Oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Pendahuluan
Di dalam kitabnya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala‘an Ad Dawaa’ Asy Syafi ”, Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengungkapkan tentang : Bahaya Zina. Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kehormatan istri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan.
Melihat hal itu semua, pantaslah
bahaya zina itu –bobotnya – setingkat dibawah pembunuhan. Oleh karena itu,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandeng keduanya di dalam Al Qur’an, juga
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam keterangan hadits beliau.
Al Imam Ahmad berkata : “Aku
tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar
dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan
pengharamannya dalam firmanNya:
“Dan orang orang yang tidak
menyembah Tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang
siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
(yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu, dalam kaedaan terhina kecuali orang orang yang bertaubat
” (QS. Al Furqon, 68 –70).
Dalam ayat tersebut, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan
vonis hukumannya adalah kekal dalam azab yang berat yang dilipat gandakan,
selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman
dan beramal shaleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan
suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’, 32).
Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjelaskan tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah
perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui
kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak
binatang. sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohehnya, dari
Ami bin Maimun Al Audi, ia berkata : “Aku pernah melihat – pada masa
jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu
datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai
mati.”
Kemudian Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga memberitahukan bahwa zina adalah seburuk buruk jalan, karena
merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab
di akhirat.
Dan karena menikahi mantan istri
istri ayah itu termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah
Subhanahu wa Ta’ala secara husus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang
melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi istri
istri ayah mereka, pent.): “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’, 22).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
menggantungkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam menjaga
kehormatannya, tidak ada jalan menuju keberuntungan tanpa menjaga kehormatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah
orang orang yang beriman, (yaitu) orang orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan
orang orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang orang yang menunaikan zakat, dan orang orang yang menjaga
kemaluannya kecuali terhadap istri istri mereka, atau budak budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang
mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang orang yang melampaui batas.”
(QS. Al Mu’minun, 1–7).
Dalam ayat ayat ini ada tiga hal
yang diungkapkan:
- Pertama : bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya, tidak termasuk orang yang beruntung.
- Kedua : dia termasuk orang yang tercela.
- Ketiga : dia termasuk orang yang melampaui batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat
predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela.
Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung sebagian
akibat yang disebutkan tadi. Selain itu pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak sabar dan tidak mampu
mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula kesusahan. Bila
mendapat kebahagiaan dia menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila mendapat
kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah sifat umum manusia, kecuali
orang-orang yang memang dikecualikan dari hamba-hambaNya, yang diantaranya
adalah mereka yang disebut di dalam firmanNya :
"Dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij, 29– 31).
Oleh karenanya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk
memerintahkan orang-orang mu’min agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka,
juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu
menyaksikan amal perbuatan mereka.
“Dia mengetahui (pandangan)
mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS.Ghafir, 19).
Dan karena ujung pangkal
perbuatan zina yang keji ini dari pandangan mata, maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala lebih mendahulukan perintah untuk memalingkan pandangan mata sebelum
perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang asal muasalnya
adalah dari pandangan ; seperti kobaran api yang besar asalnya adalah percikan
api yang kecil. Mulanya hanya pandangan, kemudian hayalan, kemudian langkah
nyata, kemudian terjadilah musibah yang merupakan kejahatan besar (zina).
Oleh karena itu, ada yang
mengatakan bahwa barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia
telah menyelamatkan agamanya:
- Al Lahazhat (pandangan pertama),
- Al Khatharat (pikiran yang terlintas di benak),
- Al Lafazhat (ungkapan yang diucapkan),
- Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba
Allah itu bersedia untuk menjaga dirinya dari empat hal diatas dengan ketat,
sebab dari situlah musuh akan datang menyerangnya, merasuk kedalam dirinya dan
merusak segalanya.
EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT PADA MANUSIA
Sebagian besar maksiat itu
terjadi pada seseorang, melalui empat pintu yang telah disebutkan di atas.
Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang empat pintu tersebut di bawah
ini :
1. Al Lahazhat (Pandangan Pertama)
Yang satu ini bisa dikatakan
sebagai ‘provokator’ syahwat, atau ‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga
pandangan merupakan pokok dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang
melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya
sendiri pada jurang kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
bersabda: “Janganlah kamu ikuti pendangan (pertama) itu dengan pandangan
(berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan
pandangan selanjutnya.” (HR. At Turmudzi, hadits hasan ghorib).
Dan di dalam musnad Imam Ahmad,
diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, beliau bersabda: “Pandangan
itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang
memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ihlas karena Allah
semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai padahari
kiamat.” (HR. Ahmad).
Beliau juga bersabda : “Palingkanlah
pandangan kalian, dan jagalah kemaluan kalian.” (HR. At Thobrani dalam
Almu’jam al kabir).
Dalam hadits lain beliau bersabda
: “Janganlah kalian duduk duduk di (tepi) jalan”, mereka berkata : “ya
Rasulallah, tempat-tempat duduk kami pasti di tepi jalan”, beliau bersabda :
“Jika kalian memang harus melakukannya, maka hendaklah memberikan hak jalan
itu”, mereka bertanya : “Apa hak jalan itu ?”, beliau menjawab: “Memalingkan
pandangan (dari hal hal yang dilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan,
dan menjawab salam.” (HR. Muslim).
Pandangan adalah asal muasal
seluruh musibah yang menimpa manusia. Sebab, pandangan itu akan melahirkan
lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu akan melahirkan pikiran, dan
pikiran itulah yang melahirkan syahwat, dan dari syahwat itu timbullah
keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi niat yang
bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan
itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya. Oleh karena itu,
dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan
mata (bebannya) adalah lebih ringan dibanding harus menanggung beban
penderitaan yang ditimbulkannya.”
Seorang penyair mengatakan
:
كل
الحوادث مبداها من النظر *** ومعظم النار من مستصغر الشرر
كم نظرة بلغت من قلب صاحبها *** كمبلغ السهم بين القوس والوبر
والعبد ما دام ذا طرف يقلبه ***في أعين الغير موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته *** لا مرحبا بسرور عاد بالضرر
كم نظرة بلغت من قلب صاحبها *** كمبلغ السهم بين القوس والوبر
والعبد ما دام ذا طرف يقلبه ***في أعين الغير موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته *** لا مرحبا بسرور عاد بالضرر
- Setiap kejadian musibah itu
bermula dari pandangan, seperti kobaran api berasal dari percikan api yang
kecil.
- Betapa banyak pandangan yang
berhasil menembus kedalam hati pemiliknya, seperti tembusnya anak panah yang
dilepaskan dari busur dan talinya.
- Seorang hamba, selama dia
masih mempunyai kelopak mata yang digunakan untuk memandang orang lain, maka
dia berada pada posisi yang membahayakan.
- (Dia memandang hal-hal yang)
menyenangkan matanya tapi membahayakan jiwanya, maka janganlah kamu sambut
kesenangan yang akan membawa malapetaka.
Diantara bahaya pandangan
Pandangan yang dilepaskan begitu
saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati yang terasa
dipanas-panasi. Seseorang bisa saja melihat sesuatu, yang sebenarnya dia tidak
mampu untuk melihatnya secara keseluruhan, karena dia tidak sabar untuk
melihatnya. Tentu merupakan siksaan yang berat pada batin anda, bila ternyata
anda melihat sesuatu yang anda sendiri tidak bisa sabar untuk tidak
melihatnya,walaupun sebagian dari sesuatu tersebut, namun anda juga tidak mampu
untuk melihatnya.
