728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Kitab Tauhid

Kata Pengantar Penterjemah

Sebagai pembuka pembahasan kitab tauhid, kami hadirkan terlebih dahulu pengantar dari penterjemah buku ini. Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukannya. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidlah -menurut tuntunan Islam- yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam Akhirat nanti. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)

Berdasarkan pada pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, maka wajib bagi setiap muslim untuk mempelajarinya. Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini Allah; bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan)-Nya dan wahdaniyah (keesaan)-Nya; dan bukan pula sekedar mengenal asma’ dan shifat-Nya.

Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah; bahkan mengakui ke-Esaan dan ke-Mahakuasaan Allah dengan permintaannya kepada Allah melalui Asma’ dan Shifat-Nya. Kaum Jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga mayakini bahwa Tuhan pencipta, pengatur pemelihara dan penguasa alam semesat ini adalah Allah.[1]

Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Dari sini lalu timbul pertanyaan: "Apakah hakikat tauhid itu?"

Tauhid, ialah permunian ibadah kepada Allah; yaitu menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen, dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap, dan takut kepada-Nya.

Untuk inilah sebenarnya manusia itu diciptakan Allah. Dan sesungguhnya, misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid dalam pengertian tersebut, mulai dari Rasul pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam[2].

Maka, buku yang di hadapan pembaca ini mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk mengetahui hakikat tauhid dan kemudian menjadikannya pegangan hidup.

Buku ini ditulis oleh seorang ulama’ yang giat dan tekun dalam kegiatan da’wah Islamiyah. Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dilahirkan di ‘Uyainah tahun 1115 H (1703 M) dan meninggal di Dar’iyah (Saudi Arabia) pada tahun 1206 H (1792 M).

Keadaan umat Islam -dengan berbagai bentuk amalan dan kepercayaan pada masa hidupnya- yang menyimpang dari makna tauhid, telah mendorong Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bersama para muridnya untuk melancarkan da’wah Islamiyah guna mengingatkan umat agar kembali kepada tauhid yang murni. Maka untuk tujuan da’wahnya, beliau menulis sejumlah kitab dan risalah, di antaranya:
  • Kasyf Asy-Syubuhat
  • Tafsir Al-Fatihah
  • Tafsir Syahadah "An La Ilaaha Illallah"
  • Kitab Al-Kabaair
  • Ushul Al-Iman
  • Fadhl Al-Islam
  • Al-Masa’il al-Lati Khalafa fiha Rasulullah Ahlal Jahiliyah
  • Adab Al-Masy-yi ila Ash-Shalah (‘Ala Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal)
  • Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar
  • Mukhtashar Sirah Ar-Rasul
  • Kitab At-Tauhid, Al-ladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Abid
Buku terakhir inilah yang sekarang terjemahannya ada di tangan pembaca. Dan melalui buku ini, beliau berusaha untuk menjelaskan hakekat tauhid dan penerapannya dalam kehidupan seorang Muslim.


Dalam Bab 1, penulis menjelaskan hakekat tauhid dan kedudukannya; dalam Bab 2 dan 3 menerangkan keistimewaan tauhid dan pahala yang diperoleh darinya; dalam Bab 4 mengingatkan agar takut terhadap perbuatan yang bertentangan dengan tauhid serta membatalkannya (syirik akbar) atau perbuatan yang mengarungi kesempurnaan tauhid (syirik Ashghar); dalam Bab 5 menjelaskan kewajiban berdakwah kepada tauhid; dalam Bab 6 menjelaskan tafsiran tauhid dan syahadat "La ilaha Illallah".

Upaya pemurnian tauhid tidak akan tuntas hanya dengan menjelaskan makna tauhid, akan tetapi harus dibarengi dengan penjelasan tentang hal-hal yang dapat merusak dan menodai tauhid. Untuk itu, pada bab-bab berikutnya, penulis berusaha menjelaskan berbagai macam bentuk tindakan dan perbuatan yang dapat membatalkan atau mengurangi kesempurnaan tauhid dan menodai kemurniannya, yaitu apa yang disebut syirik, baik syirik akbar maupun syirik ashghar, dan hal-hal yang tidak termasuk syirik tetapi dilarang Islam karena menjurus dan bisa mengakibatkan syirik, disertai pula dengan keterangan tentang latar belakang histories timbulnya syirik.

Terakhir, penulis menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan keagungan dan kekuasaan Allah, untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang paling berhak dengan segala bentuk ibadah yang dilakukan manusia dan Dia-lah Tuhan yang memiliki segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan.

Satu hal yang unik dalam metode pembahasan buku ini, bahwa penulis tidak menerangkan atau membahas tauhid dengan cara yang lazim kita kenal dalam buku-buku masa kini. Pada setiap bab, penulis hanya menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat ulama salaf, kemudian beliau menjabarkan bab-bab itu dengan menyebutkan permasalahan-permasalahan penting yang terkandung dan tersirat dari dalil-dalil tersebut.

Akan tetapi, justru dengan demikian itulah, buku ini menjadi lebih penting, sebab pembahasannya mengacu kepada Kitab dan Sunnah yang menjadi sumber hukum bagi umat Islam. Mengingat amat ringkasnya beberapa permasalahan yang dijabarkan oleh penulis, maka dengan memohon taufiq Allah, penerjemah memberikan sedikit keterangan dan penjelasan dengan diapit oleh dua tanda kurung siku "[..]" atau melalui catatan kaki.

Apa yang diharapkan oleh penulis bukanlah sekedar mengerti dan memahami, tetapi lebih dari pada itu, yaitu: suatu sikap dan pandangan hidup tauhidi yang tercermin dalam keyakinan, tutur kata dan amalan. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita dalam usaha mewujudkan ibadah kepada Allah dengan semurni-murninya.

Hanya kepada Allah kita menghamba dan hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
______________________

Catatan Kaki

[1] Lihat Al-Qur’an 38:82; 31:25; 23:84-89.

[2] Lihat Al-Qur’an 16:36; 21:25; 7:59,65,73,85 dll.

Tauhid, [Hakikat Dan Kedudukannya]


Inilah bab pertama dari pembahasan Kitab Tauhid. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah[1] kepada-Ku" (Adz-Dzariyat: 56)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut [2] itu’." (An-Nahl: 36)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’." (Al-Isra’: 23-24)

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun (berbuat syirik) [3]." (An-Nisaa’: 36)

"Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An’am: 151 – 153)

Ibnu Mas’ud berkata: "Barangsiapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam, yang tertera di atas cincin stempel milik beliau, maka hendaklah ia membaca firman Allah "Katakanlah (Muhammad): ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia …’ dan seterusnya, sampai pada firman-Nya: "Dan (kubacakan): ‘Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus …’ dan seterusnya." [4]

Mu’adz bin Jabal menuturkan,"Aku pernah diboncengkan Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: ‘Hai Mu’adz, tahukah kamu apa yang hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliaupun bersabda: ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.’ Aku bertanya Ya rasulullah tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang? Beliau menjawab ‘Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri’." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka)

Catatan Kaki

[1] Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.

Dan inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah menyerahkan diri kepada Allah semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.


Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlash, semata-mata karena Allah; dan mengikuti tuntunan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.

[2] Thaghut ialah setiap yang digunakan -selain Allah- dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi; baik yang digunakan itu berupa batu, manusia, ataupun setan.
Menjauhi thaghut: mengingkarinya; membencinya; tidak mau menyembah dan memujanya baik dalam bentuk dan dengan cara apapun.

[3] Berbuat syirik, memperlakukan sesuatu -selain Allah- sama dengan Allah dalam hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.

[4] Atsar ini diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Al-Munzir dan Ibnu Abi Hatim.

Kandungan Bab Ini
  1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah
  2. Ibadah adalah hakekat tauhid, karena pertentangan yang terjadi [antara Rasulullah dengan kaum musyrikin] dalam masalah tauhid ini.
  3. Barangsiapa yang belum melaksanakan tauhid ini, belumlah ia beribadah (menghamba) kepada Allah. Di sinilah letak pengertian firman Allah:
    "Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah."
    (Al-Kafirun: 3)
  4. Hikmah diutusnya para rasul, [ialah untuk menyerukan tauhid dan melarang syirik]
  5. Pengutusan Rasul telah mencakup seluruh umat
  6. Bahwa ajaran / tuntunan para Nabi adalah satu [yaitu tauhid (pemurnian ibadah kepada Allah)]
  7. Masalah besar, yaitu bahwa ibadah kepada Allah tidak akan terwujud dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengingkari thaghut. Dan inilah pengertian firman Allah, "Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (Al-Baqarah: 256)
  8. Pengertian thaghut bersifat umum, meliputi setiap yang diagungkan selain Allah
  9. Ketiga ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-An’am menurut kaum Salaf, mempunyai kedudukan yang penting karena terkandung di dalamnya sepuluh masalah, yang pertama adalah larangan terhadap perbuatan syirik.
  10. Ayat-ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-Isra’, mengandung delapan belas masalah, dimulai dengan firman Allah, "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)" (Al-Isra’: 22)
Dan diakhiri dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam Neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)." (al-Isra’:39)

Serta Allah mengingatkan kepada kita akan pentingnya masalah-masalah ini dengan firman-Nya, "Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu." (al-Isra’: 39)
  1. Ayat dalam surat An-Nisa’, disebutkan di dalamnya sepuluh hak, yang pertama yaitu sebagaimana firman Allah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (An-Nisa’: 36)
  2. Perlu diingat wasiat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di saat akhir hayat beliau
  3. Mengetahui hak Allah ‘Azza wa Jalla yang wajib kita laksanakan
  4. Mengetahui hak para hamba Allah yang pasti akan dipenuhi-Nya, apabila mereka melaksanakan hak-Nya terhadap mereka
  5. Bahwa masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar sahabat.[1]
  6. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan masalah ini untuk maslahat
  7. Dianjurkan untuk menyampaikan kepada sesama muslim suatu berita yang menggembirakannya
  8. Rasulullah merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah Ta’ala.
  9. Jawaban orang yang ditanya sedangkan dia tidak tahu, adalah "Allah wa rasuluhu a’lam" (allah dan rasul-Nya lebih mengetahui)
  10. Boleh menyampaikan ilmu kepada orang-orang tertentu, tanpa yang lain.
  11. Kerendahan hati Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam karena ketika menunggang keledai, beliau shalallahu’alaihi wa sallam mau memboncengkan orang lain dibelakangnya
  12. Boleh memboncengkan seseorang di atas binatang, jika binatang itu kuat
  13. Keutamaan Mu’adz bin Jabal
  14. Bahwa tauhid mempunyai kedudukan yang sangat mendasar.

Catatan Kaki

[1] Tidak diketahui sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam menyuruh Mu’adz agar tidak memberitahukannya kepada mereka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah sehingga tidak mau berlomba-lomba mengerjakan amal shalih. Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu’adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.

Keistimewaan Tauhid Dan Dosa-dosa Yang Diampuni Karenanya


Melanjutkan kupas kitab dari Kitab Tauhid , tiba saatnya untuk membahas bab yang kedua. Masih mengenai keutamaan tauhid. Silahkan menyimak.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman[1] mereka dengan kezhaliman (syirik)[2], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An’am:82)

‘Ubadah bin Ash-Shamit, menuturkan; Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa bersyahadat[3] bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, dan rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari pada-Nya; dan (bersyahadat pula bahwa) Surga adalah benar adanya dan Neraka adalah benar adanya, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam Syurga betapapun amal yang telah diperbuatnya." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari ‘Itban, "Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada Neraka orang yang berkata, ‘La Ilaha illallah’ (Tiada sesembahan yang hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) Wajah Allah."

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk
berdzikir dan berdo’a kepada-Mu.’ Allah berfirman ‘Katakan hai Musa, La Ilaha Illallah.’ Musa berkata lagi, ‘Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.’ Allah pun berfirman, ‘Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada daun timbangan, sedang "La Ilaha Illallah" diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka "La Ilaha Illallah" niscaya lebih berat timbangannya’."
(Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadis ini shahih)

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits, yang dinyatakan hasan, dari Anas Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Hai anak Adam, seandainya kamu dating kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Ku, niscaya akan
Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula’."

Setelah membahas dalil-dalil yang menerangkan keistimewaan tauhid, penulis buku Kitab Tauhid menyebutkan beberapa hal yang dapat diambil hikmahnya dari bab yang kedua ini. Apa saja?

Kandungan Bab Ini
  1. Luasnya karunia Allah
  2. Banyaknya pahala tauhid di sisi Allah
  3. Selain itu, tauhid menghapuskan dosa-dosa
  4. Tafsiran ayat dalam surat Al-An’am [4]
  5. Perhatikan kelima masalah yang tersebut dalam hadits ‘Ubadah
  6. Apabila anda mempertemukan antara hadits ‘Ubadah, hadits ‘Itban dan hadits sesudahnya, akan jelas bagi anda pengertian "La ilaha illallah", dan akan jelas bagi anda kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya
  7. Perlu diingat persyaratan yang dinyatakan di dalam hadits ‘Itban, [yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
  8. Para nabi dan perlu diingatkan pula akan keistimewaan "La ilaha illallah"
  9. Bahwa "La ilaha illallah" berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak di antara orang yang mengucapkan kalimat tersebut ringan timbangannya
  10. Dinyatakan bahwa bumi itu tujuh, seperti halnya langit
  11. Langit dan bumi ada penghuninya
  12. Menetapkan sifat-sifat Allah, berbeda dengan pendapat Asy’ariyah. [5]
  13. Apabila anda memahami hadits Anas, anda akan tahu bahwa sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ‘Itban maksudnya adalah dengan tidak melakukan perbuatan syirik sedikitpun, bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja
  14. Perhatikanlah perpaduan sebutan sebagai hamba Allah dan rasul-Nya dalam pribadi Nabi ‘Isa ‘Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam
  15. Mengetahui keistimewaan Nabi ‘Isa sebagi kalimat Allah
  16. Mengetahui bahwa Nabi ‘Isa adalah ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan Allah
  17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya Surga dan Neraka
  18. Mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam "betapapun amal yang telah diperbuatnya."
  19. Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun
  20. Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah

Catatan Kaki

[1] Iman ialah ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.

[2] Syirik disebut kezhaliman, karena syirik adalah perbuatan menempatkan sesuatu ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.

[3] Syahadat ialah persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
[4] Ayat ini menunjukkan keistimewaan tauhid dan keuntungan yang diperoleh darinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan menunjukkan pula bahwa syirik adalah perbuatan zhalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu akbar (besar), atau mengurangi iman jika syirik itu ashghar (kecil).

[5] Asy’ariyah adalah suatu aliran teologis, pengikut Syaikh Abdul Hasan ‘Ali bin Ismail Al-Asy’ari (260 – 324H = 847 – 936M).
Dan maksud penulis di sini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan, ialah kebenaran Wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum Salaf Shalih dalam masalah ini, yaitu: mengimani kebenaran sifat-sifat Allah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan sunnah tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil (lihat keempat istilah ini pada kupas kitab Syarh Aqidah Wasithiyah -red vbaitullah.or.id).

Adapun Asy’ariyah dalam masalah sifat yang seperti ini, sebagian mereka ada yang menta’wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna sebenarnya) dengan dalih bahwa hal tersebut apabila tidak dita’wilkan bisa menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa syaikh Abdul Hasan Al-Asy’ari sendiri dalam masalah ini telah menyatakan berpegang teguh dengan madzhab Salaf Shalih, sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab yang
ditulis di akhir masa hidupnya, Al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, editor: Abdul Qadir Al-Arna’uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401H), bahkan dalam karya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta’wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.

Barangsiapa Mengamalkan Tauhid Dengan Semurni-murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab (1/2)


Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis masih ingin memupuk motivasi para pembaca dengan mengulas keutamaan-keutamaan tauhid dan para pelakunya seperti pada bab-bab sebelumnya. Keutamaan-keutamaan ini hanya dicapai oleh orang yang mengamalkan tauhid dengan benar dan murni (tanpa syirik). Nah, siapa yang ingin masuk Surga tanpa hisab? Berikut penjelasannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)." (An-Nahl:120)

“Dan Orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun)." (Al-Mu’minun: 59)

Hushain bin ‘Abdurrahman menuturkan, "Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya, ‘Siapakah di antara kalian melihat bintang yang jatuh semalam?’ Aku pun menjawab, ‘Aku’. Kemudian kataku: ‘Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking.’ Ia bertanya, ‘Lalu apa yang kamu perbuat?’ Jawabku, ‘Aku meminta ruqyah[1] Ia bertanya lagi, ‘Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu?’ Jawabku, ‘Yaitu sebuah hadits yang dituturkan oleh Sy-Sya’bi kepada kami.’ Ia bertanya lagi, ‘Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu?’ Kataku, ‘Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah bin Al-Husaib: "Tidak dibenarkan melakukan ruqyah kecuali karena ‘ain[2] atau karena sengatan"

Sa’id pun berkata, ‘Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi Ibnu ‘Abbas menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, "Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi dan tak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; aku pun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya.’ Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan
kepadaku, ‘Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk Surga tanpa hisap dan tanpa adzab.’

Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada di antara mereka yang berkata ‘Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah. Ada lagi yang berkata ‘Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat syirik sedikit pun juga kepada Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara lain. Ketika Rasulullah keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur[3] dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka."

Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.’ Beliau menjawab, "Kamu termasuk golongan mereka." Kemudian berdiri seorang yang lain dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.’ Beliau menjawab, "Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah"[
4]

Catatan Kaki

[1] Ruqyah maksudnya di sini adalah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat
Al-Qur’an atau do’a-do’a (yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam)
[2] ‘Ain yaitu pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya; disebut juga kena mata.
[3] Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
[4] Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Barangsiapa Mengamalkan Tauhid Dengan Semurni-murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab (2/2)


Setelah mengetahui dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, penulis memberikan butir-butir penjelasan yang terdapat dalam bab ini. Penjelas bagi hadits yang sekilas Nampak bertentangan.

Kandungan Bab Ini
  1. Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam tauhid
  2. Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya
  3. Sanjungan Allah kepada Nabi Ibrahim, karena sama sekali tidak pernah termasuk orang yang berbuat syirik kepad Allah
  4. Sanjungan Allah kepada para tokoh wali (Sahabat Rasulullah), karena bersihnya diri mereka dari perbuatan syirik
  5. Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni
  6. Bertawakkal kepada Allah adalah sifat yang mendasari sikap tersebut
  7. Dalamnya ilmu para sahabat, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian itu kecuali dengan amal
  8. Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba delam mengerjakan amal kebaikan
  9. Keistimewaan umat Islam, dengan kuantitas dan kualitas
  10. Keutamaan pengikut Nabi Musa
  11. Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
  12. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama Nabinya
  13. Bahwa sedikit orang yang mengikuti seruan para Nabi
  14. Nabi yang tidak mempunyai pengikut, datang sendirian pada hari Kiamat
  15. Buah dari pengetahuan ini adalah; tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak merasa kecil dengan jumlah yang sedikit
  16. Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ‘ain atau sengatan
  17. Dalamnya pengertian kaum Salaf, dapat dipahami dari kata-kata Sa’id bin Jubair, "Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang ia dengarnya; tetapi …" dan seterusnya. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits pertama tidak bertentangan dengan hadits yang kedua
  18. Kemudian sifat kaum Salaf karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat-buat
  19. Sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam "Kamu termasuk golongan mereka", adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau
  20. Keutamaan ‘Ukasyah
  21. Penggunaan kata sindiran [5]
  22. Keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Catatan Kaki

[5] Karena beliau shalallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada seorang yang lain: "Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah", dan tidak bersabda kepadanya, "Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka."

Da’wah Kepada Syahadat "La Ilaha Illallah"


Setelah dalam beberapa bab penulis Kitab Tauhid memotivasi para pembaca untuk menghayati inti ajaran Islam dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan tauhid serta betapa bahayanya syirik, maka penulis melanjutkan kepada pembahasan inti. Beliau memulainya dengan pengenalan syahadat yang pertama yaitu "La Ilaha Illallah".

Firman Allah Ta’ala:
"Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’." (Yusuf: 108)

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya, "Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali da’wah yang kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat ‘La ilaha illallah’ -dalam riwayat lain disebutkan ‘Supaya mereka mentauhidkan Allah’ – Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu da’wahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan jagalah dirimu dari do’a orang mazhlum (yang teraniaya), karena sesungguhnya tiada suatu tabir penghalang pun antara doanya dan Allah." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam semasa perang Khaibar bersabda, "Demi Allah, niscaya akan kuserahkan bendera (komando perang) itu besok hari kepada orang yang mencintai Allah serta rasul-Nya dan dia dicintai Allah serta rasul-Nya; semoga Allah menganugerahkan kemenangan melalui tangannya." Maka semalam suntuk orang-orang memperbincangkan siapakah diantara mereka yang akan diserahi bendera tersebut itu. Pagi harinya, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, masing-masing berharap untuk diserahi bendera tersebut. Lalu bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam, "Di mana ‘Ali bin Abu Thalib?" Dijawab, "Dia sakit kedua belah matanya." Mereka pun mengutus seorang utusan kepadanya dan didatangkanlah dia. Lantas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam meludah kepada kedua belah matanya dan berdo’a untuknya, seketika itu dia sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera dan bersabda, "Melangkahlah ke depan dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam[1] dan sampaikanlah kepada mereka hak Allah Ta’ala dalam Islam yang wajib mereka laksanakan. Demi Allah, bila Allah memberi petunjuk satu orang lewat dirimu, benar-benar (hal itu) lebih baik (berharga) bagimu dari pada unta-unta merah."[2]


Kandungan Bab Ini

  1. Da’wah kepada syahadat "La ilaha illallah"adalah pandangan hidup bagi orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
  2. Diingatkan dalam bab ini supaya ikhlas [dalam berda'wah] semata-mata karena Allah], karena kebanyakan orang kalau mengajak kepada kebenaran justru ia mengajak kepada [kepentingan] dirinya sendiri.
  3. Mengerti betul dan yakin akan apa yang dida’wahkan adalah termasuk kewajiban
  4. Termasuk bukti kebaikan tauhid, bahwa tauhid adalah mengagungkan Allah
  5. Dan di antara keburukan syirik, bahwa syirik adalah merendahkan Allah
  6. Termasuk masalah yang sangat penting, bahwa seorang muslim perlu dijauhkan dari lingkungan orang-orang yang berbuat syirik, supaya nanti tidak menjadi seperti mereka, sekalipun dia belum melakukan syirik
  7. Tauhid adalah kewajiban pertama
  8. Tauhid adalah yang pertama kali harus dida’wahkan sebelum semua kewajiban yang lain, termasuk kewajiban shalat
  9. Pengertian "Supaya mereka mentauhidkan Allah" adalah pengertian syahadat
  10. Seorang bisa jadi termasuk Ahlul Kitab, akan tetapi dia tidak tau pengertian "La ilaha illallah" yang sebenarnya; atau mengetahuinya tetapi tidak mengamalkannya
  11. Perlu diperhatikan metode pengajaran secara bertahap
  12. Yaitu dimulai dari masalah yang paling penting, kemudian penting dan begitu seterusnya
  13. Salah satu sasaran pembagian zakat adalah orang-orang fakir
  14. Orang yang berilmu supaya menjelaskan sesuatu yang masih diragukan oleh orang yang sedang belajar
  15. Berkenaan dengan zakat, dilarang untuk mengambil harta pilihan (termahal harganya)
  16. Supaya menjaga diri dari tindakan zhalim terhadap seseorang
  17. Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa do’a orang yang mazhlum (teraniaya) dikabulkan Allah
  18. Di antara bukti-bukti tauhid adalah hal-hal yang dialami oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat seperti kesulitan, kelaparan dan wabah penyakit
  19. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Demi Allah, niscaya akan kuserahkan bendera (komando perang) ini …" dan seterusnya adalah salah satu tanda-tanda kenabian beliau
  20. Sembuhnya kedua belah mata ‘Ali bin Abi Thalib setelah diludahi oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, termasuk pula dari tanda kenabian beliau
  21. Keutamaan ‘Ali
  22. Keistimewaan para sahabat, [karena hasrat mereka yang besar sekali dalam kebaikan dan sikap mereka yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shalih]. Ini dapat dilihat pada perbincangan mereka di malam [menjelang perang Khaibar, tentang siapakah di antara mereka yang akan diserahi bendera komando perang, masing-masing mereka menginginkan agar dirinyalah yang menjadi orang yang memperoleh kehormatan itu.]
  23. Iman kepada qadar, karena bendera komando tersebut tidak diserahkan kepada orang yang sudah berusaha, malah diserahkan kepada orang yang tidak berusaha untuk memperolehnya
  24. Etika di dalam jihad, sebagaimana terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Melangkahlah ke depan dengan tenang …"
  25. Disyariatkan untuk berda’wah (mengajak) kepada Islam, sebelum perang
  26. Syariat ini berlaku pula terhadap mereka yang sudah pernah dida’wahi dan diperangi sebelumnya
  27. Da’wah dengan cara yang bijaksana, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau, "… dan sampaikanlah mereka hak Allah Ta’ala dalam Islam yang wajib mereka laksanakan."
  28. Mengetahui hak Allah dalam Islam.[3]
  29. Kemuliaan da’wah dan pahala bagi seorang da’i yang bisa memasukkan satu orang saja ke dalam Islam
  30. Boleh bersumpah di dalam menyampaikan petunjuk

Catatan Kaki

[1] Ajaklah mereka kepada Islam, yaitu kepada pengertian yang sebenarnya dari dua kalimat syahadat, ialah berserah diri kepada Allah, lahir dan batin dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang sidampaikan melalui rasul-Nya.

