Dari Ubadah bin ash-Shamit beliau berkata,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya,
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan
Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga
adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya allah memasukannya kedalam surga
sesuai amal yang dia lakukan.” (HR. Bukhari no.3435 dan Muslim no.28)
Dari Itban, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang
mengucapkan La ilaha illallah yang dengannya dia mengharap Wajah Allah.” (HR.
Bukhari no.425, 1186, 5401 dan Muslim no. 263)
Dari Abu Sa’id al-Khudri dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam, “Musa berkata, ‘Ya Rabbi, ajarkanlah kepadaku
sesuatu yang dengannya aku mengingatMu dan berdoa kepadaMu.’ Allah menjawab,
‘Wahai Musa ucapkanlah La ilaha illallah.’ Musa berkata, ‘Ya Rabbi, semua
hambaMu mengucapkannya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Musa, seandainya langit yang
tujuh dan penghuninya selain Aku dan bumi yang tujuh diletakkandisatu daun
timbangan sedangkan La ilaha illallah didaun yang lain, niscaya La ilaha
illallah lebih berat’.” (HR. Ibnu Hibban 14/102 no. 6218, Hakim no. 1/528 dan
dia menshahihkannya)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Bani
Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan memikul dosa sepenuh bumi kemudian
kamu bertemu denganKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu, niscaya Aku
membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540 dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Kandungan Bab:
- 1. Luasnya karunia Allah
- 2. Banyaknya pahala bertauhid disisi Allah.
- 3. Bersama banyaknya pahala tersebut, bertauhid juga meleburkan dosa-dosa.
- 4. Tafsir al-An’am ayat 82.
- 5. Perhatikan lima perkara yang terkandung dalam hadits Ubadah.
- 6. Jika anda menggabungkannya dengan hadits Itban dan apa yang sesudahnya, maka jelaslah bagi anda makna La ilaha illallah, dan anda akan mengetahui kekeliruan orang-orang yang tertipu (dalam masalah ini).
- 7. Peringatan tentang syarat yang tercantum dalam hadits Itban.
- 8. Keterangan tentang lebih unggulnya La ilaha illallah dibanding seluruh makhluk, padahal banyak orang yang mengucapkannya, timbangan (kebaikan)nya ringan.
- 9. Keterangan jelas bahwa bumi adalah tujuh lapis seperti halnya langit.
- 10. Bahwa ia memiliki penghuni.
- 11. Menetapkan sifat-sifat golongan Asy-‘ariyah.
- 12. Jika anda mengetahui makna hadits Anas, maka anda juga mengetahui makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Itban, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan La ilaha illallah yang dengan itu dia mencari Wajah Allah.” Bahwa itu adalah meninggalkan syirik; bukn sekedar mengucapkan dengan lisan saja.
- 13. Merenungkan penggabungan (baca: kesamaan) antara Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dan Nabi Isa ‘Alaihissalam yang merupakan dua orang hamba dan utusan Allah.
- 14. Mengetahui kekhususan Nabi Isa bahwa dia adalah Kalimatullah.
- 15. Mangetahui Isa adalah ruh dariNya.
- 16. Mengetahui keutamaan iman kepada surga dan neraka.
- 17. Mengetahui sabdanya, “Sesuai dengan amal yang dilakukannya.”
- 18. Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun timbangan.
- 19. Mengetahui disebutnya Wajah (Allah).
