikap berlebihan terhadap
kubur mereka. Sampai-sampai ada kubur orang sholih yang terus dicuri
pasirnya, hingga kuburnya bisa ambles. Na’udzu billah min dzalik
Baca pula artikel Rumaysho.Com lainnya:
1- Berlebihan Terhadap Kubur Orang Sholeh.
2- Dari Gambar Sampai Beribadah pada Kubur Orang Sholeh.
3- Shalat di Masjid yang Ada Kubur.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita akidah yang shahih yang menjadi penyelamat dunia dan akhirat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah Al Harroni, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
- Syarh Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
- Tafsir Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Iyad bin ‘Abdul Lathief bin Ibrahim Al Qoisi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1432 H.
3. Patung Orang Musyrik Hanya Sebagai Perantara
Kembali melanjutkan bantahan untuk orang musyrik setelah sebelumnya dipahamkan mengenai tauhid, lalu penjelasan awal kesyirikan di masa Nabi Nuh. Sekarang ini akan diulas mengenai perihal patung yang dihancurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan apa maksud tersebut ada. Sebenarnya patung orang sholih hanyalah
sebagai perantara dalam ibadah, bukan patung tersebut yang disembah atau
ditujukan do’a secara langsung. Banyak di antara kita yang belum
memahami hal ini.
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Rasul terakhir adalah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliaulah yang menghancurkan berbagai patung orang sholih.”(*)
Muhammad adalah Rasul Terakhir
Ini akidah penting yang mesti diyakini setiap muslim. Ia harus meyakini bahwa Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah Rasul yang terakhir, tidak ada lagi Rasul setelah beliau diutus.
Ath Thohawi rahimahullah dalam kitab akidahnya berkata,
وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى
“Setiap klaim kenabian setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka itu suatu kesesatan dan hanya sekedar mengikuti nafsu
sesat.”
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّهُ
سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى كَذَّابُونَ ثَلاَثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ
أَنَّهُ نَبِىٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Akan datang dari umatku 30 orang pendusta yang kesemuanya
mengklaim dirinya sebagai Nabi. Padahal akulah penutup para Nabi, tidak
ada lagi Nabi sesudahku.” (HR. Abu Daud no. 4252, Tirmidzi no. 2219 dan Ahmad 5: 278. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Ibnu Abil ‘Izz –rahimahullah- berkata, “Kalau disebut beliau
adalah penutup para Nabi, maka diketahui bahwa siapa saja yang
mengklaim sebagai Nabi sesudah beliau, maka itu adalah klaim dusta.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz, 1: 250).
Syaikh Sholeh Alu Syaikh –hafizhohullah– berkata, “Siapa
saja yang mengklaim dirinya adalah Nabi atau diberi wahyu atau
menyatakan diri sebagai Rasul, maka ia kafir dan wajib dibunuh.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah karya Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 1: 176).
Menghancurkan Patung Orang Sholih
Ketika penaklukkan kota Mekkah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri atau beliau mengutus utusannya untuk menghancurkan
patung-patung di sekitar Ka’bah dan ketika itu ada 360 berhala.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia
berkata,
دَخَلَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَكَّةَ ، وَحَوْلَ الْكَعْبَةِ
ثَلاَثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ نُصُبًا فَجَعَلَ يَطْعَنُهَا بِعُودٍ فِى
يَدِهِ وَجَعَلَ يَقُولُ ( جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ )
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki kota Mekkah
(untuk penaklukkan), saat itu terdapat 360 berhala. Lalu beliau
menghancurkan tongkat di tangannya sembari membacakan ayat (yang
artinya), “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” (QS. Al Isra': 81).” (HR. Bukhari no. 2478 dan Muslim no. 1781).
Dan dari perkataan Syaikh rahimahullah dikatakan bahwa yang dihancurkan adalah patung orang sholih. Namun apakah patung tersebut itulah yang dimaksud untuk disembah atau patung itu hanya sebagai perantara dalam do’a?