[2] Unta-unta merah adalah harta kekayaan yang sangat berharga dan menjadi kebanggaan orang Arab pada masa itu.

[3] Hak Allah dalam Islam yang wajib dilaksanakan ialah seperti shalat, zakat, shiyam, haji dan kewajiban lainnya.

Takut Kepada Syirik


Pada bab berikutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis memulai menguatkan motivasi para pembaca dengan menggambarkan bahayanya syirik kepada Allah. Dengan menyadari akan besarnya bahaya ini, maka hendaknya kita semua sebagai muslim tidak menganggap enteng masalah ini. Mari kita murnikan tauhid dan menjauhi syirik. Temukan alasannya kenapa kita harus takut terhadap syirik.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa’: 48, 116)

"… dan jauhkanlah aku serta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (Ibrahim: 35)

Diriwayatkan dalam suatu hadits, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Sesuatu yang paling aku khawatirkan kepada kamu sekalian adalah perbuatan syirik kecil." Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab, "Yaitu riya’." [1]

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah, masuklah ia ke dalam Neraka." (Hadits riwayat Al-Bukhari)

Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun, pasti masuk Surga; tetapi barangsiapa menemu-Nya (mati) dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk Neraka."

Kandungan Bab Ini
  1. Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi
  2. Riya’ termasuk perbuatan syirik
  3. Riya’ termasuk syirik ashgar (kecil)[2]
  4. Syirik ashghar ini adalah perbuatan dosa yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap para sahabat padahal mereka itu adalah orang-orang shalih
  5. Surga dan Neraka adalah dekat
  6. Dekatnya Surga dan Neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits
  7. Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.pasti masuk Surga. Tetapi barangsiapa mati dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya, pasti masuk Neraka, sekalipun dia termasuk orang yang
    paling banyak ibadahnya
  8. Masalah penting, yaitu bahwa Nabi Ibrahim memohonkan kepada Allah untuk diri dan anak cucunya supaya dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala
  9. Nabi Ibrahim mengambil pelajaran dari keadaan sebagian besar manusia, yaitu bahwa mereka itu adalah sebagaimana kata beliau, "Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia …" (Ibrahim: 36)
  10. Bab ini mengandung tafsiran kalimat "La ilaha illallah",,sebagaimana dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari, [yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah]
  11. Keutamaan orang yang dirinya bersih dari syirik

Catatan Kaki

[1] Hadits riwayat Imam Ahmad, Ath-Thabrani, Ibnu Abid-Dunya dan Al-Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd.
[2] Syirik ada dua macam,

Syirik akbar yaitu memperlakukan sesuatu selain Allah sama dengan Allah, dalam hal-hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya

Syirik ashghar yaitu perbuatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai suatu syirik tetapi belum sampai ke tingkat syirik akbar.

Adapun perbedaannya adalah,
1.      Syirik akbar menghapus seluruh amal, sedangkan syirik ashghar hanya menghapus amal yang disertainya saja
2.      Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan syirik ashghar tidak sampai demikian
3.      Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik ashghar tidak menyebabkan keluar dari Islam.


Termasuk Syirik: Memakai Gelang, Benang Dan Sejenisnya Sebagai Pengusir Atau Penangkal Mara Bahaya


Masih pada pembahasan Kitab Tauhid, dalam bab ini, penulis hendak menerangkan lebih lanjut pengertian "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah" dengan menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengannya, yaitu syirik dan macam-macamnya, baik yang besar maupun yang kecil, karena dengan mengenal syirik sebagai lawan tauhid akan menjadi sangat jelas pengertian yang benar mengenai "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah"

[1] Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
" Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nya lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri." (Az-Zumar:38)

‘Imran bin Hushain menuturkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan, maka beliau bertanya, "Apakah ini?" Orang itu menjawab, "Penangkal sakit." Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, "Lepaskan itu, karena dia hanya menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya." (Hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang bisa diterima)

Dalam riwayat Imam Ahmad pula dari ‘Uqbah bin ‘Amir dalam hadits marfu’, "Barangsiapa menggantungkan tamimah[2], semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya; dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah [3], semoga Allah tidak memberikan ketenangan pada dirinya." Disebutkan dalam riwayat lain, "Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik."

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hufaidzah, bahwa ia melihat seorang laki-laki di tangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah, "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). " (Yusuf: 106)

Kandungan Bab Ini
  1. Dilarang keras memakai gelang, benang dan sejenisnya untuk maksud-maksud seperti tersebut di atas
  2. Dinyatakan bahwa sahabat tadi apabila mati, sedangkan gelang (atau sejenisnya) itu masih melekat pada tubuhnya, dia tidak akan beruntung. Ini menunjukkan kebenaran pernyataan para sahabat bahwa "Syirik ashghar lebih berat daripada perbuatan dosa besar."
  3. Syirik tidak dapat dimaafkan dengan alasan karena tidak mengerti
  4. Gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menolak atau mengusir suatu penyakit, bahkan berbahaya; karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,"… karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu."
  5. Mengingkari dengan keras terhadap orang yang melakukan perbuatan seperti itu
  6. Dijelaskan bahwa orang yang menggantungkan sesuatu barang untuk maksud-maksud seperti di atas, Allah akan menjadikan dirinya menghandalkan barang itu
  7. Dinyatakan bahwa orang yang menggantungkan tamimah telah melakukan perbuatan syirik
  8. Mengikatkan benang pada tubuh untuk mengobati sakit panas termasuk syirik
  9. Pembacaan ayat tersebut yang dilakukan oleh Hudzaifah, menunjukkan bahwa para sahabat menggunakan ayat-ayat yang berkenaan dengan syirik akbar sebagai dalil untuk syirik ashghar, sebagaimana tafsiran yang disebutkan Ibnu ‘Abbas dalam salah satu ayat dari surat Al-Baqarah.
  10. Menggantungkan wada’ah sebagai penangkal atas pengusir ‘ain termasuk pula syirik
  11. Orang yang menggantungkan tamimah didoakan semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya; dan orang yang menggantungkan wada’ah didoakan semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.

Catatan Kaki

[1] Dimulai dengan bab ini, penulis hendak menerangkan lebih lanjut pengertian "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah" dengan menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengannya, yaitu syirik dan macam-macamnya, baik akbar maupun ashghar, karena dengan mengenal syirik sebagai lawan tauhid akan jelas sekali pengertian yang sebenarnya dari "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah".
[2] Tamimah, sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan rasa dengki seseorang dan lain lagi sebagainya.
[3] Wa’adah sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang; menurut anggapan orang-orang jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit. Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.

Tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "La Ilaha Illallah"


Memasuki pembahasan berikutnya dari Kitab Tauhid, penulis menjelaskan pengertian tauhid dan syahadat "La Ilaha Illallah" setelah sebelumnya menjelaskan mengenalkan syahadat tersebut. Dalil-dalil serta hikmah-hikmah apa saja yang disajikan penulis dalam bab ini?

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isra’: 57)

"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang Menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’." (Az-Zukhruf:26-27)

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-aubah:31)

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)

Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,"Barangsiapa yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab (perhitungan) nya adalah terserah kepada Allah."

Kandungan Bab Ini

Keterangan bab ini adalah pada bab-bab berikutnya. Adapun kandungan bab ini menyangkut masalah yang paling besar dan paling mendasar, yaitu tafsiran "Tauhid" dan tafsiran "Syahadat".

Masalah tersebut telah diterangkan dalam bab ini dengan beberapa hal yang cukup jelas, antara lain:
  1. Ayat dalam surat Al-Isra’. Diterangkan dalam ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang berdo’a (meminta) kepada orang-orang shalih. Maka, ayat ini mengandung suatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu adalah syirik akbar [1]
  2. Ayat dalam surat Bara’ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini bahwa kaum ahli kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan, yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan maksudnya adalah bukan ahli kitab itu menyembah mereka [2]
  1. Kata-kata Al-Khalil Ibrahim kepada orang-orang kafir, "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku …"
    Di sini beliau mengecualikan Allah dari segala sesembahan. Pembebasan diri (dari segala sesembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada sembahan yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat "La ilaha illallah". Allah berfirman, "Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu." (Az-Zukhruf: 28)
  1. Ayat dalam surat Al-Baqarah berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya, "Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka." (Al-Baqarah: 167)


Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka ini belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam.


Lalu, bagaimana dengan orang yang mencintai sembahannya lebih besar daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak mencintai Allah?
  1. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam "Barangsiapa mengucapkan "La ilaha illallah" dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab (perhitungan) nya adalah terserah kepada Allah."


Ini adalah termasuk hal yang terpenting yang menjelaskan pengertian "La ilaha illallah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat "La ilaha illallah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan juga karena tidak meminta kecuali kepada Allah saja. Yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi, tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat "La ilaha illallah" itu dengan pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.


Sungguh, betapa agung dan penting tafsiran "Tauhid" dan syahadat "La ilaha illallah" yang terkandung dalam hadits ini, betapa jelas keterangan yang dikemukakannya dan betapa mematikan hujjah yang diajukan bagi orang yang menentang.

Catatan Kaki

[1] Dapat diambil kesimpulan dari ayat dalam surah Al-Isra’ tersebut bahwa tafsiran tauhid dan syahadat "La ilaha illallah" yaitu: meninggalkan apa yang diamalkan kaum musyrikin seperti menyeru (memohon) kepada orang-orang shalih dan meminta syafa’at kepada mereka.

[2] Dapat diambil kesimpulan dari ayat dalam surat Bara’ah (At-Taubah) tersebut bahwa tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah" yaitu pemurnian ketaatan kepada Allah, dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.

Tentang Ruqyah dan Tamimah


Memasuki pembahasan berikutnya, penulis menjelaskan pengertian ruqyah dan tamimah. Bagaimanakah pemahaman yang benar tentang kedua hal ini? Apa hikmah yang dapat diambil dari bab ini?

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Basyir Al-Anshari bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanan beliau, lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk memaklumkan):”Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan”

Ibnu Mas’ud menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah syirik.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud)

Tamimah [1]: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak ‘ain. tetapi, apabila yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagian Salaf memberikan keringanan dalam hal ini; dan sebagian yang lain tidak mempebolehkan dan memandangnya termasuk hal yang dilarang, di antaranya Ibnu Mas’ud

Ruqyah [2]: yaitu yang disebut juga ‘azimah. Ini khusus diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memberi keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking

Tiwalah: sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membuat seorang isteri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai isterinya.

Hadits marfu’ diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim,“Barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut.”(Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’, katanya, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, ‘Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang; untuk itu, sampaikan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang menggelung jenggotnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja’ dengan kotoran binatang ataupun dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad lepas dari orang itu’.”

Waki’ meriwayatkan bahwa Sa’d bin Jubair berkata, “Barangsiapa memutus suatu Tamimah dari seorang, maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang budak.”

Dan Waki’ meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An-Nakha’i) berkata, “Mereka (para sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud) membenci segala jenis tamimah, baik dari ayat-ayat Al-Qur’an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur’an.”

Kandungan Bab Ini

  1. Pengertian ruqyah dan tamimah
  2. Pengertian tiwalah
  3. Bahwa ketiga jenis ini semuanya, tanpa terkecuali, termasuk syirik
  4. Adapun ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau doa-doa yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengobati ‘ain atau sengatan, tidak termasuk hal tersebut
  5. Jika tamimah itu dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat, apakah termasuk hal tersebut (syirik) atau tidak?
  6. Mengalungkan tali busur panah pada leher binatang untuk menangkal atau mengusir ‘ain termasuk pula syirik
  7. Ancaman berat bagi orang yang mengenakan kalung dari tali busur panah
  8. Keistimewaan pahala bagi orang yang memutuskan tamimah dari tubuh seseorang
  9. Kata-kata Ibrahim An-Nakha’i tersebut di atas tidaklah bertentangan dengan perbedaan pendapat yang telah disebutkan, karena yang dimaksud Ibrahim adalah para sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud.[3]

Catatan Kaki

[1] Tamimah dari ayat suci atau hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lebih baik ditinggalkan karena tidak ada dasarnya dari syara’; bahkan hadits yang melarangnya bersifat umum, tidak seperti halnya ruqyah, ada hadits lain yang memperbolehkan. Di samping itu apabila dibiarkan atau diperbolehkan akan membuka peluang untuk menggunakan tamimah yang haram.
[2] Ruqyah, Penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau doa-doa dari As-Sunnah
[3] Sahabat-sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud antara lain Alqamah, Al-Aswad, Abu Wa’il, Al-Harits bin Suwaid, ‘Ubadah As-Salmani, Masruq, Ar-Rabi’ bin Khaitsam, Suwaid bin Ghaflah. Mereka ini adalah tokoh generasi Tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi).

Mereka Yang Mengharapkan Berkah Kepada Pohon, Batu Dan Sejenisnya


Dalam bab ini, penulis hendak menjelaskan secara khusus orang-orang yang suka mengharap berkah kepada sesuatu selain Allah. Penulis ingin menunjukkan bahwa hal-hal semacam itu dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana bunyi serta penjelasan dalil-dalilnya?

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan al-Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 19 – 23)

Abu Waqid Al-Laitsi menuturkan,
“Suatu saat kami sedang pergi kaluar bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik mempunyai batang pohon bidara yang disebut Dzat Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata, ‘Ya rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka itu mempunyai Dzat Anwath.’ Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,“Allahu Akbar! Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di Tangan-Nya, kamu belum benar-benar mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa (‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan.’ Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’). Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan dinyatakannya shahih)

Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah An-Najm [1].
  2. Mengetahui bentuk permintaan mereka
  3. Bahwa mereka belum melakukan apa yang mereka minta itu
  4. Dan maksud mereka dengan permintaan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena mereka beranggapan bahwa Allah menyenanginya
  5. Apabila mereka tidak mengerti hal ini, maka selain mereka lebih tidak mengerti lagi
  6. Mereka memiliki kebaikan-kebaikan dan jaminan maghfirah yang tidak dimiliki oleh orang-orang selain mereka
  7. Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menerima alasan mereka, bahkan beliau shallallahu’alaihi wa sallam menyangkal mereka dengan bersabda, “Allahu akbar! Itulah tradisi orang-orang sebelum kamu. Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.” Beliau bersikap keras terhadap permintaan mereka itu dengan ketiga kalimat ini
  8. Permasalahan penting, dan inilah yang dimaksud, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberi tahu bahwa permintaan mereka itu seperti permintaan Bani Israil tatkala mereka berkata kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan.”
  9. Pengingkaran terhadap hal tersebut adalah termasuk di antara pengertian “La ilaha illallah” yang sebenarnya. Dan ini belum dimengerti dan dipahami oleh mereka yang baru masuk Islam itu
  10. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menggunakan sumpah dalam menyampaikan petunjuknya, dan beliau tidak berbuat demikian kecuali untuk suatu maslahat
  11. Bahwa syirik ada yang akbar dan ada pula yang ashghar, karena mereka tidak menjadi murtad dengan permintaan mereka itu.
  12. Kata-kata Abu Waqid Al-Laitsi, “… sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam) …” menunjukkan bahwa para sahabat selain mereka mengerti bahwa perbuatan mereka termasuk syirik
  13. Bertakbir ketika merasa heran atau mendengar sesuatu yang tidak patut diucapkan dalam agama, berlainan dengan pendapat orang yang menyatakannya makruh
  14. Harus ditutup segala pintu menuju perbuatan syirik
  15. Dilarang meniru atau melakukan sesuatu perbuatan yang menyerupai perbuatan-perbuatan jahiliyah
  16. Boleh marah ketika menyampai pelajaran
  17. Kaidah umum, bahwa di antara umat ini ada yang melakukan perbuatan syirik dan mengikuti tradisi-tradisi umat sebelumnya; berdasarkan sabda beliau, “Itulah tradisi orang-orang sebelum kamu …”
  18. Ini adalah salah satu dari tanda kenabian, karena terjadi sebagaimana yang beliau beritakan
  19. Celaan yang ditunjukkan Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang terdapat dalam Al-Qur’an, berlaku pula untuk kita
  20. Menurut mereka (para sahabat) sudah menjadi ketentuan bahwa amalan-amalan ibadah harus berdasarkan pada perintah Allah, [bukan mengikuti keinginan, pikiran atau hawa nafsu sendiri]. Dengan demikian, hadits tersebut di atas mengandung isyarat tentang hal-hal yang akan dinyatakan kepada manusia dialam kubur.
Adapun “Siapakah Tuhanmu?”, sudah jelas; sedangkan “Siapakah Nabimu?”, berdasarkan keterangan masalah-masalah ghaib yang beliau beritakan akan terjadi; dan “Apa agamamu?” Berdasarkan ucapan mereka , “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan …” dst
  1. Tradisi Ahli Kitab itu tercela, seperti halnya tradisi kaum musyrikin
  2. Bahwa orang yang baru saja pindah dari tradisi bathil yang sudah menjadi kebiasaan dirinya, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa dirinya terbebas dari sisa-sisa tradisi tersebut; sebagai buktinya mereka mengatakan, “… sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam).”
Dan mereka pun belum terlepas dari tradisi kafir, karena kenyataannya mereka meminta dibuatkan Dzat Anwath sebagaimana yang dimiliki oleh kaum musyrikin

Catatan Kaki

[1] Dalam ayat ini, Allah menyangkal tindakan kaum musyrikin yang tidak rasional, karena mereka menyembah ketiga berhala tersebut yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak pula dapat menolak suatu mudharat. Dan Allah mencela tindakan zhalim mereka dengan memilih untuk mereka jenis yang baik dan memberikan untuk Allah jenis yang buruk -di dalam anggapan mereka-.
Tindakan mereka itu semua hanyalah berdasarkan sangkaan-sangkaan dan hawa nafsu, tidak berdasarkan sama sekali pada tuntunan para Rasul yang mengajak umat manusia untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak beribadah sedikitpun kepada selain-Nya

Menyembelih Binatang Dengan Niat Bukan Lillah (Karena Allah)


Melanjutkan pembahasan Kitab Tauhid, dalam bab ini, penulis menjelaskan perihalmhukum menyembelih binatang dengan niat bukan karena Allah. Beliau menganggap masalah yang sangat penting ini dengan menyebutkan khabar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang seorang yang masuk Surga karena seekor lalat dan seorang yang lain masuk Neraka karena seekor lalat. Bagaimana ceritanya?

Firman Allah Ta’ala:
Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (Al-An’am: 162 – 163)

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (Al-Kautsar:2)

‘Ali berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah menuturkan kepadaku empat kalimat: “Allah melaknat orang yang menyembelih binatang dengan berniat bukan Lillah. Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Allah melaknat orang yang merubah batas tanda tanah.”(Hadits riwayat Muslim) 

Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Ada orang masuk Surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk Neraka karena seekor lalat pula. Para sahabat bertanya, Bagaimana hal itu, ya Rasulullah? Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.

Ketika itu berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, "Persembahkanlah kurban kepadanya!" Dia menjawab, "Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya. Mereka pun berkata lagi, "Persembahkan sekalipun seekor lalat." Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk Neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain, "Persembahkanlah
kurban kepadanya!" Dia menjawab, "Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk Surga”.
(Hadits riwayat Imam Ahmad).


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah Al-An’am.[1]
  2. Tafsiran ayat dalam surah Al-Kautsar. [2]
  3. Dalam hadits tersebut di atas, pertama kali yang dilakukan adalah orang yang menyembelih binatang dengan niat bukan lillah.
  4. Dilaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya; dan di antaranya adalah dengan melaknat bapak-ibu orang lain, lalu orang lain ini melaknat bapak-ibu orang tersebut.[3]
  5. Dilaknat orang yang melindungi seorang pelaku kejahatan yaitu orang yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang melakukan tindak kejahatan yang wajib ditetapkan kepadanya hukum Allah.
  6. Dilaknat pula orang yang mengubah tanda batas tanah yaitu mengubah tanda yang membedakan antara hak milik seseorang dengan hak milik tetangganya dengan digeser maju atau mundur.
  7. Ada perbedaan melaknat orang tertentu dan melaknat orang yang berbuat maksiat secara umum.
  8. Kisah seekor lalat tersebut merupakan kisah yang penting sekali.
  9. Bahwa orang yang masuk Neraka itu disebabkan karena ia mempersembahkan kurban lalat yang di sendiri tidak sengaja berbuat demikian. Akan tetapi dia melakukan tersebut untuk melepaskan diri dari perbuatan buruk pada pemuja berhala itu.
  10. Mengetahui kadar syirik dalam hati orang yang beriman, bagaimana ketabahan hatinya dalam menghadapi eksekusi hukuman mati dan penolakannya untuk memenuhi permintaan mereka, padahal mereka tidak meminta kecuali amalan lahiriah saja.
  11. Orang yang masuk Neraka tersebut adalah seorang muslim; sebab seandainya
    dia orang kafir, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak akan bersabda, "… masuk Neraka karena seekor lalat …"
  12. Hadits ini merupakan suatu bukti bagi hadits shahih yang menyatakan “Surga itu lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada tali sendalnya sendiri. Dan Neraka pun demikian halnya. “
  13. Mengetahui bahwa amalan hati adalah tolok ukur yang terpenting, sampai pun bagi para pemuja berhala.

Catatan Kaki

[1] Ayat ini menunjukkan bahwa penyembelihan binatang untuk selain Allah adalah syirik, sebagaimana shalat untuk selain Allah.

[2] Ayat ini menunjukkan bahwa shalat dan penyembelihan adalah ibadah yang harus diniati untuk Allah semata-mata, dan penyelewengan niat ini dengan ditujukan untuk selain Allah adalah syirik. 

[3] Dengan demikian, orang tersebut menjadi penyebab terlaknatnya kedua orang tuanya (akibat dia melaknat orang tua dari orang lain).

Hal-hal Yang Dilarang Dalam Menyembelih Binatang Dengan Niat Lillah


Lebih lanjut mengenai menyembelih binatang dengan niat karena Allah, penulis Kitab Tauhid menerangkan bagaimana melakukan hal tersebut. Beliau ingin agar para pembaca berhati-hati dalam masalah ini. Walaupun niat kita benar (karena Allah semata), namun kita juga harus memperhatikan tempat dimana kita melakukannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (para orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Didalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 107 – 108).

Tsabit bin Adh-Dhahak menuturkan,
Ada seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Bunawah[2] bertanya orang itu kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi pun bertanya, "Apakah di tempat itu pernah ada salah satu dari berhala-berhala Jahiliyah yang disembah?" Para sahabat menjawab, "Tidak." Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Penuhilah nadzarmu itu. Akan tetapi tidak boleh dipenuhi suatu nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar perkara yang di luar hak milik seseorang.[3]


Kandungan Bab ini

  1. Tafsiran firman Allah tersebut di atas.[4]
  2. Kemaksiatan bisa membawa pengaruh di muka bumi, demikian halnya ketaatan kepada Allah.
  3. Masalah yang masih diragukan hendaknya dikembalikan kepada masalah yang jelas, untuk menghilangkan keraguan itu.
  4. Bila perlu, seorang mufti sebelum memberikan fatwanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan keterangan yang jelas.
  5. Tidak dilarang untuk menentukan suatu tempat tertentu untuk melaksanakan nadzar, selama tempat itu terbebas dari hal-hal yang terlarang.
  6. Akan tetapi, jika pernah salah satu dari berhala-berhala kaum Jahiliyah, meskipun sudah tidak ada lagi, maka dilarang melaksanakan nadzar di tempat itu.
  7. Dan dilarang pula melakukan nadzar di suatu tempat, jika di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu dari perayaan hari raya mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
  8. Tidak boleh melaksanakan nadzar di tempat tersebut karena nadzar tersebut kategori nadzar maksiat.
  9. Harus dihindari perbuatan yang menyerupai kaum musyrikin dalam cara keagamaan dan perayaan hari-hari raya mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
  10. Tidak boleh bernadzar untuk melaksanakan suatu kemaksiatan.
  11. Dan tidak boleh seseorang bernadzar dalam hal yang tidak menjadi hak miliknya.

Catatan Kaki

[1] Relevansi bab ini dengan tauhid, bahwa seorang muslim apabila menyembelih binatang di tempat yang dipakai orang-orang musyrikin, maka ia telah berbuat sama seperti mereka, meskipun kesamaan itu dalam lahirnya saja, karena kesamaan lahir akan membawa kesamaan batin.

[2] Bunawah: nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah sebelum Yalamlam; atau anak bukit setelah Yanbu’.

[3] Hadits riwayat Abu Dawud dan isnad-nya menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.

[4] Ayat ini menunjukkan pula bahwa menyembelih binatang dengan niat Lillah dilarang dilakukan di tempat yang dipergunakan oleh orang-orang musyrik untuk menyembelih binatang, sebagaimana shalat dengan niat lillah dilarang dilakukan di masjid yang didirikan atas dasar maksiat kepada Allah.

