Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam,
Lc.
1. Kebodohan
Kebodohan adalah musibah yang
besar menimpa kehidupan manusia, dan menjadikannya terjerumus kedalam berbagai
macam penyimpangan dan kesesatan, seorang penya’ir berkata[1],
Kebodohan sebelum maut adalah kematian untuk pemiliknya.Dan badan mereka menjadi kuburan sebelum dikuburkan.Roh mereka tidak tenang di dalam jasad mereka.Tidak ada tempat kembali walaupun hari nusyur.
Berilmu tentang hukum suatu ibadah
adalah syarat sah niat sehingga ketika seorang hamba beribadah ia dapat
menentukan (ta’yin) niatnya dengan benar, maka bila ia tidak mengetahui hukum
sebuah ibadah; wajibkah atau sunahkah, tentu ia tidak dapat menta’yinnya dengan
benar terlebih jika ibadah tersebut disyaratkan padanya menta’yin niat
sebagaimana telah kita jelaskan di bab yang pertama.
Oleh karena itu kewajiban setiap
hamba adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang hendak ia laksanakan, agar ia
dapat beribadah kepada Allah dengan benar dan sesuai dengan apa yang
disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ilmu adalah obat penawar penyakit bodoh, maka menuntut ilmu adalah kewajiban
bagi orang yang terkena penyakit seperti itu.
2. Waswas setan
Setan berusaha mengggoda anak Adam
dan menjerumuskannya kepada jurang Hawiyah, dengan berbagai macam cara ia
menggoda manusia diantaranya adalah dengan waswas.
Ibnu Qayim rahimahullah
berkata: “Tempat niat adalah hati dan tidak hubungan dengan lisan sama sekali,
oleh karena itu tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pula dari para shahabat melafadzkan niat tidak pula kita mendengar mereka
menyebutkanya. Bacaan-bacaan yang diada-adakan sebelum bersuci dan shalat ini
menjadi makanan empuk setan untuk menggoda ahli waswas, setan menahan mereka dan
menyiksanya sehingga engkau lihat salah seorang dari mereka mengulang-ulang niat
dan menyusahkan dirinya untuk melafadzkannya, padahal ia bukan bagian dari
shalat sama sekali”.[2]
Syaikhul islam rahimahullah
berkata: “Diantara mereka ada yang melakukan sepuluh bid’ah yang tidak pernah
dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak juga seorangpun
dari shahabat, yaitu mengucapkan: “Audzubillahi
minasyaithanirrajim nawaitu ushalli shalatadzuhri faridlotalwaqti adaan lillahi
Ta’ala imaman au ma’muman arba’a raka’at mustaqbilal qiblah”. Yang artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk, aku berniat melakukan shalat dzuhur kewajiban waktu itu karena
Allah Ta’ala sebagai imam atau makmum 4 raka’at dengan menghadap kiblat”. Lalu
ia menguatkan anggota tubuhnya, mengkerutkan dahinya, dan menegangkan urat
lehernya, kemudian berteriak bertakbir seakan-akan meneriaki musuh. Padahal bila
ia memeriksa sepanjang umur Nabi Nuh ‘Alaihissalam apakah perbuatan tersebut
pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau seorang saja dari
shahabat tentu ia tidak akan mendapatkannya kecuali jika ia mau berani berdusta.
