Siapakah Abdul Qadir Al-Jailani?
Akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Di sini akan disebutkan dengan ringkas apa yang menjadi akidah Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani, berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kitab beliau al-Ghunyah dan yang lainnya.
Syaikh Jailani Mengikuti 'Akidah Salaf
Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani seringkali menyatakan:
"Akidah (keyakinan) kami adalah 'akidah (kaum) Salafush Soleh dan akidah para Sahabat." (Siyar A 'lamin Nubala', XX/442)
Imam Az-Zahabi berkata: "Tidak ada seorangpun para ulama terkemuka yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi". (Siyar A'lamin Nubala XX/451).
Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136:
"Aku telah mengenal pasti akidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94). Maka aku mengetahui bahawa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syiah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Zulkaidah 1415 H/ 8 April 1995 M.)
Beliau juga berkata dalam kitabnya Fat-hur Rabbani hal. 35 (majlis ke-10):
"Hendaklah kamu berittiba' dan janganlah kamu berbuat bid'ah, dan hendaklah kamu juga mengikuti mazhab Salafush Soleh, berjalanlah kamu di jalan yang lurus." (Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 76.)
Mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Dalam kitabnya al-Ghunyah (1/80), beliau mengatakan:
"Wajib bagi setiap orang yang beriman untuk mengikuti (Ahlus) Sunnah wal Jamaah, yang dimaksud dengan Sunnah adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sedangkan yang dimaksud dengan Jamaah adalah kesepakatan para Sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada masa Khulafaa-ur Rasyidin yang empat (Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallaahu 'annum) -mudah-mudahan Allah merahmati mereka semua-."
Kewajiban mengikuti akidah yang benar -yakni akidah Salafush Soleh-
Syaikh mengatakan di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 455:
"Perkara yang diwajibkan atas setiap para pemula yang baru mengikuti tarekat (al-Qadiriyah) ini untuk memiliki akidah yang shahih. Dan hal itu merupakan dasar (yang harus dimiliki), dan akidah yang shahih itu adalah akidah Salafush Soleh. (Syeikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 637.)
Tentang Iman
Beliau juga telah mengatakan di dalam kitab al-Ghunyah hal. 80:
"Kami meyakini bahawasanya iman itu adalah ucapan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan amal perbuatan anggota badan, dan iman itu dapat bertambah dengan ketaatan serta dapat berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat, dan iman itu juga dapat menjadi kuat dengan ilmu, dan juga dapat melemah dengan kebodohan, dan hanya dengan taufik dari Allah Ta'ala iman itu akan terwujud."
Untuk itulah maka kemudian Syaikh membawakan sebuah hadits sebagai dalil dalam masalah ini:
"Iman itu memiliki 70 cabang/tingkatan lebih, yang tertinggi dari cabang-cabang keimanan itu adalah dengan mengucapkan "laa ilaaha illallaah" (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allah) dan cabang/tingkatan terendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan."
Syaikh Jailani membedakan antara Iman dan Islam
Beliau juga membezakan antara Iman dan Islam, di mana beliau menyatakan di dalam al-Ghunyah hal. 81:
"Adapun Islam, maka masuk ke dalam pengertian Iman, oleh kerana itu, setiap Iman itu pasti Islam, akan tetapi (tidak sebaliknya; yakni) tidak setiap Islam itu Iman."
Sifat Istiwa' (bersemayam di atas 'Arsy)
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 73:
"Wajib hukumnya untuk memutlakkan Sifat Istiwa' (bersemayamnya Allah di atas 'Arsy) bagi Allah, tanpa takwil, dengan meyakini bahawa Zat Allah bersemayam di atas 'Arsy, dan bukan dengan makna duduk dan mumarasah (kebiasaan), sebagaimana yang telah diucapkan oleh kaum Mujassimah (mereka yang telah mensifati Allah dengan jism/tubuh.) dan Karamiyah, dan juga bukan dengan makna ketinggian Martabat ('uluw war rifah) sebagaimana yang difahami oleh kaum Asyariah, dan juga bukan dengan makna istila' (penguasaan) dan ghalabah (mengalahkan yang lain), sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Muktazilah, kerana tidak ada dalil yang menunjukkan kepada semua arti tersebut. Dan juga tidak pernah dinukil dari keterangan para Sahabat dan Tabi'in dari kalangan Salafush Soleh, dari para ulama Ash-habul Hadits, bahkan sebaliknya bahwa yang telah dinukil keterangannya dari Salafush Soleh dan para ulama Hadits itu adalah bahawa mereka memahami ayat-ayat dan hadits-hadits Sifat secara mutlak (apa adanya, tanpa takwil dan ta'thil)."