Termasuk Syirik: Bernadzar Bukan Lillah dan Isti’adzah Kepada Selain Allah


Pada pembahasan Kitab Tauhid, penulis sampai menegaskan, “Termasuk Syirik” padahal bab-bab sebelumnya juga termasuk syirik besar. Ini menunjukkan beliau menekankan beberapa hal yang sangat berbahaya dari syirik besar yaitu nadzar bukan untuk Allah dan isti’adzah kepada selain-Nya. Bagaimana dalil-dalil penguatnya?

Termasuk Syirik: Bernadzar Bukan Lillah

Firman Allah,
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7).

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 270).


Diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari) dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka supaya mentaati-Nya; akan tetapi barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya (dengan melaksanakan nadzarnya itu).“


Kandungan Bab Ini

  1. Memunaikan nadzar adalah wajib
  2. Apabila sudah menjadi ketetapan bahwa nadzar adalah ibadah untuk Allah semata-mata, maka menyelewengkannya kepada selain Allah adalah syirik
  3. Dilarang untuk menunaikan nadzar maksiat.

Termasuk Syirik: Isti’adzah (Meminta Perlindungan) Kepada Selain Allah


Firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6).

Khaulah binti Hakim menuturkan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa singgah di suatu tempat, lalu berdo’a "‘A’udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq" (aku berlindung dengan kalam Allah Yang Maha Sempurna dari kejahatan segala makhluk yang Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempatnya itu.” (Hadits riwayat Muslim)


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Jin. [1]
  2. Isti’adzah kepada jin, atau selain Allah, termasuk syirik
  3. Hadits tersebut di atas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama’, merupakan dalil bahwa kalam Allah bukan makhluk (ciptaan) karena diisyaratkan agar isti’adzah dengannya; soalnya, andaikata makhluk niscaya dilarang karena isti’adzah dengan sesuatu makhluk adalah syirik.
  4. Keutamaan do’a ini, meskipun ringkas.
  5. Bahwa sesuatu yang bisa memberikan kemanfaatan duniawi, seperti menolak suatu kejahatan atau mendatangkan suatu keuntungan, tidak berarti bahwa hal itu tidak termasuk syirik.

Catatan Kaki

[1] Dalam ayat ini, Allah memberitahukan bahwa ada di antara manusia yang meminta perlindungan kepada jin agar merasa aman dari apa yang mereka khawatirkan, akan tetapi jin itu justru menambah dosa dan rasa khawatir bagi mereka karena mereka tidak meminta perlindungan kepada Allah.  


Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah adalah termasuk syirik dan (perkara yang -red) terlarang.

Termasuk Syirik: Istighatsah Atau Do’a Kepada Selain Allah


Selanjutnya, masih dalam hal yang sangat berbahaya dari syirik besar, penulis Kitab Tauhid memaparkan dalil-dalil serta keterangan yang lebih banyak dari penjelasan yang sebelumnya. Dan pernah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika seseorang ingin beristighatsah kepada beliau. Bagaimana kisahnya?

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106).

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107).

“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (Al-’Ankabut: 17).

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (Al-Ahqaf:5 – 6).

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (An-Naml: 62).

Ath-Thabrani, dengan menyebutkan sanadnya, meriwayatkan bahwa, pernah terjadi pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ada seorang munafik yang selalu mengganggu orang-orang mu’min, maka berkatalah salah seorang di antara mereka, "Marilah kita bersama-sama istighatsah kepada Rasulullah supaya dihindarkan dari tindakan buruk orang munafik ini." Ketika itu, bersabdalah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Sesungguhnya tidak boleh istighatsah kepadaku, tetapi istighatsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja.”


Kandungan Bab Ini

  1. Istighatsah, pengertiannya lebih khusus daripada doa.[1]
  2. Tafsiran ayat pertama. [2]
  3. Memohon kepada selain Allah adalah syirik akbar.
  4. Bahwa orang yang paling shalih sekalipun, kalau dia melakukan perbuatan ini untuk mengambil hati orang lain, maka dia termasuk golongan orang yang zhalim (musyrikin).
  5. Tafsiran ayat kedua.[3]
  6. Memohon kepada selain Allah tidak mendatangkan manfaat duniawi, disamping perbuatan itu sendiri perbuatan kafir.
  7. Tafsiran ayat ketiga. [4]
  8. Sebagaimana Surga tidak dapat diminta kecuali Allah, demikian halnya dengan rizki, tidak patut diminta kecuali dari-Nya.
  9. Tafsiran ayat keempat.[5]
  10. Tiada yang lebih sesat daripada orang yang memohon kepada sesembahan selain Allah.
  11. Sesembahan selain Allah itu tidak merasa dan tidak tahu bahwa ada orang yang memohon kepadanya.
  12. Permohonan itulah yang menyebabkan sesembahan selain Allah membenci dan memusuhi orang yang memohon kepadanya (pada hari Kiamat).
  13. Permohonan ini disebut sebagai ibadah kepada sesembahan selain Allah.
  14. Dan sesembahan selain Allah itu nanti pada hari Kiamat akan mengingkari ibadah yang mereka lakukan.
  15. Permohonan inilah yang menyebabkannya menjadi orang yang paling sesat.
  16. Tafsiran ayat kelima.[6]
  17. Hal yang mengherankan, bahwa para pemuja berhala mengakui bahwa tiada yang dapat memperkenankan permohonan orang yang berbeda dalam kesulitan selain Allah. Untuk itu, ketika mereka berada dalam keadaan sulit dan terjepit, mereka memohon kepada-Nya dengan ikhlas dan memurnikan ketaatan untuk-Nya.
  18. Hadits di atas menunjukkan tindakan preventif yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam Al-Musthafa, untuk melindungi benteng tauhid, dan sikap ta’abbud (sopan santun) beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Catatan Kaki

[1] Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.

[2] Ayat pertama menunjukkan bahwa dilarang memohon kepada selain Allah, karena selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula dapat mendatangkan bahaya kepada seseorang.

[3] Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala ibadah yang dilakukan manusia, seperti do’a, istighatsah dan sebagainya. Karena hanya Allah Yang Maha Kuasa, jika dia menimpakan sesuatu bahaya  kepada seseorang, maka tiada yang dapat menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika menghendaki untuk seseorang suatu kebaikan, maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Tiada seorang pun yang mampu menghalangi kehendak Allah.

[4] Ayat ketiga menunjukkan bahwa hanya kepada Allah yang berhak dengan ibadah dan rasa syukur kita, dan hanya kepada-Nya seharusnya kita meminta rizki, karen selain Allah tidak mampu memberikan rizki.

[5] Ayat keempat menunjukkan bahwa do’a (permohonan) adalah ibadah, karena itu barangsiapa menyelewengkannya kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik.

[6] Ayat kelima menunjukkan bahwa istighatsah kepada selain Allah –karena tiada yang kuasa kecuali Dia- adalah bathil dan termasuk syirik.

Rasa Takut Para Malaikat Ketika Turun Wahyu Dari Allah


Selanjutnya, masih dalam meyakinkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, penulis Kitab Tauhid memaparkan bagaimana para malaikat, sebagai makhluk yang besar dan kuat serta keutaman lainnya, takut kepada Allah. Jadi, tidak pantas bagi manusia untuk menyembah malaikat. Bagaimana kisah takutnya malaikat ini?

Keadaan Para Malaikat, Sebagai Makhluk Allah Yang Paling Perkasa, Dan Rasa Takut Mereka Ketika Turun Wahyu Dari Allah [1]

Firman Allah Azza wa Jalla:
“Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, "(Perkataan) yang benar", dan Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.” (Saba’: 23)

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila Allah telah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar) itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata, hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan).

Maka apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata, "Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, "(Perkataan) yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar."

Ketika itulah, (setan-setan) penyadap berita (wahyu) itu mendengarnya. Keadaan penyadap berita itu seperti ini: sebagian mereka di atas sebagian yang lain -digambarkan Sufyan[2] dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya- maka ketika penyadap berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang di bawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang ada dibawahnya dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal.”

Akan tetapi kadangkala setan penyadap berita itu terkena syihab (meteor) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadangkala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab; lalu dengan satu kalimat yang didengarnyalah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam kebohongan.”

Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan, "Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar)", sehingga dipercayalah tukang sihir dan tukang ramal tersebut karena satu kalimat telah didengar dari langit. “

An-Nawas bin Sim’an menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Apabila Allah Ta’ala hendak mewahyukan perintah-Nya maka Dia firmankan wahyu itu, dan langit-langit bergetar dengan keras karena takut kepada Allah. Lalu, apabila para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut, pingsanlah mereka dan bersimpuh sujud kepada Allah. Maka malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril, dan ketika itu, Allah firmankan kepadanya apa yang Dia kehendaki dari wahyu-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap dia melalui satu langit ditanyai oleh malaikat penghuninya, "Apakah telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?" Jibril menjawab, "Dia firmankan yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." Dan seluruh malaikat pun mengucapkan seperti yang diucapkan Jibril itu. Demikianlah sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang telah diperintahkan Allah kepadanya.” [3]


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsir ayat tersebut di atas. [4]
  2. Ayat ini mengandung suatu argumentasi yang memperkuat kebatilan syirik, khususnya yang berkaitan dengan orang-orang shalih. Dan ayat inilah yang dikatakan memutuskan akar-akar pohon syirik dari jantungnya.
  3. Tafsiran firman Allah, "Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang
    benar.’ Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar."
    [5]
  4. Sebab pertanyaan para malaikat tentang wahyu yang difirmankan Allah.
  5. Jibril kemudian menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan, "Dia firmankan yang benar."
  6. Disebutkan bahwa malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril.
  7. Jibril memberikan jawaban tersebut kepada seluruh malaikah penghuni langit, karena mereka bertanya kepadanya.
  8. Seluruh malaikat penghuni langit jatuh pingsan tatkala mendengar firman Allah.
  9. Langit pun bergetar keras karena firman Allah itu.
  10. Jibril adalah malaikat yang menyampaikan wahyu itu ke tujuan yang telah diperintahkan Allah kepadanya.
  11. Disebutkan pula dalam hadits bahwa setan-setan menyadap berita wahyu tersebut.
  12. Cara mereka, sebagian naik di atas sebagian yang lain.
  13. Peluncuran syihab (meteor) untuk menembak jatuh setan-setan penyadap berita.
  14. Kadangkala setan penyadap berita itu terkena syihab sebelum sempat menyampaikan kalimat yang didengarnya, dan kadangkala sudah sempat menyampaikan ke telinga manusia yang menjadi abdinya sebelum terkena syihab.
  15. Ramalan tukang ramal adakalanya benar.
  16. Dengan kalimat yang didengarnya tersebut, ia melakukan seratus macam kebohongan.
  17. Kebohongannya tidaklah dipercayai kecuali karena kalimat yang diterimanya dari langit [melalui setan penyadap berita].
  18. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima sesuatu yang bathil; bagaimana mereka bisa berdasarkan hanya kepada satu kebenaran saja yang diucapkan tukang ramal, tanpa memperhitungkan atau mempertimbangkan seratus kebohongan yang disampaikannya.
  19. Satu kalimat kebenaran tersebut beredar luas dari mulut ke mulut dan diingatnya. Lalu dijadikan sebagai bukti apa yang dikatakan tukang ramal adalah benar.
  20. Menetapkan kebenaran sifat-sifat Allah [sebagaimana yang terkandung dalam ayat dan hadits di atas], berbeda dengan paham Asy’ariyah yang mengingkarinya.
  21. Bergetarnya langit dan pingsannya para malaikat adalah karena rasa takut mereka kepada Allah.
  22. Para malaikat pun bersimpuh sujud kepada Allah.

Catatan Kaki

[1] Bab ini menjelaskan bukti lain yang menunjukkan kebatilan syirik dan hanya Allah yang berhak dengan segala macam ibadah. Karena apabila para malaikat, sebagai makhluk yang amat perkasa dan paling kuat bersimpuh sujud di hadirat Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar tatkala mendengar firman-Nya, maka tiada yang berhak dengan ibadah, puja dan puji, sanjungan dan pengagungan kecuali Allah.

[2] Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun Al-Hilali, salah seorang periwayat hadits ini.

[3] Hadits ini riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifat.

[4] Ayat ini menerangkan keadaan para malaikat, yang mereka itu adalah makhluk Allah yang paling kuat dan amat perkasa yang disembah oleh orang-orang musyrik. Apabila demikian keadaan mereka dan rasa takut mereka kepada Allah tatkala Allah berfirman, lalu bagaimana patut mereka itu dijadikan sesembahan selain Allah; apalagi makhluk selain mereka, tentu lebih tidak patut lagi.

[5] Firman Allah ini menunjukkan, bahwa Kalamullah bukanlah makhluk (ciptaan) karena mereka berkata, "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?"; menunjukkan pula bahwa Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya dan Maha Besar yang kebesaran-Nya tak dapat dijangkau oleh pikiran mereka.

Tiada Seorang Pun Yang Berhak Disembah Selain Allah


Pembahsan selanjutnya dari Kitab Tauhid, penulis ingin meyakinkan para pembaca  ahwa tidak ada seorang pun yang pantas untuk disembah selain Allah saja. Tidak pandang yang disembah itu Nabi, apalagi manusia biasa yang mengaku-ngaku suci. Bagaimana dalil dan penjelasan yang beliau bawakan?

Firman Allah Ta’ala:
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al-A’raf:191-192)

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir:13-14).

Diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Anas katanya,
“Pada waktu peperangan Uhud, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terluka di bagian kepala dan gigi taringnya. Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka? Lalu turunlah ayat,  “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran:128)

Dan diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari), dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (setelah terluka di bagian kepala dan gigi taringnya sewaktu perang Uhud) berdoa tatkala mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat terakhir dalam shalat Shubuh, Ya Allah laknatilah si fulan dan si fulan, yaitu seusai beliau mengucapkan "Sami’allahu liman hamidah, Rabbana wa lakal hamd" Sesudah itu, Allah pun menurunkan firman-Nya, “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)

Dan menurut riwayat lain, beliau mendo’akan semoga Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr dan Al-Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah. Maka turunlah ayat: “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)

Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika diturunkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ayat: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)
Berdirilah beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan bersabda,”Wahai segenap kaum Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Dan wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah.”


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran kedua ayat tersebut di atas.[1]
  2. Kisah perang Uhud.
  3. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, pemimpin para Rasul, dalam shalat Shubuh telah melakukan qunut sedang para sahabat yang berada di belakang beliau mengucapkan "amin."
  4. Orang-orang yang beliau doakan semoga Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya adalah orang-orang kafir.
  5. Orang-orang kafir itu telah berbuat hal-hal yang tidak dilakukan oleh kebanyakan orang kafir, antara lain: melukai Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan berambisi sekali untuk membunuh beliau serta mereka merusak tubuh para korban yang terbunuh, padahal korban-korban yang terbunuh adalah anak famili mereka sendiri.
  6. Tentang perbuatan mereka itu, Allah telah menurunkan firman-Nya kepada beliau, “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)
  7. Allah berfirman, “Atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka.” (Ali Imran:128)
    Kemudian Allah pun menerima taubat mereka dengan masuknya mereka ke dalam Islam dan menjadi orang-orang yang beriman.
  8. Melakukan qunut nazilah, yaitu qunut yang dilakukan ketika berada dalam keadaan mara bahaya.
  9. Menyebutkan nama-nama beserta nama-nama orang tua mereka yang didoakan terlaknat di dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
  10. Boleh melaknat terhadap orang kafir tertentu dalam qunut.
  11. Kisah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala diturunkan kepada beliau ayat, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. “
  12. Kesungguhan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya dituduh gila; demikian halnya apabila dilakukan oleh seorang muslim pada masa sekarang ini.
  13. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memperingatkan keluarga yang paling jauh kemudian yang terdekat, dengan bersabda, “sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah", sampai beliau bersabda kepada puterinya sendiri, "Wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah."
Apabila beliau telah memaklumatkan secara terang-terangan –padahal beliau adalah pemimpin para rasul- bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam sedikitpun tidak berguna bagi diri puterinya sendiri, wanita termulia sealam ini; dan orang pun mengimani bahwa beliau tidak mengatakan kecuali yang haq, kemudian dia memperhatikan apa yang terjadi pada diri kaum khawash[2]dewasa ini, akan tampak bagi dirinya bahwa tauhid sudah ditinggalkan dan tuntunan agama menjadi asing.

Catatan Kaki

[1] Kedua ayat tersebut menunjukkan kebatilah syirik mulai dari dasarnya, karena makhluk yang lemah ini, yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tak dapat dijadikan sebagai sandaran sama sekali, dan menunjukkan pula bahwa Allah-lah yang berhak  dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia.

[2] Kaum khawas ialah orang-orang tertentu yang ditokohkan dalam masalah agama dan merasa bahwa dirinya patut diikuti, disegani dan diminta berkah doanya.

Syafa’at


Melanjutkan penjelasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai syafa’at. Berbeda pada pambahasan Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang membahas syafa’at dari segi jenis dan macam-macamnya, penekanan beliau di sini adalah bahwa hanya Allah saja pemberi syafa’at secara mutlak. Sehingga hal ini membatalkan pemahaman orang-orang musyrik yang memohon syafa’at kepada selain Allah.

Syafa’at [1]


Firman Allah,
“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.” (Al-An’am: 51)


“Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya." (Az-Zumar: 44)

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizinNya.” (Al-Baqarah:255)

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan di ridhaiNya.” (An-Najm: 26)

“Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrahpun di langit dan di bumi dan mereka tidak mempunyai satu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi; dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya." Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkanNya memperoleh syafa’at itu …”(Saba’: 22 – 23)

Abul ‘Abbas mengatakan, Allah telah menyangkal segala hal yang menjadi tumpuan kaum musyrikin, selain Diri-Nya sendiri, dengan menyatakan bahwa tak seorang pun selain Allah mempunyai kekuasaan, atau sebagainya, atau pembantu Allah. Adapun tentang syafa’at, maka telah ditegaskan Allah bahwa syafa’at ini tidak berguna kecuali bagi orang yang telah diizinkan Allah untuk memperolehnya, sebagaima firmanNya, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai
Allah.“(Al-Anbiya’: 28)

Syafa’at yang diperkirakan oleh kaum musyrikin inilah yang tidak ada pada hari Kiamat, sebagaimana dinyatakan demikian oleh Al-Qur’an. Dan diberitakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau pada hari Kiamat akan dating bersujud kepada Allah dan menghaturkan segala puji kepadaNya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak langsung dengan memberi syafa’at lebih dahulu. Setelah itu barulah dikatakan kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam , "Angkatlah kepalamu, katakanlah niscaya akan didengar yang kamu katakan, mintalah niscaya akan diberikan apa yang kamu minta, dan berilah syafa’at niscaya akan diterima syafa’at yang kamu berikan itu." [2]

Abu Hurairah telah bertanya kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam, "Siapakah orang paling beruntung dengan syafa’at engkau?" beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Ialah orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illallah’ dengan ikhlas dari dalam hatinya." [3]

Syafa’at yang ditetapkan ini adalah syafa’at untuk Ahlul Ikhlas wat-Tauhid[4], dengan seizin Allah bukan untuk mereka yang berbuat syirik kepadaNya. Dan pada hakekatnya, bahwa Allah-lah yang melimpahkan karuniaNya kepada Ahlul Ikhlash wat-Tauhid dengan memberikan maghfirah kepada mereka melalui doa orang yang diizinkan Allah untuk memperoleh syafa’at, untuk memuliakan orang itu dan menerimakan kepadanya Al-Maqam Al-Mahmud (kedudukan terpuji).

Jadi syafa’at yang dinyatakan tidak ada oleh Al-Qur’an, adalah apabila ada sesuatu syirik di dalamnya. Untuk itu Al-Qur’an telah menetapkan dalam beberapa ayat bahwa syafa’at adalah dengan izin dari Allah; dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sudah menjelaskan bahwa syafa’at hanyalah untuk Ahlut-Tauhid wal-Ikhlash.

Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat ini tersebut di atas.[5]
  2. Syafa’at yang dinyatakan tidak ada, adalah syafa’at yang terdapat di dalamnya unsur syirik.
  3. Syafa’at yang ditetapkan, adalah syafa’at untuk Ahlut Tauhid wal-Ikhlash dengan izin dari Allah.
  4. Disebutkan tentang syafa’at kubra, yaitu Al-Maqam Al-Mahmud.
  5. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika hendak memberi syafa’at, bahwa beliau tidak langsung memberi syafa’at terlebih dahulu, akan tetapi bersujud dan menghaturkan segala puji kepada Allah Azza wa Jalla. Maka apabila telah diizinkan Allah, barulah beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberi syafa’at.
  6. Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’at beliau?
  7. Syafa’at tidak diberikan kepada orang yang berbuat syirik kepada Allah.
  8. Keterangan tentang hakikat syafa’at.

Catatan Kaki

[1] Syafa’at telah dijadikan dalil oleh kaum musyrikin dalam memohon kepada malaikat, nabi dan wali. Kata mereka, “Kami tidak memohon kepada mereka kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan syafa’at kepada kami di sisiNya.”
Maka dalam bab ini diuraikan bahwa syafa’at yang mereka harapkan itu adalah percuma, bahkan syirik; dan syafa’at hanyalah hak Allah semata, tiada yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan seidzinNya bagi siapa yang mendapat ridhaNya.

[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[3] Hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Bukhari.
[4] orang-orang yang mentauhidkan Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya.

[5] Ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa syafa’at seluruhnya adalah hak khusus bagi Allah. Ayat ketiga menunjukkan bahwa syafa’at tidak diberikan kepada seseorang tanpa izin dari Allah. Ayat keempat menunjukkan bahwa syafa’at diberikan oleh orang yang diridhai Allah dengan izin dariNya. Dengan demikian syafa’at adalah hak mutlak Allah, tidak dapat diminta kecuali dariNya; dan menunjukkan pula kebatilan syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin dengan mendekatkan diri kepada malaikat, atau nabi dan orang-orang yang shalih, untuk meminta syafa’at mereka.
Ayat kelima mengandung bantahan terhadap kaum musyrikin yang mereka itu menyeru selain Allah, seperti malaikat dan makhluk-makhluk lainnya, karena menganggap bahwa makhluk-makhluk itu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat; dan menunjukkan bahwa syafa’at tidak berguna bagi mereka, karena syirik yang mereka lakukan, tetapi hanya berguna bagi orang yang mengamalkan tauhid dan itu pun dengan seizin Allah Ta’ala.

Nabi Tidak Dapat Memberikan Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah


Masih dalam usaha untuk membatalkan pemahaman orang-orang musyrik yang memohon syafa’at, perlindungan serta petunjuk kepada selain Allah (seperti malaikat, Nabi dan orang-orang shalih), penulis Kitab Tauhid menjelaskan juga bahwa Nabi pun tidak berkuasa memberikan hidayah. Beliau membawakan kisah kematian paman Rasulullah.


Nabi Tidak Dapat Memberikan Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah [1]


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata,”Tatkala Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya dan saat itu ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya, maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya bersabda kepadanya, “Wahai pamanku! Ucapkanlah "La Ilaha Illallah" suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah. Tetapi disambut oleh ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl, "Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?" Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan "La Ilaha Illallah". Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya bersabda, "Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang." Lalu Allah menurunkan firmanNya, “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (At-Taubah:113)

Dan mengenai Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”

Kandungan Bab Ini
  1. Tafsiran ayat: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." [2]
  2. Tafsiran ayat: "Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
    yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik."
    [3]
  3. Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah", berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu.[4]
  4. Abu Jahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah." Karena itu, celakalah orang yang salah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
  5. Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada paman beliau untuk masuk Islam.
  6. Bantahan terhadap orang yang mengatakan ‘Abdul Muththalib dan leluhurnya menganut Islam.
  7. Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah Ta’ala ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya, bahkan beliau dilarang.
  8. Bahaya bagi seseorang yang jika berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berperilaku buruk.
  9. Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
  10. "Nama besar" mereka inilah yang menjadikan orang-orang Jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
  11. Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat Syahadat, niscaya akan berguna dirinya di hadapan Allah.
  12. Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang tersesat itu untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya.  Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.

Catatan Kaki

[1] Bab ini pun merupakan bukti kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sebagai makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam inginkan, maka tiada Sembahan yang haq melainkan Allah, yang memberi hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki.

[2] Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah masuk Islam hanya di Tangan Allah saja, tiada seorang pun yang dapat menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendakNya; dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.

[3] Ayat ini menunjukkan bahwa haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik; dan haram pula ber-wala’ (mencintai, memihak dan membela) kepada mereka.

[4] Tafsirannya adalah, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan apa yang menjadi konsekwensinya, yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan membersihkan diri dari ibadah kepada selainNya seperti malaikat, nabi, wali, kuburan, batu, pohon, setan dan lain sebagainya.

Sikap Keras Rasulullah Terhadap Orang Yang Beribadah Kepada Allah Di Sisi Kuburan Orang Shalih


Masih berhubungan dengan pembahasan sebelumnya, penulis Kitab Tauhid ingin menjelaskan lebih lanjut dan secara spesifik mengenai sikap keras Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap pengagungan kuburan orang shalih. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan peringatan dan melaknat orang yang melakukannya beberapa saat sebelum beliau meninggal. Bagaimana haditsnya?

Sikap Keras Rasulullah Terhadap Orang Yang Beribadah Kepada Allah Di Sisi Kuburan Orang Shalih; Maka, Bagaimana Jika Orang Shalih itu Disembah

Diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dari ‘Aisyah bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang gereja dengan dupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habsyah (Ethiopia). Maka bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam, “Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal, mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah.”