Sudah dimaklumi bahwa patung tersebut bukanlah yang dituju dalam
ibadah. Sebenarnya yang dituju adalah ruh orang sholih tersebut, patung
tadi hanya sebagai perantara. Dari arwah orang sholih inilah yang nanti
akan menyampaikan ibadah orang musyrik tadi pada Allah. Sehingga dengan
melakukan taqorrub atau pendekatan diri barulah mengantarkan
pada ibadah mereka -orang musyrik- pada Allah. Itulah kesyirikan yang
terjadi di masa silam di tengah-tengah orang musyrik. Lihat penjelasan
Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Kasyfu Syubuhaat, hal. 53.
Jadi, jangan kira bahwa orang musyrik menyembah patung tersebut
secara langsung. Tidak sama sekali. Yang dimaksud adalah mereka hanya
menjadikan patung tersebut supaya sampai hajat mereka pada arwah orang
sholih dan nanti disampaikan pada Allah.
Wallahu a’lam. Semoga Allah meluruskan terus akidah kita
sesuai dengan pemahaman Al Qur’an dan Sunnah Shahihah. Hanya Allah yang
memberi hidayah demi hidayah.
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Syarh Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
- Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Dar Al Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
- Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi, tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Dr. ‘Abdullah At Turki, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.
4. Orang Musyrik Ternyata Rajin Ibadah
Kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri, ternyata orang musyrik juga rajin ibadah.
Lalu di mana salah mereka sehingga mereka tetap dinilai kafir? Mereka
beribadah pada Allah, namun juga di lain waktu beribadah kepada selain
Allah. Jadi mereka menduakan Allah dalam peribadatan, itulah maksud syirik yang sebenarnya.
Sama dengan pelaku kesyirikan saat ini, di antara mereka adalah orang
yang rajin ibadah, jidatnya “ireng” (hitam) atau bahkan sudah
menunaikan ibadah haji sampai berulang kali, juga bergelar pemuka atau
tokoh agama. Namun mereka telah salah jalan karena teganya menduakan
Allah dalam ibadah.
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
diutus di tengah-tengah kaum yang rajin ibadah, berhaji dan rajin
bersedekah serta rajin berdzikir pada Allah. Akan tetapi, mereka
menjadikan sebagian makhluk perantara antara diri mereka dengan Allah.
Mereka berkata, “Kami ingin mendekatkan diri pada Allah dan kami ingin
syafa’at mereka di sisi Allah.” Mereka yang dimintai syafa’at itu adalah
para malaikat, ‘Isa, Maryam, dan orang sholih lainnya.” (*)
Ini penggalan keempat dari pernyataan Syaikh Muhammad rahimahullah dalam risalah beliau Kasyfu Syubuhaat.
Orang Musyrik Ternyata Rajin Ibadah
Memang benar orang jahiliyah di masa silam adalah orang yang rajin
ibadah. Di antara mereka adalah orang yang rajin berpuasa, mereka pun
rajin shalat, mereka pun orang yang rajin berdo’a, bahkan mereka pun
berhaji. Mereka juga menunaikan zakat, sedekah, rajin menjalin hubungan
dengan kerabat (baca: silaturahim), dan suka berqurban. Mereka pun
mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan thawaf, menyendiri untuk
ibadah (tahannuts), i’tikaf, dan bersuci dari hadits besar serta selain
itu.
Mereka tidak hanya punya i’tiqod (keyakinan) bahwa Allah adalah
pencipta dan memiliki sifat-sifat rububiyah yang lain, itu saja. Namun
mereka juga beribadah pada Allah dengan shalat, zakat, haji dan puasa.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad rahimahullah bahwa mereka itu melakukan haji dan rajin bersedekah.
Orang Musyrik Bersuci dari Hadats
Orang Arab dahulu sudah dikenal bahwa mereka pun bersuci dari hadats
dan dari junub karena keluarnya mani. Ketika keadaan junub seperti itu
mereka menyingkir dari tempat ibadah. Junub pun berarti menjauh
sebagaimana ditemukan dalam ayat Al Qur’an,
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“dan tetangga yang jauh” (QS. An Nisa': 36). Tetangga dalam
ayat ini berarti jauh. Oleh karena itu, orang yang keluar mani kala itu
disebut dalam keadaan junub karena mereka dahulu diperintah menjauh dari
Ka’bah. Mereka menjauh dari tempat ibadah sampai mereka suci. Jadi
bersuci dari junub sudah ma’ruf di kalangan orang Arab termasuk kalangan
orang musyrik di masa silam.