Seorang penyair berkata :
وكنت متى
أرسلت طرفك رائدا لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رأيت
الذي لا كله أنت قادر عليه ولا عن بعضه أنت صابر
- Bila – suatu hari – engkau
lepaskan pandangan matamu mencari (mangsa) untuk hatimu, niscaya apa-apa yang
dipandangnya akan melelahkan (menyiksa) diri kamu sendiri.
- Engkau melihat sesuatu yang
engkau tidak mampu untuk melihatnya secara keseluruhan dan engkau juga tidak
bisa bersabar untuk tidak melihat (walau hanya) sebagian dari sesuatu
itu.
Lebih jelasnya, bait
syair di atas maksudnya : engkau akan melihat sesuatu yang engkau tidak sabar
untuk tidak melihatnya walaupun sedikit, namun saat itu juga engkau tidak mampu
untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit. Betapa banyak orang yang
melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa dengan pandangan
pandangan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair
يا ناظرا
ما أقلعت لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
Wahai orang yang memandang,
tidaklah dia sampai tuntas menyelesaikan pandangannya, sehingga dia sendiri
akan menjauh dan jatuh binasa karena pandangan-pandangannya sendiri.
Ada untaian bait lain yang
mengatakan
:مل
السلامة فاغتدت لحظاته وقفا على طلل يظن جميلا
ما زال
يتبع إثرة لحظاته حتى تشحط بينهن قتيلا
- (Mungkin) dia sudah bosan
selamat, sehingga dia biarkan pandangannya menyaksikan apa yang menurutnya
indah.
- Begitulah; dia terus
melanjutkan satu pandangan dengan pandangan yang lain, sehingga akhirnya dia
menjauh dan jatuh binasa karena pandangan pandangannya sendiri.
Suatu hal yang lebih
mengherankan, yaitu bahwa pandangan yang dilakukan oleh seseorang itu merupakan
anak panah yang tidak pernah mengena pada sasaran yang dipandang, sementara
anak panah itu benar-benar mengenadi hati orang yang memandang.
Ada untaian bait syair yang
mengatakan
:يا راميا
سهام اللحظ مجتهدا أنت القتيل بما ترمي فلا تصبوباعث الطرف يرتاد الشفاء له احبس
رسولك لا يأتيك بالعطب
- wahai orang yang dengan sungguh
sungguh melempar anak panah pandangannya, engkaulah sebenarnya yang menjadi
korban dari apa yang kamu lempar itu dan engkau tidak berhasil membidik orang
yang engkau pandang.
- Dan orang yang melepas
pandangannya dia akan kehilangan kesehatannya. (oleh karena itu) tahanlah
pandanganmu, agar tidak mendatangkan musibah kepadamu.
Suatu hal yang lebih mengherankan
lagi, yaitu bahwa satu pandangan (padahal yang dilarang) itu dapat melukai hati
dan (dengan pandangan yang baru) berarti dia menoreh luka baru di atas luka
lama ; namun ternyata derita yang ditimbulkan oleh luka-luka itu tak
mencegahnya untuk kembali terus menerus melukainya.
ما زلت تتبع نظرة في نظرة في إثر كل مليحة ومليح
وتظن ذاك دواء جرحك وهو في ال تحقيق تجريح على تجريح
فذبحت طرفك باللحاظ وبالبكاء فالقلب منك ذبيح أي ذبيح
وتظن ذاك دواء جرحك وهو في ال تحقيق تجريح على تجريح
فذبحت طرفك باللحاظ وبالبكاء فالقلب منك ذبيح أي ذبيح
- Kau senantiasa mengikutkan
satu pandangan dengan pandangan lainnya untuk menyaksikan (wanita) cantik dan
(pria) tampan.
- Dan kau mengira bahwa itu
dapat mengobati luka (syahwat) mu, padahal dengan itu berarti kau menoreh luka
di atas luka.
- Kau korbankan matamu dengan
pandangan dan tangisan, sementara hatimu juga (menjerit seperti) disembelih
habis habisan.
Oleh karena itu dikatakan : “Sesungguhnya
menahan pandangan hatimu itu lebih mudah daripada menahan langgengnya
penyesalan.”
2. Al Khothorot (Pikiran yang Melintas Dibenak)
Adapun “Al Khothorot” (pikiran
yang terlintas dibenak) maka urusannya lebih sulit. Di sinilah tempat
dimulainya aktifitas, yang baik ataupun yang buruk. Dari sinilah lahirnya
keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah manjadi tekad yang
bulat. Maka barang siapa yang mampu mengendalikan pikiran-pikiran yang melintas
di benaknya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa
nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikirannya, maka hawa
nafsunyalah yang berbalik menguasainya. Dan barang siapa yang menganggap remeh
pikiran pikiran yang melintas di benaknya, maka tanpa dia inginkan ia akan
terseret pada kebinasaan. Pikiran-pikiran itu akan terus melintas di benak dan
di dalam hati seseorang, sehingga akhirnya dia akan manjadi angan-angan tanpa
makna (palsu).
“Laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang orang yang dahaga, tetapi bila ia
mendatanginya maka ia tidak mendapatkannya walau sedikitpun, dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisiNya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan
amalnya dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitunganNya.” (QS.
An Nur, 39).
Orang yang paling jelek
cita-citanya dan paling hina adalah orang yang merasa puas dengan angan-angan
kosongnya. Dia pegang angan-angan itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga
dengan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan angan itu adalah modal
orang-orang yang pailit, dan barang dagangan para pengangguran serta merupakan
makanan pokok bagi jiwa yang kosong, yang bisa merasa puas dengan
gambaran-gambaran dalam hayalan, dan angan-angan palsu.
Seperti dikatakan oleh seorang
penyair :
- Angan-angan untuk mendapatkan
su’da, dapat menghilangkan dahaga. Dengan angan-angan itu Su’da telah berhasil
memberikan pada kita air dingin di kala haus.
- Angan-angan yang sekiranya
dapat menjadi kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan, dan kalaupun tidak, maka
sesungguhnya kita hidup senang beberapa waktu dengan angan-angan itu.
Angan-angan adalah sesuatu yang
sangat berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari sikap ketidakmampuan sekaligus
kamalasan, dan melahirkan sikap lalai yang selanjutnya penderitaan dan
penyesalan. Orang yang hanya mendapatkan realita yang diinginkannya –sebagai
pelampiasannya-, maka dia merubah gambaran realita yang dia inginkan kedalam
hatinya ; dia akan mendekap dan memeluknya erat-erat. Selanjutnya dia akan
merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang dihayalkan oleh
pikirannya.
Padahal itu semua, sedikitpun
tidak akan membawa manfaat, sama seperti orang yang sedang lapar dan haus,
membayangkan gambaran makanan dan minuman, namun dia tidak dapat memakan dan
meminumnya.
Perasaan tenang dan puas dengan
kondisi semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya, jelas menunjukkan betapa
jelek dan hinanya jiwa seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang, kebersihan,
kesucian dan ketinggiannya tidak lain adalah dengan cara membuang jauh-jauh
setiap pikiran-pikiran yang jauh dari realita, dan dia tidak rela bila hal hal
tersebut sampai melintas dibenaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi
pada dirinya.
Kemudian “khothorot” atau ide,
pikiran yang melintas di benak itu mempunyai banyak macam, namun pada pokoknya
ada empat :
- Pikiran yang orientasinya untuk mencari keuntungan dunia / materi.
- Pikiran yang orientasinya untuk mencegah kerugian dunia/ materi.
- Pikiran yang orientasinya untuk mencarike maslahatan akhirat.
- Pikiran yang orientasinya untuk mencegah kerugian akhirat.