Mereka dihukumi beliau shallallahu’alaihi wa sallam sebagai sejelek-jelek makhluk, karena melakukan dua fitnah sekaligus, yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah ia berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diambil nyawanya, beliau pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau shallallahu’alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan demikian itulah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
“Beliau memperingatkan agar dijauhi perbuatan mereka, dan seandainya bukan karena hal itu niscaya kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam akan ditampakkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”

Muslim meriwayatkan dari Jundab bin ‘Abdullah, katanya: Aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lima hari sebelum wafatnya bersabda,
“Sungguh aku menyatakan setia kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) dari antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil; seandainya aku menjadikan seorang khalil dari antara umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” “Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu (dari) perbuatan itu.”


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelang akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundab- telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya, -sebagaimana hadits ‘Aisyah- beliau melaknat orang yang telah melakukan perbuatan itu.

Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Dan inilah makna dari kata-kata ‘Aisyah, "… dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.", karena para sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam, padahal setiap tempat yang dimaksudkan untuk melakukan shalat di sana itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan alat untuk bersuci.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dengan sanad jayyid, dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya, termasuk sejelek-jelek manusia ialah orang-orang yang masih hidup ketika terjadi Kiamat dan orang-orang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.” [1]


Kandungan Bab Ini

  1. Dinyatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa orang yang membangun tempat untuk beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih [termasuk sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah], sekalipun baik niatnya.
  2. Dilarang dan diperingatkan dengan keras adanya rupaka-rupaka di dalam tempat ibadah.
  3. Mengambil pelajaran dari upaya maksimal yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam masalah ini. Bagaimana beliau menjelaskan terlebih dahulu kepada para sahabat bahwa orang yang membangun tempat ibadah di sekitar kuburan orang shalih termasuk sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah. Kemudian, lima hari sebelum wafat, beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengeluarkan pernyataan yang melarang umatnya menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Terakhir, beberapa saat menjelang wafatnya, beliau shallallahu’alaihi wa sallam masih merasa belum cukup dengan tindakan-tindakan yang diambilnya, sehingga beliau melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan ini.
  4. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang pula perbuatan tersebut dilakukan di sisi kuburan beliau, sebelum kuburan itu sendiri ada.
  5. Menjadikan kuburan nabi-nabi sebagai tempat ibadah merupakan tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani.
  6. Rasulullah melaknat mereka karena perbuatan mereka ini.
  7. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan perbuatan mereka itu dimaksudkan untuk memperingatkan kita agar menghindari perbuatan semacam ini terhadap kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
  8. Alasan tidak ditampakkannya kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam, karena dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.
  9. Pengertian "menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah"; [ialah melakukan suatu ibadah, seperti shalat di sisi kuburan, sekalipun tidak dibangun di atasnya sebuah tempat ibadah].
  10. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menghubungkan antara orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dengan orang yang masih hidup ketika terjadi Kiamat adalah untuk memperingatkan bentuk perbuatan yang merupakan jalan menuju syirik, sebelum terjadi; di samping bahwa syirik adalah akhir keadaan dunia.
  11. Khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada waktu lima hari sebelum wafat, mengandung bantahan terhadap kedua kelompok yang mereka itu adalah ahli bid’ah yang paling jelek bahkan sebagian kalangan ulama menyatakan bahwa mereka di luar tujuh puluh dua golongan dalam umat Islam, yaitu Rafidhah[2] dan Jahmiyah[3] Dan karena Rafidhahlah terjadi kemusyrikan dan penyembahan kuburan, serta merekalah yang pertama kali membangun masjid di atas kuburan.
  12. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam [adalah manusia biasa], merasakan beratnya sakaratul maut.
  13. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam dimuliakan Allah dengan diangkat sebagai "Khalil" (sebagaimana Nabi Ibrahim).
  14. Dinyatakan bahwa khalil lebih tinggi tingkatannya dari pada habib (kekasih).
  15. Dinyatakan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat yang paling mulia.
  16. Hal tersebut merupakan isyarat bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah (sesudah beliau).

Catatan Kaki

[1] Hadits ini diriwayatkan pula dalam Shahih Abu Hatim.
[2] Rafidhah adalah salah satu sekte dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap Ali dan Ahlul Bait, dan mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar.
[3] Jahmiyah adalah aliran yang timbul pada akhir khilafah Bani Umayah. Disebut demikian karena dinisbatkan pada nama tokoh mereka yaitu Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi yang terbunuh pada tahun 128H.
Di antara pendapat aliran ini: menolak kebenaran adanya asma’ dan sifat bagi Allah, karena menurut anggapan mereka asma’ dan sifat adalah ciri khas makhluk, maka apabila diakui dan ditetapkan untuk Allah berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Faktor Yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir Dan Meninggalkan Agama Mereka


Melanjutkan pembahasan Kitab Tauhid, penulis menjelaskan mengenai penyebab pertama kali munculnya kesyirikan yang terjadi secara umum, yaitu terjadi karena sikap berlebihan kepada orang-orang shalih. Simak firman Allah yang langsung ditafsirkan oleh ulama’ dan hikmah-hikmah apa saja yang terkandung dalam bab ini.

Faktor Yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir Dan Meninggalkan Agama Mereka, Yaitu Sikap Yang Berlebihan Kepada Orang-Orang Shalih

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171).

“Dan mereka berkata, "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (Nuh: 23)


Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka,
“Dirikanlah patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka”.
Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.

Ibnul Qayyim[1] mengatakan, Banyak kalangan salaf yang berkata,
“Setelah mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, lalu membikin patung-patung mereka; kemudian, setelah masa demi masa berlalu, akhirnya disembahlah patung-patung tersebut.”

Diriwayatkan dari ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, "Abdullah wa Rasuluhu" (Hamba dan RasulNya).” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,“Jauhilah oleh kalian sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” [2]


Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah orang-orang yang berlebihan tidakannya. (beliau sebutkan
kalimat ini sampai tiga kali).”


Kandungan Bab Ini
  1. Bahwa orang yang memahami bab ini dan kedua bab berikutnya, akan jelas baginya keterasingan Islam; dan akan melihat betapa kuasa Allah itu merubah hati manusia.
  2. Mengetahui bahwa mula pertama syirik yang terjadi di muka bumi ini adalah karena sikap yang tidak benar terhadap orang-orang shalih.
  3. Mengetahui apa yang pertama kali diperbuat orang-orang sehingga ajaran Nabi menjadi berubah, dan apa faktor penyebabnya. Padahal para nabi itu, sebagaimana diketahui adalah utusan Allah.
  4. Diterimanya hal-hal bid’ah, padahal syari’at Ilahi dan fitrah murni manusia menolaknya.
  5. Faktor yang menyebabkan itu semua adalah percampur-adukan antara al-haq dan al-bathil. Adapun yang pertama, ialah rasa cinta kepada orang-orang shalih. Sedangkan yang kedua adalah tindakan yang dilakukan sejumlah orang berilmu dan beragama dengan maksud untuk sesuatu kebaikan, tetapi orang-orang yang datang sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
  6. Tafsiran ayat dalam surat Nuh.[3]
  7. Watak manusia bahwa al-haq yang ada dalam dirinya bisa berkurang, sedangkan al-bathil malah bisa bertambah.
  8. Bab ini mengandung suatu bukti bagi kebenaran pernyataan kaum salaf bahwa bid’ah adalah penyebab kekafiran, dan lebih disenangi oleh Iblis dari pada maksiat, karena maksiat masih bisa diampuni, sedangkan bid’ah tidak.
  9. Setan mengetahui tentang dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, sekalipun maksud pelakunya adalah baik.
  10. Mengetahui kaidah umum, yaitu bahwa sikap yang berlebihan dalam agama dilarang; dan mengetahui pula dampak yang diakibatkannya.
  11. Bahaya dari perbuatan sering berdiam diri di kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih.
  12. Larangan adanya patung-patung dan hikmah dalam pemusnahannya [untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan].
  13. Kisah tentang kaum Nabi Nuh tersebut mengandung makna besar, dan diperlukan sekali, meskipun sudah dilakukan.
  14. Hal yang paling mengherankan, bahwa mereka [ahli bid'ah] telah membaca kisah ini dalam kitab-kitab tafsir dan hadits dan mengerti arti kalimatnya; tetapi Allah menutup hati mereka, sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh adalah amal ibdah yang terbaik, maka mereka pun berkeyakinan bahwa apa yang dilarang Allah dan RasulNya adalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
  15. Dinyatakan bahwa sikap kaum Nabi Nuh yang berlebihan terhadap orang-orang shalih tiada lain karena mengharap syafa’at mereka.
  16. Mereka menduga bahwa inilah maksud orang-orang yang berilmu yang mendirikan patung-patung itu.
  17. Pernyataan penting yang termuat dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam.”
    Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau, yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya.
  18. Ketulusan hati beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepada kita dengan memperingatkan bahwa akan binasa orang-orang yang berlebihan tidakannya.
  19. Dinyatakan dalam kisah bahwa patung-patung itu baru disembah setelah ilmu [agama] dilupakan. Dengan demikian, dapat diketahui nilai keberadaan ilmu ini dan bahayanya apabila hilang.
  20. Bahwa setiap hilangnya ilmu adalah matinya para ulama’.

Catatan Kaki

[1] Abu Abdillah: Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad Az-Zur’I Ad-Dimasyqi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama besar dan tokoh gerakan da’wah Islamiyah, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mempunyai banyak karya ilmiah. Dilahirkan tahun 691H (1292 M) dan meninggal tahun 751H (1350M).
[2] Hadits riwayat Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.
[3] Ayat ini menunjukkan bahwa yang berlebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang shalih adalah penyebab terjadinya syirik dan ditinggalkannya tuntunan agama para nabi.

Keterangan Bahwa Ada Di Kalangan Umat Ini Yang Menyembah Berhala


Masih dalam pembahasan selanjutnya, penulis Kitab Tauhid meneruskan penjelasan beliau mengenai khabar dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa akan ada dari ummat Islam yang menyembah berhala dan mengaku Nabi. Nah, bagaimana kabar selengkapnya?

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut,[1] dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.“ (An-Nisa’:51)

“Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” (Al-Maidah:60).

“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya." (Al-Kahfi: 21)

Dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka masuk ke liang biawak, niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula.” Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasranikah?" Beliau menjawab, "Lalu siapa lagi?" (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

Muslim meriwayatkan dari Tsaubah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya Allah telah membentangkan bumi kepadaku sehingga aku dapat melihat belahan timur dan belahan baratnya. Dan sesungguhnya umatku kekuasaannya akan mencapai belahan bumi yang telah dibentangkan kepadaku itu. Dan aku diberi perbendaharaan simpanan: Merah dan Putih (Imperium Persia dan Romawi).
Aku meminta kepada Tuhanku untuk umatku agar mereka jangan dibinasakan dengan paceklik yang berkepanjangan, dan jangan dikuasakan kepada musuh selain dari kaum mereka sendiri sehingga musuh itu nantinya akan merampas seluruh negeri mereka. Lalu Tuhanku berfirman,  Hai Muhammad! Bila Aku telah menetapkan sesuatu, maka ketetapan itu tidak akan diubah lagi; dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu mereka dengan paceklik yang berkepanjangan; dan tidak akan menjadikan seorang musuh berkuasa atas mereka dari kaum mereka sendiri, maka nantinya musuh itu tidak akan dapat merampas seluruh negeri mereka sekalipun manusia yang ada di seluruh belahan bumi berkumpul menghadapi mereka, sampai (umatmu itu sendiri) sebagian mereka menghancurkan sebagian yang lain dan sebagian mereka menawan sebagian yang lain.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Barqani dalam Shahihnya dengan tambahan,
“Dan yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang menyesatkan; dan apabila pertumpahan darah telah menimpa umatku maka tidak akan berakhir sampai hari Kiamat. Kiamat tidak akan terjadi sebelum ada suatu kaum dari umatku mengikuti orang-orang musyrik dan beberapa kelompok dari umatku menyembah berhala. Dan sesungguhnya akan ada di antara umatku tiga puluh pendusta yang semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada lagi sesudahku; (sungguh pun demikian) akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegas membela al-haq dan mendapat pertolongan (dari Allah), mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala.“


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surat An-Nisa’.[2]
  2. Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[3]
  3. Tafsiran ayat dalam surat Al-Kahfi.[4]
  4. Masalah penting sekali, yaitu apa pengertian iman kepada jibt dan thaghut disini, apakah sekedar percaya dalam hati, atau mengikuti orang-orangnya, sekalipun membenci barang-barang tersebut dan mengerti akan kebatilannya.
  5. [Sebagai buktinya], apa yang dikatakan Ahli Kitab kepada orang-orang Kafir (kaum musyrikin mekah) bahwa mereka lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
  6. Bahwa iman kepada jibt dan thaghut mesti akan terjadi di kalangan umat ini (umat Islam) sebagaimana ditetapkan dalam hadits dari Abu Sa’ad. Dan inilah yang dimaksud dalam bab ini.
  7. Dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa akan terjadi penyembahan berhala di banyak kelangan dari umat ini.
  8. Hal yang amat mengherankan, munculnya orang yang mengaku nabi, seperti Al-Mukhtar[5]; padahal dia mengucapkan dua kalimat syahadat; manyatakan bahwa dirinya termasuk dalam umat ini, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam benar dan bahwa Al-Qur’an benar, padahal disebutkan bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah penutup para nabi.
    Namun demikian pengakuan kenabian Al-Mukhtar dipercayai orang, meskipun jelas kontradisksinya. Ia muncul pada akhir masa sahabat dan diikuti oleh banyak orang.
  9. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira bahwa al-haq (kebenaran Allah dan ajaranNya) tidak akan dapat lenyap sama sekali, sebagaimana telah terjadi pada masa lalu; bahkan akan tetap ada golongan yang tegap berpegang teguh dan membelanya.
  10. Tanda utamanya bahwa mereka, sekalipun sedikit jumlahnya, tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang menghinakan ataupun menantang mereka.
  11. Bahwa kondisi ini tetap berlangsung sampai hari Kiamat.
  12. Tanda-tanda besar atas kenabian Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam yang terkandung dalam hadits:
    • Beliau memberitahukan bahw Allah telah membentangkan kepada beliau belahan timur dan belahan barat dan beliau menjelaskan makna hal tersebut; kemudian terjadi seperti yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam beritakan, berlainan halnya dengan belahan selatan dan utara.
    • Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi dua perbendaharaan simpanan.
    • Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa doanya untuk umatnya dikabulkan dalam dua perkara, sedangkan perkara yang ketiga tidak dikabulkan.
    • Beliau memberitakan bahwa akan terjadi pertumpahan darah di antara umatnya, dan kalau sudah terjadi tidak akan berakhir sampai hari Kiamat.
    • Beliau memberitakan bahwa sebagian umat ini akan menghancurkan sebagian yang lain dan sebagian mereka menawan sebagian yang lain.
    • Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan akan munculnya orang-orang yang mengaku sebagai nabi pada umat ini
    • Beliau memberitakan bahwa akan tetap ada segolongan yang tegak membela kebenaran dan mendapatkan pertolongan dari Allah.


    Dan semua itu benar-benar terjadi persis seperti yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam beritakan, padahal masing-masing berita tersebut sangat di luar jangkauan akal.
    1. Apa yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam khawatirkan terhadap umatnya hanyalah para pemimpin yang menyesatkan.
    2. Perlu diperhatikan makna dari penyembahan berhala.

    Catatan Kaki

    [1] Terdapat beberapa tafsiran dari kalangan Salaf tentang makna kata Jibt, antara lain: berhala, sihir, tukang ramal, Huyai bin Akhthab dan Ka’ab bin Al-Asyraf (kedua orang ini adalah tokoh orang-orang Yahudi di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).

    Dengan demikian pengertiannya umum, namun mencakup makna itu semua, sebagaimana dikatakan oleh Al-Jauhari dalam Ash-Shahihah,
    Jibt itu adalah kata-kata yang dapat digunakan untuk berhala, tukang ramal, tukang sihir dan sejenisnya…
    Demikian halnya dengan thaghut, terdapat beberapa tafsiran yang menunjukkan pengertian umum. Antara lain: setan, setan dalam wujud manusia, berhala, tukang ramal, Ka’ab al-Asyraf.
    Ibnu Jarir Ath-Thabrani, dalam menafsirkan ayat ini, setelah menyebutkan beberapa tafsiran dari ulama Salaf, mengatakan, Jibt dan Thaghut itu ialah dua sebutan untuk setiap yang diagungkan dengan disembah selain Allah, atau ditaati, atau dipatuhi; baik yang
    diagungkan itu batu, manusia, ataupun setan.

    [2] Ayat ini menunjukkan bahwa apabila orang-orang yang diturunkan kepada mereka Al-Kitab mau beriman kepada JIbt dan Thaghut, maka tidak mustahil dan tidak dapat dipungkiri bahwa umat ini -yang diturunkan kepadanya Al-Qur’an- akan berbuat pula seperti yang mereka perbuat, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwasanya akan ada di antara umat ini orang-orang yang berbuat seperti yang diperbuat orang Yahudi dan Nasrani.

    [3] Ayat ini menunjukkan bahwa akan terjadi di kalangan umat ini penyembah thaghut sebagaimana telah terjadi penyembahan thaghut di kalangan Ahli Kitab.

    [4] Ayat ini menunjukkan bahwa ada di antara umat ini orang yang membangun tempat ibadah di atas atau di sekitar kuburan, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka.

    [5] Al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Termasuk tokoh yang memberontak terhadap kekuasaan Bani ‘Umayyah dab menonjolkan kecintaan kepada Ahlul Bait. Mengaku bahwa ia adalah nabi dan menerima wahyu. Dibunuh oleh Mush’ab bin Az-Zubair pada tahun 67 H (687M).

    Sikap Berlebihan Terhadap Kuburan Orang Shalih Dan Tindakan Rasulullah Untuk Melindungi Tauhid.


    Melanjutkan pambahasan Kitab Tauhid, judul di atas adalah penggabungan judul 2 bab. Karena masing-masingnya agak sedikit, maka kami gabungkan. Keduanya menjelaskan dan menguatkan pembahasan sebelumnya agar kita lebih yakin dan pemahaman yang kuat tertanam dalam dada kita.

    Sikap Berlebihan Terhadap Kuburan Orang-Orang Shalih, Akan Menjadikannya Sebagai Berhala Yang Disembah Selain Allah

    Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang yang menjadikan kuburan
    nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.”

    Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dengan sanad-nya dari Sufyan dari Manshur, bahwa berkenaan dengan ayat, “Terangkanlah kepadaku (wahai kaum musyrikin) tentang (berhala yang kamu anggap sebagai anak perempuan Allah): Al-Lata, dan Al-’Uzza;…” (An-Najm: 19).
    Mujahid mengatakan, “Al-Lata adalah orang yang dahulunya mengadukkan tepung (dengan air atau minyak) untuk para jama’ah haji. Setelah meninggal, mereka pun senantiasa mendatangi kuburannya.”

    Demikian pula tafsiran Ibnu ‘Abbas sebagaimana dituturkan oleh Abul Jauza’, “Dia itu pada mulanya adalah orang yang mengadukkan tepung untuk para jama’ah haji.”

    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan serta orang-orang yang membuat tempat ibadah dan memberi penerangan lampu di atas kuburan.” (Hadits riwayat para penulis Kitab Sunan).


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran berhala.[1]
    2. Tafsiran tentang ibadah.[2]
    3. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan do’anya itu, tiada lain hanya memohon kepada Allah supaya dihindarkan dari sesuatu yang dikhawatirkan terjadi [pada umatnya sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya, yaitu: sikap berlebihan terhadap kuburan beliau yang akhirnya kuburan beliau akan menjadi berhala yang disembah].
    4. Dalam do’anya itu, beliau shallallahu’alaihi wa sallam sebutkan pula perbuatan menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah.
    5. Bahwa Allah sangat murka [terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah.]
    6. Di antara masalah yang sangat penting untuk dijelaskan dalam bab ini ialah pengetahuan historis tentang penyembahan Al-Lata, berhala terbesar orang-orang Jahiliyah.
    7. Berhala ini asal usulnya kuburan orang yang shalih, [yang diperlakukan secara berlebihan dengan senantiasa dikunjungi oleh mereka].
    8. Al-Lata adalah nama orang yang dikuburkan itu, yang pada mulanya adalah seorang pengaduk tepung untuk para jama’ah haji.
    9. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat wanita penziarah kubur.
    10. Beliau juga melaknat orang-orang yang memberi penerangan lampu di atas kuburan.


    Tindakan Rasulullah Untuk Melindungi Tauhid Dan Menutup Setiap Jalan Menuju Syirik


    Firman Allah Ta’ala:
    “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (At-Taubah: 128).

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, tetapi ucapkanlah shalawat untukku karena sesungguhnya ucapan shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada.”[3]

    Dalam hadits lain, Ali bin Al-Husein menuturkan bahwa ia melihat seseorang datang ke salah satu celah pada kuburan Nabi lalu masuk ke dalamnya dan berdo’a. Maka ia pun melarang orang itu dan berkata, ”Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah? Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, (tetapi ucapkanlah doa salam kepadaku) karena sesunguhnya doa salammu sampai kepadaku dimana pun kamu berada. (Diriwayatkan dalam kitab Al-Mukhtarah).


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surat At-Taubah. [4]
    2. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dan menjauhkan mereka sejauh-jauhnya dari syirik, serta beliau telah menutup setiap jalan yang menjurus kepada syirik.
    3. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kita, dan amat belas kasihan lagi penyayang.
    4. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang untuk menziarahi kuburannya dengan cara tertentu. [yaitu dengan menjadikannya sebagai tempat perayaan],  padahal ziarah ke kuburan beliau termasuk amalan yang amat baik.
    5. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang untuk memperbanyak ziarah kubur.
    6. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan untuk melakukan shalat sunnah di rumah.
    7. Telah menjadi ketetapan di kalangan kaum Salaf bahwa menyampaikan shalawat untuk Nabi tidak perlu masuk ke dalam kuburannya.
    8. Alasan bahwa ucapan shalawat dan salam dari seseorang untuk beliau akan sampai kepada beliau, di manapun ia berada. Maka tidak perlu harus mendekat sebagaimana diduga oleh orang yang menghendaki demikian.
    9. Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di alam Barzakh, ditunjukkan kepada beliau amal umatnya yang berupa shalawat dan salam untuknya.

    Catatan Kaki

    [1] Berhala ialah sesuatu yang diagungkan selain Allah, seperti kuburan, batu, pohon dan sejenisnya.

    [2] Mengagungkan kuburan dengan dijadikan sebagai tempat melakukan ibadah, adalah termasuk pengertian ibadah yang dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

    [3] Hadits riwayat Abu Dawud dengan isnad hasan, dan para perawinya tsiqat.
    [4] Ayat ini, dengan sifat-sifat yang disebutkan di dalamnya untuk pribadi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, menunjukkan bahwa beliau telah memperingatkan umatnya agar menjauhi syirik, yang merupakan dosa paling besar, karena inilah tujuan utama diutusnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

    Hukum Sihir


    Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai seputar hukum sihir. Bagaimana definisi sihir serta hukumnya?

    Hukum Sihir
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.” (Al-Baqarah:102)

    “Mereka percaya kepada jibt dan thaghut.” (An-Nisa’: 51)

    Menurut ‘Umar, “Jibt ialah sihir, sedangkan thaghut ialah setan.”

    Kata Jabir,”Thaghut-thaghut ialah para tukang ramal yang didatangi setan; pada setiap kabilah ada seorang tukang ramal. “

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada penghancuran." Para sahabat bertanya, "Apakah ketuhuh perkara itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, Yaitu Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot (desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mu’minah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak ada tahu menahu dengannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

    Diriwayatkan hadits marfu’ dari Jundab, “Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal lehernya dengan pedang.” [1]

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Bajalah bin ‘Abdah, ia berkata,
    "Umar bin Khaththab telah menetapkan perintah, yaitu: Bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan." Kata Bahjah selanjutnya, "Maka kami pun melaksanakan hukuman mati terhadap tiga tukang sihir perempuan."

    Dan diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Hafshah telah memerintahkan agar seorang budak perempuan miliknya yang telah menyihirnya dihukum mati, maka dilaksanakanlah hukuman tersebut terhadap budak perempuan itu. Demikian pula diiwayatkan dari Jundab.

    Kata Imam Ahmad, “Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa hukuman mati terhadap tukang sihir telah dilakukan oleh tiga orang sahabat Nabi.[2]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[3]
    2. Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’. [4]
    3. Pengertian jibt dan thaghut, serta perbedaan antara keduanya.
    4. Thaghut, bisa jadi jenis jin dan bisa jadi dari jenis manusia.
    5. Mengetahui tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran, yang telah dilarang secara khusus.
    6. Tukang sihir adalah kafir.[5]
    7. Tukang sihir dihukum mati tanpa diminta untuk bertaubat.
    8. Jika praktek sihir telah ada di kalangan kaum muslimin pada masa khalifah Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya?