Adapun bersuci dari hadats kecil, maka itu hanya terdapat pada
sedikit kelompok dari orang Arab dahulu. Begitu pula ditemukan bahwa
para wanita juga bersuci dari haidh. Ini pun sudah sangat dikenal di
masa silam. Intinya, orang Arab di masa silam sudah mengenal thoharoh
atau bersuci.
Orang Musyrik Juga Berpuasa
Orang musyrik di masa silam juga berpuasa dengan puasa yang berbeda
dengan yang kita lakukan. Sebagaimana diceritakan dalam hadits berikut,
عَنْ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ،
فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dahulu
orang Quraisy di masa Jahiliyah melakukan puasa ‘Asyura. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut. Ketika
beliau tiba di Madinah, beliau melakukan puasa ‘Asyura itu dan
memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Ketika puasa Ramadhan
diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura. Beliau pun mengatakan
bahwa siapa yang mau, ia bisa berpuasa. Siapa yang mau, ia bisa
meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 2002).
Orang Musyrik Melakukan Shalat dan I’tikaf
Orang musyrik juga melakukan shalat dengan ruku’ dan do’a yang mereka
menyebutnya dengan shalat. Itu sudah sangat ma’ruf di tengah-tengah
mereka. Namun dalam shalat tersebut tidak ada sujud. Begitu pula mereka melakukan i’tikaf dalam rangka ibadah. Sebagaimana hadits yang ma’ruf dari Ibnu ‘Umar,
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ
أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ « فَأَوْفِ
بِنَذْرِكَ »
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” (HR. Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656).
Begitu pula orang musyrik di masa silam biasa menyepi untuk melakukan ibadah (baca: tahannuts). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyepi untuk beribadah di goa Hira sehingga menerima wahyu.
Ibadah Lain yang Dilakukan Orang Musyrik
Sebagaimana Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan di atas
bahwa orang musyrik juga rajin sedekah. Orang musyrik pun rajin
berdzikir dengan memuji Allah sebagaimana ditemukan dalam sya’ir-sya’ir
Arab. Dan juga sudah sangat ma’ruf, orang musyrik melakukan haji dan
umrah di Baitullah.
Berbagai cerita di atas dapat dibuktikan dari kitab-kitab semacam Bulughul Arob karangan Al Alusi, Adyanul ‘Arob karya ‘Ali Al Jarim, dan juga kitab Tarikhul ‘Arob Al Mufashol Qoblal Islam.
Terus Apa Masalahnya?
Sebagaimana sudah terbukti bahwa orang -musyrik- Arab tidaklah jauh
dari ibadah. Ibadah yang mereka adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, sebagiannya lagi adalah dari ajaran Nabi Musa ‘alaihis salam.
Orang musyrik itu mengakui tauhid rububiyah, yaitu bahwa Allah adalah
pencipta, pemberi rezeki, penguasa jagad raya dan pengatur alam semesta.
Sebagaimana ayat yang membuktikan hal ini,
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit
dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah
“Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Yunus: 31).
Jadi masalahnya, bukanlah dalam keimanan pada rububiyah. Masalahnya
adalah mereka menduakan Allah dalam ibadah. Mereka menjadi hamba yang
bertauhid (muwahhid) dalam hal rububiyah dan bahkan mereka
adalah ahli ibadah. Namun hal itu tidak bisa menjadikan mereka sebagai
seorang muslim. Karena orang musyrik beribadah kepada Allah dan juga
beribadah kepada selain Allah. Mereka tidak mau beribadah kepada Allah
semata. Di samping Allah, mereka juga beribadah kepada berhala mereka
yang merupakan wujud orang sholih. Jadi, inti masalahnya karena orang musyrik itu menduakan Allah dalam ibadah. Itulah alasan kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerangi orang musyrik dan mengafirkan mereka. Dan bukan sama sekali,
orang musyrik menyembah Laata, ‘Uzza, Manat, dan lainnya karena mereka
adalah pencipta dan pemberi rezeki. Namun mereka menyembahnya hanya
sebagai perantara dan pemberi syafa’at.
Pembahasan di atas penulis sarikan dan kembangkan dari penjelasan Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh hafizhohullah dalam kitab beliau Syarh Kasyfi Syubuhaat.
Semoga Allah memberi kepahaman dan hidayah.
Referensi:
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Daril Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 53-58.
