al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah Inilah dunia sebagai tempat mihnah (ujian) dan cobaan. Dan sungguh Allah Subhanahu wata’ala telah menyifati jiwa manusia dalam al-Qur’an dengan tiga sifat:
- al-Muthma’innah (jiwa yang tenang)
- al-Ammaarah bi as-suu’ (jiwa yang suka menyuruh kepada perkara buruk)
- al-Lawwaamah (jiwa yang suka mencela)
1. al-Muthma’innah (jiwa yang tenang)
Maka apabila jiwa merasa tentram kepada Allah Ta’ala, tenang dengan mengingat-Nya, dan bertaubat kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan menghibur diri dengan dekat kepada-Nya, maka itulah nafsu muthma’innah (jiwa yang tenang). Itulah jiwa yang dikatakan kepadanya tatkala wafat (meninggal dunia),
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ, ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-30)Ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّة
“Wahai jiwa yang tenang.” (al-Fajr: 27)Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu: “Wahai jiwa yang membenarkan.”
Qatadah berkata, “Ia adalah jiwa yang beriman, jiwanya tenang kepada apa-apa yang dijanjikan Allah Tabaroka wata’ala.”
al-Hasan berkata, “Jiwanya tenang dengan apa-apa yang difirmankan Allah Tabaroka wata’ala dan membenarkan dengan apa-apa yang difirmankan-Nya.”
Mujahid berkata, “Ia adalah jiwa yang kembali tunduk, ia adalah jiwa yang yakin bahwasanya Allah adalah Rabbnya, ia merasa tenang dengan perintah-Nya dan dengan mentaati-Nya, serta dia yakin akan perjumpaan dengan-Nya.” (ad-Durrul Mantsur, 8/513-514)
Adapun hakikat jiwa yang tenang yaitu as-Sukuun wa al-Istiqraar (diam dan menetap). Yakni jiwa itu benar-benar tenang kepada Rabbnya dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan mengingat-Nya, dan tidak tenang kepada selain-Nya. Maka sungguh jiwa itu tenang dengan mencintai-Nya, menjalankan ibadah-beribadah, dan berdzikir kepada-Nya. Jiwa itu tenang dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Jiwa itu tenang kepada perjumpaan dengan-Nya dan janji-janji-Nya. Jiwa itu tenang dengan membenarkan dengan sebenar-benarnya akan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Jiwa itu tenang dengan ridha bahwasanya Allah adalah Rabb, Islam adalah diin, dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Jiwa itu tenang dengan qadha dan qadar (takdir baik dan takdir buruk).
Maka jiwa itu tenang dengan Allah bahwasanya Dia adalah satu-satunya Rabbnya, Ilahnya, sesembahannya, rajanya, dan penguasa seluruh perintah, dan kepada-Nya ia akan dikembalikan, dan bahwasanya tiada kecukupan baginya selain dari-Nya walaupun sekejap mata.
2. al-Ammaarah bi as-suu’ (jiwa yang suka menyuruh kepada perkara buruk)
Adapun kebalikan daripada itu maka ia adalah nafsu ammarah bis suu’ (jiwa yang suka menyuruh kepada perkara buruk). Ia memerintah pemiliknya dengan apa-apa yang sesuai dengan hawa nafsunya berupa syahwat-syahwat yang menyesatkan (maksiat) dan mengikuti kebathilan (paham yang menyimpang). Dan itulah tempat segala keburukan.
Jika dia mentaatinya (mengikuti keinginan hawa nafsunya), maka jiwa itu akan menuntunnya pada setiap keburukan dan setiap suatu yang dibenci.
Allah Subhanahu wata’ala mengkabarkan jiwa itu sebagai nafsu ammarah (banyak memerintah) bis suu’, Dia tidak mengatakan amirah (yang memerintah), karena begitu banyaknya keburukan yang diperintahkan. Dan itulah kebiasaan dan adatnya, kecuali jika Allah Suhanahu wata’ala merahmati dan menjadikannya bersih, sehingga memerintahkan pemiliknya pada kebaikan. Yang demikian itu dari rahmat Allah, bukan dari jiwa itu, karena sesungguhnya jiwa itu secara dzatnya banyak memerintah pada keburukan.
Manusia diciptakan pada asalnya dalam keadaan bodoh dan zhalim, kecuali orang yang dirahmati Allah Azza wajalla. Sedangkan ilmu dan keadilan (lawan dari bodoh dan zhalim) merupakan perkara yang muncul belakangan atas jiwa tersebut disebabkan oleh ilham Rabb dan Pencipta-nya. Maka jika Allah Subhanahu wata’ala tidak memberi ilham berupa jalan petunjuk, niscaya dia akan tetap berada dalam kezhaliman dan kebodohannya. Karena tidaklah banyak memerintah pada keburukan kecuali akibat dari kebodohan dan kezhalimannya. Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah Azza wajalla atas orang-orang beriman, niscaya tak seorang pun yang memiliki jiwa yang bersih.