    Catatan Kaki

    [1] Hadits riwayat At-Tirmidzi, dan katanya, "Yang benar, hadits ini adalah mauquf."
    [2] Mereka itu adalah, ‘Umar, Hafshah dan Jundab.
    [3] Ayat pertama menunjukkan bahwa sihir haram hukumnya dan pelakunya kafir; disamping mengandung suatu ancaman berat bagi orang yang berpaling dari Kitabullah dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
    [4] Ayat kedua menunjukkan bahwa ada di antara umat ini yang beriman kepada sihir (jibt), sebagaimana Ahli Kitab beriman kepadanya; Dan karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa akan ada di antara umat ini yang mengikuti (dan meniru) umat-umat sebelumnya.
    [5] Tukang sihir menjadi kafir karena dua sebab: pertama, menggunakan setan; dan kedua, karena mengaku tahu perkara ghaib.

    Macam-macam Sihir


    Masih dalam pembahasan selanjutnya, penulis Kitab Tauhid meneruskan penjelasannya  mengenai sihir dengan menyebutkan macam-macamnya. Walaupun tidak banyak disebutkan, namun insya Allah kita dapat gambaran sekilas. Apa saja macam-macamnya?

    Macam-macam Sihir
    Imam Ahmad meriwayatkan,Telah dituturkan kepada kami oleh Muhammad bin Ja’far, dari ‘Auf, dari Hayyan bin al-’Ala’, dari Qathan bin Qabishah, dari bapaknya (Qabishah) bahwa ia telah mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Iyafah Tharq dan thiyarah adalah termasuk jibt.“

    ‘Auf menafsiri hadits ini dengan mengatakan,Iyafah: meramal nasib dengan menerbangkan burung; dan tharq: meramal nasib dengan membuat garis di atas tanah. Adapun jibt, tafsirannya menurut Al-Hasan, "Ialah suara setan." [1]

    Ibnu Abbas menuturkan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Barangsiapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum, sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian ilmu sihir. Semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari) semakin bertambah pula (dosanya).”[2]

    An-Nasa’i meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah,
    “Barangsiapa yang membuat suatu buhulan, lalu meniup padanya (sebagaimana yang dilakukan tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir; dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik; sedang barangsiapa yang menggantungkan diri pada sesuatu benda (jimat), maka dirinya dijadikan Allah bersandar kepada benda itu.“

    Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Maukah kamu aku beritahu apakah ‘adh-h itu? Ialah perbuatan mengadu domba, yaitu banyak membicarakan keburukan dan menghasut di antara orang-orang.” (Hadits riwayat Muslim).

    Dari Ibnu ‘Umar menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Sesungguhnya di antara susunan kata yang indah terdapat pa yang disebut sihir.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

    Kandungan Bab Ini
    1. Di antara macam sihir (jibt): ‘Iyafah, tharq dan thiyarah.
    2. Pengertian ‘iyafah dan tharq.
    3. Ilmu nujum termasuk salah satu jenis sihir.
    4. Membuat buhulan dengan ditiupkan kepadanya termasuk sihir.
    5. Perbuatan mengadu domba juga termasuk sihir.
    6. Dan termasuk sihir pula ungkapan susunan kata yang indah, [yang membuat kebatilan seolah-olah menjadi kebenaran, dan kebenaran seolah-olah menjadi kebatilan].

    Catatan Kaki

    [1] Hadits tersebut isnad-nya jayyid. Dan diriwayatkan pula dari Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan hanya menyebutkan lafazh hadits dari Qabishah, tanpa menyebutkan tafsirannya.
    [2] Hadits riwayat Abu Dawud dan isnad-nya shahih.

    Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya Serta Tentang Nusyrah


    Melanjutkan pembahasan Kitab Tauhid, akan dijelaskan mengenai definisi dukun dan tukang ramal. Bagaimana hukum mendatangi mereka dan bagaimana status mereka dalam hukum Islam. Lalu akan dibahas pula mengenai Nusyrah. Apa itu Nusyrah dan bagaimana Islam menghukuminya?

    Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya

    Imam Muslim dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mananyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.”

    Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam .”

    Dan diriwayatkan oleh keempat periwayat[1] dan Al-Hakim dengan menyatakan hadits ini shahih menurut keriteria Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.“

    Abu Ya’la pun meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti tersebut di atas, dengan sanad jayyid. Al-Bazzar dengan isnad jayyid meriwayatkan hadits marfu’ dari ‘Imran bin Hushain,
    “Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan, menyihir atau meminta disihirkan; dan barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.”

    Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dengan isnad hasan dari Ibnu ‘Abbas tanpa penyebutan kalimat, "Dan barangsiapa mendatangi … " dan seterusnya.

    Al-Baghawi[2] berkata, “Al-’Arraf (orang pintar) ialah orang yang mengaku tahu dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau tempat barang hilang atau semacamnya. Adapula yang mengatakan: Dia adalah kahin (dukun), padahal kahin adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan: Yaitu orang yang memberitahukan apa yang tersimpan dalam hati seseorang.”

    Menurut Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah, “Al-’Arraf adalah sebutan untuk tukang ramal, tukang nujum, peramal nasib dan yang sebangsanya, yang menyatakan tahu tentang perkara-perkara (yang tidak diketahui orang lain) dengan cara-cara tersebut.”

    Ibnu ‘Abbas, terhadap orang-orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad" untuk mencari pelamat rahasia huruf dan memperhatikan bintang-bintang (untuk ramalan), mengatakan,
    “Aku tak tahu bahwa orang yang mempraktekkan hal itu akan memperoleh suatu bagian keuntungan di sisi Allah.”


    Kandungan Bab Ini

    1. Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin antara iman kepada Al-Qur’an dengan percaya kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.
    2. Dinyatakan bahwa mempercayainya adalah kufur.
    3. Ancaman bagi orang yang meminta diramalkan.
    4. Ancaman bagi orang yang meminta tathayyur.
    5. Ancaman bagi orang yang meminta disihirkan.
    6. Ancaman bagi orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad" [untuk mencari pelamat rahasianya].
    7. Perbedaan antar kahin dan ‘arraf, [bahwa kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang, yang diperolehnya dari setan penyadap berita di langit].


    Tentang Nusyrah


    Jabir menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ditanya tentang nusyrah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Hal itu termasuk perbuatan setan."[3]

    Imam Ahmad ketika ditanya tentang nusyrah, menjawab, "Ibnu Mas’ud membenci itu semuanya."

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Qatadah menuturkan, "Aku bertanya kepada Ibn Al-Musayyab, Seseorang yang terkena sihir atau diguna-gunai tidak dapat menggauli isterinya, apakah boleh disembuhkan dengan nusyrah, atau dengan cara lain? Ia menjawab, Tidak apa-apa hukumnya, karena yang mereka inginkan hanyalah kebaikan untuk menolak mudharat. Sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu tidaklah dilarang.”


    Dan diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa ia berkata, "Tidak ada yang dapat melepaskan pengaruh sihir kecuali seorang tukang sihir."

    Ibnu Al-Qayyim menjelaskan, “Nusyrah ialah penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam,
    Pertama, dengan menggunakan sihir pula, dan inilah yang termasuk perbuatan setan. Dan pendapat Al-Hassan tersebut dapat dimasukkan ke dalam jenis ini, karena orang yang menyembuhkan dan orang yang disembuhkan mengadakan pendekatan kepada setan dengan apa yang diinginkannya, sehingga dengan demikian perbuatan setan itu gagal memberi pengaruh terhadap orang yang terkena sihir itu.
    Kedua, penyembuhan dengan menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awudz, obat-obatan dan do’a-do’a yang diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh)."


    Kandungan Bab Ini

    1. Larangan terhadap nusyrah
    2. Perbedaan antara macam nusyrah yang dilarang dan yang diperbolehkan, dengan demikian menjadi jelas masalahnya.

    Catatan Kaki

    [1] Yakni: Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.
    [2] Abu Muhammad: Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra’ atau Ibn Al-Farra’ Al-Baghawi. Digelari Muhyi-s-Sunnah, kitab-kitab yang disusunnya antara lain: Syarh As-Sunnah, Al-Jami’ Baina Ash-Shahihain. Lahir tahun 436H (1044M) dan meninggal tahun 510H (1117M).
    [3] Hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad jayyid dan riwayat Abu Dawud.

    Hukum Tathayyur


    Setelah menjelaskan definisi dan hukum Dukun dan tukang ramal serta Nusyrah, selanjutnya, penulis Kitab Tauhid, menjelaskan apa itu tathayyur (merasa sial karena suatu sebab) dan bagaimana hukumnya. Bagaimana dalil-dalil serta penjelasan para ulama’ mengenai hal ini?

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf:31)

    “Utusan-utusan itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (Yasin: 19)

    Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ‘adwa[1], thiyarah[2], hamah[3] dan shafar[4].” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
    Dan dalam salah satu riwayat Muslim disebutkan tambahan, "… dan tidak ada nau’[5] serta ghul[6]."

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Tidak ada ‘adwa dan thiyarah, tetapi fa’l menyenangkan diriku." Para sahabat bertanya, "Apakah fa’l itu?" Beliau menjawab, "Yaitu kalimah thayyibah (kata-kata yang baik)."

    Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad sahih dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata, "Thiyarah disebut-sebut di hadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka supaya berdo’a, “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau; tiada yang dapat menolak keburukan selain Engkau; dan tiada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.”

    Abu Dawud meriwayatkan pula hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
    “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tiada seorang pun di antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan bertawakkal kepada-Nya.”
    Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud.

    Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Amr, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengurungkan hajatnya (kepentingannya) karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik. Para sahabat bertanya, "Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Supaya dia mengucapkan, ‘Ya Allah tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau; tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau; dan tiada Sembahan yang hak (benar) selain Engkau.’”

    Imam Ahmad meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl bin Al-’Abbas: “Sesungguhnya thiyarah itu ialah yang menjadikan kamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluanmu).”


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran kedua ayat tersebut di atas.[7]
    2. Dinyatakan bahwa tidak ada ‘adwa.
    3. Dinyatakan bahwa tidak ada thiyarah.
    4. Dan dinyatakan bahwa tidak ada hamah.
    5. Serta dinyatakan bahwa tidak ada Shafar.
    6. Fa’l tidak termasuk yang ditolak dan dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan dianjurkan.
    7. Pengertian fa’l.
    8. Apabila terjadi thiyarah (tathayyur) dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu tidak apa-apa hukumnya, bahkan Allah menghapusnya dengan tawakkal.
    9. Doa yang harus dibaca oleh orang yang menjumpai hal tersebut.
    10. Ditegaskan bahwa thiyarah adalah syirik.
    11. Pengertian thiyarah yang tercela dan terlarang.

    Catatan Kaki

    [1] Adwa: penjangkitan atau penularan penyakit.
    Maksud sabda Nabi  shallallahu’alaihi wa sallam di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya; sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan, “…dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).

    Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir Ilahi, namun sebagai insan muslim di samping iman kepada takdir tersebut haruslah berusaha melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakekat iman kepada takdir Ilahi.

    [2] Thiyarah: merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

    [3] Hamah: burung hantu. Orang-orang Jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya; apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang di antara mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya.


    Dan maksud sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.

    [4] Shafar: bulan kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram. Orang-orang Jahiliyah beranggapan, bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini (adalah): merasa bahwa hari Rabu mendatangkan sial, dll. Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Islam.

    [5] Nau’: bintang; arti asalnya adalah: tenggelam atau terbitnya suatu bintang. Orang-orang Jahiliyah menisbatkan turunnya hujan pada bintang ini, atau bintang itu.
    Maka Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun karena bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah Ta’ala.

    [6] Ghul: hantu (genderuwo), salah satu makhluk jenis jin. Mereka beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat menyesatkan seseorang dan mencelakakannya.

    Sedang maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah serta tidak bertawakkal kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau shallallahu’alaihi wa sallam; untuk itu dalam hadits lain beliau bersabda,
    “Apabila hantu bereaksi menakut-nakuti kamu, maka serukanlah adzan”
    Artinya, tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan menyebut Allah. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad.

    [7] Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tathayyur termasuk perbuatan Jahiliyah dan syirik, karena segala sesuatu termasuk nasib sial merupakan takdir dari Allah; dan menunjukkan bahwa kesialan terjadi karena perbuatan maksiat kepada Allah.

    Cinta Kepada Allah


    Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid memberikan keterangan mengenai bentuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimana dengan bentuk cinta kepada selain mereka? Apa saja batasan-batasannya?

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165).

    “Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (At-Taubah: 24)

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman (sempurna) seseorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.”

    Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas, katanya Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam dirinya ketiga perkara itu, dia pasti merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; mencintai seseorang tiada lain hanya karena Allah; dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana dia tidak mau kalau dicampakkan ke dalam api Neraka.[1]

    Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata,
    “Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman, sekalipun banyak shalat dan shiyamnya, sehingga dia bersikap demikian. Persahabatan di antara manusia umumnya didasarkan atau kepentingan dunia namun hal itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka.”

    Ibnu ‘Abbas, dalam menafsirkan firman Allah, "… dan putuslah segala hubungan antara mereka sama sekali."[2] mengatakan, "yaitu kasih sayang."


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah.[3]
    2. Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah / At-Taubat. [4]
    3. Wajib Mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda.
    4. Pernyataan "tidak beriman", bukan berarti keluar dari Islam, tetapi artinya adalah tidak beriman dengan sempurna.
    5. Bahwa iman ada rasa manisnya. Kadangkala dapat menoreh seseorang dan kadangkala tidak.
    6. Disebutkan empat sikap yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kewalian dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman kecuali dengan keempat sikap itu.
    7. Pemahaman Ibnu ‘Abbas terhadap realita, bahwa hubungan persahabatan pada umumnya didasarkan atas kepentingan duniawi
    8. Tafsiran ayat, "… dan terputuslah segala hubungan antara mereka sama sekali”. [5]
    9. Disebutkan bahwa di antara orang-orang musyrik ada yang mencintai Allah, dengan kecintaan yang sangat.
    10. Ancaman terhadap seseorang yang kedelapan perkara tersebut di atas [orang tua, saudara, isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal] lebih dicintai daripada agamanya.
    11. Memuja selain Allah dengan sendirinya sebagaimana mencintai Allah, itulah syirik akbar.

    Catatan Kaki

    [1] Dan disebutkan dalam riwayat lain, "Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman, sebelum …" dst.
    [2] Surah Al-Baqarah: 166.
    [3] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa mempertuhankan selain Allah dengan mencintai seperti mencintai Allah maka dia adalah musyrik.
    [4] Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada yang dicintai Allah wajib didahulukan di atas segala-galanya.
    [5] Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang telah dibina orang-orang musyrik di dunia akan terputus sama sekali ketika di akhirat, dan masing-masing dari mereka akan melepaskan diri darinya.

    Ilmu Nujum (Astrologi) dan Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang


    Apa itu ilmu nujum? Bagaimana hukumnya dalam Islam? Lalu bagaimana jika kita mempelajarinya hanya untuk mengetahui peredaran benda-benda dalam tata surya kita? Apa saja manfaat-manfaat yang Allah berikan dalam penciptaan bintang-bintang? Simak jawabannya dalam pembahasan Kitab Tauhid kali ini.


    1. Ilmu Nujum (Astrologi)


    Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa Qatadah mengatakan,
    “Allah menciptakan bintang-bintang ini, untuk tiga hikmah, sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar setan dan sebagai tanda-tanda untuk petunjuk (arah dan sebagainya). Karena itu, barangsiapa dalam masalah ini berpendapat selain tersebut, maka dia telah salah dan menyia-nyiakan nasibnya serta membebani diri anda dengan hal yang di luar batas pengetahuannya.”

    Tentang mempelajari letak-letak peredaran bulan, Qatadah menyatakan makruh, sedang Ibnu ‘Uyainah tidak membolehkan. Demikian disebutkan oleh Harb dari mereka. Tetapi Imam Ahmad dan Ishaq memperbolehkan hal tersebut.[1]

    Abu Musa menuturkan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Tiga jenis manusia tidak masuk Surga, yaitu, pecandu khamr (minuman keras), orang yang mempercayai sihir[2] dan pemutus hubungan kekeluargaan.”[3]


    Kandungan Bab Ini

    1. Hikmah penciptaan bintang-bintang.
    2. Bantahan terhadap orang yang berpendapat selain tersebut.
    3. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah mempelajari letak-letak peredaran bulan.
    4. Ancaman bagi orang yang mempercayai sesuatu sihir [yang di antara jenisnya adalah ilmu nujum (astrologi)], walaupun dia mengetahui akan kebatilannya.


    2. Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang


    Firman Allah Ta’ala,
    “Dan kamu membalas rizki (yang telah dikaruniakan Allah) kepadamu dengan mendustakan Allah yang tidak benar.” (Al-Waqi’ah: 82).

    Abu Malik Al-Asy’ari menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Empat perkara yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan Jahiliyah, yang tidak ditinggalkan oleh mereka: membanggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang dan meratapi orang mati.”
    Lalu beliau bersabda, “Wanita yang meratapi orang mati, apabila belum bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari Kiamat dan dikenakan kepadanya pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (Hadits riwayat Muslim)

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaid dan Khalid, katanya,
    “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengimani kami dalam shalat Shubuh di Hudaibiyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau menghadap
    kepada orang-orang lantas bersabda, "Tahukah kamu apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Dia berfirman, “Pagi ini di antara hamba-hambaKu ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Tuhan’, dia beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang.”

    Sedangkan orang yang mengatakan ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini, atau bintang itu.’, dia kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang.


    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari Ibnu ‘Abbas, yang maknanya antara lain disebutkan demikian, “…Ada di antara mereka berkata, ‘Sungguh telah benar bintang ini atau bintang itu.’ Sehingga Allah menurunkan firman-Nya, Maka Aku bersumpah dengan tempat-tempat peredaran bintang-bintang… dst. sampai firman-Nya, Dan kamu membalas rizki (yang telah dikaruniakan Allah) kepadamu dengan mengatakan perkataan yang tidak benar. [4]

    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surat Al-Waqi’ah.[5]
    2. Disebutkan empat perkara termasuk perbuatan Jahiliyah.
    3. Dinyatakan bahwa di antara perkara-perkara tersebut ada yang disebut sebagai kufur [yaitu menisbatkan turunnya hujan kepada bintang].
    4. Kufur ada yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.
    5. Di antara dalilnya, firman Allah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Pagi ini di antara hamba-hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir…" disebabkan turunnya nikmat hujan.
    6. Perlu difahami makna iman dalam kasus tersebut.
    7. Dan perlu difahami pula makna kufur dalam kasus tersebut.
    8. Di antara pengertian kufur, adalah ucapan salah seorang dari mereka, "Sungguh telah benar bintang ini, atau bintang itu."
    9. Metode pengajaran kepada orang yang tidak mengerti masalah dengan mengajukan pertanyaan, sebagai contohnya, sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, "Tahukah kamu apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?"
    10. Ancaman bagi wanita yang meratapi orang mati.

    Catatan Kaki

    [1] Maksudnya, mempelajari letak matahari, bulan dan bintang untuk mengetahui arah kiblat, waktu shalat dan semisalnya, maka hal itu diperbolehkan.
    [2] Mempercayai sihir yang di antara macam-nya adalah ilmu nujum (astrologi). Sebagaimana telah dinyatakan dalam suatu hadits, “Barangsiapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihirLihat bagian Macam-macam Sihir.
    [3] Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.
    [4] Surah Al-Waqi’ah: 75 – 82.
    [5] Dalam ayat ini Allah mencela orang-orang musyrik atas kekafiran mereka terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah dengan menisbatkan turunnya hujan kepada bintang; dan Allah menyatakan bahwa perkataan ini dusta dan tidak benar, karena turunnya hujan adalah karunia dan rahmat dariNya.

    Takut Kepada Allah dan Tawakkal Kepada Allah


    Melanjutkan pembahasan selanjutnya dari Kitab Tauhid, kami suguhkan dua bab pendek sekaligus yaitu “Takut Kepada Allah” dan “Tawakkal Kepada Allah”. Penulis  menjelaskan secara singkat mengenai kedua hal ini. Penjelasannya secara panjang lebar, bisa didapatkan dari buku “Fathul Majid, Syarah Kitabut Tauhid”. Walaupun tidak panjang, mari kita simak sebagai rangkuman dari penulis.


    Takut Kepada Allah


    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175).

    “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetapi mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah:18).

    “Dan di antara manusia ada orang yang berkata, "Kami beriman kepada Allah", maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata, "Sesungguhnya kami adalah besertamu." Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?.” (Al-Ankabut:10).

    Diriwayatkan hadits marfu’ dari Abu Sa’id:
    “Sesungguhnya termasuk lemahnya keyakinan apabila kamu mencari kerelaan manusia dengan kemurkaan Allah, memuji mereka atas rizki Allah yang diberikan lewat mereka, dan mencela mereka atas sesuatu yang belum diberikan Allah kepadamu lewat mereka. Sesungguhnya rizki Allah itu tidak dapat didatangkan oleh ketamakan orang yang tamak dan tidak pula dapat digagalkan oleh kebencian orang yang membenci.”

    Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berusaha mendapatkan ridha Allah, sekalipun dengan resiko kemarahan manusia, maka Allah meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa berusaha mendapatkan ridha manusia dengan melakukan apa yang menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia murka pula kepadanya.”[1]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran.[2]
    2. Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah / At-Taubah.[3]
    3. Tafsiran ayat dalam surah Al-’Ankabut.[4]
    4. Keyakinan bisa menjadi lemah dan bisa menjadi kuat.
    5. Tanda lemahnya keyakinan, antara lain: tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id.
    6. Memurnikan rasa takut kepada Allah termasuk kewajiban.
    7. Pahala bagi orang yang mengamalkannya.
    8. Ancaman bagi orang yang tidak mengamalkannya.


    Tawakkal Kepada Allah


    Firman Allah Azza wa Jalla:
    “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23).

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal: 2).

    “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu’min yang mengikutimu.” (Al-Anfal: 64).

    “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3).

    Al-Bukhari dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, katanya, “Cukuplah Allah bagi kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”

    Kalimat ini diucapkan Ibrahim ketika dicampakkan ke dalam api, dan diucapkan Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka. Tetapi perkataan itu malah menambah keimanan mereka … [5]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tawakkal termasuk kewajiban.
    2. Tawakkal termasuk syarat-syarat iman.
    3. Tafsiran ayat dalam surah Al-Anfal.[6]
    4. Tafsiran ayat dalam surah Al-Anfal.[7]
    5. Tafsiran ayat dalam surah Ath-Thalaq.[8]
    6. Kalimat "Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil" mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena telah diucapkan oleh Nabi Ibrahim Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika dalam situasi yang sulit sekali.

    Catatan Kaki

    [1] Hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.
    [2] Ayat ini menunjukkan bahwa khauf (takut) termasuk ibadah yang harus ditujukan kepada Allah semata-mata, dan di antara tanda kesempurnaan iman adalah tiada merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah saja.
    [3] Ayat ini menunjukkan bahwa memurnikan rasa takut kepada Allah adalah wajib, sebagaimana shalat, zakat dan kewajiban lainnya.
    [4] Ayat ini menunjukkan bahwa merasa takut akan perlakuan buruk dan menyakitkan dari manusia dikarenakan iman kepada Allah adalah termasuk takut kepada selain Allah; dan menunjukkan pula kewajiban bersabar dalam berpegang teguh pada jalan Allah.
    [5] Ali Imran: 173.
    [6] Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah merupakan sifat orang-orang yang beriman kepada Allah; dan menunjukkan bahwa iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang.
    [7] Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman yang mengikutinya supaya bertawakkal kepada Allah, karena Allah-lah yang mencukupi keperluan mereka.
    [8] Ayat ini menunjukkan kewajiban bertawakkal kepada Allah dan pahala bagi orang yang mengamalkannya.

    Merasa Aman Dari Siksa Allah Dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya Serta Sabar Atas Segala Takdir-Nya


    Selanjutnya juga merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau menjelaskan bahwa sikap merasa aman dari siksa Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya merupakan dosa besar, sebagaimana beliau bawakan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Simak juga bab pendek selanjutnya mengenai sikap sabar atas takdir Allah.

    Merasa Aman Dari Siksa Allah Dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya


    Firman Allah,
    “Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 99).

    “Ibrahim berkata, "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." (Al-Hijr:56).

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,”Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.[1]

    ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Dosa-dosa besar yang paling besar ialah syirik kepada Allah, merasa aman dari siksa Allah, berputus harapan dari rahmat Allah dan berputus asa dari pertolongan Allah.”


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah Al-A’raf.[2]
    2. Tafsiran ayat dalam surah Al-Hijr.[3]
    3. Ancaman Keras Terhadap orang yang merasa aman dari siksa Allah.
    4. Ancaman Keras Terhadap orang yang berputus asa dari rahmat Allah.


    Termasuk Iman Kepada Allah: Sabar Atas Segala Takdir-Nya


    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun: 11).

    ‘Alqamah[4] menafsirkan iman yang tersebut dalam ayat ini dengan mengatakan, “Yaitu: seseorang yang ketika ditimpa musibah ia meyakini bahwa itu semua dari Allah, maka ia pun ridha dan pasrah (atas takdirNya).“

    Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Ada dua perkara yang masih dilakukan orang, padahal kedua-duanya adalah kufur, yaitu mencela keturunan dan meratapi orang mati.”

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
    “Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliyah.”

    Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambaNya maka Dia menyegerakan hukuman baginya di dunia; sedang apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang hambaNya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi balasannya nanti di hari Kiamat.” [4]

    Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda , “Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan; dan sungguh Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum, diujiNya mereka dengan cobaan. Untuk itu, barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan dari
    Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.”
    [5]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah At-Taghabun. [6]
    2. Sabar terhadap segala cobaan termasuk iman kepada Allah.
    3. Ancaman keras terhadap orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliyah [karena meratapi orang mati].
    4. Tanda apabila Allah menghendaki keburukan kepada hambaNya.
    5. Tanda kecintaan Allah kepada hambaNya.
    6. Dilarang bersikap marah dan tidak sabar atas cobaan yang diujikan Allah.
    7. Pahala bagi orang yang ridha atas cobaan yang menimpanya.

    Catatan Kaki

    [1] Hadits riwayat Al-Bazzar dan Ibnu Abi Hatim. Isnadnya hasan.
    [2] Ayat ini menunjukkan bahwa merasa aman dari siksa adalah dosa besar yang haris dijauhi oleh orang mu’min.
    [3] Ayat ini menunjukkan bahwa bersikap putus asa dari rahmat Allah termasuk pula dosa besar yang harus dijauhi. Dari kedua ayat, dapat disimpulkan bahwa seorang mu’min harus memadukan antara dua sikap harap dan khawatir. Harap akan rahmat Allah dan khawatir terhadap siksaNya.
    [4] ‘Alqamah bin Qais bin ‘Abdullah bin Malik An-Nakha’i. Salah seorang tokoh dari ulama tabi’in. Dilahirkan pada masa hidup Nabi. Meninggal tahun 62H (681M).
    [5] Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim.
    [6] Hadits hasan, menurut At-Tirmidzi.
    [7] Ayat ini menunjukkan keutaman sabar atas segala takdir Allah yang
    pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.

    Riya’


    Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai riya’ yang merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam daripada fitnahnya Al-Masih ad-Dajjal. Ikuti penjelasan beliau mengenai syirik kecil ini.

    Tentang Riya’[1]


    Firman Allah,
    “Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya’." (Al-Kahfi:110).

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman: “Aku adalah Sekutu Yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu.” (Hadits riwayat Muslim).

    Diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu, yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada Al-Masih Ad-Dajjal [2] Para sahabat menjawab, "Baiklah ya Rasulullah." Beliau shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan shalat, dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.” (Hadits riwayat Imam Ahmad).


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Kahfi[3]
    2. Masalah yang penting sekali, yaitu: bahwa amal shalih apabila dicampuri dengan sesuatu yang bukan Lillah, maka tidak diterima oleh Allah.
    3. Disebutkan alasan yang menyebabkan hal tersebut, yaitu bahwa Allah Ta’ala adalah Sembahan yang amat menolak perbuatan syirik karena sifat ke-MahacukupanNya.
    4. Alasan lainnya, bahwa Allah adalah Sekutu yang terbaik.
    5. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir apabila sahabatnya melakukan riya’.
    6. Tafsiran riya’, contohnya: seseorang melakukan shalat dengan niat Lillah, akan tetapi dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.

    Catatan Kaki

    [1] Riya’ ialah berbuat baik karena orang lain.
    [2] Al-Masih Ad-Dajjal ialah seorang manusia pembohong terbesar yang akan muncul pada akhir zaman, mengaku sebagai Al-Masih bahkan mengaku sebagai tuhan yang disembah. Kehadirannya di dunia ini termasuk di antara tanda-tanda besar akan tibanya hari Kiamat. Sedang keajaiban-keajaiban yang bisa dilakukannya merupakan cobaan dari Allah untuk umat manusia yang masih hidup pada masa itu.

    Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa kemunculannya di dunia nanti selama 40 hari, di antara hari-hari tersebut: sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan, sehari bagaikan seminggu, kemudian hari-hari lainnya sebagaimana biasa; atau kalau kita jumlahkan sama dengan satu tahun, dua bulan dua minggu.

    Hadits-hadits tentang Ad-Dajjal ini telah diriwayatkan oleh banyak kalangan sahabat, antara lain: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Mu’adz bin Jabal, Jabir bin ‘Abdullah, Abu Sa’id Al-Khudri, An-Nawwas bin Sim’an, Anas bin Malik, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Fathimah binti Qais, dan lain-lain.

    Masalah ini bisa dirujuk dalam:
    ·         Shahih Al-Bukhari: Kitab Al-Fitan bab 26-27; Kitab At-Tauhid bab 27, 31.
    ·         Shahih Muslim: Kitab Al-Fitan bab 20 – 25.
    ·         Shahih At-Tirmidzi: Kitab Al-Fitan bab 55 – 62.
    ·         Sunan Abu Dawud: Kitab Al-Malahin bab 14, 15.
    ·         Sunan Ibnu Majah: Kitab Al-Fitan bab 33.
    ·         Musnad Imam Ahmad: jilid 1 hal. 6-7; jilid 2 hal. 33, 37, 67, 104, 124, 131; jilid 5 hal. 27, 32, 43, 47.
    ·         dan kitab-kitab koleksi hadits lainnya.
    [3] Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila memenuhi dua syarat:
    1.      Ikhlas semata-mata karena Allah, tidak ada syirik di dalamnya sekalipun syirik kecil seperti riya’.
    2.      Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam karena suatu amal disebut shalih jika ada dasar perintahnya dalam agama.
    Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa ibadah itu tauqifiyah, artinya berlandaskan pada ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak menurut akal maupun hawa nafsu seseorang.

    Motivasi Seseorang Dalam Amalnya & Hakikat Mempertuhankan Ulama’


    Selanjutnya merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid menjelaskan bahwa motivasi amal seseorang dapat menimbulkan suatu kesyirikan. Lalu bab yang satu lagi mengenai Ahlul Kitab yang mempertuhankan ulama’ (rahib-rahib) mereka. Bagaimana kedua hal ini bisa terjadi? Mari simak keterangan beliau berikut ini.

    Termasuk Syirik: Motivasi Seseorang Dalam Amalnya Kepentingan Duniawi


    Allah Ta’ala berfirman:
    “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15 – 16).

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah.[1] Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi, ia marah. Celakalah ia dan tersungkurlah! Apabila terkena duri semoga tidak dapat mencabutnya. Berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan Allah), dengan kusut rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada di pos penjagaan, dia tetap setia berada di pos penjagaan itu; dan bila ditugaskan di garis belakang dia akan tetap setia berada di garis belakang itu. Jika dia meminta permisi (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan,[2] dan jika bertindak sebagai perantara tidak diterima perantaranya.”

    Kandungan Bab Ini

    1. Motivasi seseorang dalam amal ibadahnya, yang semestinya untuk akhirat malah untuk kepentingan duniawi [termasuk syirik dan menjadikan pekerjaan itu sia-sia tidak diterima oleh Allah].
    2. Tafsiran ayat dalam surah Hud.[3]
    3. Manusia muslim, disebut sebagai hamba dinar, dirham khamishah dan khamilah [jika menjadikan kesenangan duniawi sebagai tujuan].
    4. Tafsiran hal tersebut, yaitu jika diberi senang, tetapi jika tidak, marah.
    5. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendoakan, "Celakalah ia dan tersungkurlah."
    6. Juga mendo’akan, "Apabila terkena duri semoga tidak dapat mencabutnya."
    7. Pujian untuk mujahid yang memiliki sifat-sifat sebagaimana tersebut dalam hadits.


    Barangsiapa Mentaati Ulama’ dan Umara’ Dalam Mengharamkan Apa yang Dihalalkan Allah, atau Menghalalkan Apa yang Diharamkan Allah, Berarti Ia Telah Mempertuhankan Mereka


    Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku menuturkan, Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi kalian malah mengatakan, "Kata Abu Bakar dan ‘Umar (apa)?!"

    Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku merasa heran dengan orang yang tahu tentang isnad hadits dan ke-shahih-annya, tetapi mereka menjadikan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) sebagai acuannya, padahal Allah telah berfirman,
    “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.”
    Tahukah kamu apakah pengertian fitnah di sini? Yaitu syirik. Bisa jadi apabila dia menolak sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, akan terjadi dalam hatinya suatu kesesatan, sehingga celakalah dia.”

    Diriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim bahwa ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah …” (An-Nur: 63).
    Tutur ‘Adiy selanjutnya, Maka aku berkata kepada beliau, Sungguh kami tidaklah menyembah mereka. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bertanya, Tidakkah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun mengharamkannya? Dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, lalu kamu pun menghalalkannya? Aku menjawab, "Ya." Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Itulah ibadah (penyembahan) kepada mereka."[4]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah An-Nur.[5]
    2. Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah.[6]
    3. Contoh kasus yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas dengan menyebut Abu Bakar dan ‘Umar; dan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan menyebut Sufyan (Ats-Tsauri).
    4. Hal tersebut telah berkembang sedemikian rupa, sehingga terjadi pada kebanyakan orang, penyembahan orang-orang shalih yang dianggap sebagai amal afdhal dan dipercayai sebagai wali [yang dapat mendatangkan suatu manfaat atau menjauhkan bencana] serta penyembahan orang-orang alim melalui ilmu pengetahuan dan fiqh [dengan diikuti apa saja yang mereka katakan, baik sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya atau tidak].


    Hal ini pun kemudian berkembang lebih parah lagi, sehingga disembah pula orang-orang yang tidak shalih [dengan dipercayai sebagai wali meski perbuatannya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya] dan disembah juga orang-orang yang bodoh yang tidak berilmu [dengan dipatuhi saja pendapatnya, bahkan bid'ah dan syirik yang mereka lakukan juga diikuti].

    Catatan Kaki

    [1] Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wol atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah.
    Maksud ungkapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan sabdanya tersebut ialah untuk menunjukkan orang yang sangat ambisi dengan kekayaan dan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itulah orang-orang yang celaka dan sengsara.
    [2] Tidak diperkenankan dan tidak diterima perantaraannya, yaitu dia tidak mempunyai kedudukan atau pangkat dan tidak terkenal; soalnya, perbuatan dan amal yang dilakukannya diniati Lillah semata-mata .
    [3] Ayat ini menjelaskan tentang hukum orang yang motivasinya hanya kepentingan dan kenikmatan duniawi dan akibat yang akan diterimanya baik di dunia maupun di akhirat nanti.
    [4] Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan menyatakan hasan.
    [5] Ayat ini mengandung suatu peringatan supaya kita jangan sampai menyalahi Kitab (Al-Qur’an -red. vbaitullah) dan Sunnah.
    [6] Ayat dalam surah Bara’ah menunjukkan bahwa barangsiapa mentaati seseorang dengan menyalahi hukum yang telah ditetapkan Allah berarti telah mengangkatnya sebagai tuhan selain Allah.

    Berhakim Kepada Selain Allah Dan RasulNya


    Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai status orang yang berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Apa saja dan bagaimana bentuknya? Simak penjelasannya berikut ini.

    Firman Allah,
    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hokum Allah yang telah diturunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 60 – 62).

    “Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi"[1], mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11).

    “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya …” (Al-A’raf: 56).

    “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).

    Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman (sempurna) seseorang di antara kamu, sebelum keinginan dirinya menuruti apa yang telah aku bawa (dari Allah).” [2]

    Asy-Sya’bi menuturkan,
    “Pernah terjadi pertengkaran antara orang munafik dan seorang Yahudi. Berkatalah orang Yahudi itu, "Mari kita berhakim kepada Muhammad!", karena ia mengerti bahwa beliau tidak mengambil risywah (sogok). Sedangkan orang munafik itu berkata, "Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi!", karena ia tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk datang berhakim kepada seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat,
    “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).
    ”[3]

    Dikatakan pula bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan dua orang yang bertengkar. Salah seorang mengatakan, "Mari kita bersama-sama mengadukan kepada Nabi!", sedangkan yang lainnya mengatakan, "Kepada Ka’ab Al-Asyraf."
    Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’.[4] Dan ayat ini dapat membantu untuk memahami pengertian thaghut.
    2. Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[5]
    3. Tafsiran ayat dalam surat Al-A’raf. [6]
    4. Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[7]
    5. Sebab turunnya ayat-ayat yang pertama, sebagaimana dijelaskan Asy-Sya’bi.
    6. Pengertian iman yang benar dan iman yang palsu. [Iman yang benar yaitu berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta menerima hukumya dengan tunduk dan ridha. Dan iman yang palsu yaitu mengaku beriman tetapi tidak mau berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, bahkan berhakim kepada thaghut].
    7. Kisah ‘Umar dengan orang munafik, [bahwa 'Umar memenggal leher orang munafik tersebut karena tidak rela dengan keputusan Rasulullah].
    8. Seseorang tidak akan beriman (sempurna dan benar) sebelum keinginan dirinya mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

    Catatan Kaki

    [1] Maksudnya, janganlah kamu membuat kerusuhan di muka bumi dengan kekafiran dan perbuatan maksiat lainnya.
    [2] Kata An-Nawawi, "Hadits shahih, kami riwayatkan dari kitab Al-Hujjah dengan isnad shahih.
    [3] Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya.
    [4] Ayat ini menunjukkan kewajiban berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan menerima hukum keduanya dengan ridha dan tunduk. Barangsiapa yang berhukum kepada selainnya, berarti berhakim kepada thaghut, apapun sebutannya.
    Dan menunjukkan kewajiban mengingkari thaghut serta menjauhkan diri dan waspada terhadap tipu daya setan. Menunjukkan kepada bahwa barangsiapa diajak berhakim dengan hukum Allah dan Rasul-Nya haruslah menerima; apabila menolak maka dia adalah munafik, dan apa pun dalih yang dikemukakan seperti menghendaki penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna bukanlah merupakan alasan baginya untuk menerima selain hukum Allah dan Rasul-Nya.
    [5] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain hukum yang diturunkan Allah, maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan dalih mengadakan perbaikan bukan alasan sama sekali untuk meninggalkan hukumNya.
    Menunjukkan pula bahwa orang yang sakit hatinya akan memutar balik nilai-nilai, di mana yang baik dijadikan bathil dan yang bathil dijadikan baik.
    [6] Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain hukum Allah maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan menunjukkan bahwa perbaikan di muka bumi adalah dengan menerapkan hukum yang diturunkan Allah.
    [7] Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menghendaki selain hukum Allah, berarti dia menghendaki hukum Jahiliyah.

    Mengingkari Sebagian Dari Asma’ Dan Shifat Allah Serta Nikmat Allah


    Selanjutnya merupakan gabungan dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Dengan membawakan atsar sahabat, beliau menjelaskan bahwa setiap muslim harus mengimani semua nama dan sifat Allah tanpa terkecuali. Bab yang satu lagi mengenai ingkar kepada nikmat Allah. Beliau memaparkan penafsiran terhadap An-Nahl: 83.


    Mengingkari Sebagian Dari Asma’ Dan Shifat Allah


    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Dan mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah, "Dialah Tuhanku, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepadaNya aku bertawakkal dan hanya kepadaNya aku bertaubat.” (Ar-Ra’d:30).

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa ‘Ali berkata, “Tuturkanlah kepada orang-orang apa yang mereka mengerti. Inginkah kamu sekalian bahwa Allah dan RasulNya dituduh tidak benar?”

    ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus dari bapaknya (Thawus), dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia melihat seseorang terperanjat mendengar sebuah hadits berkenaan dengan shifat Allah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam karena merasa keberatan dengan hal tersebut. Maka Ibnu ‘Abbas berkata,
    “Apa kekhawatiran mereka itu? Mereka mau mendengar dan menerima ketika dibacakan nash yang muhkam (jelas pengertiannya), tetapi mencelakakan diri (karena merasa keberatan) ketika dibacakan nash yang mutasyabih (sulit dipahami).” [1]

    Orang-orang Quraisy tatkala mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyebut "Ar-Rahman", mereka mengingkarinya. Maka terhadap mereka itu, Allah menurunkan firmanNya, “Dan mereka kafir kepada Ar-Rahman.”


    Kandungan Bab Ini

    1. Dinyatakan tidak berima, karena mengingkari (menolak) sebagian dari asma’ dan shifat Allah.
    2. Tafsiran ayat dalam surah Ar-Ra’d. [2]
    3. Jangan dituturkan kepada orang-orang yang tidak dimengerti oleh mereka.
    4. Alasannya, hal tersebut bisa mengakibatkan tuduhan bahwa Allah dan RasulNya tidak benar, meskipun tidak bermaksud demikian.
    5. Ibnu ‘Abbas menolak sikap orang yang merasa keberatan ketika dibacakan sebuah hadits yang berkenaan dengan shifat Allah dan menyatakan bahwa sikap tersebut mencelakakan dirinya.


    Ingkar Kepada Ni'mat Allah


    Allah Ta’ala berfirman: “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya …” (An-Nahl:83).

    Dalam menafsiri ayat di atas, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang, "Ini adalah harta kekayaanku yang aku warisi dari nenek moyangku."

    ‘Aun bin ‘Abdullah mengatakan, "Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena Fulan, tentu tidak akan menjadi begini’."

    Menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, "Mereka itu mengatakan, ‘Adalah berkat syafa’at sesembahan-sesembahan kita’."

    Abu Al-’Abbas[3] setelah mengupas hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid yang isinya bahwa Allah berfirman, “Pagi ini, di antara hamba-hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir …" (dan seterusnya), sebagaimana telah disebutkan di atas,[4],
    beliau mengatakan,“Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Allah mencela orang yang berbuat syirik kepadaNya dengan menisbatkan nikmatNya kepada selainNya. Di antara kaum salaf ada yang mengatakan,  Yaitu seperti kata mereka, "Anginnya enak, nahkodanya tangkas" dan sebagainya, yang sering keluar dari ucapan orang banyak.”

    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran "Mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya."
    2. Perbuatan tersebut sering terjadi dalam ucapan orang banyak, [karena itu harus dihindari].
    3. Ucapan seperti ini disebut sebagai mengingkari nikmat Allah.
    4. Bahwa dua hal yang bertentangan ini (mengetahui nikmat Allah dan mengingkarinya), bisa terjadi dalam diri manusia.

    Catatan Kaki

    [1] Perkataan Ibnu ‘Abbas disebutkan penulis setelah perkataan ‘Ali yang menyatakan bahwa seyogyanya tidak usah dituturkan kepada orang-orang apa yang mereka tidak mengerti, adalah untuk menunjukkan bahwa nash-nash Al-Qur’an maupun hadits yang berkenaan dengan shifat Allah tidak termasuk hal tersebut.
    Bahkan perlu pula disebutkan dan ditegaskan, karena keberatan sebagian orang akan hal tersebut bukanlah menjadi faktor penghalang untuk menyebutkannya, sebab para ulama semenjak zaman dahulu masih membicarakan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkenaan dengan shifat Allah di hadapan orang-orang umum maupun khusus.
    [2] Ayat ini menunjukkan kewajiban mengimani segala asma’ dan shifat Allah, dan mengimani segala asma’ dan shifat Allah, dan mengingkari sesuatu darinya adalah kufur.
    [3] yaitu Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah.
    [4] Telah disebutkan pada

    Jangan Membuat Sekutu-sekutu Bagi Allah Dan Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya


    Memasuki bab-bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menasehati agar jangan membuat sekutu/tandingan selain Allah, lalu menjelaskan hukum orang yang tidak rela dengan sumpah atas nama-Nya dan menjelaskan status ucapan “Atas Kehendak Allah Dan Kehendakmu”

    Janganlah Membuat Sekutu-Sekutu Untuk Allah

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 22)

    Ibnu ‘Abbas, dalam manafsirkan ayat tersebut, mengatakan,
    Membuat andad ialah berbuat syirik, suatu perbuatan dosa yang lebih sulit untuk dikenali daripada semut kecil yang merayap di atas batu hitam pada malam yang kelam. Yaitu seperti ucapan anda, "Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan serta demi hidupku."; atau, "Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu."; atau, "Kalau bukan karena angsa yang ada di rumah ini, tentu datanglah pencuri-pencuri itu."; dan ucapan seseorang kepada kawannya, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu."; juga ucapan seseorang, "Kalau bukan karena Allah dan karena si Fulan." Janganlah anda sebutkan si Fulan (si anu) dalam ucapan-ucapan tersebut. Itu semua adalah perbuatan syirik terhadap-Nya.” [1]

    ‘Umar bin Khaththab menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka ia telah
    berbuat kafir atau syirik.”
    [2]

    Dan Ibnu Mas’ud berkata, “Bersumpah bohong dengan menyebut nama Allah lebih aku sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebut nama selainNya.”

    Hudzaifah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan.", tetapi katakanlah, "Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan." [3]

    Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia melarang ucapan, "Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu."; tetapi membolehkan ucapan, "Kalau bukan karena Allah kemudian karena si Fulan." Dan janganlah anda mengatakan, "Kalau bukan karena Allah dan karena si Fulan."


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran "Membuat andad (sekutu-sekutu)."
    2. Bahwa ayat yang diturunkan oleh Allah berkenaan dengan syirik akbar, para sahabat dalam menafsirkannya mencakup pula syirik ashghar (kecil).
    3. Bersumpah dengan nama selain Allah adalah syirik.
    4. Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, apabila benar-benar sumpahnya maka lebih besar dosanya daripada sumpah bohong (palsu).
    5. Perbedaan antara kata "dan" dengan kata "kemudian" dalam ucapan.


    Orang Yang Tidak Rela Dengan Sumpah Yang Menggunakan Nama Allah


    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu bersumpah dengan nama nenek moyangmu! Barangsiapa bersumpah
    dengan nama Allah supaya berkata benar, dan barangsiapa yang diucapkan padanya sumpah dengan menyebut nama Allah hendaklah ia rela (menerimanya). Barangsiapa yang tidak rela, maka lepaslah dia dari Allah. [4]


    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang.
    2. Diperintahkan kepada orang yang diberi sumpah dengan menggunakan nama Allah untuk rela menerimanya.
    3. Ancaman bagi orang yang tidak rela.


    Ucapan "Atas Kehendak Allah Dan Kehendakmu"


    Qutailah menuturkan, Bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik, kamu mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." dan mengucapkan "Demi Ka’bah." Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, "Demi Tuhan Pemilik Ka’bah" dan mengucapkan, "Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu." [5]

    Ibnu ‘Abbas menuturkan, Bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi, shallallahu’alaihi wa sallam "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." Maka ketika itu bersabdalah beliau, Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah? (katakanlah:) "Hanya kehendak Allah saja." [6]


    Diriwayatkan Ibnu Majah dari Ath-Thufail, saudara seibu dengan ‘Aisyah, ia berkata,
    “Aku bermimpi seakan-akan aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi. Aku berkata kepada mereka, "Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Uzair putera Allah’." Mereka menjawab, "Sungguh, kamu pun sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’."

    Lalu aku menjumpai sekelompok orang-orang Nasrani, maka aku berkata kepada mereka, "Sungguh, kamu pun sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Al-Masih putera Allah’." Mereka menjawab, "Sungguh, kamu pun sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’."

    Ketika pagi hari, aku beritahukan mimpi tersebut kepada kawan-kawanku, kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan aku beritahukan kepada beliau. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya, "Apakah kamu telah memberitahukannya kepada seseorang?" Aku menjawab "Ya." Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ber-tahmid dan memuji kepada Allah, kemudian bersabda,  “Amma ba’du, sesungguhnya Thufail telah bermimpi sesuatu yang telah diberitahukan kepada orang-orang di antara kamu. Dan sesungguhnya kamu telah mengucapkan sesuatu yang ketika itu aku tidak sempat melarangnya kepadamu karena aku ada beberapa halangan, maka janganlah kamu mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad." Akan tetapi katakanlah,  "Atas kehendak Allah semata."


    Kandungan Bab Ini

    1. Hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa orang Yahudi pun mengerti perbuatan yang disebut syirik ashghar.
    2. Pemahaman manusia apabila dipengaruhi hawa nafsunya; [seperti halnya orang Yahudi tadi, dia mengerti kebenaran tetapi dia tidak mau mengikuti kebenaran itu dan tidak mau beriman kepada Nabi yang membawanya].
    3. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah?" sebagai penolakan terhadap orang yang berkata kepada beliau, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." Jika demikian sikap beliau, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan, “Wahai makhluk termulia! Tiada seorang pun bagiku sebagai tempat aku berlindung selain engkau…" dan dua bait selanjutnya?
    4. Ucapan, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu" termasuk syirik ashghar, tidak termasuk syirik akbar, karena beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kamu telah mengucapkan sesuatu yang ketika itu aku tidak sempat melarangnya kepadamu karena aku ada beberapa halangan …”
    5. Mimpi baik termasuk salah satu macam wahyu.
    6. Mimpi kadangkala menjadi sebab disyariatkannya sebagian hukum.

    Catatan Kaki

    [1] Riwayat Ibnu Abi Hatim.
    [2] Hadits riwayat At-Tirmidzi dengan menyatakan hasan. Al-Hakim menyatakannya shahih.
    [3] Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih.
    [4] Hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad hasan.
    [5] Hadits riwayat An-Nasa’i dan dinyatakan shahih.
    [6] riwayat An-Nasa’i.

    Membenci Masa (waktu) & Penggunaan Nama Serta Gelar Kepada Makhluk


    Selanjutnya merupakan gabungan tiga bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau ingin menjelaskan bahwa orang yang mencela waktu, maka dia telah menyakiti Allah. Penulis juga menerangkan tentang penggunaan gelar-gelar yang menyerupai dengan  kedudukan-Nya dan penggunaan nama-nama yang serupa dengan Nama-Nya. Bagaimana sebenarnya bentuk larangan-larangan ini?