5. Orang Musyrik Mengikuti Ajaran Ibrahim?
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa orang musyrik ternyata mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Makanya kita melihat bahwa mereka adalah orang yang rajin ibadah dan
sedekah. Lalu salah mereka apa? Mereka telah menyekutukan Allah dalam
hal ibadah. Jadi, seorang muslim pun demikian, jika mereka rajin ibadah
namun terjerumus dalam syirik besar, maka amal ibadah mereka jadi
sia-sia. Yang terpenting adalah tauhid.
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengutus nabinya Muhammad untuk memperbaharui ajaran mereka, yaitu agar mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Beliau mengabarkan kepada kaumnya bahwasanya bentuk pendekatan dan
i’tiqod seperti yang mereka yakini hanya pantas dimiliki oleh Allah
saja. Tidak boleh satu pun ibadah ditujukan pada makhluk apa pun, baik
itu ditujukan pada malaikat yang didekatkan dan tidak pula pada nabi
yang diutus, apalagi selain dari keduanya” (*)
Point penting yang ingin disampaikan oleh Syaikh dalam penggalan kalimat di atas dari kitab beliau Kasyfu Syubuhaat
adalah ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah saja, tidak boleh pada
yang lainnya. Juga terdapat keterangan dari beliau bahwa Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus supaya mengajak kaumnya untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim yang lurus.
Ikutilah Ajaran Nabi Ibrahim
Orang musyrik Arab yang Rasul diutus di tengah-tengah mereka
sebenarnya mereka masih memiliki bekas-bekas ajaran Rasul sebelumnya.
Bukan berarti mereka sama sekali tidak mengikuti Rasul sebelumnya.
Bahkan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ada di tengah-tengah
mereka. Makanya jangan heran jika masih ada tersisa ajaran Nabi Ibrahim
seperti mandi junub, mandi suci setelah haidh bagi wanita, amalan
sedekah, do’a dan shalat. Lihat bahasan sebelumnya: Orang Musyrik Ternyata Rajin Ibadah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memurnikan
ajaran orang musyrik yang sudah tercampuri penyimpangan supaya
mengikuti ajaran nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ibrahim yang berada di
atas tauhid. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (121) وَآَتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَإِنَّهُ فِي الْآَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (122) ثُمَّ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (123)
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan
teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang
mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya
kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia.
Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang
saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (QS. An Nahl: 120-123).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaharui ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dalam ayat lain disebutkan,
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آَبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.”
(QS. Yasin: 6). Mereka orang-orang musyrik telah melupakan ajaran Nabi
Ibrahim kecuali saja sedikit dari mereka yang berada di atas ajaran
tauhid yang disebut dengan hunafa’.
Dan ajaran Ibrahim adalah ajaran tauhid dan selalu tunduk patuh pada Allah Ta’ala,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا
تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27)
وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
sembah. Tetapi (aku menyembah) Rabb Yang menciptakanku; karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan (lbrahim ‘alaihis
salam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada
keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”(QS. Az Zukhruf: 26-28). Jadi, ajaran Ibrahim adalah ajaran yang mengajak untuk beribadah pada Allah semata.
Ibadah Tidak Boleh Ditujukan pada Selain Allah
Inilah ajaran Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya ibadah hanyalah untuk Allah semata. Dalam hal istighotsah,
maka tidak boleh ada yang menujukkannya pada selain Allah dalam hal yang
hanya Allah yang mampu. Tidak boleh seseorang meminta tolong
diangkatnya musibah (istighotsah) melalui orang mati. Tidak boleh
istighotsah melalui arwah. Tidak boleh beristighotsah dengan makhluk
ghaib. Ibadah dan ketergantungan hati hanyalah untuk Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan sesembahanmu adalah Rabb Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan
(yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 163).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (QS. Al Isra': 23).
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah: 5).
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Hanya Allah yang memberi taufik pada jalan tauhid.
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Daril Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 71-74.
- Syarh ‘ala Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, terbitan Muassasah
6. Orang Musyrik Ternyata Mengenal Allah
Orang
musyrik ternyata mengenal Allah. Mereka bukanlah berpaham atheis, yang
tidak mengenal Tuhan dan pencipta. Namun mereka adalah orang yang
mengenal Allah sebagaimana pula mereka itu rajin ibadah.