Idealnya, seorang hamba hendaklah
menjadikan pikiran-pikiran, ide- ide dan keinginannya hanya berkisar pada empat
macam di atas. Bila kesemua bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin
dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata
pikiran- pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah
dia mendahulukan yang lebih penting, yang dihawatirkan akan kehilangan
kesempatan untuk itu, kemudian mengahirkan yang tidak terlalu penting dan tidak
dihawatirkan kehilangan kesempatan untuk itu.
Yang tersisa sekarang adalah dua
bagian lagi, yaitu:
- Pertama: yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
- Kedua : yang tidak penting, namun dihawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Dua bagian terahir ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan.
Di sinilah lahir sikap ragu-ragu dan bingung untuk memilih. Bila dia dahulukan
yang penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia
mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan sesuatu yang penting. Begitulah
kadang-kadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin dikumpulkan
menjadi satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan
mengorbankan yang lain.
Di sinilah akal, nalar dan
pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang tinggi, siapa
orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan orang yang
mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia mengorbankan sesuatu
yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan untuk itu, demi melakukan
sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk
melakukannya. Dan anda tidak akan mendapatkan seorangpun yang selamat (dan
terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada yang jarang dan ada pula yang
sering menghadapinya.
Dan sebenarnya yang dapat
dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah kaidah besar
dan mendasar yang merupakan poros berputarnya aturan-aturan syari’at, dan juga
pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan. Kaidah itu adalah mendahulukan
kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan yang ada
–walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang lebih kecil– kemudian kaidah itu
pula yang menyatakan bahwa kita memilih kemudlaratan yang lebih ringan untuk
mencegah terjadinya mudlarat yang lebih besar.
Jadi, sebuah kemaslahatan akan
dikorbankan dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar, begitu
pula sebuah kemadlaratan akan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya
kemudlaratan yang lebih besar.
Pikiran-pikiran serta ide-ide
orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang kita jelaskan diatas.
Dan karena itu datang berbagai syariat atau aturan. Kemaslahatan dunia dan
akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan pikiran-pikiran serta
ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling bermanfaat ialah
orientasinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan di alam akhirat
nanti.
Kemudian pikiran yang
orientasinya adalah untuk Allah ini bermacam macam :
Pertama : memikirkan
ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk memahami maksud Allah
dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah menurunkannya; tidak
hanya sekedar untuk dibaca saja, namun membaca itu hanya media saja. Sebagian
ulama salaf mengatakan: “Allah menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka
jadikanlah bacaan Al Qur’an itu sebagai amalan."
Kedua : memikirkan dan
memperhatikan ayat-ayat atau tanda-tanda kebesaran-Nya yang dapat dilihat
langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan nama-nama Allah, sifat-sifat,
hikmah, kebaikan dan kemurahanNya. Dan Allah sendiri telah mendorong
hamba-hambaNya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaranNya, memikirkan dan
memahaminya; Allah menegur dan mencela orang yang melalaikannya.
Ketiga : memikirkan
ni’mat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada seluruh
makhlukNya, dan merenungkan keluasan rahmat, ampunan dan kasih sayangNya.
Tiga hal di atas akan dapat
mendorong lahirnya –dari hati seorang hamba – ma’rifatullah (pengetahuan
tentang Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan harap kepadaNya. Dan bila
tiga hal tadi dilakukan dengan kontinyu, disertai dengan dzikir kepada Allah,
maka hati seorang hamba akan tercelup secara sempurna dengan ma’rifah dan
kecintaan kepadaNya.
Keempat : memikirkan aib,
cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini akan memberikan
manfa’at yang sangat besar, karena berperang dalam mengalahkan hawa nafsu yang
selalu memerintahkan kejelekan. Bila nafsu yang jahat itu dapat dikalahkan maka
nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan hidup, bangkit dan menjadi
penentu segala keputusan. Lalu hatipun menjadi hidup dan kebijakan yang ada
pada kerajaannyapun didengar, dia perintah para karyawan dan bala tentaranya
untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatanya.
Kelima : memikirkan
kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta
menumpahkan seluruh perhatian terhadap pemanfaatan waktu. Seorang yang arif,
akan selalu memanfaatkan waktunya, karena dia yakin, bila waktunya disia-siakan
begitu saja, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh kemaslahatan (yang seharusnya
dia dapatkan. Pent ) sebab, seluruh kemaslahatan itu, tidak lain bisa timbul
dan didapatkan melainkan dari adanya waktu. Dan bila disia-siakan (dan waktu
itu sudah lewat. Pent) maka dia tidak akan bisa mengembalikannya lagi untuk
selamanya.
Al Imam Asy Syafi’i berkata : “Aku
pernah berteman dengan orang-orang sufi dan aku tidak mendapatkan manfaat
apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja:
- Pertama : “Waktu itu bagaikan pedang, bila engkau tidak memotongnya, dialah yang akan menebasmu.”
- Kedua : “Dan nafsumu, bila engkau tidak menyibukkannya dengan kebenaran, maka dialah yang akan menyibukkanmu dengan kebathilan.”
Waktu yang dimiliki manusia,
itulah umur dia yang sebenarnya. Waktu itulah yang menjadi modal untuk
kehidupannya yang abadi dalam kenikmatan abadi (sorga), sekaligus juga modal
untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang pedih (neraka). Waktu berlalu
lebih cepat dari perjalanan gumpalan awan. Maka, barang siapa yang berhasil
menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya
yang hakiki. Dan waktu yang tidak dipersembahkan untuk Allah tidaklah dihitung
sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana
kehidupan binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan
kelalaian, syahwat dan angan-angan kosong atau yang paling banyak hanya
digunakan untuk tidur dan pengangguran, maka bagi orang semacam ini ‘mati’ itu
lebih baik dari pada dia hidup.
Bila seorang hamba –yang sedang
melakukan shalat– tidak akan mendapatkan nilai dari shalatnya selain pada
bagian yang dia fahami dari shalatnya, maka umurnya yang sesungguhnya adalah
waktu yang dia habiskan untuk Allah dan bersama Allah.
Pikiran-pikiran atau ide-ide yang
tidak termasuk salah satu bagian yang disebut di atas tadi, dapat kita
katagorikan sebagai was-was syaithoniyah (bisikan syetan), angan-angan kosong
atau halusinasi bohong, persis seperti pikiran-pikiran orang yang kurang waras
akalnya, baik karena mabuk atau fly dan lain sebagainya. Dimana ketika segala hakikat
kenyataan itu tampak, kondisi mereka saat itu mengatakan :
إن كان منزلتي في الحشر عندكم ما قد لقيت فقد ضيعت أيامي
أمنية ظفرت نفسي بها زمنا واليوم أحسبها أضغاث أحلام
أمنية ظفرت نفسي بها زمنا واليوم أحسبها أضغاث أحلام
- Bila kedudukanku, saat
dikumpulkan bersama kalian, seperti apa yang telah aku temui sendiri (sekarang
ini), maka sungguh aku telah menyia-nyiakan hari hariku.
- Angan-angan itu telah
menguasai jiwaku dalam jangka waktu yang lama, dan hari ini, aku menganggapnya
hanya sebagai bunga rampai.
Ketahuilah, sebenarnya pikiran
pikiran yang melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang bahaya bila
pikiran-pikiran itu sengaja didatangkan dan terjadi interaksi dengannya.
Pikiran yang melintas itu laksana orang yang disuatu jalan, bila anda tidak
memanggilnya dan anda biarkan dia, maka dia akan berlalum eninggalkan anda.
Namun bila anda memanggilnya, anda akan terpesona dengan percakapan, dusta dan
tipuannya.
Tindakan ini akan terasa begitu
ringan bagi jiwa yang kosong penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh hati
dan jiwa yang suci dan tenang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memasang dua macam nafsu pada diri menusia; nafsu ammarah dan nafsu
muthmainnah, yang kedua duanya saling bertolak belakang. Segala sesuatu yang
terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh yang lain.