    Siapa Membenci Masa Maka Dia Telah Menyakiti Allah


    Allah Ta’ala berfirman:
    “Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah,
    bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, Manusia Menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”

    Disebutkan dalam riwayat lain, “Janganlah kamu mencaci masa, karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [1]


    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang mencaci masa.
    2. Mencaci masa disebut menyakiti Allah.
    3. Perlu direnungkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, "Karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [2]
    4. Mencaci, mungkin saja dilakukan seseorang tanpa bermaksud demikian dalam hatinya.


    Menggunakan Gelar "Qadh Al-Qudhat" (Hakim Para Hakim) Dan Yang Semacamnya


    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya gelar (nama) yang paling hina di hadapan Allah adalah seseorang yang menggunakan gelar "Raja para Raja", tiada raja yang haq selain Allah.”


    Sufyan[3] mengemukakan contoh dengan berkata, "Seperti gelar syahan syah." Dan disebutkan dalam riwayat lain, Orang yang paling dimurkai dan paling jahat menurut Allah pada hari Kiamat.”


    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang menggunakan gelar "Raja para Raja."
    2. Dilarang juga menggunakan gelar lain yang semisalnya, seperti contoh yang dikemukakan Sufyan.
    3. Hal ini dilarang, [karena mengandung suatu untur persamaan atau pensejajaran antara Allah dengan makhluk-Nya], sekalipun hatinya tidak bermaksud demikian.
    4. Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.


    Memuliakan Asma’ (Nama-Nama) Allah Ta’ala, Dan Mengganti Nama Untuk Tujuan Ini


    Diriwayatkan dari Abu Syuraih, bahwa ia sebelumnya diberi kunyah (sebutan, nama panggilan) "Abdul Hakkam". Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Allah itu sebenarnya Al-Hakkam dan hanya kepada-Nya segala perkara dimintakan keputusan hukumnya. Ia bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Sungguh kaumku apabila berselisih pendapat dalam suatu perkara, mereka datang kepadaku. Lalu aku memberikan keputusan hukum di antara mereka dan kedua belah pihak pun sama-sama menerimanya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Alangkah baiknya hal ini, Apakah kamu mempunyai anak? Ia menjawab, "Syuraih, Muslim dan ‘Abdullah." Nabi bertanya, "Siapakah yang tertua di antara mereka?"
    "Syuraih" jawabku. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Kalau begitu, kamu adalah Abu Syuraih (Bapaknya Syuraih).”
    [4]


    Kandungan Bab Ini

    1. Wajib memuliakan asma’ dan shifat Allah [dan dilarang memakai nama atau kunyah yang dapat mensejajarkan dirinya dengan Allah], walaupun tidak bermaksud demikian.
    2. Disyari’atkan mengganti nama yang tidak tepat, untuk memuliakan asma’ Allah.
    3. Memilih nama anak yang tertua untuk kunyah.

    Catatan Kaki

    [1] Orang-orang Jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut, karena yang menciptakan dan mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa. Sedangkan menghina pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan ini.
    Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan Pengatur masa.

    [2] Sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam itu menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan takdir Allah, karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit.
    [3] Yakni Sufyan bin ‘Uyainah.
    [4] Hadits diriwayatkan Abu Dawud dan ahli hadits lainnya.

    Bersenda Gurau Dengan Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya


    Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan  secara singkat mengenai bahayanya bercanda dengan mengaitkan Allah, Al-Qur’an dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, bercanda yang bawa-bawa agama Islam. Penjelasan luasnya bisa anda baca mengenai istihdza’. Simak penjelasan beliau berikut ini.


    Bersenda Gurau Dengan Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya


    Firman Allah,
    “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (Al-Bara’ah / At-Taubah: 65-66).

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’b, Zain bin Aslam dan Qatadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut,
    “Bahwasanya ketika dalam peristiwa perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, "Belum pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan." Maksudnya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur’an itu. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya, Omong kosong yang kamu katakan. Bahkan kamu adalah munafik. Niscaya akan kuberitahukan kepada Rasulullah. Lalu pergilah ‘Auf kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau. Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau. Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah, beliau beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka berkatalah dia kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda-gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami. Kata Ibnu ‘Umar, Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedang kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata, "Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja."
    Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak bersabda kepadanya lebih daripada itu.”

    Kandungan Bab Ini

    1. Masalah penting sekali, bahwa orang yang bersenda gurau dengan menyebut-nyebut Allah, ayat-ayatNya atau Rasulullah adalah kafir.
    2. Ini adalah tafsiran dari ayat tersebut di atas terhadap orang yang melakukan perbuatan itu, siapapun dia.
    3. Perbedaan antara perbuatan menghasut dengan perbuatan setia kepada Allah dan RasulNya. [Dan melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidaklah termasuk perbuatan menghasut tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah, kepada RasulNya, kepada pemimpin umat Islam dan kaum muslimin seluruhnya].
    4. Perbedaan antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan sikap keras terhadap musuh-musuh Allah.
    5. Bahwa tidak semua permintaan maaf mesti diterima. [Ada juga permintaan maaf yang harus ditolak].

    Mensyukuri Nikmat Allah Dan Mengakui Berasal DariNya


    Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim harus mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan bersyukur atas nikmat tersebut. Hal ini termasuk dalam pembahasan Tauhid karena siapa yang tidak bersyukur atau tidak mengakuinya, akan mengurangi kesempurnaan Tauhid.

    Mensyukuri Nikmat Allah Dan Mengakui Berasal DariNya

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …" (Fushshulat: 50).

    Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid mengatakan, "Ini adalah karena usahaku, dan akulah yang berhak dengannya."

    Dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, "Maksudnya: Ini adalah dari diriku sendiri."

    Dan firman Allah,
    “(Qarun) berkata, "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." (Al-Qashash: 78).

    Qatadah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya: karena pengetahuanku tentang cara-cara berusaha." Ahli tafsir lainnya mengatakan, "Karena Allah mengetahui bahwa aku adalah yang patut untuk menerima harta kekayaan itu." Dan inilah kata-kata Mujahid (tadi), "Aku diberi harta kekayaan ini, atas kemuliaan(ku)."

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    ”Sesungguhnya ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu penderita lepra, orang berkepala botak dan orang buta. Allah ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.
    Pertama, datanglah malaikat itu kepada si penderita lepra dan bertanya kepadanya, "Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Rupa yang elok, kulit yang indah dan apa yang telah menjujukkan orang-orang ini hilang dari tubuhku." Maka diusapkanlah penderita lepra itu dan hilanglah penyakit yang dideritanya serta diberilah ia rupa yang elok dan kulit yang indah. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?" Jawabannya, "Unta atau sapi." Maka diberilah ia seekor unta yang bunting dan didoakan, "Semoga Allah melimpahkan berkahNya kepadamu dengan unta ini."

    Kemudian malaikat itu mendatangi orang berkepala botak dan bertanya kepadanya, "Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Rambut yang indah dan hilang dari kepalaku apa yang telah menjijikkan orang-orang." Maka diusapkanlah kepalanya dan ketika itu hilanglah penyakitnya serta diberilah ia rambut yang indah. Malaikatpun bertanya lagi, "Kekayaan apa yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Sapi atau unta." Maka diberilah ia seekor sapi bunting dan didoakan, "Semoga Allah melimpahkan berkahNya kepadamu dengan sapi ini.

    "Selanjutnya malaikat itu mendatangi si buta dan bertanya kepadanya, "Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang." Maka diusapkanlah wajahnya dan ketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu, kekayaan apa yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Kambing." Maka diberilah ia seekor kambing bunting.

    Lalu berkembang biaklah unta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama mempunyai selembah unta, yang kedua mempunyai selembah sapi dan yang ketiga mempunyai selembah kambing. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam selanjutnya, Kemudian, datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya menderita lepra dengan menyerupai dirinya dan berkata, "Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang elok, kulit yang indah dan kekayaan ini, aku minta kepada anda seekor unta saja untuk bekal melanjutkan perjalananku."

    Tetapi dijawab, "Hak-hak (tanggunganku) banyak." Malaikat yang menyerupai orang penderita lepra itu pun berkata kepadanya, "Sepertinya aku mengenal Anda. Bukankah Anda ini yang dulu menderita lepra, orang-orang jijik kepala Anda, lagi pula melarat, lalu Allah memberi Anda kekayaan?" Dia malah menjawab, Sungguh, harta kekayaan ini hanyalah aku warisi turun temurun dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Jika Anda berkata dusta, niscaya Allah mengembalikan Anda kepada keadaan Anda semula."

    Lalu, malaikat tersebut mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak dengan menyerupai dirinya, dan berkata kepadanya seperti yang dia katakan kepada orang yang pernah menderita lepra, serta ditolaknya sebagaimana telah ditolak oleh yang pertama, itu. Maka berkatalah malaikat yang menyerupai dirinya itu kepadanya, "Jika anda berkata dusta, niscaya Allah akan mengembalikan Anda kepada keadaan semula."

    Terakhir, malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta dengan menyerupai dirinya pula, dan berkatalah kepadanya, "Aku adalah seorang miskin, kehabisan bekal dalam perjalanan dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak akan dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian pertolongan Anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan Anda, aku meminta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku."Orang itu menjawab,”Sungguh, aku dahulu buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang Anda sukai dan tinggalkan apa yang Anda sukai. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulit Anda dengan memintamu mengembalikan sesuatu yang telah Anda ambil karena Allah." Malaikat yang menyerupai orang buta itu pun berkata, "Peganglah kekayaan Anda, karena sesungguhnya kalian ini hanyalah diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepada Anda, dan murka kepada kedua teman Anda." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).

    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat tersebut di atas. [1]
    2. Apa pengertian dari firman Allah, …pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …"
    3. Dan apa pengerian dari firman Allah, "Sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku."
    4. Kisah menarik, sebagaimana terkandung dalam hadits, berisi pelajaran-pelajaran yang berharga sekali.

    Catatan Kaki

    [1] Ayat tersebut menunjukkan kewajiban mensyukuri nikmat Allah dan mengakui bahwa nikmat tersebut semata-mata berasal dari Allah; dan menunjukkan pula bahwa kata-kata seseorang terhadap nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, "Ini adalah hak yang patut kuterima, karena usahaku." adalah dilarang dan tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid.

    Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah


    Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai pemberian nama / gelar yang diperhambakan kepada selain Allah. Bagaimana bentuknya dan apa saja yang dilarang? Berikut pembahasannya


    Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    "Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkanNya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al-A’raf: 190)

    Ibnu Hazm mengatakan: "Para ulama telah sepakat mengharam-kan setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah, seperti: ‘Abdu ‘Umar (Hamba Umar), ‘Abdul-Ka’bah (Hamba Ka’bah) dan yang semisalnya, kecuali ‘Abdul-Muthalib." [1]

    Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut, mengatakan:
    "Setelah Adam menggauli isterinya Hawwa’ ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada mereka berdua dengan berkata: "Sungguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkan kamu dari Surga. Demi Allah, hendaklah kamu mentaatiku, kalau tidak niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut isterimu dengan merobek-nya. Demi Allah, pasti akan kulakukan." Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. "Namailah anakmu itu ‘Abdul-Harits[2]", kata Iblis memerintah. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya. Tatkala bayi mereka lahir, lahirlah dia dalam keadaan mati.
    Kemudian Hawwa’ hamil lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan mengatakan seperti yang pernah ia katakan. Tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan mati.
    Selanjutnya, Hawwa’ mengandung lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama ‘Abdul-Harits. Itulah tafsiran firman Allah: "Mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia karuniakan kepada mereka."

    Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula, dengan sanad shahih, bahwa Qatadah mengatakan: "Yaitu: berbuat syirik dalam hal ketaatan kepada Iblis, bukan dalam ibadah kepadanya."[3]

    Demikian juga ia meriwayatkan dengan sanad shahih, bahwa dalam menafsirkan firman Allah: "Jika Engkau mengkaruniakan kami anak laki-laki yang sempurna (wujudnya)"[4]

    Mujahid mengatakan: "Adam dan Hawwa’ khawatir kalau bayi mereka itu lahir tidak dalam wujud manusia." Dan diriwayatkannya pula tafsiran yang senada dari Al-Hasan [Al-Bashri], Sa’id [bin Jubair] dan yang lain.


    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah.
    2. Tafsiran ayat tersebut di atas. [5]
    3. Perbuatan syirik, [sebagaimana dinyatakan oleh ayat ini], dalam sekedar pemberian nama saja, tanpa bermaksud hakikatnya.
    4. Anak perempuan yang sempurna wujud jasmaninya, yang di-karuniakan Allah kepada seseorang merupakan nikmat [yang harus disyukuri].
    5. Telah disebutkan oleh ulama Salaf mengenai perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.

    Catatan Kaki

    [1] Maksudnya Ulama belum sepakat mengharamkan ‘Abdul Muthalib, karena asal nama ini berhubungan dengan perbudakan.

    [2] Al-Harits adalah nama Iblis. Dan maksud Iblis menakut-nakuti mereka berdua supaya memberi nama tersebut kepada anaknya ialah untuk mendapatkan suatu macam bentuk perbuatan syirik, dan inilah salah satu cara Iblis memperdaya musuhnya, kalau dia belum mampu untuk menjerumuskan seseorang manusia ke dalam tindakan maksiat yang besar resikonya, akan dimulai untuk menjerumus-kannya terlebih dahulu dari tindakan maksiat yang ringan atau kecil.

    [3] Maksudnya: Mereka tidaklah menyembah Iblis, tetapi mentaati Iblis dengan memberi nama ‘Abdul-Harits kepada anak mereka, sebagaimana yang diminta Iblis. Dan perbuatan itu disebut perbuatan syirik kepada Allah.
    [4] Surah Al-A’raf: 189.
    [5] Ayat ini menunjukkan bahwa anak yang dikaruniakan Allah kepada seseorang termasuk nikmat yang harus disyukuri, dan termasuk kesempurnaan rasa syukur kepadaNya bila diberi nama yang baik yang tidak diperhambakan kepada selainNya, karena pemberian nama yang diperhambakan kepada selain-Nya adalah syirik.

    Menetapkan Al-Asma’ Al-Husna Hanya Untuk Allah [Dan 3 Bab Selanjutnya]


    Selanjutnya, merupakan gabungan dari empat bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau menerangkan mengenai penetapan Asma-asma Allah itu hanya untuk-Nya saja dan beberapa bab setelah itu yakni, Larangan Mengucapkan: “As-Salamu ‘Alallah”, Do’a dengan: “Ya Allah Ampunilah Aku Jika Engkau Menghendaki dan yang terakhir, Jangan Mengatakan: “Hambaku” (‘Abdi; Amati).

    Menetapkan Al-Asma’ Al-Husna Hanya Untuk Allah Dan Tidak Menyelewengkannya


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A’raf: 180)

    Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tafsiran firman Allah: "Menyelewengkan asma’Nya", yaitu: "Berbuat syirik (dalam asma’-Nya)."

    Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas tafsirannya: "Yaitu: Mereka (orang-orang musyrik) mengambil dari asma’-Nya untuk nama-nama berhala mereka, seperti memberi nama Al-Lat berasal dari Al-Ilah dan Al-’Uzza berasal dari Al-’Aziz." 
    Dan diriwayatkan dari Al-A’masy[1] bahwa dalam menafsirkan ayat tersebut ia mengatakan: "Mereka memasukkan ke dalam asma’-Nya apa yang bukan darinya."


    Kandungan Bab Ini

    1. Wajib menetapkan asma’ [untuk Allah, sesuai dengan ke-agungan dan kemuliaanNya].
    2. Seluruh asma’ Allah adalah husna (Maha Indah).
    3. Diperintahkan untuk berdoa dengan asma’ husna-Nya.
    4. Diperintahkan untuk meninggalkan orang-orang yang tidak tahu, yang menyelewengkan asma’-Nya.
    5. Tafsiran menyelewengkan asma’ Allah.
    6. Ancaman terhadap orang yang menyelewengkannya asma’ Allah dari kebenaran.

    Larangan Mengucapkan: "As-Salamu ‘Alallah"


    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud , katanya:
    "Semula, apabila kami melakukan shalat bersama Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, kami mengucapkan: "Semoga keselamatan untuk Allah dari para hambaNya; semoga keselamatan untuk si Fulan dan si Fulan", maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  "Janganlah kamu mengu-capkan: ‘As-Salamu ‘Alallah’ (semoga keselamatan untuk Allah), karena sesungguhnya Allah adalah As-Salam (Maha Pemberi Keselamatan)."


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran As-Salam.[2]
    2. As-Salam merupakan ucapan selamat.
    3. Hal ini tidak sesuai untuk Allah.
    4. Alasannya, [karena As-Salam adalah salah satu dari asma' Allah, Dialah Yang Memberi keselamatan dan hanya kepadaNya kita memohon keselamatan].
    5. Telah diajarkan kepada para sahabat ucapan penghormatan yang sesuai untuk Allah.[3]

    Do’a dengan: "Ya Allah Ampunilah Aku Jika Engkau Menghendaki"


    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Janganlah ada seseorang di antara kamu yang berdo’a: "Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki", atau berdo’a: "Ya Allah, limpahkan rahmat-Mu kepadaku jika Engkau menghendaki; tetapi hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu, karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu."

    Dan disebutkan dalam riwayat Muslim:
    "Dan hendaklah ia membesarkan harapannya, karena sesungguhnya Allah tidak terasa berat bagi-Nya sesuatu yang Dia berikan."


    Kandungan Bab Ini:

    1. Dilarang mengucapkan: "Jika Engkau menghendaki" dalam berdo’a.
    2. Alasannya, (ucapan ini menunjukkan seakan-akan Allah merasa keberatan dengan permintaan hamba-Nya atau merasa terpaksa untuk memenuhi permohonan hamba-Nya).
    3. Diperintahkan untuk berkeinginan kuat dalam berdo’a.
    4. Diperintahkan untuk membesarkan harapan dalam berdo’a.
    5. Alasannya, (karena Allah adalah Maha Kaya, Maha Luas karunia-Nya dan Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya).

    Jangan Mengatakan: "Hambaku" (‘Abdi; Amati)


    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    “Janganlah seseorang di antara kamu mengatakan (kepada sahaya atau pelayannya): "Hidangkan makan atau berikan air wudhu’ kepada Gusti Pangeranmu (Rabbaka), dan biarlah pelayan itu mengatakan: "Tuanku (Sayyidi; Maulaya); janganlah pula seseorang diantara kamu mengatakan kepadanya: "Abdiku, hambaku (‘abdi; amati)", tetapi hendaklah mengatakan: "Bujangku (fataya), gadisku (fatati) dan anakku (ghulami)".

    Kandungan Bab Ini:

    1. Dilarang mengatakan: "Abdiku, hambaku" (‘abdi; amati).
    2. Dilarang bagi sahaya untuk menyebut: "Gusti Pangeranku" (Rabbi); dan dilarang untuk menyuruhnya dengan mengatakan: "Hidangkan makan untuk Gusti Pangeranmu (Rabbaka)".
    3. Diajarkan kepada si tuan supaya mengatakan: "Bujangku (fataya), gadisku (fatati) atau anakku (ghulami)."
    4. Dan diajarkan kepada pelayan untuk mengatakan: "Tuanku (Sayyidi; Maulaya)".
    5. Maksud hal tersebut, yaitu: pengamalan tauhid dengan semurni-murninya sampai dalam hal ucapan

    Catatan Kaki

    [1] Abu Muhammad: Sulaiman bin Mahran Al-Asadi, digelari Al-A’masy. Salah seorang tabi’in ahli tafsir, hadits dan ilmu fara’idh, dan banyak meriwayatkan hadits. Dilahirkan th. 61 H (681 M) dan meninggal th. 147 H (765 M).
    [2] As-Salam salah satu asma Allah yang artinya Maha Pemberi Keselamatan. As-Salam berarti juga keselamatan, sebagai do’a kepada orang yang diberi ucapan selamat. Karena itu tidak boleh dikatakan "As-Salamu ‘Alallah".
    [3] Ucapan penghormatan yang sesuai untuk Allah yaitu: "At Tahiyyatu Lillah, wash-Sholawatu wath-Thoyyibat".

    Jangan Ditolak Orang Yang Meminta Dengan Menyebut Nama Allah [Dan 2 Bab Selanjutnya]


    Memasuki pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai orang yang meminta penyebutan nama Allah dan tentang ucapan: "Andaikata". Mengapa ucapan "Andaikata" dilarang? Seberapa besar bahayanya?

    Jangan Ditolak Orang Yang Meminta Dengan Menyebut Nama Allah


    Ibnu ‘Umar ma menuturkan: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah maka berilah; barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah; barangsiapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya; dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah kebaikannya itu (dengan yang sebanding atau lebih baik), tetapi jika kamu tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka do’akanlah untuknya dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasa bahwa kamu sudah membalas kebaikannya." [1]


    Kandungan Bab Ini

    1. Diperintahkan memberi orang yang meminta dengan menyebut nama Allah, (demi memuliakan dan mengagungkan Allah).
    2. Diperintahkan untuk melindungi orang yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah.
    3. Disyariatkan untuk memenuhi undangan (saudara seiman).
    4. Disyariatkan untuk membalas kebaikan (dengan balasan yang sebanding, atau yang lebih daripadanya).
    5. Dalam keadaan tidak mampu untuk membalas kebaikan seseorang, disyariatkan untuk mendoakannya.
    6. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan supaya mendoakannya dengan sungguh-sungguh sampai anda merasa bahwa anda telah membalas kebaikannya.


    Tidak Dimohon Dengan Menyebut Wajah Allah, Kecuali Surga


    Jabir menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh dimohon dengan menyebut Wajah Allah, kecuali Surga saja." [2]


    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang memohon sesuatu dengan menyebut Wajah Allah, kecuali apabila yang dimohon itu adalah Surga. [Hal ini, demi mengagungkan Allah serta memuliakan asma' dan shifat-Nya].
    2. Menetapkan kebenaran adanya Wajah bagi Allah ‘Azza wa Jalla [sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya].


    Tentang Ucapan: "Andaikata"


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    “Mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali Imran: 154)

    “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh". Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)

    Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    "Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Ini telah ditakdir-kan oleh Allah; dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’;  karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan."

    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran kedua ayat dalam surah Ali Imran. [3]
    2. Dilarang dengan tegas untuk mengucapkan "andaikata" atau "seandainya" apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.
    3. Alasannya, bahwa ucapan tersebut akan membuka pintu perbuatan setan.
    4. Bimbingan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah], yaitu supaya mengucapkan perkataan yang baik [dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah].
    5. Diperintahkan supaya bersungguh-sungguh dalam menuntut segala yang bermanfaat [untuk di dunia dan di akhirat], dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.
    6. Dilarang bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.

    Catatan Kaki

    [1] HR Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih.
    [2] Hadits riwayat Abu Dawud.
    [3] Kedua ayat di atas menunjukkan larangan mengucapkan "Andaikata" atau "Seandainya" dalam hal yang telah ditakdirkan oleh Allah terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat munafik; menunjukkan bahwa konsekuensi iman ialah pasrah dan ridha kepada takdir Allah, serta rasa khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut.

    Larangan Mencaci-Maki Angin & Berprasangka Buruk Terhadap Allah


    Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim yang baik tidak boleh memiliki sangkaan buruk terhadap Allah dan juga tidak boleh mencaci-maki angin. Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.

    Larangan Mencaci-Maki Angin

    Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  "Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdoalah: "Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadaMu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan
    apa yang diperintahkan kepadanya."
    [1]

    Kandungan Bab Ini

    1. Dilarang mencaci-maki angin.
    2. Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat sesuatu yang tidak menyenangkan [ketika angin sedang bertiup].
    3. Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa angin mendapat perintah dari Allah. [Oleh karena itu, mencaci-maki angin berarti mencaci-maki Allah yang menciptakan dan memerintahkannya].
    4. Bahwa angin, kadangkala diperintahkan dengan sesuatu kebaikan dan kadangkala diperintahkan dengan sesuatu keburukan.


    Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    “Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". (Ali Imran:154)

    "Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka Neraka Jahannam. Dan (Neraka Jahannam) itu-lah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath:6)

    Ibnu Al-Qayyim, dalam menafsirkan ayat pertama, mengatakan:
    "Prasangka ini ditafsirkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan memenangkan RasulNya dan bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap; ditafsirkan pula bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir Allah dan hikmahNya.
    Jadi, prasangka tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu:
    mengingkari adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdirNya, dan mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan disempurnakan dan dimenangkan Allah atas segala agama.

    Inilah prasangka buruk yang diperbuat oleh orang-orang munafik dan
    musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.  

    Adapun berbuatan ini disebut prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak patut terhadap Allah ‘Azza wa Jalla; tidak patut terhadap hikmahNya, pujiNya dan janjiNya yang benar. Karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang tetap, disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau mengingkari bahwa segala yang terjadi dengan qadha’ dan qadar Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam qadar-Nya, yang dengan demikian Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira bahwa apa yang terjadi ini hanyalah sekedar kehendak saja tanpa hikmah; maka inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail bagi orang-orang kafir itu.