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah melanjutkan pelajaran sebelumnya dengan berkata, “Orang-orang musyrik yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka mengakui bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, tidak ada
sekutu bagi Allah dalam hal mencipta. Tidak ada yang memberi rezeki
kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan melainkan
Allah. Tidak ada yang mengatur urusan di alam ini melainkan Allah.
Segala sesuatu yang berada di langit yang tujuh dan bumi yang tujuh,
juga yang berada di dalamnya tunduk pada Allah, menjadi hamba, berada di
bawah pengaturan dan kuasa Allah.
Jika engkau menginginkan dalil bahwa orang musyrik yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi itu bersaksi akan hal di atas, maka silakan baca firman Allah,
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit
dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Yunus: 31).
Begitu pula firman Allah,
قُلْ
لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84)
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ
السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ
لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ
شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada
padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang
Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak
bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab:
“Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan
manakah kamu ditipu?”.” (QS. Al Mu’minun: 84-89). Dan masih banyak ayat yang mulia yang menunjukkan demikian.
Jika telah terbukti bahwa mereka mengakui demikian, namun hal itu
tidaklah membuat mereka masuk ke dalam tauhid yang merupakan ajaran para
rasul dan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendakwahkannya.
Engkau pun tahu bahwa tauhid yang ditentang oleh orang musyrik adalah
tauhid ibadah yang mereka sebut di zaman kita dengan i’tiqod. Mereka
pun disamping mengenal Allah, juga dikenal rajin ibadah siang dan malam.
(*)
Inilah penggalan keenam dari kitab Kasyfu Syubuhaat karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang musyrik mengakui tauhid
rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki,
pengatur alam semesta, dan penguasa jagad raya.
Syaikh Sholih Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Pengakuan
orang musyrik terhadap tauhid rububiyah bukanlah pada satu level. Namun
kebanyakan umat yang Allah utus rasul di tengah-tengah mereka, tidak ada
yang mengingkari adanya pencipta. Tidak ada satu pun yang mengingkari
adanya Allah, Allah itu pencipta, pemberi rezeki, di mana Allah yang
mengatur alam yang mendatangkan maslahat bagi hamba. Jadi tidak ada satu
pun makhluk yang mengingkari sifat rububiyah Allah.” (Syarh Kasyfi Syubuhaat, hal. 79).
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Banyak
ayat menunjukkan bahwa orang-orang musyrik mengakui Allah yang
menciptakan bumi, menciptakan langit dan segala makhluk. Namun mereka
kafir karena meminta syafa’at dan mendekatkan diri pada Allah dengan
perantaraan orang-orang sholih. Mereka melakukan menyajikan tumbal
sembelihan dan nadzar pada orang sholih. Itulah yang membuat mereka
kafir.” (Syarh ‘ala Kitab Kasyfi Syubuhaat, hal. 10).
Jadi tidak cukup seseorang mengenal Allah. Haruslah ia juga
mentauhidkan Allah dalam ibadah dengan menujukan ibadah hanyalah bagi
Allah. Kalau seseorang memalingkan satu ibadah saja kepada selain Allah,
maka ia musyrik dan dihukumi kafir layaknya orang musyrik di masa
silam.
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Daril Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
- Syarh ‘ala Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, terbitan Muassasah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Al Khoiriyah, tahun 1430 H.
7. Sebab Orang Musyrik Diperangi
Kenapa
sampai orang musyrik diperangi? Apa karena mereka menyembah berhala?
Atau karena mereka menyekutukan Allah dalam ibadah yang ini disebut
syirik? Syirik ini yang masih terus laris manis hingga saat ini, semacam
kita lihat dari berbagai tradisi ruwatan, bersih desa yang ada di
beberapa daerah. Jika diletelusuri, tradisi syirik yang masih
dipertahankan semacam ini yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang musyrik.
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah kembali melanjutkan
perkataan beliau sebelumnya, “Kemudian di antara mereka ada yang
menyembah malaikat karena keshalihan dan kedekatan malaikat dengan
Allah. Mereka melakukan demikian supaya malaikat memberi syafa’at pada
mereka. Selain itu yang disembah juga adalah orang shalih seperti Laatta
atau seorang Nabi semisal ‘Isa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka
karena kesyirikan tersebut. Beliau mendakwahi mereka untuk memurnikan
ibadah hanya untuk Allah saja, Allah tidak dipersekutukan dengan yang
lainnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah)
Allah.” (QS. Al Jin: 18).