Apa yang terasa nikmat oleh yang
satu, maka akan terasa menyiksa oleh yang lain. Tak ada sesutau yang lebih
berat bagi nafsu ammarah melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah dan
mendahulukan keridhaaNya dari pada hawa nafsunya, padahal tidak ada amal yang
lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu pula, tidak ada sesuatu
yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan untuk Allah
dan mengikuti kemauan hawa nafsu. Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya
baginya dari amal tersebut.
Dalam hal ini, malaikat itu
berada disamping kanan hati manusia, sementara syetan disamping kirinya. Dan
pertarungan antara keduanya tidak akan pernah berhenti sampai ajal ditentukan
(oleh Allah) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan akan berpihak kepada syetan
dan nafsu ammarah, sementara semua macam kebenaran itu akan berpihak pada
malaikat dan nafsu muthmainnah. Dalam peperangan itu kalah dan menang datang
silih berganti. Dan kemenangan itu ada bersama kesabaran.
Maka barang siapa yang
benar-benar bersabar, berusaha keras dan bertakwa kepada Allah, niscaya baginya
balasan yang baik, di dunia dan diakhirat nanti. Dan Allah pun telah menetapkan
sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah selamanya, bahwa balasan baik itu
adalah untuk ketakwaan, dan pahala itu adalah untuk mereka yang bertakwa.
Hati itu laksana papan yang
kosong, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya. Maka,
bagaimana bisa dikatakan pantas bagi sesorang yang berakal bila papannya hanya
berisi dusta, tipu daya, angan-angan dan fatamorgana yang tidak ada
realitanya?, hikmah, ilmu dan petunjuk macam apa yang diharapkan dari
tulisan-tulisan itu ?, apabila ingin melukiskan hikmah, ilmu dan petunjuk di
papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat di
sebuah tempat yang sudah penuh dengan tulisan lain yang tidak ada
manfaatnya.
Bila hati tidak kosong dari
pikiran-pikiran kotor, maka pikiran-pikiran positif yang bermanfaat tidak akan
dapat menetap di dalamnya, karena dia memang tidak dapat menempati
kecuali tempat yang kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair :
أتاني
هواها قبل أن أعرف الهوى فصادف قلبا فارغا فتمكنا
“Aku telah didatangi oleh hawa
nafsu sebelum aku kenal dengan hawa nafsu itu sendiri, maka ia temukan hati
yang kosong, oleh karena itu ia dapat menguasaiku.”
Hal seperti ini banyak terjadi
terhadap orang-orang tasawuf, mereka membangun kepribadian mereka dengan cara
menjaga pikiran-pikiran yang melintas di dalam benak, mereka tidak memberikan
kesempatan pada pikiran- pikiran tersebut untuk masuk ke dalam hati, sehingga
hati itu dalam keadaan kosong dan dapat melakukan kasyaf (menyingkap rahasia)
dan menerima hakikat-hakikat yang bermakna tinggi didalamnya.
Mereka itu menjaga diri mereka
dari satu hal, tetapi mereka lalai dan kehilangan banyak hal yang lain, sebab
mereka kosongkan hati mereka dari lintasan-lintasan pikiran sehingga menjadi
kosong, tidak ada apa-apa di dalamnya, tiba-tiba syetan mendapatkannya dalam
keadaan kosong, kemudian syetan menanamkan di dalamnya kebatilan dan
menggambarkannya sebagai sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia, syetan
meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis pikiran-pikiran yang merupakan
bahan dasar dari ilmu pengetahuan dan petunjuk.
Apabila hati itu sudah kosong
dari berbagai macam pikiran, maka syetan akan datang dengan menemukan tempat
yang kosong untuknya. Syetan akan berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal
sesuai dengan kondisi pemilik hati tersebut. Bila tidak berhasil mengisinya
dengan keingininan melepaskan diri dari keinginan-keinginan –yang sebenarnya–
tidak ada kebaikan dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali bila keinginan
keinginan tersebut berhasil menguasai hatinya, yaitu mengosongkannya dari
keinginan untuk mengikuti perintah-perintah tersebut secara rinci untuk
kemudian melaksanakannya dimasyarakat, lalu berusaha menyampaikannya pada
orang-orang dengan harapan mereka juga mau melaksanakannya. Dalam hal ini,
syetan akan berusaha menyesatkan orang yang mempunyai keinginan demikian dengan
mengajak untuk meninggalkan keinginan baik tersebut dan melepaskannya, tidak
usah memikirkan dunia dan masyarakat di dalamnya.
Syetan akan membisikkan kepada
mereka bahwa kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan cara melepaskan diri
dan mengosongkan hati dari hal itu semua. Sungguh amat jauh ungkapan tersebut
dari kebenenaran, karena kesempurnaan itu hanya dapat diperoleh bila hati itu
penuh terisi dengan keinginan dan pikiran yang baik, serta usaha untuk
merealisasikannya.
Maka, manusia yang paling
sempurna adalah mereka yang paling banyak memiliki pikiran dan keinginan untuk
tunduk kepada perintah Allah, mencari keridloanNya. Sebagaimana manusia yang
paling hina adalah mereka yang paling banyak memiliki keinginan dan pikiran
untuk memenuhi hawa nafsunya dimana saja dia berada. Wallahulmusta’an (dan
Allah lah tempat mohon pertolongan).
Lihatlah Umar bin Khothob
Radhiyallahu ‘anhu, pikirannya penuh dengan keinginan dalam mencari keridloan
Allah, barangkali dia dalam keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang
mempersiapkan tentaranya (untuk jihad), dengan demikian dia telah berhasil
mengumpulkan antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah masuk berkumpul
dalam satu ibadah. Ini adalah salah satu hal yang mulia dan agung, tidak akan
tahu tentang hal ini kecuali mereka yang mempunyai keinginan yang benar-benar
kuat, dan pandai mencari, luas ilmunya serta tinggi cita-citanya, dimana dia
masuk dalam satu ibadah namun dia juga mendapatkan ibadah-ibadah yang lain,
itulah karunia Allah yang diberikan pada siapa yang dikehendakinya.
3. Al Lafazhat (Ungkapan Kata-kata)
Adapun tentang Al Lafazhat
(ungkapan kata-kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah keluarnya
kata-kata atau ucapan dari lidahnya, yang tidak bermanfaat dan tidak bernilai.
Misalnya dengan tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan bisa
memberikan keuntungan dan tambahan menyangkut masalah keagamaannya. Bila ingin
berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan
keuntungannya atau tidak ? bila tidak ada keuntungannya, dia tahan lidahnya
untuk berbicara, dan bila dimungkinkan ada keuntungannya, dia melihat lagi,
apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata- kata tersebut?
bila memang ada, maka dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Kalau anda ingin mengetahui apa
yang ada dalam hati seseorang, maka lihatlah ucapan lidahnya, ucapan itu akan
menjelaskan kepada anda apa yang ada dalam hati seseorang, dia suka ataupun
tidak suka.
Yahya bin Mu’adz berkata :
Hati itu bagaikan panci yang sedang
menggodok apa yang ada didalamnya, dan lidah itu bagaikan gayungnya, maka
perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang
menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau
asin, dan sebagainya.
Ia menjelaskan kepada anda
bagaimana “rasa” hatinya, yaitu apa yang dia katakan dari lidahnya, artinya,
sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam panci itu dengan cara
mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam
hati seseorang dari lidahnya ,anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya
dan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu
dengan lidah anda.