    Kebanyakan orang melakukan prasangka buruk terhadap Allah, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri ataupun dalam hal yang berkaitan dengan orang lain. Tidak ada yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu akan Allah, Asma’ dan SifatNya, dan kepastian adanya hikmah serta keharusan adanya puji bagi Allah sebagai konsekuensinya.

    Maka orang yang berakal dan cinta terhadap dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini dan bertobatlah kepada Allah serta memohon maghfirah-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.

    Apabila Anda selidiki, siapa pun orangnya, niscaya akan Anda dapati pada dirinya suatu sikap menyangkal dan mencemoohkan qadar (takdir) dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit, ada juga yang banyak. Dan silahkan periksa diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?
    "Jika Anda bebas dari sikap tersebut, selamatlah Anda dari suatu malapetaka besar. Tapi, bila tidak, sungguh tak kukira bahwa Anda akan selamat."


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran. [2]
    2. Tafsiran ayat dalam surah Al-Fath. [3]
    3. Disebutkan bahwa prasangka buruk banyak sekali macamnya.
    4. Diterangkan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang arif pada asma’ dan shifat Allah, serta arif pada dirinya sendiri.

    Catatan Kaki

    [1] Hadits shahih menurut At-Tirmidzi.
    [2] Ayat pertama menunjukkan bahwa barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan memberikan kemenangan yang terus-menerus kepada kebathilan disertai dengan lenyapnya kebenaran, maka dia telah berprasangka yang tidak bernar kepada Allah dan prasangka ini adalah prasangka orang-orang Jahiliyyah; menunjukkan pula bahwa segala sesuatu ada di tangan Allah, terjadi dengan qadha dan qadar-Nya serta pasti ada hikmahnya; dan menunjukkan bahwa berbaik sangka kepada Allah adalah termasuk kewajiban tauhid.
    [3] Ayat kedua menunjukkan kewajiban berbaik sangka kepada Allah dan larangan berprasangka buruk kepadaNya; dan menunjukkan bahwa prasangka buruk kepada Allah adalah perbuatan orang-orang munafik dan musyrik mendapat ancaman siksa yang sangat keras.

    Mereka Yang Mengingkari Qadar


    Memasuki pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai orang yang mengingkari Qadar Allah. Mengapa hal ini tercela dan apa bahayanya? Simak keterangan dari hadits-hadits Rasulullah serta penjelasan dari para ulama’ berikut ini.

    Mereka Yang Mengingkari Qadar

    Ibnu ‘Umar berkata:
    "Demi Allah yang jiwa Ibnu ‘Umar berada di TanganNya. Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di Jalan Allah, tidak akan diterima oleh Allah sebelum ia beriman kepada qadar." Kemudian Ibnu ‘Umar mensitir sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam :
    "Iman yaitu: hendaklah Anda beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari Akhir dan beriman kepada qadar baik dan buruk." [1]

    Diriwayatkan bahwa ‘Ubadah bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya:
    "Hai anakku, sungguh kamu tidak akan merasakan nikmatnya iman sebelum kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdir-kan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Sesungguhnya pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: Tulislah! Ia menjawab: Ya Tuhanku! Apa yang harus kutulis? Allah ber-firman: Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat."
    Hai anakku! Aku pun telah mendengar Rasulullah bersabda:  "Barangsiapa yang meninggal tidak dalam keyakinan ini, maka ia tidak termasuk umatku."
    [2]

    Dalam satu riwayat Imam Ahmad disebutkan:
    "Sesungguhnya, pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: "Tulislah!" Maka ditulislah pada saat itu apa yang terjadi sampai hari Kiamat."

    Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Maka barangsiapa yang tidak beriman dengan qadar baik dan buruk, Allah pasti akan membakarnya dengan api Neraka."

    Diriwayatkan dalam Musnad[3] dan Sunan[4] dari Ibnu Ad-Dailami, ia menuturkan: "Aku datang kepada Ubay bin Ka’b dan kukatakan kepadanya:  "Ada suatu keraguan dalam diriku tentang masalah qadar, maka tuturkanlah kepadaku suatu hadits, dengan harapan semoga Allah menghilangkan keraguan itu dari hatiku." Maka ia berkata:
    "Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah di-takdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedang kalau kamu mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni Neraka."

    Kata Ibnu Ad-Dailami selanjutnya:
    "Lalu aku pun mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Al-Yaman dan Zaid bin Tsabit, seluruhnya menuturkan kepadaku hadits seperti tersebut dari Nabi Shallallahu’alaihi wa salam ." [5]


    Kandungan Bab Ini

    1. Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar.
    2. Keterangan tentang cara beriman kepadanya.
    3. Amal seseorang menjadi sia-sia, bila tidak beriman kepada qadar.
    4. Disebutkan bahwa seseorang tidak merasakan nikmatnya iman sebelum ia beriman kepada qadar.
    5. Diberitahukan dalam hadits bahwa makhluk pertama yang dicipta-kan Allah adalah qalam.
    6. Bahwa qalam (pena), dengan perintah dari Allah, menulis segala takdir pada saat itu sampai hari Kiamat.
    7. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
    8. Tradisi para Salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
    9. Dan para ulama memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut dengan hanya menuturkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam.

    Catatan Kaki

    [1] Hadits riwayat Muslim.
    [2] HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah.
    [3] kitab koleksi yang disusun oleh Imam Ahmad.
    [4] kitab koleksi yang disusun oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
    [5] Hadits shahih, diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Shahih-nya.

    Tentang Para Perupa Makhluk Bernyawa & Larangan Banyak Bersumpah


    Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid menerangkan ancaman keras bagi para perupa (penggambar, pelukis, pemahat) makhluk yang bernyawa dan larangan untuk sering / banyak melakukan sumpah. Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.

    Tentang Para Perupa Makhluk Bernyawa


    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Allah berfirman: ‘Dan tiada yang bertindak lebih zhalim daripada orang yang bermaksud mencipta seperti ciptaanKu. Maka cobalah mereka mencipta seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum’."

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Manusia yang paling pedih siksanya pada hari Kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah."

    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Setiap perupa berada dalam Neraka; untuknya setiap rupa yang dibuatnya akan diberi nyawa guna menyiksa dirinya dalam Neraka Jahannam."

    Al-Bukhari dan Muslim pun meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas hadits marfu’:
    "Barangsiapa yang membuat rupaka di dunia, akan dibebani (pada hari Kiamat) untuk meniupkan roh ke dalam rupaka buatannya itu namun dia tidak akan dapat meniupkannya."

    Muslim meriwayatkan dari Abu Al-Hayyaj, ia menuturkan: ‘Ali berkata kepadaku:
    "Maukah kamu aku utus untuk sesuatu tugas sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: Janganlah kamu biarkan ada sebuah rupaka tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah kuburan yang menonjol tanpa kamu ratakan."


    Kandungan Bab Ini

    1. Ancaman berat terhadap para perupa makhluk bernyawa.
    2. Alasannya, yaitu: tidak berlaku sopan santun kepada Allah, sebagaimana firman Allah: "Dan tiada yang bertindak lebih zhalim daripada orang yang bermaksud mencipta seperti ciptaanKu."
    3. FirmanNya: "Maka cobalah mereka mencipta seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum", menunjukkan kekuasaan Allah dan kelemahan manusia.
    4. Ditegaskan dalam hadits, bahwa para perupa adalah manusia yang paling pedih siksanya.
    5. Allah akan menciptakan roh untuk setiap rupaka yang dibuat guna menyiksa perupa tersebut dalam Neraka Jahannam.
    6. Bahwa perupa akan dibebani untuk meniupkan roh ke dalam rupaka yang dibuatnya.
    7. Perintah untuk memusnahkan rupaka apabila menjumpainya.


    Larangan Banyak Bersumpah


    Firman Allah, “Dan jagalah sumpahmu “(al maidah : 89)

    Abu Hurairah menuturkan: aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sumpah itu dapat melariskan dagangan, tetapi menghapuskan berkah usaha.”[1]

    Diriwayatkan dari Salman, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    “Tiga orang yang tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat) dan mereka menerima azab yang pedih yaitu: orang yang sudah beruban yang melakukan zina, orang yang melarat yang congkak, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangan, ia tidak membeli dan tidak menjual kecuali dengan bersumpah.” [2]

    Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Imran bin Hushain, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
    “Sebaik- baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutrnya lagi.”
    Kata Imran : "aku tak ingat lagi apakah beliau menyebutkan setelah masa beliau itu dua atau tiga kali".
    “Kemudian akan ada sesudah kamu sekalian orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta kesaksian mereka, mereka khianat dan tidak dapat dipercaya, mereka nadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan tampak pada tubuh mereka kegemukan.”

    Diriwayatkan pula dalam shohih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    “Sebaik- baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian berikutnya, kemudia berikutnya lagi, selanjutnya akan datang orang-orang dimana ada diantara mereka kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya“

    Ibrahim An Nakhai berkata:
    "Mereka (pada orang tua) dahulu memukuli kami karena kesaksian atau sumpah (yang kami berikan) ketika kami masih kecil."


    Kandungan Bab Ini

    1. Diwasiatkan oleh Allah Ta’ala supaya menjaga sumpah
    2. Diberitahukan oleh Rasulullah bahwa sumpah dapat melariskan dagangan, tetapi menghapuskan berkah dalam usaha
    3. Ancaman berat bagi yang selalu bersumpah, baik ketika menjual atau membeli
    4. Perlu diingat bahwa dosa dapat menjadi besar meskipun faktor yang mendorong untuk melakukannya kecil. [3]
    5. Terlarang dan tercela orang yang bersumpah tanpa diminta
    6. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyanjung ketiga atau keempat generasi dan memberitahukan apa yang akan terjadi selanjutnya
    7. Terlarang dan tercela orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta
    8. Para salaf memukul anak- anak kecil karena memberikan atau menyatakan sumpah. [4]

    Catatan Kaki

    [1] HR Bukhari Muslim.
    [2] HR Ath Thabrani dengan sanad shahih.
    [3] Seperti orang yang sudah beruban (tua) yang berzina atau orang melarat yang congkak, semestinya mereka tidak melakukan perbuatan dosa ini, karena faktor yang mendorong mereka untuk berbuat demikian adalah lemah atau kecil.
    [4] Hal tersebut dilakukan para salaf untuk mendidik anak-anak agar tidak gampang bersaksi atau menyatakan sumpah, yang akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan, dengan ringan ia akan bersaksi atau bersumpah sampai pun dalam masalah yang tidak patut baginya untuk bersumpah. Dan banyak bersumpah dilarang, karena perbuatan ini menunjukkan suatu sikap meremehkan dan tidak mengagungkan nama Allah.

    Meminta Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluknya & Upaya Nabi Dalam Menjaga Kemurnian Tauhid


    Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid menerangkan bagaimana upaya keras Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam menjaga kemurnian tauhid kepada Allah Azza wa Jalla. Hal ini juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ada orang yang meminta sesuatu untuk dijadikan perantara Allah dengan makhluk-Nya.

    Tidak Dibenarkan Meminta Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluknya


    Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im bahwa ada seorang badui dating kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
    "Ya Rasulullah! Orang-orang kehabisan tenaga, anak-istri kelaparan dan harta benda musnah. Maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Tuhanmu. Sungguh, kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah."  Ketika itu, bersabdalah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: "Subhanallah, Subhanallah."Beliau pun tetap bertasbih sampai tampak pada raut muka para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda: "Kasihanilah dirimu. Tahukah kamu siapakah Allah ‘Azza wa Jalla itu? Sungguh, kedudukan Allah jauh lebih Agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya, tidak dibenarkan Allah diminta sebagai perantara kepada siapa pun dari makhlukNya …" dan seterusnya. [1]

    Kandungan Bab Ini:

    1. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menolak dan tidak membenarkan orang yang mengatakan: "Kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu."
    2. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam marah sekali tatkala mendengar ucapan ini dan bertasbih berkali-kali, sehingga para sahabat merasa takut.
    3. Rasulullah tidak menolak ucapan orang badui tersebut: "Kami memintamu sebagai perantara kepada Allah."
    4. Tafsiran "Subhanallah" [artinya: Mahasuci Allah dari segala hal yang tidak layak dengan keagungan dan kebesaranNya].
    5. Bahwa kaum muslimin meminta perantaraan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam [pada masa hidupnya] untuk memohon (kepada Allah) siraman hujan


    Upaya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menjaga Kemurnian Tauhid Dan Menutup Segala Jalan Menuju Syirik



    ‘Abdullah bin Asy-Syikhkhir menuturkan: "Tatkala aku ikut pergi bersama suatu delegasi Bani ‘Amir menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, kami berkata: "Engkau adalah sayyid (tuan) kita." Maka beliau bersabda: "Sayyid yang sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa." Lalu kami berkata: "Dan engkau adalah yang paling mulia dan paling agung kebaikannya di antara kita." Beliau pun bersabda: "Ucapkanlah semua atau sebagian kata-kata yang wajar bagi kamu sekalian dan janganlah terseret oleh setan." [2]

    Diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu, ia menuturkan bahwa ada orang-orang
    berkata: "Ya Rasulullah; wahai orang yang paling baik di antara kita dan putera orang yang paling baik di antara kita; wahai tuan kita dan putera tuan kita!" Maka, ketika itu, bersabdalah beliau: "Saudara-saudara sekalian! Ucapkanlah kata-kata yang wajar saja bagi kamu sekalian dan janganlah sekali-kali kamu sekalian terbujuk oleh setan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan utusanNya. Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukanku yang telah diberikan kepadaku oleh Allah ." [3]

    Kandungan Bab Ini

    1. Peringatan kepada para sahabat agat tidak bersikap berlebihan terhadap beliau shallallahu’alaihi wa sallam.[4]
    2. Orang yang dikatakan kepadanya: "Engkau adalah sayyid (tuan) kita", seyogyanya menjawab: "Sayyid yang sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa ."
    3. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memperingatkan kepada para sahabat agar tidak terseret dan terbujuk oleh setan, padahal mereka tidak mengatakan kecuali yang sebenarnya.
    4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukan (yang sebenarnya) yang telah diberikan kepadaku oleh Allah."

    Catatan Kaki

    [1] Hadits riwayat Abu Dawud.
    [2] Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad jayyid.
    [3] Hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad jayyid.
    [4] Bab ini menunjukkan bahwa tauhid tidak akan sempurna, dan murni kecuali dengan menghindarkan diri dari setiap ucapan yang menjurus kepada perlakuan yang berlebihan terhadap seorang makhluk karena dikhawatirkan akan terseret ke dalam syirik.

    Perjanjian Allah Dan Perjanjian Nabi-Nya & Larangan Bersumpah Mendahului Allah


    Memasuki pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai perjanjian Allah dan perjanjian nabi-Nya serta larangan mendahului Allah dalam bersumpah. Janji-janji dan sumpah-sumpah yang seperti apa yang dimaksud oleh beliau?

    Tentang Perjanjian Allah Dan Perjanjian Nabi-Nya


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (An-Nahl: 91)

    Buraidah menuturkan:
    "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat seorang komandan pasukan perang atau bataliyon, beliau menyampai-kan pesan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dan berlaku baik kepada kaum muslimin yang bersamanya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Serbulah dengan memulai membaca "Bismillah fi Sabilillah" (Dengan asma’ Allah, demi di jalan Allah). Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Seranglah. Dan janganlah kamu menggelapkan harta rampasan perang, jangan mengkhianati perjanjian, jangan mencincang korban yang terbunuh, dan jangan membunuh seorang anak pun.
    Apabila kamu mendapati musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang musyrik, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara, mana yang mereka setujui maka terimalah dan hentikan (menyerang) mereka: Ajaklah mereka kepada Islam; kalau mereka setuju maka terimalah dari mereka, lalu ajaklah mereka berpindah dari daerah mereka ke daerah kaum Muhajirin serta beritahukan kepada mereka bahwa apabila mereka melaksanakan ini mereka mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muhajirin Tetapi, kalau mereka menolak untuk berpindah (hijrah) dari daerah mereka, maka beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan mendapat perlakuan seperti orang-orang badui (pengembara) dari kalangan kaum muslimin, berlaku bagi mereka hukum Allah , sedang mereka tidak menerima bagian apapun dari ghanimah dan fa’i, kecuali bila mereka berjihad bersama kaum muslimin.
    Jika mereka menolak perkara tersebut, maka mintalah kepada mereka untuk membayar jizyah. Kalau mereka setuju, maka terimalah dari mereka dan hentikan (menyerang) mereka. Tetapi jika mereka masih juga menolak perkara-perkara tersebut, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.

    Apabila kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka menghendaki agar kamu membuatkan untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya, maka janganlah kamu buatkan untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya; tetapi buatkanlah untuk mereka perjanjian dirimu sendiri dan perjanjian kawan-kawanmu, karena sesungguh-nya lebih ringan resikonya melanggar perjanjianmu dan perjanjian kawan-kawanmu daripada melanggar perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya.

    Dan apabila kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka menghendaki agar kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka janganlah kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, tetapi keluarkanlah mereka atas dasar hukum yang kamu ijtihadkan, karena sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah tindakanmu terhadap mereka itu tepat dengan keputusan Allah atau tidak." [1]

    Kandungan Bab Ini

    1. Perbedaan antara perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya dengan perjanjian kaum muslimin.
    2. Tuntunan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu supaya mengambil alternative yang lebih ringan resikonya dalam dua perkara tersebut.
    3. Etika dalam berjihad, yaitu supaya menyerbu dengan dimulai membaca "Bismillah fi Sabilillah".
    4. Disyariatkan untuk memerangi orang-orang yang kafir kepada Allah.
    5. Supaya senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dalam berperang melawan orang-orang kafir.
    6. Perbedaan antara hukum Allah dan hukum ijtihad para ulama.
    7. Dalam situasi yang diperlukan, seperti tersebut dalam hadits, disyariatkan kpada komandan atau pemimpin untuk memutuskan hukum dengan menyatakan
      dari ijtihadnya; hal itu demikian, dikhawatirkan hukum yang diputuskannya
      tersebut tidak sesuai dengan hukum Allah ‘Azza wa Jalla.


    Larangan Bersumpah Mendahului Allah


    Jundab bin Abdullah menuturkan Raululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    Ada seorang laki-laki berkata: "Demi Allah, Allah tidak mengampuni siFulan"; maka firman Allah: "Siapakah yang bersumpah mendahuluiku bahwa aku tidak mengampuni si fulan? Sungguh aku telah mengampuninya dan menghapus amalmu". [2]

    Dan disebutkan dalam hadits riwayat Abu Hurairah bahwa orang yang
    bersumpah demikian adalah orang yang ahli ibadah. Kata abu Hurairah:"Ia telah mengucapkan perkataan yang telah membinasakan dunia dan akhiratnya". [3]


    Kandungan Bab Ini

    1. Diperingatkan untuk tidak bersumpah mendahului Allah
    2. Hadits di atas menunjukkan bahwa neraka lebih dekat kepada seseorang daripada tali sandalnya sendiri
    3. Demikian halnya surga
    4. Sebagai buktinya lagi, perkataan Abu Hurairah: "Ia telah mengucapkan perkataan yang membinasakan dunia dan akhiratnya."
    5. Bahwa seseorang dapat diberi ampunan oleh Allah karena suatu sebab dari perkara yang dibencinya

    Catatan Kaki

    [1] Hadits Riwayat Muslim
    [2]HR Muslim.
    [3] HR Ahmad dan Abu Dawud.

    Keagungan Dan Kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla


    Inilah bab terakhir dari Kitab Tauhid, penulis menjelaskan betapa besar keagungan dan kekuasaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki. Simak khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengenai (sebagian) kekuasaan Allah pada hari Kiamat. Juga, kedudukan-Nya dan ‘Arsy-Nya dengan bumi, langit dan alam semesta.

    Keagungan Dan Kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla  [1]


    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :  “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)

    Ibnu Mas’ud menuturkan:
    “Salah seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami)
    bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: "Akulah Penguasa."

    Tatkala mendengarnya, tersenyumlah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sehingga tampak gigi-gigi beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu; kemuliaan beliau Shallallahu’alaihi wa sallam membacakan firman Allah:
    "Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari Kiamat…" dst.


    Disebutkan dalam riwayat lain oleh Muslim:
    "… gunung-gunung dan pohon-pohon di atas satu jari, kemudian digoncangkanNya dan Dia-pun berfirman: "Aku-lah Penguasa, Akulah Allah"."

    Dan disebutkan dalam riwayat lain oleh Al-Bukhari:
    "… meletakkan semua langit di atas satu jari, air serta tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari…" (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

    Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Allah akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil dengan Tangan KananNya, dan ber-firman:  "Akulah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?" Kemudian Allah menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan Tangan KiriNya dan berfirman: "Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?"

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas , ia berkata:
    "Langit tujuh dan bumi tujuh di Telapak Tangan Allah Ar-Rahman, tiada lain hanyalah bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di tangan seseorang di antara kamu."

    Ibnu Jarir berkata:
    "Yunus menuturkan padaku, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid, dari bapaknya (Zaid bin Aslam), ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Ketujuh langit itu berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagai-kan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai."

    Ibnu Jarir berkata pula: "Dan Abu Dzarmenuturkan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    "Kursi itu berada di ‘Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir."

    Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia menuturkan:
    "Antara langit yang paling bawah dengan langit berikutnya jaraknya 500 tahun, dan antara setiap langit jaraknya 500 tahun; antara langit yang ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun; dan antara kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun; sedang ‘Arsy berada di atas samudra air itu; dan Allah berada di atas ‘Arsy tersebut, tidak tersembunyi bagi Allah suatu apapun dari perbuatan kamu sekalian." [2]

    Dan diriwayatkan dengan lafazh seperti ini oleh Al-Mas’udi dari ‘Ashim dari Abu Wa’il dari ‘Abdullah", demikian dinyatakan Adz-Dzahaby; lalu katanya: "Atsar tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalan."

    Al-’Abbas bin Abdul Muthalibmenuturkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dengan bumi?" Kami menjawab: "Allah dan RasulNya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Antara langit dan bumi jaraknya perjalanan 500 tahun, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya perjalanan 500 tahun, sedang ketebalan masing-masing langit adalah perjalanan 500 tahun. Antara langit yang ke tujuh dengan ‘Arsy ada samudra, dan antara dasar samudra itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dengan bumi. Allah di atas itu semua dan tidak tersembunyi bagiNya sasuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam."[3]


    Kandungan Bab Ini

    1. Tafsiran ayat tersebut di atas. [4]
    2. Pengetahuan-pengetahuan tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana terkandung dalam hadits pertama, masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi yang hidup pada zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.Mereka tidak mengingkarinya dan tidak menafsirkannya dengan tafsiran yang menyimpang dari kebenaran.
    3. Ketika pendeta Yahudi itu menyebutkan pengetahuan tersebut kepada Nabi shallallahu alaihi wa salam, beliau membenarkannya dan turunlah ayat Al-Qur’an menegaskannya.
    4. Rasulullah tersenyum tatkala mendengar pengetahuan yang agung ini disebutkan oleh pendeta Yahudi.
    5. Disebutkan dengan tegas dalam hadits adanya dua tangan bagi Allah, dan bahwa seluruh langit diletakkan di tangan kanan dan seluruh bumi diletakkan di tangan yang lain pada hari Kiamat nanti.
    6. Dinyatakan dalam hadits bahwa tangan yang lain itu disebut tangan kiri.
    7. Disebutkan keadaan orang-orang yang berlaku lalim dan berlaku sombong pada hari Kiamat.
    8. Dijelaskan bahwa seluruh langit dan bumi di telapak tangan Allah bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di telapak tangan seseorang.
    9. Besar (luasnya) Kursi dibanding dengan langit.
    10. Besarnya (luasnya) ‘Arsy dibandingkan dengan Kursi.
    11. ‘Arsy bukanlah Kursi, dan bukanlah samudra.
    12. Jarak antara langit yang satu dengan langit yang lain perjalanan 500 tahun.
    13. Jarak antara langit yang ke tujuh dengan Kursi perjalanan 500 tahun.
    14. Dan jarak antara kursi dengan samudra perjalanan 500 tahun pula.
    15. ‘Arsy, sebagaimana dinyatakan dalam hadits, berada di atas samudra tersebut.
    16. Allah berada di atas ‘Arsy.
    17. Jarak antara langit dan bumi ini perjalanan 500 tahun.
    18. Masing-masing langit tebalnya perjalanan 500 tahun.
    19. Samudra yang berada di atas seluruh langit itu, antara dasar dengan permukaannya, jaraknya perjalanan 500 tahun.


    Dan hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui.  Segala puji hanya milik Allah Rabb sekalian alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad , kepada keluarga dan para sahabatnya.

    Catatan Kaki

    [1]Dalam Bab terakhir ini, penulis mennyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Al Hadits yang menjelaskan keagungan dan kekuasaan Allah, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa hanya Allah saja Tuhan yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia dan hanya milik Alllah dengan segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan.
    [2] Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hamad bin Salamah, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud.
    [3]  Hadits riwayat Abu Dawud dan Ahli Hadits lainnya.
    [4] Ayat ini menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah dan kecilnya seluruh makhluk dibandingkan denganNya; menunjukkan pula bahwa siapa yang berbuat syirik, berarti tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.
    ________________________

    Faisal Choir Blog :

    Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Kitab Tauhid Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
    Scroll to Top