Dalam catatan kaki Fathul Majid berkata, Banyak orang keliru dalam memahami
hadits-hadits, “Barangsiapa mengucapkan La ilaha illallah, niscaya dia masuk
surga.” Mereka mengira bahwa sekedar mengucapkan sudah
cukup untuk bisa selamat dari neraka dan
masuk surga, padahal tidak demikian. Siapa yang mengira demikian, maka termasuk
orang-orang yang tertipu, tidak memahami La ilaha illallah, karena tidak
merenungkannya. Karena hakikat maknanya adalah berlepas diri dari segala yang
disembah (selain Allah), dan bertekad untuk memurnikan segala ibadah hanya
kepada Allah semata, menunaikannya dalam bentuk yang di ridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa jalla. Barangsiapa
yang tidak menunaikan ibadah yang menjadi hakNya, atau menunaikan sebagian
ibadah lalu dia menyembah selain Allah bersamaNya dalam bentuk berdoa kepada
para wali dan orang-orang shalih, bernazar untuk mereka dan perbuatan lain
sepertinya, maka dia telah merobohkannya, klaimnya tidak bermanfaat dan tidak
berarti apapun. Seandainya mengucapkannya saja sudah cuku, niscaya apa yang
terjadi diantara Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang
musyrikin tidak pernah terjadi, tidak akan pernah ada peperangan dan
permusuhan.
Allah ta’ala berfirman, “Maka ketahuilah
bahwa tidak ada tuhan yang haq selain Allah.” (Muhammad: 19). Dan Allah
berfirman, “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang
bersaksi (syahadat) dengan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).”
(Az-Zhukhruf: 87).
Siapa yang tidak memenuhinya dan tidak
melaksanakan tuntutannya, maka mengucapkannya tidak berarti baginya. Siapa yang
memberikan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, maka dia bisa jadi
adalah orang yang jahil terhadap maknanya atau dusta dalam klaim imannya.
Mereka itulah orang-orang yang terkecoh, “Orang-orang yang paling merugi
perbuatannya, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia
ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi:
104).
Firman Allah ta’ala, “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamaan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Ibnu Jarir berkata, “Al-Mutsanna menyampaikan
kepadaku –dan dia menyebutkan dengan sanadnya- ar-Rabi’ bin Anas, beliau
berkata, “Iman adalah ikhlas kepada Allah semata.”
Ibnu katsir rahimahullah berkata tentang ayat
diatas, “Yakni, mereka yang mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya semata dan
tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mereka itulah orang-orang yang aman
pada hari kiamat, yang mendapatkan petunjuk didunia dan akhirat.”
Imam Ahmad memiliki riwayat dari Abdullah
radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
“Ketika turun ayat, ‘Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman.’ (Al-An’am:
82). Hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, maka mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapa diantara kita yang tidak
pernah menzhalimi dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Perkaranya bukan seperti yang
kalian kira, apakah kalian tidak mendengar ucapan seorang hamba shalih, ‘Wahai
anakkau, janganlah mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah
adalah benar-benar kezhaliman yang besar.’ Kezhaliman yang dimaksud adalah
syirik’.”
Dari Umar diriwayatkan bahwa beliau
menafsirkan kezhaliman disini dengan dosa, sehingga makna ayat tersebut adalah,
aman dari semua azab.
Alhasan dan al-Kalbi berkata, “(Makna ayat
tersebut) adalah mereka mendapatkan rasa aman diakhirat dan mereka adalah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk didunia.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang
membuat mereka berat adalah dugaan mereka bahwa kezhaliman wajib tidak ada
(untuk mendapatkan rasa aman) adalah kezhaliman seorang hamba kepada dirinya
(berupa kesalah dan dosa, bahwa rasa aman tidak akan ada dan hidayah tidak
diperoleh kecuali bagi orang yang tidak menzhalimi dirinya. Maka Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka apa yang membuat mereka
mengerti bahwa syirik merupakan kezhaliman dalam kitabullah, maka rasa aman dan
petunjuk tidak akn terwujud, kecuali bagi yang tidak mencampur imannya dengan
kezhaliman (syirik) ini. Karena siapa yang tidak mencampur imannya dengan
kezhaliman (syirik) ini, maka mereka termasuk orang-orang yang meraih rasa aman
dan mendapatkan petunjuk, sebagaimana dia juga termasuk orang-orang terpilih
dalam firmanNya, “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. Lalu diantara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang
demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32).