Dalam hadits Anas Radhiyallahu
‘anhu yang marfu’, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda :
“Tidak akan istiqomah iman
seorang hamba sehingga hatinya beristiqomah (lebih dahulu), dan hati dia tidak
akan istiqomah sehingga lidahnya beristiqomah (lebih dahulu).”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam neraka, beliau menjawab “Mulut dan kemaluan”. ( HR. Turmudzi, dan
ia berkata : hadits ini hasan shoheh ).
Sahabat Mu’adz bin Jabal
Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alayhiwa Sallam
tentang amal apa yang dapat memasukkannya ke dalam sorga dan menjauhkannya dari
api neraka ?, lalu Nabi memberitahukan tentang pokok, tiang dan puncak yang
paling tinggi dari amal tersebut, setelah itu beliau bersabda: “Bagaimana
kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu?’, dia berkata : ya, ya
Rasulallah, lalu Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memegang lidah beliau
sendiri kemudian bersabda : “jagalah olehmu yang satu ini”, maka Mu’adz berkata
: adakah kita disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?, beliau menjawab :
“Ibumu kehilangan engkau ya Mu’adz, tidakkah yang dapat menyungkurkan banyak
manusia di atas wajah mereka (ke Neraka) kecuali hasil (ucapan) lidah-lidah
mereka?” (HR. Turmudzi, dan ia berkata : hadits hasan shoheh).
Dan yang paling mengherankan
yaitu bahwa banyak orang yang merasa mudah dalam menjaga dirinya dari makanan
yang haram, perbuatan aniaya, zina, mencuri, minum-minuman keras serta melihat
pada apa yang diharamkan dan lain sebagainya, namun merasa kesulitan dalam mengawasi
gerak lidahnya, sampai sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal
dengan kezuhudan dan kekhusyu’an ibadahnya, juga masih berbicara dengan
kalimat-kalimat yang dapat mengundang kemurkaan Allah Subhanahuwa Ta’ala, tanpa
dia sadari bahwa satu kata saja dari apa yang dia ucapkan dapat menjauhkannya
(dari Allah dengan jarak) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Dan
betapa banyak anda lihat orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan kotor
dan aniaya, namun lidahnya tetap saja membicarakan aib orang-orang, baik yang
sudah mati ataupun yang masih hidup, dan dia tidak sadar akan apa yang dia
katakan.
Kalau anda ingin mengetahui hal
itu, lihatlah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shohehnya,
dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam bersabda: “Ada seorang laki laki yang mengatakan : ‘Demi
Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan itu’, maka Allah berfirman : “Siapa
orang yang bersumpah bahwa aku tidak akan mengampuni si Fulan ?, sungguh Aku
telah mengampuninya dan menggugurkan amalmu.”
Lihatlah, hamba yang satu ini,
dia telah beribadah kepada Allah dalam waktu yang cukup lama, namun satu
kalimat yang diucapkannya telah menyebabkan semua amalnya terhapus. Dan di
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu juga dikisahkan cerita seperti ini,
kemudian Abu Hurairah berkomentar: ‘Dia telah mengucapkan satu kalimat yang
dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya’.
Dalam shahih Bukhori dan Muslim,
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang mengucapkan satu
kalimat yang termasuk dicintai oleh Allah, dia tidak terlalu perhatian dengan
itu, namun ternyata Allah berkenan meninggikannya beberapa derajat. Dan
sesungguhnya seorang hamba itu terkadang mengucapkan satu kalimat yang termasuk
dibenci Allah, dia tidak terlalu perhatian dengan itu, namun ternyata dengan
kalimat itu dia masuk ke dalam neraka Jahannam.”
Dalam riwayat Muslim:
“sesungguhnya seorang hamba itu mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas apa
yang dikandungnya, namun dia dapat menjatuhkannya ke dalam neraka (yang
jaraknya) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”
Dan dalam riwayat Al Turmudzi,
dari hadits Bilal bin Al Harits Al Muzani Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang dari
kalian terkadang mengucapkan satu kalimat yang dicintai oleh Allah, dia tidak
menyangka (pahalanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata
dengan kalimat itu Allah memberikan kepadanya keridloanNya sampai hari dia
berjumpa denganNya kelak. Dan sesungguhnya seorang dari kalian terkadang
mengucapkan satu kalimat dari yang dimurkai oleh Allah, dia tidak menyangka
(dosanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata Allah memberikan
kepadanya kemurkaanNya sampai dia berjumpa denganNya kelak.”
‘Alqomah mengatakan: “Betapa
banyak ucapan yang tidak jadi aku katakan disebabkan oleh hadits Bilal bin Al Harits
ini.”
Dalam kitab Jami’ At Turmudzi,
dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ada seorang sahabat yang
meniggal, lalu ada seorang laki-laki berkata: ‘berilah kabar gembira dengan
sorga’, maka Nabi bersabda: “Dari mana kamu tahu?, barangkali dia pernah
mengucapkan (kalimat) yang tidak ada guna baginya atau dia pelit untuk
(memberikan) sesuatu yang tidak akan membuatnya kekurangan.” (Al Turmudzi
berkata : “hadits ini hasan”).
Dalam lafadz hadits yang lain
disebutkan: “Ada seorang anak yang meninggal syahid diperang Uhud, lalu
ditemukan diperutnya sebuah batu yang diikat untuk menahan lapar, kemudian
ibunya mengusap debu yang ada di wajahnya, sambil mengatakan: “berbahagialah
engkau hai anakku, engkau akan mendapatkan sorga”, maka Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “ Dari mana kamu tahu ?, barangkali
dia pernah mengucapkan kata-kata yang tidak berguna baginya, dan menahan apa
yang tidak memberikan mudlarat baginya.”
Dalam shaheh Bukhori dan Muslim,
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklah dia mengatakan yang baik-baik atau diam saja.”
Dan dalam lafadz hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, bila ia menyaksikan suatu perkara maka hendaklah ia mengatakan
yang baik-baik atau diam saja.”
At Tirmidzi menyebutkan dengan
sanad yang shaheh dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, bahwa
beliau bersabda: “Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam seseorang yaitu
(bila) dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”
Dari Sufyan bin Abdillah Ats
Tsaqafi, dia berkata: “Aku berkata : ‘Ya Rasulallah, katakanlah kepadaku
dalam Islam ini suatu kalimat yang aku tidak akan menanyakannya pada seorangpun
setelah engkau’, Nabi menjawab: “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian
beristiqomahlah engkau”, aku bertanya: ‘Ya Rasulallah, apa yang paling engkau
khawatirkan terhadapku ?’, kemudian Nabi memegang lidah beliau sendiri lalu
mengatakan: “ini” (maksudnya lidah, pent). (HR. Turmudzi, dan ia bekata :
hadits ini shaheh).
Dan Ummu Habibah isteri Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam beliau bersabda:
“Semua ucapan anak Adam (manusia) itu akan merugikan dia, tidak akan
menguntungkan dia, kecuali ucapan untuk amar ma’ruf (memerintahkan yang baik),
atau nahi mungkar (mencegah perbuatan mungkar), atau dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (At Tirmidzi berkomentar : hadits ini derajatnya
hasan).
Dalam hadits yang lain
disebutkan: “Bila seorang hamba berada di pagi hari, maka semua anggota
tubuh memberikan peringatan kepada lidah dan berkata: takutlah engkau kepada
Allah, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu, bila kamu istiqomah kami akan
istiqomah, dan bila kamu melenceng kami pun ikut melenceng.”