Kemudian pada hal. 73, beliau berkata:
Keterangan yang menyebutkan bahawa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya itu juga telah disebutkan di dalam setiap Kitab yang pernah Allah Turunkan kepada setiap Nabi yang pernah diutus (ke muka bumi ini), tanpa disebutkan tentang kaifiah (hakikat bentuk)nya, kerana Allah akan tetap memiliki Sifat ketinggian ('uluw) dan kemampuan (qudrah), dan Allah juga memiliki Sifat menguasai dan mengalahkan (ghalabah) atas setiap hamba-hamba-Nya, seperti: Arsy dan yang lainnya dari makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi Sifat istiwa' itu tidak boleh untuk diartikan dengan menguasai (istaiilaf) dan mengalahkan (ghalabah), kerana Sifat istiwa' (bersemayamnya) Allah di atas 'Arsy itu merupakan Sifat Zatiah (Yang dimaksud dengan "Sifat Zatiyah" adalah sifat yang selalu ada dan akan terus ada pada Allah, dan tidak mungkin berpisah dari-Nya.) bagi Allah, sebagaimana Allah telah mengkhabarkan sendiri tentang hal itu (di dalam Al-Qur'an) kemudian Allah memperjelas lagi hal ini di dalam 7 ayat yang terdapat di dalam Al-Qur-an. (Tujuh tempat tersebut dalam Al-Qur-an adalah al-A'raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra'd: 2, Thaha: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajadah: 4, dan al-Hadid: 4) begitu juga (telah diterangkan oleh Rasul-Nya) di dalam Sunnah beliau yang datang dari beliau shallallaahu 'alailu wa sallam, dan Sifat ini adalah Sifat yang terus-menerus ada dan sesuai bagi Allah 'Azza wa Jalla, seperti halnya dengan Sifat Tangan, Wajah, Mata, Pendengaran, Penglihatan, Hidup dan al-Qudrah (Kemampuan)."
Sifat Ketinggian (al 'Uluw)
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 71:
"Allah berada di atas, bersemayam di atas 'Arsy, menjaga dan memelihara kerajaan, Yang Ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, (dimana Allah Ta'ala telah berfirman:) "Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya" [Fathir (35): 10], (dan Allah 'Azza wa Jalla juga telah berfirman:) "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu."[QS. As-Sajadah (32): 5]."
Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Arsy Allah Yang Maha rahman berada di atas air, dan Allah Ta'ala berada (bersemayam) di atas 'Arsy."
Beliau juga mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 106:
"Kecuali apa yang telah kami sebutkan bahawasanya (Allah Bersemayam) di atas 'Arsy."
Beliau juga mengatakan di dalam kitabnya Tuhfatul Muttaqin wa Subulul 'Arifin:
"Dan Dzat Allah bersemayam di atas 'Arsy, sedangkan Ilmu-Nya mengawasi di setiap tempat." (Lihat Ijtima'ul Juyusyal-lslamiyyah hal. 79, karya Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-jauziyyah.)
Syaikh melarang kita menyatakan bahwa Allah berada di mana-mana
Di dalam kitabnya al Ghunyah hal. 72, beliau mengatakan:
"Allah (bersemayam di atas 'Arsy-Nya) terpisah dari Hamba-hamba-Nya, akan tetapi Ilmu Allah itu meliputi setiap tempat, dan tidak diperbolehkan (sama sekali) mensifati Allah bahwa Dia berada di setiap tempat, akan tetapi wajib untuk dikatakan bahawa Allah berada di atas langit (bersemayam) di atas 'Arsy-Nya, sebagaimana Allah telah berfirman: "Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." [Thaha (20): 5]."
Kursi Allah
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Kursi Allah itu berada di sisi 'Arsy-Nya, (yang mana Kursi Allah itu diumpamakan) seperti sebuah gelang yang dilempar di tengah tanah lapang yang luas."
Sifat Jari-jemari Allah
Syaikh mengatakan di dalam al Ghunyah hal. 72:
"Hati-hati manusia itu berada di antara genggaman kedua jari dari jari-jemari Allah, yang mana Allah membolak-balikkan hati-hati itu ke mana saja Dia Kehendaki."