Ini tidak menutup kemungkinan salah seorang
dari mereka diazab karena dia menzhalimi dirinya dengan melakukan dosa, jika
dia tidak bertaubat, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaian seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yng mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Abu Bakar ash-Shiddiq pernah bertanya kepada
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dia berkata, “Ya Rasulullah, siapa yang
diantara kita yang tidak melakukan keburukan?” Maka Belaiu menjawab, ‘Wahai Abu
Bakar, bukankah kamu mengalami kelelahan? Bukankah kamu mengalami kesedihan?
Bukankah kamu terkena penyakit? Itulah balasan kepada kalian (yang dimaksud)’.”
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu masuk surga, maka bisa jadi dia
dibalas didunia dengan musibah-musibah karena dosa-dosanya. Siapa yang selamat
dari tiga jenis kezhaliman: Syirik (yang merupakan kezhaliman kepada Allah),
kezhaliman kepada hamba-hamba Allah, dan kezhaliman kepada diri dengan
dosa-dosa, tetapi selain syirik, maka dia meraih rasa aman yang sempurna dan
petunjuk yang sempurna pula. Siapa yang tidak selamat dari menzhalimi dirinya
sendiri, maka dia mendaptkan rasa aman dan petunjuk mutlak, artinya dia pasti
masuk surga sebagaimana Allah menjanjikan hal itu dalam ayat yang lain, Allah
telah membimbingnya kejalan yang lurus dimana akibatnya adalah kesurga, tetapi
rasa aman dan petunjuk yang diperolehnya berkurang menurut berkurangnya iman
akbat dia menzhalimi dirinya sendiri. Maksud Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
dengan sabdany, “Ia (kezhaliman yang dimaksud) adalah syirik.” Bukanlah bahwa siapa yang tidak melakukan
syirik akbar maka dia meraih rasa aman dan petunjuk yang sempurna, karena
hadits-hadits beliau yang berjumlah besar disamping ayat-ayat al-Qur’an
menjelaskan bahwa pelaku dosa besar berisiko terkena azab. Mereka tidak
memperoleh rasa aman dan petunjuk yang sempurna dimana dengan keduanya mereka
menjadi orang-orang yang dibimbing kejalan yang lurus, jalan orang-orang yang
diberi nikmat oleh Allah, tanpa azab yang menimpa mereka. Bahkan mereka
mempunyai dasar petunjuk kepada jalan yang lain, merek ajuga mendapatkan pokok
nikmat Allah, dan mereka pasti masuk surga.
Dan sabdanya, “Ia (kezhaliman yang dimaksud)
adalah syirik.” Jika dimaksud beliau adalah syirik akbar maka maksudnya adalah
bahwa siapa yang tidak melakukannya, maka mereka aman dari azab dunia dan
akhirat yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud Beliau
adalah syirik secara umum, dikatakan bahwa kezhaliman seorang hamba terhadap
dirinya seperti kebakhilannya –karena kecintaannya kepada harta- dari
melakanakan dari sebagian kewajiban merupakan syirik ashghar (kecil), dan
kecintaannya kepada apa yang dibenci oleh Allah ta’ala sehingga mendahulukan
hawa nafsunya atas kecintaan kepada Allah, dan ini merupakan syirik ashghar,
dan yang sepertinya, maka orang inikehilangan rasa amandan petunjuk sesuai
dengan kadarnya, oleh karena itu, ulama salaf memasukkan dosa-dosa kedalam
syirik ini dengan pertimbangan ini.” (Demikian ucapan Syaikhul Islam dari Kitab
al-Iman, dengan ringkas).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Yaitu
ketika mereka belum mengerti apa yang dimaksud dengan kezhaliman tersebut,
mereka mengira bahwa menzhalimi diri termasuk kedalamnya, dan bahwa siapa yang
menzhalimi dirinya sendiri –apapun kezhalimannya itu- maka dia bukan orang yang
meraih keamanan dan petunjuk. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjawab
bahwa kezhaliman yang menghanguskan rasa aman dan petunjuk secara mutlak adalah
syirik.