Sebagian ulama salaf ada yang
menyalahkan dirinya sendiri, hanya sekedar mengucapkan: “hari ini panas dan
hari ini dingin”, dan sebagian ulama juga ada yang tidur kemudian bermimpi dan
dia ditanya tentang keadaannya, lalu dia menjawab: “aku tertahan oleh satu
ucapan yang telah aku katakan, aku pernah mengatakan: “oh, betapa butuhnya
orang orang ini kepada hujan”, tiba-tiba ada yang berkata kepadaku “dari mana
kamu tahu itu?, Akulah yang lebih tahu tentang kemaslahatan hambaKu.”
Seorang sahabat ada yang berkata
pada pembantunya: tolong ambilkan kain untuk kita gunakan bermain main, lalu
dia berkata: ‘Astaghfirullah, aku tidak pernah mengucapkan kata-kata kecuali
aku pasti bisa mengendalikan dan mengekangnya, kecuali kata-kata yang tadi aku
katakan, ia keluar dari lidahku tanpa kendali dan tanpa kekang.”
Anggota tubuh manusia yang paling
mudah digerakkan adalah lidah, tapi dia juga yang paling berbahaya pada manusia
itu sendiri …
Ada perbedaan pendapat antara
ulama salaf dan khalaf dalam masalah: apakah semua yang diucapkan oleh manusia
itu semua akan dicatat, ataukah ucapan yang baik dan yang jelek saja?, di sini
ada dua pendapat, namun yang lebih kuat adalah yang pertama. Sebagian ulama
salaf mengatakan: “Semua perkataan anak Adam itu akan merugikan dirinya dan
tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan yang diambil dari kalam Allah dan
ucapan yang digunakan untuk membelaNya."
Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu pernah memegang lidahnya dan berkata: “Inilah yang memasukkan aku ke
dalam berbagai masalah”, ucapan itu adalah tawanan anda, bila ia sudah
keluar dari mulut anda berarti andalah yang menjadi tawanannya. Allah selalu
memonitor lidah setiap kali berbicara.
“Tidak suatu ucapanpun yang
diucapkan kecuali ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Bahaya Lidah
Pada lidah itu terdapat dua
penyakit besar. Bila seseorang bisa selamat dari salah satu penyakit itu maka dia
tidak bisa lepas dari penyakit yang satunya lagi, yaitu penyakit berbicara dan
penyakit diam. Dalam satu kondisi bisa jadi salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan dosa yang lebih besar dari yang lain.
Orang yang diam terhadap
kebenaran adalah syetan yang bisu, dia bermaksiat kepada Allah, serta bersikap
riya’ dan munafik bila dia tidak khawatir hal itu akan menimpa dirinya. Begitu
pula orang yang berbicara tentang kebatilan adalah syetan yang berbicara, dia
bermaksiat kepada Allah.
Kebanyakan orang sering keliru
ketika berbicara dan ketika mengambil sikap diam. Mereka itu selalu berada di
antara dua posisi ini. Adapun orang-orang yang ada di tengah-tengah –yaitu
mereka yang berada pada jalan yang lurus– sikapnya adalah menahan lidah mereka
dari ucapan yang batil dan membiarkannya berbicara dalam hal-hal yang dapat
membawa manfaat pada mereka di akhirat. Sehingga anda tidak akan melihat mereka
mengucapkan kata-kata yang akan membahayakan mereka di akhirat nanti.
Sesungguhnya ada seorang hamba yang
akan datang pada hari kiamat dengan pahala kebaikan sebesar gunung, namun dia
dapati lidahnya sendiri telah menghilangkan pahala tersebut. Dan ada pula yang
datang dengan dosa-dosa sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya telah
menghilangkan itu semua dengan banyaknya dzikir kepada Allah, dan hal-hal yang
berhubungan denganNya.
4. Al Khuthuwat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan)
Adapun tentang Al Khuthuwat maka
hal ini bisa dicegah dengan komitmen seorang hamba untuk tidak menggerakkan
kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan
menambah pahala, maka mengurungkan langkah tersebut tentu lebih baik baginya.
Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala dari setiap perbuatan
mubah (yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan, pent.) yang
dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan
demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah.
Tergelincirnya seorang hamba dari
perbuatan salah itu ada dua macam : tergelincirnya kaki dan tergelincirnya
lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan sejajar oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam firmanNya
“Dan hamba-hamba Ar Rahman,
yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon, 63).
Di sisi lain, Allah menjelaskan
bahwa sifat mereka itu adalah istiqomah dalam ucapan dan langkah-langkah
mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara pandangan dan lintasan
pikiran, dalam firmanNya: “Allah mengetahui khianat mata dan apa yang
disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir, 19).
Semua hal yang kami sebutkan di
atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan diharamkannya zina, dan
kewajiban menjaga kemaluan. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
“Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka ialah lidah dan kemaluan.”
(HR. Ahmad dan At Turmudzi, dan dianggap shaheh oleh Al-Albani dalam silsilah
hadits shaheh).
Dalam shaheh Bukhori dan Muslim
diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
“Tidak dihalalkan darah seorang muslim kecuali sebab tiga hal: orang yang sudah
kawin yang melakukan zina, membunuh jiwa dengan sebab membunuh jiwa, dan orang
yang meninggalkan agamanya serta meninggalkan jamaah.”
Dalam hadits ini ada pensejajaran
antara zina dengan kufur dan membunuh jiwa, persis seperti yang terdapat dalam
ayat pada surat Al Furqon, juga seperti yang ada dalam hadits Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu.
Penyebutan Sejajar Antara Zina, Kufur dan Membunuh Jiwa
Dalam hadits di atas Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyebut hal yang paling banyak terjadi secara
berurutan. Perbuatan zina itu lebih sering terjadi dibanding dengan pembunuhan,
dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding dengan riddah (keluar dari agama
Islam). Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh zina sungguh bertolak belakang
dengan kemaslahatan dalam kehidupan.
Sebab, bila seorang wanita telah
melakuka zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami dan kerabatnya serta
mencoreng wajah mereka dihadapan orang banyak. Bila dia sampai hamil kemudian
membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan perbuatan zina dengan
pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap dengan suaminya, berarti dia telah
memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita sendiri orang lain
yang bukan bagian dari keluarga. Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lain
yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu adalah seorang pria, maka hal
ini –selain hal yang di atas- juga akan menyebabkan simpang siurnya hubungan
nasab, kemudian merusak kehormatan wanita yang terjaga dan menjadikannya
hancur.
Jadi, di belakang perbuatan keji
ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama sekaligus. Sungguh betapa banyak
pelanggaran terhadap larangan-larangan (pelecehan terhadap kehormatan),
penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang ada di balik perbuatan zina.
Diantara dampak yang ditimbulkan
oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan kefakiran, memperpendek umur dan
membuat wajah pelakunya suram serta mendatangkan kebencian orang.
Termasuk di antara dampaknya
pula, bahwa zina itu dapat menghancurkan hati, membuatnya sakit kalau tidak
sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah gelisah dan takut, serta
menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya kepada setan. Tak ada
bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh yang lebih besar dari bahaya zina-.
Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina ini Allah mensyariatkan hukuman
bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada seseorang yang mendengar
kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya lebih ringan dibanding dia
mendengar bahwa isterinya berzina.
Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu
‘anhu berkata: “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina dengan isteriku,
tentu aku akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir panjang lagi.” Maka
sampai perkataan ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, lalu beliau
bersabda: “Apakah kalian heran pada kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku
ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari aku, dan oleh karena
betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan segala perbuatan keji,
baik yang lahir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).
Dalam shahih Al-bukhari dan
shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. “Sesungguhnya
Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang mu’min itu juga cemburu. Dan
kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang hamba malakukan apa yang
diharamkan kepadanya.”. (HR. Bukhori dan muslim).