Kalaulah hal itu baik tentu mereka telah mendahului dan menunjukkan kita
kepadanya”.[3]
Untuk menyingkap talbis iblis ini
kita katakan kepada orang yang terkena waswas tersebut: “Jika engkau ingin
menghadirkan niat maka niat itu sebenarnya telah hadir karena engkau telah
berdiri untuk melaksanakan kewajiban dan itu adalah niat sedangkan niat
tempatnya di hati bukan lafadz[4], maka orang yang duduk untuk berwudlu berarti ia telah berniat
wudlu, orang yang berdiri untuk shalat berarti ia telah berniat shalat, dan
orang yang berakal akan berfikir bahwa semua perbuatan ibadah tidak mungkin
dilakukan dengan tanpa niat, karena niat itu selalu menyertai perbuatan manusia
yang bersifat ikhtiyari (dibawah kehendak manusia) tidak perlu bersusah payah
untuk menghasilkannya, bahkan bila ia ingin mengosongkan perbuatannya yang
bersifat ikhtiyari tentu ia tidak akan mampu, kalaulah Allah memberi beban untuk
berwudlu tanpa niat tentu ia adalah beban yang tak akan ada orang yang mampu
melakukannya, maka jika keadaannya demikian lalu mengapa harus bersusah payah
untuk menghasilkan niat ?! dan jika ia merasa ragu apakah terhasilkan niatnya
atau tidak maka ini adalah macam penyakit gila, karena pengetahuan manusia
tentang dirinya adalah perkara yang bersifat yakin.[5]
Dihikayatkan dari ibnu ‘Aqil bahwa
ada seseorang bertemu dengannya dan bertanya: “Aku mencuci anggota tubuhku namun
aku merasa belum mencucinya, dan aku bertakbir namun aku merasa belum bertakbir
? ibnu ‘Aqil rahimahullah menjawab: “Kalau begitu tinggalkan shalat karena tidak
wajib bagimu”. Ada orang berkata: “Mengapa engkau mengatakan demikian ? beliau
menjawab: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diangkat pena dari orang
gila sampai ia waras”. Dan orang yang bertakbir namun ia merasa belum bertakbir
bukanlah orang yang berakal, sedangkan orang gila tidak wajib sholat”.[6]
3. Penyakit Hati
Hati adalah segumpal darah yang
menentukan anggota badan manusia, jika ia baik maka seluruh tubuhnya akan baik
dan jika buruk maka anggota tubuh lainnya pun akan menjadi buruk. Buruknya hati
akan menimbulkan keinginan-keinginan yang buruk dan keinginan yang buruk
tersebut akan menimbulkan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, di antara perkara yang
dapat merusak niat adalah:
- Cinta Dunia
Manusia diciptakan oleh Allah dengan tabiat
mencintai dunia, Allah Ta’ala
berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dihiaskan kepada
manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa wanita, anak-anak, harta benda
yang bertumpuk berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah
ladang.” (QS. Ali Imran: 14).
Cinta dunia yang berlebihan menjadikan manusia
lupa akan tujuan hidupnya dengan timbulnya niat meraih kesenangan dunia dari
amalan shalihnya, sehingga menjadikan amalannya tidak diterima oleh Allah
Ta’ala dan di akhirat tidak
mendapatkan apa-apa kecuali neraka.
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لاَيُبْخَسُونَ {15} أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ
النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
{16}
“Barang siapa
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas
pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan
sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).
Imam Qatadah rahimahullah berkata, “Barang siapa yang
niat dan tujuannya hanya mencari dunia, Allah akan memberikan balasan
kebaikannya di dunia saja, kemudian ia kembali ke akhirat dengan tanpa membawa
pahala sedikit pun, adapun seorang mukmin (yang ikhlas) maka kebaikannya dibalas
di dunia dan di akhirat.”[7]
Amalan manusia karena mengharap kehidupan dunia
bervariasi di antaranya:
- Pertama: amalan shalih yang dilakukan oleh banyak orang dengan mengharapkan keridhaan Allah berupa shadaqah, shalat, berbuat baik kepada manusia dan lain-lain, atau meninggalkan kezaliman dan kemaksiatan yang ia tinggalkan dengan ikhlas karena Allah, namun ia tidak menginginkan pahalanya di akhirat akan tetapi ia menginginkan agar Allah membalasnya dengan dijaga dan ditambah hartanya, dijaga keluarganya, dilanggengkan kenikmatannya, dan ia tidak mempunyai keinginan mencari balasan di surga atau lari dari api neraka, maka orang ini hanya diberikan balasan amalannya di dunia saja sedangkan di akhirat ia tidak mendapat apa-apa. Ini adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
- Kedua: yang disebutkan oleh Imam Mujahid bin Jabr yaitu amalan shalih yang dicampuri dengan riya’ bukan mencari pahala akhirat, amalan seperti ini lebih berat dan menakutkan dari yang pertama.
- Ketiga: amalan shalih yang tujuannya adalah meraih harta, seperti orang yang haji dengan tujuan berbisnis dan bukan karena Allah atau berhijrah karena ada dunia yang ingin ia capai, atau karena wanita yang ingin ia nikahi atau berjihad karena ingin mendapat ghanimah.