Inilah –demi Allah- jawaban yang menyembuhkan
orang sakit dan menghilangkan haus orang yang dahaga. Kezhaliman yang total
lagi mutlak adalah syirik, yaitu meletakkan ibadah bukan pada tempatnya. Rasa
aman dan hidayah yang mutlak adalah rasa aman didunia dan akhirat dan hidayah
kejalan yang lurus.
Kezhaliman yang mutlak lagi sempurna
menghanguskan rasa aman dan petunjuk yang mutlak lagi sempurna, dan tidak
tertutup kemungkinan sekedar kezhaliman menghalangi sebagian rasa aman dan
dasar petunjuk. Renungkanlah. Yang mutlak untuk yang mutlak, yang berupa satuan
untuk satuan.” (Demikian ucapan Ibnu Qayyim secara ringkas).
Dari Ubadah bin ash-Shamit beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya allah memasukannya kedalam surga sesuai amal yang dia lakukan.” (HR. Bukhari no.3435 dan Muslim no.28)
Dari Ubadah bin ash-Shamit beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya allah memasukannya kedalam surga sesuai amal yang dia lakukan.” (HR. Bukhari no.3435 dan Muslim no.28)
(Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah selain Allah)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fatul Majid
menjelaskan,
Yakni, barangsiapa yang mengucapkannya dengan
didasari dengan mengetahui maknanya dan mengamalkan tuntutannya, lahir dan
batin. Maka Syahadatain memerlukan ilmu, keyakinan dan amal terhadap
tuntutannya, sebagaimana Firman Allah ta’ala, “Maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (Muhammad: 19)
dan firmanNya, “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah)
orang yang mengakui (syahadat) yang haq dan mereka mengetahui (maknanya).”
(Az-Zukhruf: 86).
Adapun sekedar mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tanpa keyakinan dan mengamalkan tuntutannya, berupa berlepas diri dari syirik, mengikhlaskan perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan, maka tidak berguna.”
Adapun sekedar mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tanpa keyakinan dan mengamalkan tuntutannya, berupa berlepas diri dari syirik, mengikhlaskan perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan, maka tidak berguna.”
Dalam Qurrah al-Uyun al-Muwahhidin dijelaskan,
“Kalimat yang agung ini mengandung peniadaan dan
penetapan. Ia menafikan Ilahiyah dari selain Allah dengan ucapan “Tiada tuhan
yang berhak disembah.” Ia menetapkan Ilahiyah hanya bagi Allah semata dengan
ucapan, “kecuali Allah.” Allah ta’ala berfirman, “Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan
keadilan, para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu), tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali Imran: 18).
Berapa banyak orang yang tersesat karena tidak
mengerti maknanya dan mereka adalah mayoritas. Mereka membalik hakikat makna,
maka mereka menetapkan ilahiyah yang dinafikan kepada sesuatu yang tidak berhak
memilikinya dari para makhluk, para penghuni kubur dan altar persembahan,
thaghut-thaghut, pohon-pohon, jin dan lain-lain. Mereka menjadikan hal itu
sebagai agama. Mereka meniru dan menghiasinya, mereka mnenganggap tauhid
sebagai bid’ah, mereka mengingkari orang-orang yang menyeru kepada tauhid. Mereka
tidak mengetahui hakikatt dari syahadat itu sebagaimana yang diketahui oleh
orang-orang jahiliyahdari kalangan orang-orang kafir Quraisy dan lainnya.
Mereka ini mengetahui maknanya, tapi mengingkari keikhlasan yang merupakan
makna kandungannya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya mereka
dahulu apabla dikatakan kepada mereka, ‘La ilaha illallah (Tiada tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata,
‘apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair
gila?” (Ash-Shaffat: 35-36).