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan
berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka” (QS. Ar Ro’du: 14).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka
agar supaya menjadikan seluruh ibadah hanya untuk Allah, semua do’a
hanya ditujukan pada-Nya, seluruh sembelihan disajikan untuk Allah,
begitu pula ibadah nazar hanyalah untuk-Nya, juga istighotsah yaitu meminta diangkat musibah ditujukan pada Allah, serta ibadah lainnya ditujukan pada Allah.
Engkau tahu bahwa mengakui tauhid rububiyah (mengakui Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta) semata tidaklah memasukkan seseorang dalam Islam. Ketahui pula bahwa jika maksud dalam ibadah adalah malaikat, para nabi, para wali lalu dimintailah syafa’at dan maksud ibadah pada mereka supaya mendekatkan diri pada Allah, itulah sebenarnya sebab darah dan harta mereka jadi halal.
Ketahui pula bahwa tauhid inilah yang dibawa oleh para Rasul dan
inilah yang ditentang orang-orang musyrik.” Demikian yang dikatakan
selanjutnya oleh Syaikh Muhammad dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhaat.
Sesembahan Orang Musyrik Kembali pada Dua Alasan
Jika kita melihat dari apa yang dijelaskan oleh Syaikh rahimahullah
di atas, malaikat itu disembah karena dua alasan: (1) ia adalah ruh
yang suci, shalih dan tidak berbuat maksiat, (2) kedekatan malaikat
dengan Allah.
Di setiap waktu, orang-orang musyrik menyembah sesembahan mereka
dengan alasan yang sama seperti di atas yaitu karena ruhnya yang suci
dan kedekatannya dengan Allah. Inilah hakekat syirik dari masa ke masa
yaitu kembali kepada dua hal tersebut pada yang disembah.
Lalu apa tujuannya meminta kepada malaikat dan ruh yang shalih serta dekat pada Allah tersebut?
Kita dapat ambil pelajaran bahwa meminta pada malaikat dan lainnya
bukanlah karena mereka bisa memberi apa yang diminta secara langsung.
Namun meminta pada mereka karena mereka dapat memberikan syafa’at di
sisi Allah dan karena mereka begitu dekat pada Allah sehingga permintaan
mereka tidak mungkin ditolak. Inilah yang nyata terjadi pada
orang-orang musyrik di masa silam sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” (QS. Az Zumar: 3). Jadi
bukanlah yang dimaksud adalah orang musyrik di masa silam disebut
berbuat syirik karena mereka meminta pada selain Allah secara langsung.
Itu bukanlah syarat. Namun tujuan orang musyrik dalam beribadah pada
selain Allah adalah untuk mendekatkan diri mereka pada Allah. Itulah
yang nyata terjadi saat ini pada pengagum ritual atau tradisi syirik
sebagaimana yang kami maksudkan di awal tulisan ini.
Jadi kesyirikan yang terjadi pada sesembahan yang beragam mulai dari
orang shalih yang telah mati, para nabi, Husain, Zainab, Badawi, ‘Abdul
Qodir Al Jailani, semuanya disembah karena alasan keshalihan dan
kedekatan diri mereka pada Allah.
Rasul Memerangi Orang Musyrik
Kenapa Rasul sampai memerangi orang Quraisy? Jawabnya, karena mereka
telah berbuat syirik. Karena mereka telah beribadah kepada selain Allah
dengan menjadikan mereka sebagai perantara atau bertawassul pada mereka.
Jadi bukanlah mereka meminta kepada orang shalih dan selain Allah
secara langsung. Lihatlah kesyirikan yang terjadi di masa silam seperti
yang disebutkan dalam ayat,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” (QS. Az Zumar: 3). Inilah sebab mengapa sampai Rasul memerangi mereka.
Ini berarti kita diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada
Allah semata. Sedangkan kesyirikan itu sudah teramat jelas yaitu
memalingkan salah satu ibadah pada selain Allah. Siapa saja yang berbuat
syirik, maka terhapuslah amalnya walaupun ia makhluk yang paling mulia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (65) بَلِ
اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ (66)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya
akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Az Zumar: 65-66).