[Sumber: Kutipan dari kajian Ustadz Rasul Dahri tentang "Akidah Syaikh Bdul Qadir Jailani"]
Kajian Akidah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani
Syaikh Abdul Qadir al Jailani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya. Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban. Seharusnya bagi pencari kebenaran dan penuntut ilmu adalah "wajib" membaca buku-buku yang beliau tulis sendiri, disamping membaca manaqib yang ditulis oleh orang lain.
Buku-buku yang beliau tulis antara lain:
- Al Ghunyah Li thalibi Al Haq Azza wa Jalla.
- Futuh Al Ghaib.
- Al Fath Ar Rabbani wa Al Faidh ar-Rahman.
Kitab-kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani yang banyak beredar di Indonesia, pada umumnya disusun oleh penulis-penulis Indonesia yang maraji’nya (sumber pengambilan) dari kitab-kitab berbahasa Arab yang antara lain, seperti Tafrijul Khathir, Muzkin Nufus, Lujainid-Dani.
Buku-buku tentang BARJANZI versi Indonesia antara lain:
- Madarij Al-Su’ud ila Iktisah Al-Burud - Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Jawi Al Bantani. Berbagai Terbitan.
- Sabil Al-Munji (berbahasa Jawa)- Abu Ahmad Abd Al-Hamid Al-Qandali (Kendal)
- Nur Al-Lail Al-Duji wa Miftah Bab Al-Yasar (berbahasa Jawa) – Hasan Al-Attas- Pekalongan.
- Munyah Al-Martaji fi Tarjamah Maulid Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Asrari Ahmad- Wonosari Tempuran.
- Al Qaul Al-Munji Ala Ma’ani Al Barjanzi (berbahasa Jawa) – Sa’ad Bin Nashir bin Nabhan. Surabaya
- Badr Al-Daji Fi Tarjamah Maulid Al-Barjanzi (berbahasa Indonesia) –M. Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya, Rembang).
- Jauhar Al-Asnani ‘Ala Al-Lujjain Al-Dani Fi Manaqib Abd Al Qadir - Abu Ahmad Abd Al Hamid Al-Qandali (Kendal) : Semarang , Al Munawwir.
- Al-Nur Al Burhani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani - Muslih Bin Abd Al Rahman Al Maraqi (Mranggen) : Semarang, Toha Putra.
- Lubab Al Ma’ani Fi Tarjamah Lujjain Al-Dani –Abu Muhammad Salih Mustamir Al Hajaini (Kajen) : Kudus, Menara.
- Al Nur Al-Amani Fi Tarjamah Al Lujjain Al-Dani – M.Mizan Asrari Zain Muhammad (Sidawaya Rembang) ; Terbitan sendiri.
- Khulashah Al Manaqib Li- Al-Syaikh ‘Abd Al-Qadir ‘Abd Al Qadir Al-Jilani - Asrari Ahmad (Wonosari, Tempuran) Surabaya, ‘ Istiqomah.
- Wawacan Kangjeng Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jilani R.A (berbahasa Sunda) Bandung, Sindangdjaja.
- Manaqib Syeikh Abdulqadir Jailani Radhiyallahu Anhu (berbahasa Arab dan Indonesia) –Abdallah Shonhaji. Semarang, Al-Munawir.
- Lubabul Ma’ani - Abi Shaleh Mustamir (Juana, Jawa Tengah)
- Miftahul Babil Amani -Moh. Hambali. (Semarang, Jawa Tengah)
- An Nurul Burhani – A. Lutfi Hakim dkk (Semarang, Jawa Tengah)
- Nailul Amani – A.Subhi Masyhadi. (Pekalongan, Jawa Tengah)
Koreksi Terhadap Kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani
Dalam kitab Manaqib tersebut tertulis:
- Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah duduk selama 30 tahun dengan tidak bergeser dari tempatnya karena ketaatannya kepada nabi Khidir.