Orang-orang musyrik dari kalangan akhir umat
ini mengingkari apa yang diingkari oleh orang-orang musyrik dahuklu yang
menolak siapa yang menyeru mereka agar meninggalkan apa yang mereka sembah
selain Allah, dalam bentuk kuburan, altar persembahan, thaghut dan lain-lain.
Hanya saja orang-orang musyrik jahiliyah dulu mengetahui makna ini maka mereka
mengingkarinya, sementara orang-orang musyrik zaman ini tidak menetahuinya,
maka mereka juga mengingkarinya. Oaleh karena itu andan melihatnya orang yang
mengucapkan La ilaha illalah sementara dia tetap beribadah kepada selain Allah
bersama Allah.” Selesai.
Imam Ibnu Baz mengomentari,
“Penyebabnya adalah bahwa orang-orang Arab
jahiliyah adalah ahli bahasa al-Qur’an yang fasih, sehingga mereka mengetahui
makna kalimat Tauhid yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Adapun orang-orang
sekarang dimana mereka terjerumus kedalam syirik ibadah, maka mereka bukanlah
orang-orang yang menguasai bahasa al-Qur’an dengan baik, mereka hanya beragama
dengan berpijak kepada terminologi-terminologi dimana sebagian dari mereka
mengambil dari sebagian yang lain, dari orang-orang ahli kalam dan orang-orang
awam. Jika orang sekaliber al-Fakhrurrazi, salah seorang tokoh besar ilmu kalam
dan pakar ilmu ushul dari kalangan mereka, keliru dalam memahami makna al-ilah
dalam tafsir firman Allah, “Mereka berkata, ‘Wahai Musa, jadikanlah untuk
kami tuhan seperti mereka mempunyai tuhan-tuhan.” (Al-A’raf: 138), maka
bagaimana dengan ulama-ulama mereka dibawahnya? Tidak perlu meninggung orang
awam dan orang jahil dari mereka. Apakah masih terasa aneh jika mereka tidak
mengetahui bahwa siapa yang berdoa kepada orang mati atau orang hidup dalam
perkara yang hanya boleh diminta kepada Allah semata, atau thawaf dikuburannya,
atau bernadzar kepadanya, berarti telah menyembahnya dan mengangkat sebagai
tuhan?”
Al-Qurthubi dalam al Mufhim ala Shahih
Muslim, berkata (Sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat tidaklah cukup,
akan tetapi harus didukung dengan keyakinan hati.) Bab ini merupakan bukti
rusaknya pandangan golongan Murji’ah ekstrem yang berkata bahwa sekedar
mengucapkan syahdatain sudah cukup dalam iman. Dan hadits-hadits dalam bab ini
menetapkan kerusakannya, bahkan kerusakan mahzab ini sudah dimaklumi dalam
syariat bagi siapa yang mengetahuinya, karena madzhab ini berarti membolehkan
kemunafikan dan menghukumi bahwa iman orang munafik adalah shahih. Dan ini
batil tanpa ragu.” Demikian al-Qurthubi.
Dalam hadits ini terdapat petunjuk kepada hal
ini, yaitu ucapannya, (Barangsiapa bersaksi). Kesaksian tidak sah
kecuali jika berpijak kepada ilmu, keyakinan, keikhlasan dan kebenaran.
An-Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang
agung dan memiliki kedudukan yang mulia. Ini adalah hadits yang paling luas
maknanya (termasuk hadits yang simpel tetapi bermakna luas) yang mengandung
masalah-masalah akidah. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengumpulkan
didalamnya apa yang dikeluarkan dari aliran-aliran kekufuran dengan berbagai
macam akidah dan perbedaanya yang berjauhan, maka beliau menetapkan batasan
dengan kalimat-kalimat dalam hadits ini apa yang menjelaskan seluruhnya.”