- Keempat: amal shalih yang diniatkan padanya dua hal; karena Allah dan karena ingin meraih keinginan dunia, maka hukumnya untuk yang lebih kuat. [8]
Kewajiban seorang hamba adalah menyelamatkan
dirinya dari tipu daya setan ini dengan memahami hakikat kehidupan dunia yang
fana dan tidak kekal, kesenangannya adalah menipu dan kemewahannya tidak
berharga di sisi Allah sedikit pun, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللهِ
جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا أَعْطَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةً مِنْ مَاءٍ.
“Kalaulah dunia itu
berharga di sisi Allah seharga sayap nyamuk, Allah tidak akan memberi minum
orang kafir setegukpun.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah).[9]
Oleh karena itu, Allah mengingatkan kita
tentang hakikat kehidupan dunia dalam ayat yang banyak agar manusia ingat bahwa
dunia bukanlah tujuan kehidupan seorang hamba dan bukan sesuatu yang kekal,
Allah Ta’ala
berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِب
وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ
وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ
فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ
الْغُرُورِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan
dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak
keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.” (QS. Al Hadid: 20).
- Cinta Pujian dan Ketenaran
Yang paling ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
umatnya adalah penyakit riya’ beliau bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ
الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ
قَالَ الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى
الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ
بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ
جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan
kepada kalian adalah syirik kecil.” Mereka berkata, “Apa itu syirik kecil wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “Riya, Allah akan berfirman kepada mereka pada
hari manusia dibalas amalan mereka “Pergilah kepada orang yang kalian harapkan
pujian di dunia dan lihatlah apakah kalian mendapatkan pahala dari mereka!!”
(HR. Ahmad).[10]
Penyakit ini sangat merusak niat seorang hamba
dan menjadikannya terombang-ambing di lautan yang tak bertepi, ia telah
memposisikan dirinya sebagai orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam api
neraka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ
فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى
اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ
قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ
فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ
الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ
تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ
قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ
فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ
الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا
عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا
إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ
جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ
فِي النَّارِ
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadzab
pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid, lalu ia didatangkan menghadap
Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah
berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia menjawab, “Aku berperang di
jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu
berperang agar disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.” Lalu orang itu
diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api
neraka. Dan orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca
Alquran, ia didatangkan menghadap Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya
dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia
menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan membaca Alquran karena Engkau.” Allah
berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar disebut ulama dan
membaca Alquran agar disebut qori dan telah dikatakan demikian kepadamu.” Lalu orang itu
diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api
neraka. Dan orang yang Allah luaskan rezekinyanya dan diberi segala macam harta.
Lalu ia didatangkan menghadap Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya dan
ia pun mengakuiya. Allah berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia
menjawab, “Tidak ada satu pun jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan padanya,
kecuali aku telah menginfakkannya karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta,
akan tetapi kamu berbuat itu agar disebut dermawan dan telah dikatakan demikian
kepadamu.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai
dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim).[11]
Niat menjadi rusak dengan adanya riya, karena
ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala sehingga ia berhak mendapatkan
sanksi dari Allah Ta’ala.
Seorang hamba wajib bersungguh-sungguh untuk berjuang melawannya dengan memohon
perlindungan kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya dan menjihadi dirinya agar
senantiasa ikhlas dalam beribadah.
- Tamak kepada Harta dan Kedudukan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa tamak kepada harta
dan kedudukan lebih berbahaya dari pada dua ekor serigala lapar, beliau
bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ
بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ
لِدِينِهِ
“Tidaklah dua
serigala lapar dilepaskan kepada seekor kambing lebih berbahaya dari rakusnya
seseorang kepada harta dan kedudukan melalui agamanya.”