Referensi:
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
- Syarh Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H.
8. Para Cendekia yang Jauh dalam Memahami Tauhid
Ternyata
para cendekia yang dikira cerdas masih jauh dari pemahaman akidah yang
benar. Mereka menafsirkan kalimat tauhid yang menjadi pokok Islam dengan
pemahaman keliru dan mereka pun hanya tahu bahwa kalimat laa ilaha
illallah hanya cukup di lisan. Sayang seribu sayang, apa yang mereka
yakini benar-benar jauh dari hakikat Islam sebenarnya. Mereka pun jauh
kalah dari orang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tahu makna laa ilaha illallah sehingga mereka pun enggan
mengucapkannya karena paham akan konsekuensi kalimat tersebut.
Syaikh Muhammad At Tamimi berkata dalam risalah akidahnya,
Tauhid itulah makna dari kalimat laa ilaha illallah (tidak ada ilah
yang disembah selain Allah). Dalam persepsi orang musyrik, yang dimaksud
ilah adalah sesuatu yang di mana suatu ibadah ditujukan padanya, baik
itu malaikat, nabi, wali, pohon kubur dan jin.
Jadi jangan salah paham, orang musyrik itu sebenarnya masih meyakini
Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta
sebagaimana pernah diterangkan sebelumnya. Ilah yang dianggap oleh orang
musyrik di masa silam sama dengan sebutan as sayyid oleh kalangan Arab kala ini. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka pada kalimat tauhid “laa ilaha illallah”.
Yang dituntut dari kalimat laa ilaha illallah bukan hanya dilafazhkan. Yang terpenting adalah memahami maknanya.
Orang kafir yang bodoh saja mengetahui bahwa maksud kalimat laa ilaha
illallah adalah mengesakan Allah dengan menggantungkan hati pada-Nya,
mengkufuri segala sesuatu yang disembah selain Allah dan berlepas diri
dari sesembahan tersebut. Ketika mereka diajak, “Ucapkanlah laa ilaha
illallah”. Mereka berkata,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5).
Jika telah diketahui bahwa orang musyrik di masa Nabi mengetahui
seperti itu. Maka sungguh aneh, jika ada yang mengaku Islam namun tidak
mengetahui tafsiran kalimat laa ilaha illallah yang telah dikenal orang
kafir. Bahkan disangka bahwa laa ilaha illallah hanyalah diucapkan di
lisan saja, tanpa meyakini maknanya di dalam hati. Juga disayangkan
kalangan cendekiawan yang mengaku Islam malah menafsirkan laa ilaha
illallah dengan tidak ada pencipta, pemberi rezeki, pengatur urusan
selain Allah semata.
Tidak ada kebaikan bagi orang seperti itu, yang orang kafir yang
bodoh saja paham mengenai makna laa ilaha illallah dibanding dirinya.
Demikian apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam
kitabnya Kasyfu Syubuhaat.
—
Orang Musyrik Paham Tauhid Rububiyah
Jadi point penting yang ingin disampaikan oleh Syaikh Muhammad bahwa
orang musyrik di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini tauhid
rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah itu pencipta, pemberi rezeki dan
pengatur alam semesta.
Jenis tauhid yang diingkari orang musyrik adalah tauhid ibadah, yaitu
bahwa setiap ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah. Tidak boleh
ibadah tersebut ditujukan pada orang selain-Nya. Beda halnya dengan
orang musyrik yang melegalkan bergantungnya hati pada orang sholeh
seperti Laata, para nabi seperti ‘Isa, begitu pula bergantung pada pohon
dan batu. Mereka menjadikan selain Allah tersebut supaya mendapatkan
syafa’at. Sehingga mereka yakini bahwa beristighotsah (meminta diangkat
dari musibah), menyembelih, dan bernadzar kepada ‘Uzaa, Manat, Laata,
Isa, Maryam dan selainnya sah-sah saja. Oleh karena itu, mereka
mengingkari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintah hanya beribadah kepada satu sesembahan saja.
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5).
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ) بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” Sebenarnya dia
(Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul
(sebelumnya).” (QS. Ash Shaffaat: 36-37). (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Syarh Ibnu Baz ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 14-15)
Makna Kalimat Laa Ilaha Illallah
Laa ilaha ilallah tidak tepat dimaknakan dengan makna rububiyah.