Dalam hadis Al-Bukhari dan
musllim, juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam: “Tak ada
seorangpun yang lebih pencemburu dari Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan
perbuatan-perbuatan keji, yang lahir maupun yang batin. Tak ada satupun yang
lebih senang mengajukan alasan dari Allah, oleh karena itu Dia mengutus para
Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada satupun yang lebih
senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diriNya sendiri.”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Juga dalam kitab Ash-shahihain,
diriwayatkan khutbah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam di saat shalat gerhana
matahari, beliau bersabda: “Hai ummat Muhammad, demi Allah, tak ada satupun
yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada sorang hambaNya yang laki-laki atau
perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah, sekiranya kalian
mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian aka sedikit tertawa dan
banyak menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
“Ya Allah, adakah aku sudah sampaikan?” (HR.Bukhori dan Muslim).
Disebutkannya perbuatan dosa
besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari mengandung isyarat
rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina ini merupakan rusaknya
alam ini, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat; seperti yang disebutkan
dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia berkata: aku akan
menceritakan pada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang yang akan
menceritakannya pada kalian setelah aku. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam bersabda: “Di antara tanda-tanda kiamat bila ilmu (syar’i)
menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menjadi tampak serta zina juga menyebar
(di mana-mana), pria jumlahnya sedikit dan kaum wannita jumlahnya banyak
sehingga untuk lima puluh wanita perbandingannya satu orang pria.” (HR.
Bukhori dan Muslim).
Salah satu sunnatullah yang
diberlakukan pada makhluknya, yaitu ketika zina mulai tampak dimana-mana, Allah
akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka secara pasti kemurkaan itu akan
berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang diturunkan.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu berkata: “Tidaklah merajalela riba dan zina di sebuah daerah,
melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.”
Seorang pendeta bani Israil
pernah melihat anaknya sedang merayu seorang perempuan, lalu dia berkata: “Sebentar,
wahai anakku!” kemudian sang ayah itu pingsan di atas tempat tidurnya lalu
meninggal, sementara isterinya jatuh dan dikatakan kepadanya: “Beginilah cara
engkau marah untukku? Sungguh, orang sejenis kamu itu tidak mengandung kebaikan
selamanya.”
Pengkhususan Hukuman Zina Dengan Tiga Hal
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman
lainnya dengan tiga hal:
Pertama, hukuman zina
adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam hukuman zina yang
ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk
dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya
selama satu tahun.
Kedua, Allah melarang
hamba-hambanya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina sehingga mencegah
mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para hukum kepada para pezina itu.
Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan pada kasih sayang dan
rahmatnya pada mereka. Allah itu sangat sayang kepada kalian, namun kasih
sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan berlakunya hukuman
ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian itu mencegah
kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini –walaupun sebenarnya juga
berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan- namun disebutkan
dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena memang sangat penting untuk
disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa marah dan sikap
kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang
menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada
pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu.
Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu
membuat tidak diberlakukannya hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengapa rasa kasihan pada mereka
itu timbul? Penyebabnya yaitu karena perbuatan zina ini bisa terjadi pada orang
golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat
dorongan yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan libido, pent) dan orang
yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi
penyebabnya ialah cinta; sementra hati manusia itu secara tabi’at punya
perasaan kasih pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak diantara mereka
yang siap memberikan bantuan pada mereka, walaupun sebenarnya bentuk percintaan
itu termasuk yang diharamkan. Dan hal seperti ini sudah tidak dipungkiri
lagi. Dan hal itu memang sudah diakui oleh banyak orang. Selain itu juga,
perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama suka dari
kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang
membuat jiwa orang-orang itu geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak
berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang memungkinkan menghambat
ditegakkannya hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini semua timbul dari iman yang
lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu
perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap
orang yang dijatu hihukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah
dalam perintah dan rahmatnya.
Ketiga, Allah
memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk atau purajam,
pent) handaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min, bukan di
tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini
dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr”(membuat jera
pelaku dan membuat takut oranglain melakukannya).
Hukuman bagi pezina yang
“muhshan” (sudah berkeluarga) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi
Luth yang dilempar dengan batu. Yang demikaian itu karena perbuatan zina dan
liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth) adalah sama-sama perbuatan
fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang
bertentangan dengan hikmah Allah di dalam penciptaan perintahnya. Kerusakan dan
bahaya yang ditimbulkan oleh prektek liwath (homo sex) itu sungguh sulit untuk
dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih pantas dan lebih
baik dibunuh saja; sebab dia itu mengalami kerusakan yang tidak bisa diharapkan
untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah
menyerap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada
Allah, juga kepada makhlukNya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi
oleh sperma pelaku liwath seperti berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.
Ada perbedaan pendapat diantara
sebagian orang; apakah orang yang menjadi pelaku liwath itu bisa masuk surga
atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar Syaikhul islam, Ibnu
Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini. Mereka yang mengatakan tidak
akan masuk sorga memberikan hujjah dengan beberapa hal: Diantaranya, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Tidak masuk surga anak seorang
pezina”. (HR.Bukhori dalam At tarikh ash shoghir 124, dan dihukumi
hasan).
Bila nasib dan kondisi anak hasil
zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia
dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan kotoran, serta dia pantas untuk
tidak mendatangkan kabaikan apapun selamanya, disebabkan karena dia tercipta
dari nuthfah (sperma) yang kotor; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan
barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk neraka, maka bagaimana lagi
dengan tubuh yang memang tercipta dari sperna yang haram?
Mereka mengatakan: orang yang
menjadi pelaku liwath itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan
lebih kotor pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat taufik kebaikan.
Dia juga pantas dihalangi utnuk mendapatkan taufik tersebut. Dan setiap kali
dia melakukan amal yang baik, maka Allah akan menggandengkannya dengan amalan
lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita
dapati bahwa orang yang sudah seperti itu dimasa kecilnya, kecuali dia akan
lebih parah dimasa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat,
amal yang shalih dan taubat yang nasuha.
Namun setelah diteliti, yang
lebih pas untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut
bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang
nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari
kondisi dimasa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan jeleknya dengan
berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan
pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga
kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam
mu’amalah-nya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan
termasuk ahli surga. Bila taubat itu –kitaketahui- dapat menghapus segala macam
dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membantai paraNabi dan para waliNya,
atau sihir, kufur dan lain semacamnya, maka kita tidak boleh membatasi
penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia
Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa: “Orang yang bertaubat dari
dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).
Dan Allah sendiri telah
memberikan jaminan bahwa barag siapa yang bertaubat dari perbuatan syirik,
pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya
dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup
setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa. Allah berfirman “Katakanlah
: Wahai hamba-hambaKu yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus
asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa,
sesungguhnya Dia Maha Pemgampun dn Maha Pengasih.” (Az-Zumar: 53)
Dan tidak akan keluar dari
keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka
yang bertaubat. Bila ternyata orang yang menjadi pelaku liwath itu di masa
tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nasuha
dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak
pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah
perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit
untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam surga di
saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatan yang jelek
dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang
akan diterimanya, sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah
perbuatan baik dengan perbuatan baik lainnya.
Para Pelaku Maksiat Dikhawatirkan Akan Mati Dalam Su’ul Khatimah
Bila anda perhatikan kondisi
kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan melihat bahwa mereka
terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai hukuman akibat perbuatan
perbuatan jelek mereka.
Al-hafizh Abu Muhammad Abdul Haq
bin Abdurrahman Asy-syibli berkata [Dalam kitab Al-‘Aqibah fi Dzikril Maut Wal
Akhirat, hal178: 181]:
“Ketahuilah bahwa su’ul
khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai beberapa
penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan kepadanya.
Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dalam urusan
keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat kepada
Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan atau
maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh kebiasaan
tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah hijab yang menutupinya.
Akibatnya, teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi akan bermanfaat
dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan demikian. Lalu
datanglah panggilan kebaikan dari subuah tempat yang jauh, namun dia tidak
dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh panggilan
itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi dan
mengulanginya lagi”.
Diriwayatkan, bahwa ada seorang
dari anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa Mamlukiyyah) yang
sedang didatangi oleh sakaratul maut, kemudian anaknya berkata: “ucapkanlah,
laa Ilahaa Illallah !” orang itu berucap: An Nashir adalah tuanku.” Diulangilah
permintaan itu kepadanya, namun jawaban orang itu tetap sama. Tiba-tiba orang
itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia berucap lagi : “ An Nashir
adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali dikatakan kepadanya ucapan:
“ laaIlaaha Illallah” dia malah berucap : “An Nashir adalah tuanku”. Kemudian
ia berkata kepada anaknya : “Hai fulan, sesungguhnya An Nashir itu dapat
mengenalmu hanya dengan pedang dan keberanianmu membunuh (berperang)”. Kemudian
dia meninggal dunia.
Abdul Haq berkata : “Pernah
dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya) ucapkanlah : laa
Ilaaha Illallah dia malah berucap: “Tolong rumah yang di sana itu diperbaiki,
dan kebun yang di sana itu dikerjakan…”
Abdul Haq juga berkata : “di
antara riwayat dari Abu thahir As Silafiy yang mana dia telah mengizinkan aku
untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada seorang pria yang sedang
sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya : ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’
namun dia malah mengatakan kata-kata dengan bahasa Persia yang artinya ‘sepuluh
dengan sebelas (maksudnya, boleh berutang sepuluh tapi bayarnya sebelas,
pent)
Dan pernah dikatakan pula pada
orang lain: ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia malahmengatakan “Mana jalan ke
pemandian manjab? (nama pemandian).
Kata Abdul Haq : jawaban yang
diucapkannya itu ada ceritanya. Suatu ketika ada seorang pria yang sedang
berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu sebuah
tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya, ‘mana
jalan ke pemandian manjab? dia menjawab (sambil menunjuk kepintu rumahnya), ini
dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam rumahnya sampai
kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan tahu bahwa dia
sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka cintanya karena
pertemuannya dengan pria itu. Kemudian wanita itu berkata, ‘Sebaiknya (sebelum
kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita apa-apa yang dapat
membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati kita’. Dengan
segera pria itu menjawab, ’sekarang juga aku akan membawakan untukmu semua apa
yang kami inginkan dan kamu senangi’. Lalu dia pergi ke luar dan meninggalkan
si wanita dalam rumah, namun tidak menguncinya. Kemudian ia mengambil apa yang
dia bisa bawa lalu kembali ke rumahnya. Tapi sayang si wanita itu telah keluar
dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil apa-apa dari rumahnya. Pria
itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat pada wanita itu tadi. Dia berjalan
di lorong-lorong dan gang-gang sambil mengatakan: Wahai tuhan mana wanita yang
mengatakan suatu hari dalam kondisi capek: mana jalan kepemandian munjab?
Suatu saat, waktu dia mengucapkan
bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari jendela pintu rumahnya:
Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan segera engkau menutup rumah
itu atau mengunci pintunya? Mendengar itu ia tambah mabuk kepayang. Begitulah
terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi kata-kata terakhirnya saat
meninggal dunia.”
Suatu malam, sufyan Ats- tsauri
menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya kepadanya: “adakah semua
yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu sufyan mengambil segenggam
tanah seraya berkata: “Dosa itu lebih ringan dari batu ini, aku menangis karena
takut akan su’ul khatimah.”
Sungguh, ini adalah pemahaman
yang baik, bila seseorang itu khawatir akan dosa-dosanya akan mebuatnya terhina
di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang untuk memperoleh husnul
khatimah.
Al Imam Ahmad pernah menyebutkan
bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut datang, dia pingsan tak sadarkan diri,
kemudian dia siuman dan membaca “Dan (begitulah) kami memalingkan hati dan
penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada
permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang
sangat” (QS. Al An’am : 110)
Dan oleh karena itu, para ulama
salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi mereka untuk memperoleh
husnul khatimah.
Abdul Haq juga berkata : “Ketahuilah
bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi oleh Allah darinya) tidak akan
terjadi pada orang yang dasarnya sudah rusak atau senantiasa melakukan dosa
besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali itu menjadi kebiasaannya,
sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat bertaubat, akhirnya dia
meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya dicabut sebelum dia kembali
kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil merenggut dan menyambarnya disaat
yang genting tersebut. Na’udzu billah!”
Diriwayatkan bahwa di mesir dulu
ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan melakukan shalat.
Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah. Suatu hari dia naik kemenara
seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah seorang nashrani,
dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak perempuan pemilik rumah
itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan adzan saat itu, dan
turun untuk menemuinya, dan masuk kedalam rumahnya.
Anak perempuan itu bertanya: “Ada
apa, apa yang kamu inginkan?”
Dia menjawab: Aku menginginkan
kamu.
Dia bertanya lagi: “Mengapa
demikian?”
Dia menjawab: “ Sungguh engkau
telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung hatiku.”
Perempuan itu berkata: “Aku tidak
akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.”
Pria tadi menjawab: “Aku akan
mengawinimu lebih dahulu.”
Perempuan itu berkata: “Engkau
seorang muslim, aku nashrani, ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu.
Lelaki itu berkata: “aku akan
masuk agama Nashrani!”
Maka wanitaitu berkata: “jika
kamu lakukan itu, maka aku mau!”
Akhirnya lelaki itu resmi masuk
Nashrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal bersama mereka. Dan pada
hari itu, dia naik loteng yang ada di rumah tersebut, kemudian jatuh dan
langsung mati.
Kasihan, dia tidak berhasil
mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.
Diriwayatkan pula, ada seorang
laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan kecintaannya sangat
kuat, sehingga mampu menguasahi hatinya. Bahkan, dia sampai jatuh sakit dan
harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai itu tidak mau
menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya. Sementara itu
orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji untuk
menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan
sangat bersuka cita. Kesempitan di dadanya terasa hilang. Jadilah ia menunggu
waktu yang ditentukan untuknya. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan
mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan: “dia sudah berangkat bersamaku
sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan
merayunya, tapi dia berkata : “Orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia
pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ketempat yang
meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang mencurigakan.
Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi.
Mendengarhal itu, orang yang
sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan kondisi yang
lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah tampak di
wajahnya, saat itu dia mengatakan dalam untaian syair:
يا سلمى يا راحة العليل ويا شفا المذنف النحيل
Wahai salma, wahai penenang
hati yang sakit. Wahai obat bagi tubuh yang kurus.
Keridhaanmu lebih diharapkan
oleh hatiku, katimbang rahmat Allah yang maha pencipta dan maha mulia.
Maka abdul Haq asy- asyibly berkata
kepadanya: “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah !! dia menjawab: semuanya
sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan tidak sempat aku melewati
pintu rumahnya, hingga aku medengar nyaring suara kematiannya. Kita berlindung
kepada Allah dari su’ul khatimah.
*****
Penerjemah Tim Darul
Haq-Jakarta
Copyright Yayasan
Al-Sofwa
Disebarkan oleh
Maktabah Ummu Salma al-Atsariyah.
Artikel disalin dari
eBook Jangan Dekati Zina
Oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah
Oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah
Semoga bermanfaat
bagi penyusun, dan yang membacanya..
Disusun ulang oleh: Faisalchoir.Blogspot.Com
0 komentar:
Posting Komentar