Pada waktu pertama kali masuk Irak, Syaikh Abdul Qadir Jailani ditemani Khidir, dan Syaikh belum pernah mengenalnya sebelum itu. Kemudian Khidir memberikan isyarat kepadanya agar ia tidak disalahi dan kalau sampai hal itu terjadi maka akan menjadi sebab perpisahan antara keduanya. Maka berkatalah Khidir kepadanya : Duduklah di sini ! Maka beliaupun duduk ditempat yang ditunjuk oleh Khidir itu selama tiga tahun, yang selalu dikunjunginya setiap setahun sekali dan katanya lagi: Janganlah engkau bergeser dari tempat itu sampai aku datang [Lubabul Ma'ani hal. 20]
Bantahan :
Cerita ini terlalu mengada-ada. Duduk selama 3 tahun tanpa beranjak / bergeser dari tempat duduknya adalah mustahil. Bagaimana Syaikh Abdul Qadir Jailani mengambil air wudhu, Shalat Jum'at dan Shalat 'Id?
- Diceritakan juga bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bermimpi junub sebanyak 40 kali dalam waktu semalam. [Lubabul ma'ani, hal. 20-21]
Bantahan :
Kebohongan yang luar biasa, cukupkah waktu untuk 40 kali tidur, 40 kali bermimpi bersetubuh dan 40 kali mandi janabat?
- 100 ulama merobek-robek baju sendiri [Lubabul Ma'ani, hal. 23-24]
Bantahan :
Sungguh tidak masuk akal dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan orang yang normal akalnya bahwa seorang yang saleh dan ulama yang ikhlas seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani sampai hati melihat para 'aimmah merobek-robek pakainnya dan bertingkah polah seperti orang yang tidak waras.
- Di antara kekeramatan Syaikh Abdul Qadir Jailani, bahwa seekor burung Elang yang terbang di atas majlis syaikh, dimohon kepada angin agar dipenggal leher burung tersebut, maka putuslah leher burung Elang tersebut. [Lubabul Ma'ani, hal. 59]
Bantahan :
Burung adalah binatang yang tidak dibekali akal seperti manusia dan tidak dibebani tata tertib hidup serta tidak terikat dengan berbagai aturan sesamanya. Ia terbang mengikuti naluri hayawani tanpa memperdulikan apakah ada makhluk lain yang terganggu olehnya. Maka alangkah teganya hati Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh burung Elang tersebut.
Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS. Al Mulk : 19)
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. An Nur : 41)
- Diantara kekeramatan lainnya. Matinya seorang pelayan karena sorotan mata Syaikh Abdul Qadir Jailani karena kesalahannya tidak sudi meletakkan kendi kearah kiblat. [Lubabul ma'ani, hal. 58-59]
Bantahan :
Peristiwa kesalahan yang tidak patal sehingga membuat Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk membunuh, apakah mungkin dilakukan bagi seorang syaikh yang berakhlaq mulia?
- Syaikh Abdul Qadir Jailani meramal nasib [Lubabul Ma'ani, hal. 59-64]
Bantahan :
Mirip Mama Lauren aja.
- Syaikh Abdul Qadir Jailani menjamin para muridnya masuk surga [Lubabul Ma'ani, hal. 80-81]
Bantahan :
Lebih hebat daripada Rasulullah
- Syaikh Abdul Qadir Jailani mengejar Malaikat Maut untuk membatalkan kematian salah seorang muridnya, sehingga Malaikat Maut mengembalikan lagi ruh yang sudah dicabut tadi. [Dikutip dari Tafsir al manar, Rasyid Juz XI hal. 423, oleh HAS. Al Hamdani dalam bukunya Sorotan terhadap Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani]
Bantahan : ????
- Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat sepucuk surat dari Allah. [Lubabul ma'ani, hal. 89]
Bantahan : ??? Sungguh dusta dinisbatkan kepada beliau, kalimat-kalimat kekufuran!!
Catatan : Mohon diperhatikan agar tidak salah menanggapi artikel ini, bahwa keterangan-keterangan seperti tersebut di atas tidak dijumpai dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani sendiri. Beliau orang yang sangat mulia, rendah hati dan mempunyai aqidah yang bersih dan lurus insyAllah. Untuk lebih jelasnya silahkan membaca "Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al Jailani" oleh Dr. Said bin Musfir Al Qahthani, Penerbit Darul Falah.[Sumber: Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com]
Kesabaran Syaikh Abdul Qaidr Al-Jailani dalam Menuntut Ilmu
Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, maka aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.
Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Hingga, aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tib-tiba ada seorang pemuda non Arab masuk ke masjid. Ia membawa roti dan daging panggang. Ia duduk untuk makan. Setiap kali ia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” aku kembali bergumam, “Disini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillah, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Ia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, akupun mengiyakannya. Aku makan dengan tidak nyaman. Ia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?” Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Ia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma ‘I Az-Zahid?” Aku berkata, “Akulah orangnya.”
Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.” Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Ia menerima dan pergi.”
[Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008. Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.] Sumber: www.KisahMuslim.com
Wasiat Emas Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.
Beberapa Nasehat Beliau untuk Ittiba' Kepada Sunnah dan Menjauhi Bid'ah
"Janganlah berbuat bid'ah dan sesuatu yang baru dalam agama Allah. Ikutilah para saksi yang adil berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah karena keduanya akan mengantarkanmu kepada Tuhanmu 'Azza wa Jalla. Jika kamu berbuat bid'ah, saksimu adalah akal dan hawa nafsumu sendiri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada neraka dan mempertautkanmu dengan Fir'aun, Haman, beserta bala tentaranya. Jangan engkau berhujah dengan qadr, karena itu tidak akan diterima darimu. Engkau harus masuk Darul Ilmi dan belajar, beramal, lalu ikhlas". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 47)
"Ber-ittiba'lah dan jangan berbuat bid'ah. Patuhilah dan janganlah membangkang. Bersabarlah dan jangan khawatir. Tunggulah dan jangan berputus asa". (Al Sya'rani, al Thabaqat al Kubra hal. 129)
"Hendaklah kalian ber-ittiba' dan tidak berbuat bid'ah. Hendaklah kalian bermazhab kepada Salafus Shalih. Berjalanlah pada jalan yang lurus". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam Al Fath Ar Rabbani, al Majlis 4)
"Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggi tauhid dan jangan menyekutukan Dia". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 2).
Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata; Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa berbuat sesuatu yang tidak kami perintahkan, maka perbuatnnya tertolak. Hal ini meliputi kehidupan, kata dan perilaku. Hanya Nabilah yang dapat kita ikuti, dan hanya berdasarkan al Qur'anlah kita berbuat. Maka jangan menyimpang dari keduanya ini, agar engkau tidak binasa, dan agar hawa nafsu serta setan tidak menyesatkanmu". (Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam FUTUH GHAIB risalah 36).
[Sumber: Hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com]
Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani
Dimana Syukurmu?
Syaikh Abdul Qodir al Jailani rahimahullah berkata: Tidak baik bagimu jika engkau kagum dengan amal-amalmu, engkau bangga dengan dirimu sendiri, dan meminta imbalan dari setiap amal yang engkau lakukan. Padahal.. Engkau bisa beramal karena taufik dari Allah, pertolongan, kekuatan, kehendak dan karunia-Nya. Jika engkau bisa menjauh dari maksiat, maka itupun terjadi karena perlindungan, penjagaan dan pengayoman-Nya. Dimana dirimu dari sikap bersyukur, mengapa engkau tidak mengakui nikmat-nikmat yang diguyurkan kepadamu? [Lihat kitab Futuhul Ghaib]
Gambaran Tawadhu’
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Menjalani Sebab
Syaikh Abdul Qodir al Jailani berkata:
“Rasakanlah pahitnya obat, dan berdirilah di depan pintu pekerjaan untuk memasukinya, sehingga engkau dapat bersungguh-sungguh dengannya.
Jangan sekali-kali hanya duduk di atas tempat pembaringan, atau tidur di balik selimut, atau bersembunyi di balik pintu kemudian engkau meminta pekerjaan. Itu suatu hal yang mustahil. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami]
Berempatilah Kepada Kaum Fakir
[Dikutip dari buku Nasehat Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Shalih Ahmad Syami, Penerbit Tazkia]
Tanda-Tanda Ikhlas
Dengarkan Nasihat
Jangan memandang enteng ungkapan penuh hikmah yang keluar dari mulut para ulama, karena ia merupakan intisari dan buah dari wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. [al Fathu Rabbani wal Faidhu Rahmani]
Berserah Diri Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
[Dikutip dari buku ‘Nasehat Syaikh Abdul Qadir Jailani, Oleh: Syaikh Shalih Ahmad Syami] Sumber: Kisahislam.net
Ditata dan diarsipkan ulang oleh: Faisalchoir.Blogspot.Com
Semoga Allah merahmati Beliau
BalasHapus