Demikian dalam ucapan beliau rahimahullah.
Al-Hafizh menyebutkan, ini adalah sebagaimana
dengan firman Allah,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa;
tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” (Al-Baqarah:163)
“Dan Kami tidak mengutus Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah Aku’.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan Kami telah mengutus kaum ‘Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan yang berhak disembah bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 65)
Maka mereka menjawabnya –sebagaimana bantahan atasnya- dengan ucapan mereka, “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al-A’raf: 70)
Dan Allah ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Hajj: 62).
“Dan Kami tidak mengutus Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah Aku’.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan Kami telah mengutus kaum ‘Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan yang berhak disembah bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 65)
Maka mereka menjawabnya –sebagaimana bantahan atasnya- dengan ucapan mereka, “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al-A’raf: 70)
Dan Allah ta’ala berfirman, “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Hajj: 62).
Hal ini mengandung peniadaan terhadap ilahiyah
(predikat sebagai yang disembah) dari selain Allah, yaitu ibadah, dan
penetapannya hanya bagi Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Al-Qur’an dari
awal hingga akhir menjelaskan dan menetapkan haikat ini, serta membimbing
kepadanya.
Ibadah dengan berbagai macamnya hanya berasal
dari penghambaan hati dalam bentuk kecintaan, ketundukan, dan kerendahan, dalam
keadaan takut dan berharap, dan semua
ini hanya Allah semata yang berhak atasnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Barangsiapa memberikan sebagian dari itu kepada selain Allah dan dengan
demikian perkataan dan perbuatannya menjadi tidak berguna baginya.
Perkataan Ulama Tentang Makna “La ilaha
illallah”
Al-Wazir Abu al-Muzhaffar berkata dalam al-Ifshah,
Orang yang bersaksi dengannya mengetahui bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah.” (Muhammad: 19)
Beliau berkata, “Faidahnya globalnya adalah
hendaknya anda mengetahui bahwa kalimat ini mengandung kewajiban kafir kepada
thaghut dan beriman kepada Allah. Ketika anda menafikan ilahiyah (dari selain
Allah) dan menetapkannya hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, maka anda
termasuk orang yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah (dalam al-Bada’i
al-Fawa’id 3/56) membantah pendapat yang berkata bahwa al-Mustatsna (yang
dikecualikan) dikeluarkan dari al-Mutsatsna minhu (yang dikecualikan baginya).
Beliau berkata, “Bahkan ia dikeluarkan dari al-Mutsatsna minhu dan
hukumnya sekaligus, sehingga ia tidak termasuk kedalam al-Mutsatsna, karena
jika demikian maka seseorang tidak masuk islam dengan mengatakan La ilaha
illallah, karena dia tidak menetapkan ilahiyah bagi Allah ta’ala. Kalimat ini
adalah kalimat yang agung yang –dari sisi peletakannya dalam bahasa- mengandung
penafian terhadap ilahiyah dari selain Allah dan penetapannya bagiNya secara
khusus. Petunjuknya terhadap penetapan ilahiyah lebih agung daripada petunjuk
ucapan kita, ‘Allah dalah Tuhan’ dan tidak ada yang meragukan ini sedikitpun”
Demikian ibnul Qayyim secara ringkas.
Abu Abdullah al-Qurthubi berkata dalam
tafsirnya, “La ilaha illallah, yakni tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah.”
Az-Zamakhsyari berkata, al-ilaahu
(tuhan) termasuk isim jism (kata jenis) seperti kata “Laki-laki” dan kata
“Kuda”. Kata ini diberikan kepada setiap yang disembah, benar atau bathil, kemudian penggunannya yang dominan adalah
untuk yang disembah dengan benar.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “tuhan”
adalah yang disembah dan ditaati, karena al-ilaahu adalah yang
dituhankan dan yang berhak disembah. Dia berhak untuk disembah karena Dia
mempunyai sifat-sifat yang menuntutnya menjadi yang dicintai dengan kecintaan
paling tinggi dan ditaati dengan ketaatan yang mendalam.”