(HR. Tirmidzi).[12]
Karena orang yang rakus kepada harta dan
kedudukan seringkali menjadikan pelakunya melecehkan batasan-batasan Allah
Ta’ala, tidak peduli apakah
jalan yang ditempuhnya halal atau haram, bahkan ia pun berani memusuhi
hamba-hamba Allah yang shalih bila ternyata menjadi aral untuknya dalam meraih
dunia yang ia inginkan. Lebih-lebih rakus terhadap kedudukan, ia lebih berbahaya
daripada rakus terhadap harta, karena pelakunya mendapatkan kelezatan lebih dari
sekedar harta namun juga kehormatan dan ketundukan manusia kepadanya. Oleh
karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang kita untuk meminta jabatan, beliau
bersabda,
لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ
مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Janganlah engkau
meminta jabatan, karena sesungguhnya jika engkau diberikan jabatan karena
memintanya, maka engkau tidak akan dibantu namun diserahkan pada dirimu, dan
jika engkau diberi jabatan karena engkau tidak memintanya maka engkau akan
dibantu (oleh Allah).” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dan yang lebih berat lagi adalah orang yang
mencari kedudukan dunia melalui agamanya, dimana ia membela kepentingan dirinya
di balik kedok agama, celakanya lagi ia berdalih dengan kaidah-kaidah syariat
untuk membenarkan dirinya, sehingga agama menjadi permainan hawa nafsunya.
Cobalah engkau lihat berapa banyak bid’ah dihalalkan untuk mencari suara lalu
berdalih bahwa ini adalah keadaan darurat atau mashlahatnya besar atau seribu
alasan lainnya, sunnah pun dilecehkan bahkan dianggapnya sebagai batu sandungan
yang dapat menghalangi jalannya. Allahul
musta’an
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Telah menjadi jelas
bahwa cinta harta dan kedudukan dan rakus kepada keduanya dapat merusak agama
seseorang sehingga tidak tersisa darinya kecuali apa yang Allah kehendaki
sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dan asal cinta harta dan kedudukan adalah
cinta dunia, dan asal cinta dunia adalah mengikuti hawa nafsu. Wahb bin Munabbih
rahimahullah berkata, “Dari mengikuti hawa nafsu timbullah cinta dunia, dan dari
cinta dunia timbullah cinta harta dan kedudukan, dan dari cinta harta dan
kedudukan timbullah menghalalkan apa-apa yang haram.”[13]
4. Fitnah Syubhat dan Syahwat
Syubhat dan syahwat adalah dua penyakit yang
sangat merusak niat, adanya bid’ah dalam niat adalah akibat syubhat dan niat
yang tidak ikhlas adalah akibat syahwat, dua macam fitnah ini dikumpulkan dalam
sebuah ayat,
كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ
مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ
فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم
بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أَوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Keadaan orang munafik dan musyrikin) seperti
orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat dari pada kamu dan lebih banyak
harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya dan kamu telah
menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang sebelum kamu menikmati bagiannya dan
kamu tenggelam mempercakapkan (kepada hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka
tenggelam mempercakapkannya.” (QS. At Taubah:
69).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Dan kamu telah
menikmati bagianmu, maksudnya kamu menikmati bagianmu dari dunia dan syahwatnya.
Dan kamu tenggelam mempercakapkan, maksudnya tenggelam mempercakapkan kebatilan
yaitu syubhat. Allah Ta’ala
mengisyaratkan dalam ayat ini kepada apa yang dapat merusak hati dan agama
berupa bersenang-senang dengan syahwat dan tenggelam dalam kebatilan, karena
rusaknya agama dapat terjadi dengan adanya keyakinan yang batil atau beramal
tidak sesuai dengan ilmu yang shahih.”[14]
Adapun obat syubhat adalah dengan mencari ilmu
yang shahih dan memurnikan mutaba’ah terhadap Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhukum
dengannya dalam perkara besar maupun kecil dari urusan agama ini. Dan obat
syahwat adalah dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan siksaan-Nya yang pedih serta
memahami tentang hakikat kehidupan dunia ini sebagaimana telah kita
sebutkan.
_______
[1] Lihat ighatsatulahafan hal. 26. Tahqiq Majdi Fathi
Sayid.
[2] Ighatsatulahafan hal 145.
[3] Ighatsatulahafan hal 146.
[4] Talbis iblis ibnul Jauzi hal 155.
[5] Ighatsatulahafan hal 145.
[6] Talbis iblis hal 155.

[7] Tafsir ibnu Katsir 4/217.
[9] Musnad ibnu Abi Syaibah, 2:424 no.963 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Silsilah Shahihah, no.686.
[11] Muslim 3:1513 no 1905.
0 komentar:
Posting Komentar