Bukan maknanya adalah tidak ada pencipta dan pemberi rezeki kecuali
Allah. Memang benar Allah itu Pencipta dan Pemberi Rezeki. Namun makna
laa ilaha illallah bukanlah yang dituntut seperti itu. Syirik yang
terjadi adalah karena penyimpangan dalam tauhid uluhiyah (tauhid
ibadah).
Makna laa ilaha illallah sendiri yang tepat adalah,
لا معبود بحق إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah“.
Konsekuensi dari kalimat tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah
dan meninggalkan ibadah selain-Nya. Maksud dari kalimat laa ilaha
illallah adalah memahami maknanya dan menjalankan konsekuensinya.
Siapa yang mengucapkan kalimat tersebut namun masih menyembah kepada
selain Allah, maka ia berarti tidak benar menjalankan konsekuensi
kalimat tersebut. Padahal konsekuensi kalimat laa ilaha illallah adalah
harus meninggalkan kesyirikan. Tidak manfaat jika kalimat tersebut hanya
diucap. Kalau orang musyrik di masa silam mengetahui maksud kalimat laa
ilaha illallah dan mereka tahu kalimat tersebut bukan hanya di lisan.
Oleh karena itu, orang-orang musyrik itu mengatakan,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). (Lihat Syarh Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 44-45).
Kebodohan Para Cendekiawan Muslim
Sebagaimana kata Syaikh Muhammad At Tamimi, orang musyrik di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu termasuk orang yang bodoh
kalangan mereka, itu saja tahu makna kalimat laa ilaha illallah. Maksud
kalimat tersebut adalah hanya menujukan ibadah murni pada Allah. Karena
tahu maknanya, mereka tidak mau meninggalkan sesembahan-sesembahan
mereka. Mereka terus melestarikan budaya syirik.
Namun sayang seribu sayang, berbeda jauh dengan kalangan cendekiawan
muslim saat ini, mereka tidak mengetahui makna kalimat tauhid dan
konsekuensinya. Konsekuensinya tentu saja meninggalkan berbagai bentuk
ibadah pada kubur, ibadah hanyalah murni pada Allah. Tidak mungkin kedua
hal yang kontradiksi ini bersatu.
Benarlah kata Syaikh Muhammad bahwa orang kafir yang bodoh pun lebih
pandai dari para cendekiawan yang mengaku Islam. Karena yang diyakini
oleh para cendekia bahwa kalimat laa ilaha illallah cukup hanya di
lisan. Jadinya, siang dan malam masih legal dan laris doa meminta pada
orang yang sudah mati.
Jika orang yang cerdas seperti cendekia saja seperti itu, bagaimana lagi dengan orang yang awam lagi bodoh?
Benarlah kata guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan bahwa itulah karena
kurang perhatian pada dakwah tauhid, hanya ikut-ikutan saja mewariskan
budaya nenek moyang turun temurun. Islam hanyalah sekedar keturunan
tanpa ingin mengetahui hakekat Islam yang sebenarnya. (Lihat Syarh Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal. 48).
Wallahul musta’an.
Referensi:
- Syarh Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ‘ala Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, terbitan Muassasah ‘Abdul ‘Aziz Al Khoiriyyah.
- Syarh Kitab Kasyfi Syubuhaat, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1422 H.
- Kitab Kasyfu Syubuhat, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, naskah bersanad dari guru kami Syaikh Sholih bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, dalam Muqorrorot Barnamij Muhimmatul ‘Ilmi, cetakan ketiga, 1434 H.
Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Disalin dari Ebook Offline Rumaysho.Com yang dapat Anda download disini.
Baca Artikel yang Membahas Kalimat Syahadat :
- Kalimat Syahadat dalam Sorotan
- Keutamaan dan Syarat "Kalimat Laa Ilaha Illallah"
- Makna Syahadatain
- Menyoal Pemaknaan Syahadat
- Kalimat Syahadat Dalam Sorotan [2]
- Sudah benarkah Syahadat Laa ilaaha illallah saya?
- Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuensi Dan Yang Membatalkannya
- Hakikat Persaksian “Asyhadu allaa ilaaha illalloh”
- Hakikat Persaksian "Anna Muhammadar Rosulullah"
0 komentar:
Posting Komentar