Kemuidan beliau berkata, “al-ilaahu” adalah
yang dicintai lagi disembah, yang dipertuhankan oleh hati dengan mencintainya,
mematuhinya, merendahkan, takut, dan berharap kepadanya, kembali kepadanya
dalam kesulitan, berdoa kepadanya dalam perkara-perkara yang penting,
bertawakal kepadanya untuk meraih kebaian-kebaikan, berlindung kepadanya,
merasa tentram dengan menyebutnya, merasa tenang dengan mencintainya; semua ini
hanya untuk Allah semata. Oeleh karen aitu, La ilaha illallah adalah perkataan
yang benar, para pengikut dan penganutnya adalah pengikut Allah dan
golonganNya. Sedangkan orang-orang yang mengingkarinya adalah musuh-musuh
Allah, dan orang-orang yang berhak mendapatkan azab dan murkaNya. Jika kalimat
ini benar, maka benarlah semua masalah, keadaan, dan perasaan. Jika seorang
hamba tidak meluruskannya maka kerusakan pasti terjadi pada ilmu dan amal
perbuatannya.”
Ibnul Qayyim berkata, “al-ilaahu (tuhan)
adalah yang dituhankan oeh hati dengan kecintaan, pengagungan, ketergantungan,
pemuliaan, penghormatan, kerendaha, kepatuhan, ketakutan, harapan dan tawakal.”
Ibnu Rajab berkata, “al-ilaahu (tuhan) adalah
yang ditaati sehingga dia tidak didurhakai karena rasa penghormatan,
pengagungan, kecintaan, ketakutan, harapan, tawakal, permintaan, dan doa
kepadanya. Semua ini hanya patut diberikan kepada Allah ‘Azza wa jalla. Siapa
yang menyekutukan seorang makhluk dengan Allah dalam salah satu perkara-perkara
ini yang merupakan keistimewaan ilahiyah, maka hal iitu merupakan penodaan
terhadap keikhlasannya dalam mengucapkan La ilaha illallah, dan sikap itu
mengandung penghambaan kepada makhluk sebagaimana kadar apa yang ada padanya
dari hal itu.”
Al-Baqa’i berkata, “La ilaha illallah, yakni penafian
besar adanya tuhan yang haq selain Allah yang Maharaja lagi Mahaagung. ilmu ini
termasuk dzikir teragung yang pasti menyelamatkan dari ketakutan-ketakutan hari
kiamat, ia menjadi sebuah ilmu manakala ia berguna, ia menjadi berguna manakala
diiringi dengan ketundukan dan pelaksanaan terhadap konsekuensinya, jika tidak
maka ia adalah kejahilan murni.”
Pensyarah didalam Fathul Majid berkata, “Ini
banyak tercantum didalam perkataan para ulama dan merupakan ijma’ dari mereka.”
Maka La ilaha illallah menunjukkan peniadaan
terhadap ilahiyah dari selain Allah, apapun ia, dan penetapannya hanya untuk
Allah semata bukan selainNya. Inilah tauhid yang diserukan para Rasul dan
al-Qur’an menunjukkannya dari awal hingga akhir, sebagaimana firman Allah
ta’ala tentang jin, “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Telah diwahyukan kepadamu
bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan al-Qur’an, lalu mereka berkata,
‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (yang)
memberi petunjuk jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya dan kami
sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Rabb kami’.”
(Al-Jin: 1-2)
La ilaha illallah tidak berguna kecuali bagi
orang yang mengetahui kandungannya dari sisi apa yang dinafikan dan apa yang
ditetapkan, meyakini hal itu dan mengamalkannya. Adapun orang yang
mengucapkannya tanpa ilmu, tanpa keyakinan dan tanpa amal perbuatan, maka telah
hadir ucapan para ulama bahwa ini adalah kejahilan murni, ia merupakan hujjah
atasnya tanpa ragu.
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan memikul dosa sepenuh bumi kemudian kamu bertemu denganKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu, niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan memikul dosa sepenuh bumi kemudian kamu bertemu denganKu dengan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu, niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3540 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Ini adalah syarat yang berat dalam janji untuk
meraih ampunan yaitu keselamatan dari syirik, yang banyak maupun sedikit, yang
kecil maupun yang besar, dan tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang
diselamatkan oleh Allah ta’ala, dan itulah hati yang selamat, sebagaimana
firman Allah ta’ala, “Pada hari dimana harta dan anak-anak tidak lagi berguna
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(Asy-Syu’ara’: 88-89).
Ibnu Rajab berkata, “Barangsiapa datang (pada
hari kiamat, pent) dengan memikul dosa sepenuh jagat, tetapi dia mempunai
tauhid, maka Allah menyambutnya dengan ampunan yang juga sepenuh jagat...”
Sampai beliau berkata, “Jika tauhid seorang
hamba dan keikhlasannya kepada Allah ta’ala telah sempurna, dia menunaikan
syarat-syaratnya didalam hatinya, lisannya dan anggota badannya, atau dengan
hati dan lisannya pada saat menjelang kematian, maka hal itu mewajibkan ampunan
terhadap seluruh dosa yang telah berlalu dan menghalanginya secara total untuk
masuk neraka. Barangsiapa yang hatinya mewujudkan kalimat Tauhid, maka ia akan
mengeluarkan darinya dari segala sesuatu selain Allah: kecintaan, pengagungan,
penghormatan, keseganan, ketakutan, dan tawakal, pada saat ituseluruh dosa dari
kesalahan dihapuskan, walaupun seperti buih lautan.” Demikian secara ringkas.
Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
tentang makna hadits diatas,
“(Dosa-dosa) dimaafkan (diampuni) untuk ahli
tauhid yang murni yang tidak menodainya dengan syirik apa yang tidak dimaafkan
untuk orang yang bukan demikian. Seandainya seorang yang bertauhid –yang tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun- niscaya Rabbnya dengan membawa
dosa-dosa sepenuh jagat raya, niscaya Rabbnya akan menyambutnya dengan ampunan
sepenuh jagat raya juga, hal ini tidak terwujud bagi orang yang membatalkan
tauhidnya. Tauhid yang murni yang tidak terkotori oleh syirik tidak menyisakan
dosa, karena ia mengandung kecintaan kepada Allah, penghormatan, pengagungan,
ketakutan, dan harapan kepadaNya semata yang mewajibkan dicucinya dosa-dosa
walaupun ia sepenuh jagat, najisnya bersifat insidentil sementara yang
menolaknya adalah sesuatu yang kuat.” Demikian Ibnul Qayyim
Dalam hadits ini juga terkandung keterangan
bahwa pahala tauhid itu adalah besar, kemurahan Allah, kedermawanan dan
rahmatNya adalah luas, dan hadits ini juga membantah golongan khawarij yang
mengkafirkan seorang muslim karena dosa-dosa serta (sebaliknya), hadits ini
juga membantah golongan Mu’tazilah yang menetapkan satu kedudukan diantara dua
kedudukan, yaitu kefasikan, mereka berkata, “Dia tidak mukmin tidak pula kafir,
dia kekal didalam neraka.” Yang benar adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
bahwa nama iman tidak ditanggalkan darinya, tetapi tidak diberikan kepadanya
secara mutlak, akan tetapi dikatakan, mukmin pendurhaka atau mukmin dengan
imannya dan fasik dengan dosa besarnya. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’ Salaf ummat ini.
[Disalin dari Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid
oleh Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu-Syaikh Bab Keutamaan Tauhid.
Pustaka Sahifa]
0 komentar:
Posting Komentar