Apabila Allah Subhanahu wata’ala menghendaki kebaikan pada suatu jiwa maka Dia menjadikan di dalamnya sesuatu yang membersihkan dan memperbaikinya berupa keinginan-keinginan yang baik dan daya tangkap (terhadap al-haq). Namun jika Allah Subhanahu wata’ala tidak menghendaki yang demikian maka Dia membiarkan jiwa itu seperti keadaan ketika diciptakannya, dengan kebodohan dan kezhalimannya.
Kezhaliman disebabkan bisa karena (al-jahl) kebodohan atau karena hajat (keinginan). Dan pada asalnya jiwa manusia itu bodoh dan tidak bisa lepas dari keinginan. Oleh karena itu perintah jiwanya yang mengajak kepada keburukan tentu saja suatu hal yang pasti terjadi, jika ia tidak mendapatkan rahmat dan karunia Allah Azza wajalla (dengan ilmu dan keadilan).
Dari sini kita mengetahui, bahwasanya teramat butuhnya seorang hamba kepada Rabbnya di atas segala kepentingan, dan tidak ada suatu kepentingan pun yang bisa diukur dengannya. Maka, jika Allah Subhanahu wata’ala menahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sekejap saja, niscaya ia akan merugi dan binasa.
3. al-Lawwaamah (jiwa yang suka mencela)
Adapun kata lawwaamah, ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang akar katanya. Apakah ia dari kata talawwum (berubah-ubah sikap dan bimbang) atau dari kata al-laum (tercela)? Dan ungkapan-ungkapan ulama salaf di antara dua makna tersebut. (Lihat ad-Durrul Mantsur 8/343)
Sa’id bin Jubair Radhiallahu’anhu berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas apakah al-lawwamah itu?” Beliau Radhiallahu’anhuma menjawab, “Yaitu jiwa yang banyak mencela.”
Mujahid berkata, “Ia adalah jiwa yang sangat menyesali apa yang telah lalu dan mencela atasnya.”
Qatadah berkata, “Ia adalah jiwa yang jahat.”
Ikrimah berkata, “Ia adalah jiwa yang mencela atas kebaikan dan keburukan.”
Berkata Atha’ dari Ibnu Abbas, “Setiap jiwa akan mencela dirinya pada Hari Kiamat. Orang yang berbuat baik mencela jiwanya mengapa ia tidak menambah kebaikannya, sedangkan orang yang berbuat keburukan mencela jiwanya mengapa ia tidak berhenti dari kemaksiatannya.”
Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya seorang Mukmin itu –demi Allah- tidaklah engkau melihatnya melainkan dia selalu mencela jiwanya pada setiap keadaan. Ia selalu merasa kurang dengan apa yang ia kerjakan, sehingga ia menyesal dan mencela jiwanya. Adapun orang faajir (yang tenggelam dalam maksiat), ia tetap melenggang terus dengan tidak pernah mencela jiwanya.”
Demikianlah beberapa ungkapan dari para ulama yang berpendapat bahwa al-lawwamah berasal dari kata al-laum (mencela).
Adapun mereka yang berpendapat bahwa al-lawwamah berasal dari talawwum dikarenakan jiwa itu selalu bimbang dan sering berubah-ubah, dan bahwa ia tidak tetap dalam satu keadaan.
Namun pendapat pertama nampaknya lebih jelas. Karena kalau makna kedua yang dimaksud, niscaya menjadi al-mutalawwimah. Seperti kata al-mutalawwinah wal mutaraddidah (yang berubah-ubah dan selalu bimbang). Hanya saja ia selalu menyertai makna sebagaimana disebutkan dalam pendapat pertama. Karena begitu seringnya ia berubah-ubah dan tidak tetap pada satu keadaan menjadikan dirinya melakukan sesuatu yang kemudian ia mencela atasnya. Jadi, at-talawwum (selalu berubah dan bimbang) merupakan bagian dari al-laum (mencela).
Dan sungguh jiwa itu terkadang bersifat ammaarah (banyak memerintah), lawwaamah (banyak mencela), dan muthma’innah (tenang). Bahkan dalam sehari atau dalam sesaat jiwa manusia mengalami yang ini dan ini (saling bergantian).
Dan hukum itu bagi yang lebih menguasai atas jiwanya. Maka keberadaan jiwa itu sebagai nafsul muthma’innah merupakan sifat terpuji baginya. Sedangkan keberadaan jiwa itu sebagai nafsul ammarah bis suu’ merupakan sifat tercela baginya. Dan keberadaan jiwa itu sebagai nafsul lawwamah maka ia terbagi menjadi sifat terpuji dan sifat tercela tergantung pada apa yang dicelanya.
(Disalin dari kitab Ighatsah al-Lahfan min Mashaaid asy-Syaithan, Karya al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, hal. 41-42) Sumber: https://sunniy.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar