Cara Mempelajari al-Qur’an
[1] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])
[2] Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya di dalam al-Mushannaf, dari Abu Abdirrahman as-Sulami. Beliau berkata, “Dahulu apabila kami mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, maka tidaklah kami mempelajari sepuluh ayat berikutnya sampai kami memahami kandungan halal dan haram, serta perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/68])
[3] Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain menuturkan kepada kami, bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: Maka kami mempalajari al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara bersamaan.” (lihat Ushul fi at-Tafsir oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
[4] Imam Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan dengan sanadnya
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Sesungguhnya kami
mengalami kesulitan dalam menghafalkan al-Qur’an tetapi mudah bagi kami
mengamalkannya. Dan kelak akan datang kaum setelah kami, ketika itu begitu
mudah menghafalkan al-Qur’an tetapi sulit bagi mereka mengamalkannya.” (lihat
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/69])
[5] Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ulama hadits
berpesan, tidak semestinya seorang penimba ilmu hadits mencukupkan diri
mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahami kandungannya. Sebab
hal itu akan membuang tenaganya dalam keadaan dia tidak mendapatkan apa-apa.
Hendaknya dia menghafalkan hadits secara bertahap. Sedikit demi sedikit seiring
dengan perjalanan siang dan malam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Menimba Ilmu Secara Bertahap
[6] Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri
mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan maka ia akan hilang
dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan menekuni satu atau
dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])
Seleksi Alam
[7] Tatkala begitu banyak orang yang menghadiri pelajaran
hadits pada masa al-A’masy maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau
menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya
akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya
lagi, dari setiap seratus orang hanya akan ada satu orang yang berhasil
-menjadi ulama-.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah
an-Nabawiyah, hal. 28)
Mendalami Ilmu Dengan Baik
[8] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menuntut suatu ilmu hendaklah dia mendalaminya dengan baik, supaya ilmu-ilmu
yang rumit tidak menjadi sirna.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi
as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Belajar Tanpa Henti
[9] Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela
karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu
akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih
Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)
Antara Menimba Ilmu dan Beramal
[10] Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang
lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu
dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih
untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.”
(lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)
Hakikat Ilmu
[11] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Bukanlah ilmu itu diperoleh -semata-mata- dengan banyaknya riwayat, akan
tetapi hakikat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (lihat
al-Fawa’id, hal. 142)
Niat Yang Lurus Dalam Menimba Ilmu
[12] Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan
semata-mata ilmu, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang
berangkat menimba ilmu untuk mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun
akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq,
hal. 71)
Ilmu, Amalan, dan Keikhlasan
[13] Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya
ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan
mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat
tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang
munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
Merasa Haus Akan Ilmu
[14] Qotadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya setan tidak
membiarkan lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan ia datang melalui pintu
ilmu. Setan membisikkan, “Untuk apa kamu terus menuntut ilmu? Seandainya kamu
mengamalkan apa yang telah kamu dengar, niscaya itu sudah cukup bagimu.”
Qotadah berkata: Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup dengan ilmunya,
niscaya Musa ‘alaihis salam adalah orang yang paling layak untuk merasa cukup
dengan ilmunya. Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang artinya), “Bolehkah
aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku kebenaran yang diajarkan
Allah kepadamu.” (QS. al-Kahfi: 66).” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu
Baththal [1/136])
Guru Yang Ideal
[15] Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada
Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku belajar?”. Beliau
menjawab, “Hendaknya kamu belajar bersama orang yang dengan melihatnya
mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam
hatimu. Orang yang pembicaraannya menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya
membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Kamu pun tidak mau bermaksiat kepada
Allah selama sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan
perbuatannya, tidak dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab
az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Keyakinan al-Qur’an Makhluk
[16] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya,
dari Ibrahim bin Ziyad. Dia berkata: Suatu saat aku bertanya kepada Abdurrahman
bin Mahdi. Aku katakan kepadanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk?”. Beliau menjawab, “Seandainya aku
adalah penguasa atas dirinya, niscaya aku akan berdiri di atas jembatan dan
tidak akan lewat seorang pun melainkan aku pasti menanyainya. Apabila dia
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, pastilah akan aku penggal lehernya
dan kepalanya kulemparkan ke dalam sungai.” (lihat as-Sunnah li Abdillah ibn
Ahmad ibn Hanbal [1/172])
[17] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya,
dari Harun bin Ma’ruf. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka
(berkeyakinan, pent) bahwasanya Allah tidak berbicara, sesungguhnya dia adalah
orang yang memuja berhala.” (lihat as-Sunnah [1/172])
[18] Abdullah putra Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya,
dari Ibnul Majisyun. Beliau berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwasanya
al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.” (lihat as-Sunnah [1/173])
Nilai Sebuah Keikhlasan
[19] Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata: Malaikat
naik ke langit membawa amal seorang hamba dengan perasaan gembira. Apabila dia
telah sampai di hadapan Rabbnya, maka Allah pun berkata kepadanya, “Letakkan ia
di dalam Sijjin [catatan dosa], karena amalan ini tidak ikhlas/murni ditujukan kepada-Ku.”
(lihat al-Ikhlas wa an-Niyah, hal. 45)
Sosok Yang Rabbani
[20] Imam Ibnul A’rabi rahimahullah mengatakan, “Tidaklah
seorang ‘alim disebut sebagai ‘alim rabbani kecuali apabila dia telah menjadi
orang yang [benar-benar] berilmu, mengajarkan ilmu, dan beramal -dengan
ilmunya-.” (lihat Fath al-Bari [1/197] cet. Dar al-Hadits)
[21] al-Khathib meriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang
dimaksud dengan rabbani adalah para ahli fikih -orang-orang yang dalam ilmu
agamanya- (lihat ‘Umdat al-Qari [2/64])
[22] Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan
bahwa rabbani adalah orang-orang yang memiliki ketenangan (hilm) dan fikih
(pemahaman agama) yang mendalam. Dalam sebagian teks, beliau menafsirkan
rabbani dengan ‘orang-orang yang memiliki sifat hikmah/bijak dan orang-orang
yang fakih’ (lihat ‘Umdat al-Qari [2/65])
Kebutuhan Manusia Terhadap Ilmu
[23] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat
manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan
dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua
kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 91)
Kebutuhan Hamba Terhadap Risalah
[24] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan
yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan
mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh,
cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada
alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul
al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain
al-Jizani)
Perumpamaan Para Ulama
[25] Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari
al-Hasan, bahwa Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan ulama di
tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk
arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-‘Ulama, hal. 29)
Iman Para Sahabat
[26] Ibnu Abi Mulaikah –seorang rabi’in– berkata, “Aku telah
bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara
mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan
Mika’il.” (lihat Fath al-Bari [1/137])
Hakikat Iman
[27] Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan
anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan
berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga
merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak
disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak
dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak
sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu
al-Jana ad-Dani, hal. 47)
[28] Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Iman
adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati.
Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad oleh
Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)
Berbakti Kepada Ibu
[29] Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, ada seorang lelaki
datang menemui dirinya dan menceritakan, “Suatu ketika aku melamar seorang
perempuan, akan tetapi dia tidak mau menikah denganku. Lalu ada orang lain yang
melamarnya dan dia mau menikah dengannya. Aku merasa cemburu kepadanya, hingga
aku pun membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Beliau -Ibnu Abbas-
bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”. Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Abbas
mengatakan, “Kalau begitu bertaubatlah kepada Allah ‘azza wa jalla dan
dekatkanlah dirimu kepada-Nya sekuat kemampuanmu.” ‘Atha’ bin Yasar berkata:
Aku menemui Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau bertanya tentang
apakah ibunya masih hidup?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak
mengetahui ada suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa
jalla daripada berbakti kepada seorang ibu.” (HR. Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah, lihat Shahih al-Adab
al-Mufrad, hal. 34)
Arah Datangnya Ilmu
[30] Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang
sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka
pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal.
390-391)
Kualitas Ilmu
[31] Masruq rahimahullah berkata, “Sekadar dengan kualitas
ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah.
Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa
takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal,
1/136)
Pokok-Pokok Sunnah
[32] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan,
“Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berusaha meneladani mereka, dan
meninggalkan bid’ah-bid’ah.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48)
Ciri Orang Baik
[33] Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya
radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia
mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para
ulama yang terakhir diantara mereka; semisal al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri,
Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan
orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi
setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da’a’im
Minhaj Nubuwwah, hal. 49)
Mengikuti Tuntunan
[34] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya
kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu’anhu juga berkata, “Sesungguhnya
kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan
mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami tetap
berpegang teguh dengan atsar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Sederhana Di Atas Sunnah
[35] Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu berkata, “Hendaknya
kalian berpegang dengan jalan yang benar dan mengikuti Sunnah. Karena tidaklah
seorang hamba yang tegak di atas jalan yang benar dan setia dengan Sunnah,
mengingat ar-Rahman dan kemudian kedua matanya meneteskan air mata karena rasa
takut kepada Allah, lantas dia akan disentuh oleh api neraka selama-lamanya.
Sesungguhnya bersikap sederhana di atas Sunnah dan kebaikan itu lebih baik
daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan yang benar dan menentang
Sunnah.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Meniti Jalan Yang Benar
[36] Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama
kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas atsar,
maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 47).
Akibat Kecanduan Bid’ah
[37] Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata,
“Tidaklah ada di dunia ini seorang ahli bid’ah kecuali dia pasti membenci ahli
hadits. Maka apabila seorang membuat ajaran bid’ah niscaya akan dicabut
manisnya hadits dari dalam hatinya.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 124)
Sedikitnya Ilmu dan Kitab
[38] Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah
-semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan
memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang
mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa
yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah,
meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
Menjauhi Bid’ah
[39] Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu
tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala
ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” (lihat Fashlu al-Maqal fi
Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46).
[40] Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar
Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan
meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” (lihat Fashlu
al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49)
Pemisah Ahlus Sunnah Dengan Ahlul Bid’ah
[41] Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Ketahuilah,
sesungguhnya pemisah antara kita dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal.
Karena sesungguhnya mereka membangun agamanya di atas pemikiran akal semata,
dan mereka menjadikan ittiba’ dan atsar harus mengikuti hasil pemikiran mereka.
Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka mengatakan : pondasi agama adalah ittiba’
sedangkan pemikiran itu mengikutinya. Sebab seandainya asas agama itu adalah
pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu bimbingan wahyu, tidak butuh kepada
para nabi. Kalau memang seperti itu niscaya sia-sialah makna perintah dan
larangan. Setiap orang pun akan berbicara dengan seenaknya. Dan kalau
seandainya agama itu dibangun di atas hasil pemikiran niscaya diperbolehkan
bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima ajaran apapun kecuali apabila
pemikiran (logika) mereka telah bisa menerimanya.” (lihat Da’a’im Minhaj
an-Nubuwwah, hal. 336)
[42] Beliau rahimahullah juga berkata, “Kita tidak menentang
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan logika. Karena sesungguhnya
agama ini diajarkan dengan dasar ketundukan dan kepasrahan. Bukan dengan
mengembalikan segala sesuatu kepada logika. Karena hakikat logika yang benar
adalah yang membuat orang menerima Sunnah. Adapun logika yang justru membuat
orang membatalkan Sunnah, maka itu adalah kebodohan dan bukan akal/logika yang
benar.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 337)
Jalan Keselamatan
[43] Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian
juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata,
“Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah
adalah keselamatan.”.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).
Tanda Agama dan Keikhlasan
[44] Rabi’ bin Anas rahimahullah mengatakan, “Tanda agama
adalah mengikhlaskan amal untuk Allah, sedangkan tanda keilmuan adalah rasa
takut kepada Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyah, karya Imam Ibnu Abid Dun-ya,
hal. 23)
Buah Keikhlasan
[45] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Apabila
seorang hamba menghadapkan hatinya -untuk mengabdi- kepada Allah maka Allah pun
akan menghadapkan hati hamba-hamba-Nya -untuk senang- kepadanya.” (lihat
al-Ikhlas wa an-Niyah, hal. 41)
Kenikmatan Tertinggi Di Dunia
[46] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja
dunia telah keluar dari dunia, sedangkan mereka belum merasakan sesuatu yang
paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu
Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Sittu Durar
min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).
Akibat Berpaling Dari Allah
[47] Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
“Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah
kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain
Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak
memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa
nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari ketundukan
beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah
al-Ushul, hal. 147)
Hati Ibarat Raja
[48] Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Hati ibarat
seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik
niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula
pasukannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)
Keutamaan Amalan Hati
[49] Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa
yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan
mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati.
Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati
itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apa yang membedakan orang mukmin
dengan orang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati
masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung
daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah
hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
[50] Ibnul Qoyyim rahimahullah menegaskan, “Amalan-amalan
hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah
konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat menduduki peranan ruh,
sedangkan amalan laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad,
jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan
gerak-gerik hati lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan
dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
Sabar dan Musibah
[51] Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat sabar
adalah tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun
menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah (karena
merasa tidak puas terhadap takdir, pent) maka hal itu tidaklah meniadakan
kesabaran.” (lihat Syarh Muslim [3/7])
[52] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada
diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid
[2/107 dan 109])
Keagungan Tawakal
[53] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada
Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan
kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna
tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon
pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan,
dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala
Maqashid at-Tauhid, hal. 101)
[54] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan
(dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling
komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia.
Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang
hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya,
tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun
menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)
Hakikat Thaghut
[55] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Thaghut adalah
segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas, berupa
sesembahan, sosok yang diikuti ataupun ditaati. Sehingga thaghut dari setiap
kaum adalah orang yang menjadi patokan hukum bagi mereka selain Allah dan
Rasul-Nya. Atau mereka beribadah kepada-Nya, selain beribadah kepada Allah.
Atau mereka mengikutinya tanpa berdasarkan bashirah/ilmu dari Allah. Atau
mereka taat kepadanya dalam urusan yang tidak mereka ketahui apakah hal itu
termasuk bagian ketaatan kepada Allah. Inilah thaghut yang ada di alam semesta.
Apabila kamu memperhatikannya dan mencermati kondisi manusia -dalam
berinteraksi- bersama mereka (thaghut, pent), niscaya kamu akan melihat bahwa
kebanyakan orang telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada
thaghut. Berpaling dari taat dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam menuju taat dan mengikuti thaghut.” (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid,
hal. 142)
Perkara Yang Merusak Dakwah
[56] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “..
Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas
atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu
syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu
tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai
tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” (lihat al-Qaul
al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82])
[57] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr
hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka
apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh
al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
Menuntut Ilmu Adalah Jihad
[58] Sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata,
“Barangsiapa yang berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir
siang untuk menghadiri majelis ilmu bukanlah jihad, maka sungguh akal dan
pikirannya sudah tidak beres.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6)
Asas Agama Islam
[59] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan
larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan
aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha
illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan
rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun,
tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali
apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat
al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Bertambah dan Berkurangnya Iman
[60] ‘Umair bin Habib radhiyallahu’anhu berkata, “Iman
mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa
penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jalla
dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka
itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)
Amalan Yang Sia-Sia
[61] Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap
amalan yang tidak ikhlas dan tidak berada di atas ajaran syari’at yang diridhai
[Allah] maka itu adalah batil/sia-sia.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
[6/103])
Dia Sedang Ada Keperluan
[62] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada
dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan
sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada
orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.”
(lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)
Alat Mencari Kesenangan Dunia
[63] Mutharrif rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
sejelek-jelek alat untuk mencari kesenangan dunia adalah amal akhirat.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Gila Hormat
[64] Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya,
padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.”
(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)
Bahaya Teman
[65] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari
teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari
musuh-musuhnya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575)
Melawan Bisikan Setan
[66] al-Harits bin Qasi an-Nakha’i rahimahullah berkata,
“Jika kamu berniat untuk melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda.
Apabila setan datang ketika kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia
membisikkan, “Kamu sedang riya’.” maka buatlah sholat itu semakin bertambah
lama.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 576)
Tangisan Hati
[67] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Bukanlah
tangisan hakiki tangisan dengan mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah
tangisan hati.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)
Pesan Ibu Kepada Anaknya
[68] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan
kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat
mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari
kiamat.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 579)
Orang Yang Dungu
[69] Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Seandainya seorang
yang riya’ dengan ilmu dan amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia
niscaya mereka akan marah kepadanya dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar
dungu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 580)
Hakikat Riya’ dan Ujub
[70] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Riya’ adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ‘ujub adalah
mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 583)
Dampak Ujub dan Takabur
[71] Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah,
bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang
ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan
diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas,
hal. 584)
Keutamaan Mengajarkan Kebaikan
[72] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya
orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan dimintakan
ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang berada di dalam
lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)
Keadaan Manusia Tanpa Ulama
[73] al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Kalau bukan karena
keberadaan para ulama niscaya keadaan umat manusia tidak ada bedanya dengan
binatang.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Pelajarilah Ilmu!
[74] Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan,
“Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk
rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah
tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari
jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah.
Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan
diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan
sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Memborong Ghanimah
[75] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tidaklah ada
seorang pun yang berangkat di awal siang menuju masjid demi suatu kebaikan yang
ingin dia pelajari atau ingin dia ajarkan kecuali dicatat baginya pahala orang
yang berjihad. Tidaklah dia kembali darinya kecuali dalam keadaan [laksana]
memborong ghanimah (harta rampasan perang).” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 6)
Sumber Kebahagiaan Hati
[76] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah
kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan
hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah
yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk
mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
Kebutuhan Terhadap Ilmu
[77] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada
ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya
kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya
sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan
dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah
daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Laksana Air Hujan Yang Membasahi Bumi
[78] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah
subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi
tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada
kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa
Fadhluhu, hal. 227).
Antara Ulama dan Tukang Ceramah
[79] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para
sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya
masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah
kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (lihat
Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
Hakikat Takut dan Dzikir Kepada Allah
[80] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi
dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat
kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir
kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang
-benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan
tilawah al-Qur’an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)
Belajar Dengan Niat Yang Ikhlas
[81] Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka
di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih
al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
[82] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa
menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah
pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat
pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq
Kitab az-Zuhd, hal. 69)
[83] Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah,
aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk
menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa
jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)
Orang Yang Paling Fakih
[84] Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah
yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau
menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat
Risalah Lathifah, hal. 44).
Evaluasi Diri
[85] Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku.
Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara
dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut
kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang
yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah.
Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak
terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihat Ta’thirul Anfas,
hal. 570)
Mengobral Aib Pemerintah
[86] Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
“Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan
menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada
kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan
taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang
membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti
menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan
penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya
melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa
diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)
Menciptakan Keresahan Masyarakat
[87] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata,
“Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan
ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan
juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka,
mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui
mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka
menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan
pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam
bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Maslahat Keberadaan Penguasa
[88] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Demi Allah!
Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun
mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah
perbaiki dengan keberadaan mereka jauh lebih banyak daripada apa-apa yang
mereka rusak.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 279)
Menghadapi Kezaliman Penguasa
[89] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip
pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 280)
Tampil Apa Adanya
[90] Abu Utsman al-Maghribi rahimahullah berkata, “Ikhlas
adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan
Allah. Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak
dimilikinya niscaya akan jatuh kedudukannya di mata Allah.” (lihat Ta’thir
al-Anfas, hal. 86)
Merasa Diri Belum Ikhlas
[91] as-Susi rahimahullah berkata, “Ikhlas itu adalah dengan
tidak memandang diri telah ikhlas. Barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang
lain bahwa dirinya benar-benar telah ikhlas itu artinya keikhlasannya masih
belum sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86)
Berusaha Menyembunyikan Kebaikan
[92] Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah
berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam
menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).
[93] al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Ilmu dan
amal terbaik adalah yang tersembunyi dari pandangan manusia.” (lihat Ta’thirul
Anfas, hal. 231).
[94] Dari Yazid bin Abdullah bin asy-Syikhkhir, dia
menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Tamim ad-Dari,
“Bagaimana sholat malammu?”. Maka beliau pun marah sekali, beliau berkata,
“Demi Allah, sungguh satu raka’at yang aku kerjakan di tengah malam dalam
keadaan rahasia itu lebih aku sukai daripada aku sholat semalam suntuk kemudian
hal itu aku ceritakan kepada orang-orang.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 234)
[95] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Orang yang
ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia
suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)
[96] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sungguh aku
telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka
kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang
berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari
hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di
antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya
sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui hal itu.” (lihat Ta’thirul
Anfas, hal. 249)
Hakikat Ikhlas
[97] Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah mengatakan,
“Orang-orang yang cerdas memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak
menemukan kesimpulan kecuali hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang
dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk
Allah ta’ala semata. Tidak dicampuri apa pun; apakah itu kepentingan pribadi,
hawa nafsu, maupun perkara dunia.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal.
7-8)
[98] Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah mengatakan, “Ikhlas
adalah menunggalkan al-Haq (Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia
berniat dengan ketaatannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Bukan karena ambisi-ambisi lain, semisal mencari kedudukan di hadapan manusia,
mengejar pujian orang-orang, gandrung terhadap sanjungan, atau tujuan apapun
selain mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” (lihat Adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim, hal. 8)
[99] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ sedangkan beramal untuk
dipersembahkan kepada manusia merupakan kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah
tatkala Allah menyelamatkan dirimu dari keduanya.” (lihat Adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim, hal. 8)
Tidak Mudah Menggapai Ikhlas
[100] Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, “Sesuatu
yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.” (lihat Adab al-‘Alim wa
al-Muta’allim, hal. 8)
[101] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah
aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena
ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)
Berintrospeksi Diri
[102] Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Sungguh aku
pernah menghitung-hitung seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada
diriku tidak ada satu pun darinya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’
‘alaiha, hal. 80)
[103] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau
seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun
yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’
‘alaiha, hal. 82)
Menjaga Keikhlasan Niat
[104] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu
dikatakan: Bahwa seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama
jika dia berkata maka dia berkata karena Allah, dan apabila dia beramal maka
dia pun beramal karena Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas,
hal. 592)
[105] Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr
rahimahullah, “Dimanakah aku bisa beribadah kepada Allah?” Maka beliau
menjawab, “Perbaikilah hatimu, dan beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu
berada.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
Kelezatan Amal
[106] Abu Turab rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang
hamba bersikap tulus/jujur dalam amalannya niscaya dia akan merasakan kelezatan
amal itu sebelum melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya
dia akan merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 594)
Memberikan Minum Kepada Orang Lain
[107] Sebagian tabi’in mengatakan, “Barangsiapa yang banyak
dosanya hendaklah dia suka memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang
memberikan minum kepada seekor anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut
kalian mengenai orang yang memberikan minum kepada seorang beriman lagi
bertauhid sehingga hal itu membuatnya tetap bertahan hidup!” (lihat Syarh Shahih
al-Adab al-Mufrad [1/500])
Menegakkan Daulah Islam
[108] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak
ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah
daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas
bumi kalian.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)
Tidak Fanatik Buta Kepada Ulama
[109] ar-Rabi’ mengatakan: Aku mendengar Syafi’i mengatakan,
“Apabila kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan
tinggalkan pendapatku.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 55)
Berpegang Teguh Dengan Hadits
[110] ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi’i-
mengatakan, “Langit manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan
menjadi tempat berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana kandungan
hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 56)
[111] al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi’i mengatakan,
“Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka
adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A’immah
al-Kibar, hal. 63)
Mendoakan Kebaikan Untuk Penguasa
[112] Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu
melihat seseorang yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa
dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang
yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah
seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
Cara Menasihati Penguasa
[113] Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma pernah ditanya
tentang bagaimanakah cara yang benar dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar
kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya,
cukuplah antara kamu dengan dia saja.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal.
105)
Merealisasikan Tauhid
[114] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari
kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang
mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri
dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan
kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian
membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta
menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 20)
Bukan Hak Sembarang Orang
[115] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid
menjadi seorang alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan
agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan niscaya khalifah dan raja adalah
orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang
merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang
mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada
pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa
melihat pendapat yang lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih
rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas
dirinya…” (lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 28)
[116] Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak selayaknya
seseorang memandang dirinya pantas
menempati peran penting -dalam urusan ilmu, pent- sebelum bertanya kepada
orang lain yang lebih berilmu darinya. Tidaklah aku memberikan fatwa hingga aku
bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id. Tatkala mereka berdua
memerintahkan (mengijinkan) aku untuk berfatwa akupun berfatwa. Seandainya
mereka berdua melarangku niscaya aku pun akan menahan diri.” (lihat Qawa’id fi
at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 27)
Buah dan Keutamaan Tauhid
[117] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu
perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti
halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua
merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul
as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)
[118] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Segala kebaikan
yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya
merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang
tertunda maka itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (lihat al-Qawa’id
al-Hisan al-Muta’alliqatu Bi Tafsir al-Qur’an, hal. 26)
Makna Zuhud
[119] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Zuhud yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang
tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat
tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Allah…
Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk
menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan itu semua bukan termasuk
zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan
sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan sehingga melalaikan
dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, berupa makanan, pakaian, harta, dan
lain sebagainya…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah, hal. 69-70)
Menjaga Lisan
[120] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi
Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini
sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada
lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)
[121] Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesuatu yang
paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.”
(lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)
[122] Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berpesan, “Jauhilah
oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi
‘Ashim, hal. 28)
Standar Yang Benar
[123] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu,
sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya
ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia
menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya
terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau
bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang
Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan
larangan-Nya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Sesuatu Yang Paling Bermanfaat
[124] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perkara paling
bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya secara lahir
maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah
kemaksiatan kepada-Nya secara lahir ataupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Akibat Pelit Ilmu
[125] Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang pelit dengan ilmunya maka dia akan mendapatkan tiga macam
bentuk musibah; dia meninggal kemudian hilanglah ilmunya, atau dia lupa, atau
dia mengekor kepada penguasa.” (lihat ar-Rauh wa ar-Raihan, hal. 27)
Hakikat Tawadhu’
[126] Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf
berkata: Tawadhu’/sifat rendah hati itu adalah engkau menerima kebenaran dari
siapa pun yang membawanya, meskipun dia adalah anak kecil. Barangsiapa yang
menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya entah itu anak kecil atau
orang tua, entah itu orang yang dia cintai atau tidak dia cintai, maka dia
adalah orang yang tawadhu’. Dan barangsiapa yang enggan menerima kebenaran
karena merasa dirinya lebih besar daripada pembawanya maka dia adalah orang
yang menyombongkan diri.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 164)
Cinta, Takut, dan Harap
[127] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri
dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut.
Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah
satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan
sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum
Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata adalah metode kaum
Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka adalah
jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Cinta dan Pengagungan
[128] Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan
rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya
(Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam
kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut
kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari
keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet.
Mu’assasah Aasam, tahun 1416 H).
Tidak Sah Ibadah Tanpa Tauhid
[129] Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, bahwa ibadah tidaklah disebut dengan ibadah kecuali jika bersama
dengan tauhid. Sebagaimana sholat tidak disebut sholat kecuali jika bersama
dengan thaharah. Apabila syirik memasuki ibadah maka rusaklah ia, sebagaimana
hadats yang menimpa pada orang yang telah bersuci.” (lihat al-Qawa’id al-Arba’,
hal. 7).
Menjadi Anak-Anak Akherat
[130] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Jadilah
kalian anak-anak akherat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari
ini adalah amal dan belum ada hisab, sedangkan besok yang ada adalah hisab dan
tidak ada lagi waktu untuk beramal.” (lihat Shahih Bukhari cet. Maktabah
al-Iman hal. 1307)
Bagaimana Keadaanmu?
[131] al-Marudzi mengatakan: Aku pernah bertanya kepada
Ahmad bin Hanbal, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”. Beliau menjawab, “Bagaimanakah
keadaan seorang hamba yang Rabbnya menuntutnya menunaikan kewajiban-kewajiban.
Nabinya juga menuntut dirinya untuk mengerjakan Sunnah. Begitu pula, dua
malaikat menuntutnya memperbaiki amalan. Sementara hawa nafsu menuntut dirinya
untuk memperturutkan kemauannya. Iblis mengajaknya untuk melakukan berbagai
perbuatan keji. Malaikat maut juga menunggu-nunggu untuk mencabut nyawanya. Di
sisi lain, anak dan istrinya pun menuntut untuk diberikan nafkah?!” (lihat Aina
Nahnu min Akhlaqis Salaf, hal. 19)
Syarat Diterimanya Amalan
[132] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan
diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima
ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima
ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat
al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar, hal. 77 cet Dar al-Mujtama’)
Senjata Untuk Melawan Riya’ dan Ujub
[133] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan
mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk
mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang
sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka
na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka
nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia
terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat
Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang
terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara yang membinasakan; sikap pelit yang
ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang
terhadap dirinya sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal.
83 cet. al-Maktab al-Islami)
Tiga Pokok Kebahagiaan
[134] Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok
yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki
lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke
dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan
[3] ketaatan, lawannya adalah maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
Hakikat Takwa
[135] Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Takwa adalah
kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah
seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada
Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya merasa takut terhadap siksaan
dari Allah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/222], Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, hal. 211)
Kiat Menghafal Hadits
[136] Waki’ rahimahullah berkata, “Apabila kamu ingin
menghafalkan hadits, maka amalkanlah hadits itu.” (lihat mukadimah az-Zuhd
karya Imam Waki’, hal. 91)
[137] Waki’ rahimahullah berpesan, “Mintalah pertolongan
-kepada Allah- untuk menguatkan hafalan dengan mempersedikit dosa.” (lihat
mukadimah az-Zuhd, hal. 91)
Memilih Yang Terbaik
[138] Yahya bin Khalid al-Barmaki rahimahullah berkata
kepada anaknya, “Dahulu mereka -pendahulu yang salih- mencatat sesuatu yang
terbaik dari apa yang mereka dengar. Mereka menghafalkan sesuatu yang terbaik
dari apa yang mereka catat. Kemudian mereka menyampaikan sesuatu yang terbaik
dari apa yang mereka hafalkan.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat,
hal. 126)
Tanda Kebodohan
[139] Masruq rahimahullah berkata, “Cukuplah menjadi tanda
keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi
tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (lihat Min
A’lam as-Salaf [1/23])
Waktu Khusus Untuk Mengevaluasi Diri
[140] Masruq rahimahullah berkata, “Semestinya seorang
memiliki kesempatan-kesempatan khusus untuk menyendiri lalu mengingat-ingat
dosanya dan memohon ampunan kepada Allah atasnya.” (lihat Min A’lam as-Salaf
[1/23])
Hidayah Taufik Bukan Di Tangan Manusia
[141] Mutharrif bin Abdillah bin asy-Syikhkhir rahimahullah
berkata, “Seandainya kebaikan ada di telapak tangan salah seorang dari kita.
Niscaya dia tidak akan sanggup menuangkan kebaikan itu ke dalam hatinya kecuali
apabila Allah ‘azza wa jalla yang menuangkannya ke dalam hatinya.” (lihat Aqwal
Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/131])
Jangan Terpedaya
[142] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sungguh,
apabila aku dijatuhkan dari langit ke permukaan bumi ini lebih aku sukai
daripada mengatakan: Segala urusan berada di tanganku!” (lihat Aqwal Tabi’in fi
Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/134])
Mendustakan Takdir
[143] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa
mendustakan takdir sesungguhnya dia telah mendustakan al-Qur’an.” (lihat Aqwal
Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/138])
Mengingat Kematian
[144] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Seandainya
mengingat kematian berpisah dari hatiku maka aku benar-benar khawatir hatiku
menjadi rusak.” (lihat Min A’lam as-Salaf [1/70])
Bau Dosa
[145] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya
dosa itu memiliki bau [tidak sedap] maka niscaya tidak ada seorang pun yang
sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’ ‘alaiha,
hal. 82)
Waktu Untuk Istirahat
[146] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada
waktu bagi seorang mukmin untuk beristirahat kecuali apabila dia telah berjumpa
dengan Allah.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 15)
Teman Yang Baik
[147] Dikatakan kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apa yang
harus kami lakukan? Kami berteman dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti
kami sampai-sampai hati kami terbang melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi
Allah, sesungguhnya jika kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu
menakut-nakuti kamu sampai akhirnya kamu benar-benar merasakan keamanan; lebih
baik daripada berteman dengan orang-orang yang selalu membuatmu merasa aman
sampai akhirnya justru menyeretmu ke dalam keadaan yang menakutkan.” (lihat
Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 16)
Buah Dari Mengingat Kematian
[148] Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah
orang yang mengingat saat datangnya kematian. Sebab tidaklah seorang hamba
memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak pengaruh baik hal itu bagi
amalnya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 23-24)
Mencintai Kematian
[149] Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah kamu
mencintai surga?”. Maka beliau menjawab, “Siapa sih yang tidak mencintai
surga.” Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu cintailah kematian, karena
kamu tidak akan melihat surga kecuali apabila kamu telah mengalami kematian.”
(lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 41)
Takut Menghadap Allah
[150] Suatu hari, Hasan al-Bashri rahimahullah bertanya
kepada ibunya, “Wahai ibunda, apakah engkau senang apabila berjumpa dengan
Allah ta’ala?”. Maka dia menjawab, “Tidak, sebab aku telah berbuat durhaka
kepada-Nya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 44)
Menganggap Diri Bersama Mereka
[151] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Apabila
disebutkan mengenai orang-orang yang sudah mati, maka anggaplah dirimu termasuk
salah seorang diantara mereka.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 68)
Menunggu Malaikat Maut
[152] ‘Imran al-Khayyath rahimahullah berkata: Kami menemui
Ibrahim an-Nakha’i untuk menjenguk beliau, sementara beliau sedang menangis.
Maka kami pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu ‘Imran, apa yang membuat anda
menangis?” Beliau menjawab, “Aku sedang menunggu malaikat maut; aku tidak tahu
apakah dia akan memberikan kabar gembira kepadaku dengan surga ataukah neraka.”
(lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 77)
Antara Masuk dan Keluar
[153] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Masuk ke
dunia ini adalah perkara yang ringan. Akan tetapi keluar darinya -dengan
sukses- adalah perkara yang berat.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ulaa’i, hal. 94)
Keutamaan As-habul Hadits
[154] Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku
melihat salah seorang As-habul Hadits seolah-olah aku sedang melihat salah
seorang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan
balasan terbaik untuk mereka. Mereka telah menjaga dalil (hadits) untuk kita.
Oleh sebab itu kita sangat berhutang budi kepada mereka.” (lihat Tarajim
al-A’immah al-Kibar, hal. 63 dan Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 118)
Berpegang Teguh Dengan Sunnah
[155] Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Seorang yang
setia mengikuti Sunnah laksana orang yang menggenggam bara api. Dan pada masa
ini, aku memandang bahwa hal itu jauh lebih utama daripada menyabetkan pedang
dalam jihad fi sabilillah.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 79)
Betapa Berartinya Seorang Ulama
[156] Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan: Aku
mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah
umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku niscaya akan aku
lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun
kematiannya berarti lenyapnya ilmu [agama].” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar,
hal. 118)
Memuliakan Majelis Ilmu
[157] Abu Salamah al-Khuza’i rahimahullah berkata: Adalah
Malik bin Anas, apabila beliau ingin berangkat untuk mengajarkan hadits maka
beliau pun berwudhu sebagaimana wudhu untuk sholat. Beliau mengenakan
pakaiannya yang terbaik dan memakai peci. Dan beliau pun menyisir jenggotnya.
Tatkala hal itu ditanyakan kepadanya, beliau menjawab, “Aku ingin memuliakan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Manaqib al-A’immah
al-Arba’ah oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, hal. 87-88)
Aku Tidak Tahu
[158] al-Haitsam bin Jamil rahimahullah berkata: Aku pernah
mendengar Malik ditanya 48 pertanyaan, maka beliau memberikan jawaban untuk 32
diantara semua pertanyaan itu dengan ucapan, “Aku tidak tahu.” (lihat Manaqib
al-A’immah al-Arba’ah, hal. 94)
Merendahkan Diri Di Hadapan Allah
[159] Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Semestinya seorang
faqih (ahli agama) meletakkan tanah di atas kepalanya untuk merendahkan dirinya
di hadapan Allah dan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya.” (lihat Manaqib
al-A’immah al-Arba’ah, hal. 117)
Berhati-Hati Dalam Berbicara
[160] al-Maimuni rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal
pernah berpesan kepadaku, “Wahai Abul Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan
sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam
dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad oleh Imam Ibnul Jauzi
rahimahullah, hal. 245)
Berbeda Karena Niatnya
[161] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan
ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka
kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan
riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan
[ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad
di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.”
(lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)
Penguasa Cerminan Rakyatnya
[162] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah
hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja,
pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan
perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu
terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila
rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat)
menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka.
Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka
pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka
merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka.
Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian
pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya
ditunaikan kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan)
Tidak Melampaui Batas
[163] asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Cintailah ahli bait
Nabimu, namun janganlah kamu menjadi Rafidhi [Syi’ah]. Beramallah dengan
al-Qur’an, namun janganlah kamu menjadi Haruri [Khawarij]. Ketahuilah, bahwa
kebaikan apapun yang datang kepadamu adalah anugerah dari Allah. Dan apa pun
yang datang kepadamu berupa keburukan adalah akibat perbuatanmu sendiri. Namun,
janganlah kamu menjadi Qadari [penolak takdir]. Dan taatilah pemimpin
[pemerintah] walaupun dia adalah seorang budah Habasyi.” (lihat Aqwal Tabi’in
fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/146])
Makna Tauhid Uluhiyah
[164] Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah
menerangkan, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan
perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan,
isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya.
Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu
al-Jana ad-Dani, hal. 56)
al-Qur’an dan Tauhid
[165] Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah
berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan
penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an;
dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi
berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik.
Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan
keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah
keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang
Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan
rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal.
22)
[166] Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Seluruh isi
al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam
kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk
memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun
mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya
beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya
seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah
sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara segala
pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
Kunci Surga
[167] Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang
mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk
surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha
illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia
pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq
Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)
Kufur Kepada Thaghut
[168] Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Makna kufur
kepada thaghut adalah mengingkari peribadahan kepada thaghut dan berlepas diri
darinya. Thaghut adalah istilah bagi segala yang disembah selain Allah. Ia
disebut dengan thaghut. Maka, berhala, pohon, batu, bintang-bintang yang
disembah selain Allah, semuanya adalah thaghut. Demikian pula orang yang
disembah dan ridha terhadap hal itu semacam Fir’aun, Namrud, dan yang semisal
mereka, itu pun disebut thaghut. Begitu pula setan, disebut sebagai thaghut karena
mereka menyeru kepada syirik. Adapun orang yang disembah selain Allah namun dia
tidak ridha dengannya, seperi para nabi, orang salih, dan para malaikat, mereka
bukan thaghut. Sesungguhnya thaghut itu adalah setan yang mengajak untuk
beribadah kepada mereka, apakah setan itu dari kalangan jin maupun manusia.
Adapun para rasul, nabi, orang salih, dan malaikat semuanya berlepas diri dari
hal itu. Mereka tidaklah disebut sebagai thaghut; karena mereka mengingkari
penyembahan kepada mereka. Mereka bahkan memperingatkan darinya serta
menjelaskan bahwa ibadah adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala semata.” (lihat
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah [4/8-9])
Makna Ibadah
[169] Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut
pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara
kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).
Tidak Sah Ibadah Tanpa Tauhid
[170] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu supaya
beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut
sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya
sholat tidak dinamakan sholat tanpa thaharah/bersuci. Apabila syirik mencampuri
ibadah niscaya ibadah itu akan rusak (tidak sah) sebagaimana halnya apabila
hadats masuk kepada thaharah.” (lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad
bin Abdul Wahhab, hal. 199)
Tidak Ada Bid’ah Hasanah
[171] Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik
berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia
anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah
berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.”
Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu
juga bukan termasuk agama.” (lihat al-I’tisham, [1/64-65])
Takut Terjerumus Syirik
[172] Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah
berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa
pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa
amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang
mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu
muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa
inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang
berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan
hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk
dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis
kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih
besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh
al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Manisnya Iman
[173] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama
-semoga Allah merahmati mereka- mengatakan bahwa makna manisnya iman adalah
kelezatan di saat melakukan ketaatan dan sanggup menanggung berbagai kesulitan
demi menggapai keridhaan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta lebih mengutamakan itu di atas kesenangan dunia.” (lihat Syarh
Muslim [2/96]).
Merealisasikan Tauhid
[174] Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan,
“Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan
memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam
perbuatan dosa. Barangsiapa melakukannya berarti dia telah merealisasikan
tauhidnya…” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).
Makna Sunnah dan Jama’ah
[175] Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata,
“Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah
adalah jama’ah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut
setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan
menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah,
takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami)
Orang Yang Mendapatkan Kenikmatan
[176] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang
yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu
dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan
meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil
amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah,
hal. 25)
Menangkal Fitnah Syubhat dan Syahwat
[177] Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari
semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at
dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan
sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber
munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan,
sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah
Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua
perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara
mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah:
24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa
dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam
firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling
menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 3). Saling menasehati
dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan
saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah
syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Nasib Orang Musyrik
[178] Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah lalu meninggal dalam keadaan musyrik maka dia
termasuk penghuni neraka secara pasti. Sebagaimana barangsiapa yang beriman
kepada Allah (baca: bertauhid) dan meninggal dalam keadaan beriman (baca: tidak
melakukan pembatal keislaman) maka dia termasuk penghuni surga, walaupun dia
harus disiksa -terlebih dulu- di dalam neraka.” (lihat al-Kaba’ir cet. Dar
al-‘Aqidah, hal. 11)
Keadilan dan Kezaliman
[179] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
iman -pokok maupun cabang-cabangnya, batin maupun lahirnya- semuanya adalah
keadilan, dan lawannya adalah kezaliman. Keadilan tertinggi dan pokok utamanya
adalah pengakuan dan pemurnian tauhid kepada Allah, beriman kepada sifat-sifat
Allah dan nama-nama-Nya yang terindah, serta mengikhlaskan agama [ketaatan] dan
ibadah kepada-Nya. Adapun kezaliman yang paling zalim dan paling berat adalah
syirik kepada Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman:
13).” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 63 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)
Perilaku Musyrikin Masa Silam
[180] Imam al-Baghawi rahimahullah menceritakan, bahwa Ikrimah
berkata, “Adalah orang-orang jahiliyah tatkala itu apabila berlayar di lautan
maka mereka pun membawa serta berhala-berhala mereka. Pada saat angin bertiup
semakin keras [terjadi badai] maka mereka pun melemparkan berhala-berhala itu
ke laut lalu berdoa, “Wahai Rabb, wahai Rabb.” [selamatkanlah kami].” (lihat
Ma’alim at-Tanzil, hal. 1001)
Harus Ada Prioritas
[181] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan syari’at, penegakan hudud, tegaknya
daulah islamiyah, menjauhi hal-hal yang diharamkan serta melakukan
kewajiban-kewajiban [syari’at] ini semua adalah hak-hak tauhid dan penyempurna
atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang [pengikut] dari tauhid. Bagaimana
mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya justru diabaikan?”
(lihat Manhaj al-Anbiya’ fi ad-Da’wah ila Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql, hal.
11)
Memperbaiki Diri
[182] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hendaknya
kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan
orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang
lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal.
38)
Tanda Kebinasaan
[183] al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda
bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia
tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah
al-Mughniyah, hal. 62).
Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah
[184] Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam
keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya
keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak
berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan
-terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.”
(lihat Zaadul Masir, hal. 386)
[185] Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan
selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan
akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia
meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia
berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa
dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun,
apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk
mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum
Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau
tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak
disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat
kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
Keutamaan Sholat Jama’ah
[186] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Sholat jama’ah termasuk perkara yang sangat ditekankan di dalam agama dengan
kesepakatan umat Islam. Dan ia merupakan fardhu ‘ain -bagi lelaki, pent- dalam
pandangan mayoritas ulama salaf serta para imam ahli hadits seperti Ahmad -bin
Hanbal-, Ishaq -bin Rahawaih-, dan selain mereka berdua. Itu pula yang dipegang
oleh sekelompok ulama pengikut asy-Syafi’i dan selain mereka…” (lihat Sholat
al-Jama’ah wa al-Qira’ah Khalfa al-Imam, hal. 34 tahqiq Abu Maryam Majdi Fathi
Sayyid)
[187] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan,
“Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa sholat di rumahnya itu lebih utama
daripada sholat di masjid-masjid kaum muslimin maka dia adalah orang sesat dan
tukang bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena [hukum] sholat
jama’ah itu adalah berkisar antara fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Sementara
dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan bahwasanya hal itu adalah wajib
‘ain…” (lihat Sholat al-Jama’ah, hal. 35)
Hati Yang Selamat
[188] Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang
selamat itu adalah hati yang selamat dari syirik dan keragu-raguan serta
terbebas dari kecintaan kepada keburukan dan terbebas dari berkubang dalam
bid’ah dan dosa/kemaksiatan. Karena ia bersih dari hal-hal tersebut, maka
konsekuensinya ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu;
keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta tampak indah kebaikan
itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya senantiasa mengikuti
kecintaan Allah, dan hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari
Allah.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])
Ilmu Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah
[189] Abu Hurairah dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma berkata,
“Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu
raka’at sholat sunnah.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul
al-A’mal, hal. 26)
[190] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Mempelajari
dan mengingat-ingat ilmu pada sebagian malam lebih aku sukai daripada
menghidupkan malam -dengan sholat sunnah-.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan
Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
[191] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada
suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat
yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal.
26)
[192] Qatadah rahimahullah berkata, “Sebuah bab dalam ilmu
yang dijaga/dihafal oleh seorang demi kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan
orang sesudahnya itu jauh lebih utama daripada beribadah setahun penuh.” (lihat
Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
[193] az-Zuhri rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah
diibadahi dengan sesuatu yang menyamai fiqih/ilmu.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi
Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
[194] Waki’ rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi
dengan sesuatu yang lebih utama daripada [ilmu] hadits.” (lihat Tajrid
al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
[195] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah
aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada
menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada
Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul
al-A’mal, hal. 27)
Keutamaan Para Sahabat
[196] Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Janganlah
kalian mencela para sahabat Muhammad. Sungguh kebersamaan dan duduknya mereka
-bersama Nabi- itu walaupun hanya sesaat jauh lebih baik daripada amalan salah
seorang dari kalian seumur hidupnya.” (lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah
minal Manzilah wa al-Makanah, hal. 180)
Jihad Tanpa Pedang
[197] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah
menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)
Sebuah Kejujuran
[198] Dikisahkan bahwa Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah
menangis sejadi-jadinya menjelang kematiannya. Lalu ada orang yang bertanya
kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau mengangkat pandangan
matanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah
memerintah dan melarang kepadaku lalu aku justru berbuat durhaka. Jika Engkau
mengampuni [diriku] sungguh Engkau telah memberikan anugerah [kepadaku]. Dan
apabila Engkau menghukum [aku], sungguh Engkau tidak melakukan kezaliman
[kepadaku].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)
Takut Masuk Neraka
[199] al-Hasan rahimahullah menangis sejadi-jadinya, maka
ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id, apa yang membuatmu menangis?”. Maka
beliau menjawab, “Karena takut kalau Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan
tidak memperdulikan nasibku lagi.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 75)
Lebih Suka Menjadi Budak
[200] Ketika [khalifah] Abdul Malik bin Marwan hendak
menjumpai saat-saat kematiannya, beliau pun berkata, “Demi Allah, aku
berangan-angan seandainya aku hanyalah seorang budak milik seorang lelaki dari
Tihamah yang menggembalakan kambing-kambing kecil di bukit-bukit dan tidak
menjadi penguasa.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 73)
Takut Mati
[201] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata: Aku
berkata kepada Ummu Harun seorang wanita ahli ibadah, “Apakah anda menyukai kematian?”.
Dia berkata, “Tidak.” Aku katakan, “Mengapa?”. Dia menjawab, “Seandainya kamu
berbuat durhaka kepada seorang makhluk pastilah kamu tidak senang bertemu
dengannya. Lantas bagaimana lagi jika kepada al-Khaliq [Allah] jalla
jalaaluhu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 69)
Bukan Mubadzir
[202] Mujahid rahimahullah berkata, “Seandainya seorang
insan menginfakkan semua hartanya di jalan yang benar maka hal itu bukanlah
perbuatan mubadzir/pemborosan. Namun, jika dia menginfakkan satu mud saja dalam
hal kebatilan maka itu adalah mubadzir.” (lihat Fath al-Hamid fi Syarh
at-Tauhid [1/211])
Hati, Amalan, dan Niat
[203] Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhkhir rahimahullah
berkata, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah
dengan baiknya niat.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, hal. 35)
Pengaruh Niat
[204 Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa
banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal
yang besar menjadi kecil karena niatnya.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min
Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 35)
Menasehati Penguasa
[205] Imam Ibnu ash-Sholah rahimahullah berkata, “Nasehat
bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran,
mentaati mereka di dalamnya, mengingatkan mereka terhadap kebenaran, memberikan
peringatan kepada mereka dengan lembut, menjauhi pemberontakan kepada mereka,
mendoakan taufik bagi mereka, dan mendorong orang lain (masyarakat) untuk juga
bersikap demikian.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 103)
[206] an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Nasehat bagi para
pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati
mereka di dalamnya, memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran,
memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dengan lemah lembut dan halus,
memberitahukan kepada mereka hal-hal yang mereka lalaikan, menyampaikan kepada
mereka hak-hak kaum muslimin yang belum tersampaikan kepada mereka, tidak
memberontak kepada mereka, dan menyatukan hati umat manusia (rakyat) supaya
tetap mematuhi mereka.” (lihat Syarh Muslim [2/117])
Iman Abu Bakar
[207] Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata,
“Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya
lebih berat iman Abu Bakar.” (lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni
Hanbal, Jilid 1 hal. 378)
Hidup dan Matinya Hati
[208] Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,
Kulihat tumpukan
dosa mematikan hati
Mengidapnya
membuat diri bertambah hina
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Yang terbaik untukmu tentu mencampakkannya
(lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 32)
Menjernihkan Hati
[209] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada
menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat
akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat.
Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh
kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada
Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Sebabnya Adalah Dirimu
[210] Dikisahkan, ada seorang tukang kisah mengadu kepada
Muhammad bin Wasi’. Dia berkata, “Mengapa aku tidak melihat hati yang menjadi
khusyu’, mata yang mencucurkan air mata, dan kulit yang bergetar?”. Maka
Muhammad menjawab, “Wahai fulan, tidaklah aku pandang orang-orang itu seperti
itu kecuali diakibatkan apa yang ada pada dirimu. Karena sesungguhnya
dzikir/nasehat jika keluar dari hati [yang jernih] niscaya akan meresap ke
dalam hati pula.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 12)
Keadilan dan Kezaliman Dalam Berinteraksi Dengan Allah
[211] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Apabila
hal-hal yang tersembunyi [amalan hati dan sesuatu yang tidak tampak di mata
manusia, pent] sesuai dengan apa yang tampak secara terang-terangan, maka
itulah keadilan. Apabila hal-hal yang tersembunyi itu justru lebih baik
daripada apa yang tampak, maka itu adalah keutamaan. Dan apabila yang tampak
secara terang-terangan lebih baik daripada yang tersembunyi maka itulah
ketidakadilan.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 14)
Apa Yang Membedakan Kita Dengan Mereka?
[212] Abdullah bin Mubarak menceritakan: Ada seseorang yang
berkata kepada Hamdun bin Ahmad, “Mengapa ucapan salaf itu lebih bermanfaat
daripada ucapan kita?”. Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara demi
kemuliaan Islam, keselamatan jiwa, dan demi menggapai ridha ar-Rahman. Adapun
kita hanya berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan membuat
ridha makhluk.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 14)
Nasehat Untuk Diri Sendiri
[213] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Wahai
orang yang malang. Engkau berbuat buruk sementara engkau memandang dirimu
sebagai orang yang berbuat kebaikan. Engkau adalah orang yang bodoh sementara
engkau justru menilai dirimu sebagai orang berilmu. Engkau kikir sementara itu
engkau mengira dirimu orang yang pemurah. Engkau dungu sementara itu engkau
melihat dirimu cerdas. Ajalmu sangatlah pendek, sedangkan angan-anganmu
sangatlah panjang.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 15)
Menangisi Diri Sendiri
[214] Qabishah bin Qais al-Anbari berkata: adh-Dhahhak bin Muzahim
apabila menemui waktu sore menangis, maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang
membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu, adakah diantara amalku
hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq
as-Salaf, hal. 18)
Meninggalkan Sholat
[215] Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa
meninggalkan sholat maka sungguh dia telah kafir. Tidak ada suatu perkara amal
yang ditinggalkan menjadikan kafir kecuali sholat. Orang yang meninggalkannya
adalah kafir…” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 26)
Tatkala Bid’ah Bertebaran
[216] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Tidaklah
datang kepada manusia suatu tahun kecuali mereka mengada-adakan bid’ah padanya
dan mematikan sunnah. Sehingga merajalela lah bid’ah dan matilah
sunnah-sunnah.” (lihat al-I’tisham [1/39])
Syahwat Yang Samar
[217] Imam Ibnul Atsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
syahwat yang samar adalah suka orang lain melihat amal yang dilakukan.” (lihat
Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 21)
Bukan Ciri Orang Yang Bertakwa
[218] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Bukanlah
orang yang bertakwa kepada Allah orang yang cinta dengan popularitas.” (lihat
Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 22)
Apalah Artinya Pujian Manusia
[219] Suatu ketika Imam Ahmad berkata kepada muridnya
setelah mendengar pujian orang kepada dirinya, “Wahai Abu Bakr, apabila seorang
telah mengenal dirinya maka tidaklah bermanfaat baginya ucapan orang.” (lihat
Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 22)
Hakikat Anak Adam
[220] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak
Adam. Sesungguhnya engkau adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu
maka hilanglah sebagian dari dirimu.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi,
hal. 35)
Hakikat Ilmu
[221] Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ia adalah cahaya yang Allah
berikan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittiba’/setia mengikuti tuntunan dan
meninggalkan hawa nafsu/penyimpangan dan membuat-buat bid’ah.” (lihat Ma’alim
fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 40)
Rasa Malu dan Kehidupan Hati
[222] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kata al-Haya’ [rasa malu] berasal dari kata al-Hayat [kehidupan] sebab hati
yang hidup akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sejati. Di dalam
dirinya terdapat rasa malu yang akan menghalanginya dari berbagai keburukan.
Karena sesungguhnya kehidupan hati itu adalah sesuatu yang bisa mencegah
dirinya dari melakukan berbagai hal yang jelek dan merusak hati.” (lihat
Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30)
Letak Niat
[223] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Letak niat adalah di dalam hati dengan kesepakatan para ulama. Apabila
seseorang telah berniat dengan hatinya dan tidak mengucapkan hal itu dengan
lisannya, maka niat itu sudah dianggap sah/cukup berdasarkan kesepakatan
mereka. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
sahabatnya, dan para tabi’in; tidaklah dinukil dari seorang pun diantara mereka
bahwa mereka melafalkan niat, tidak dalam hal sholat, thaharah, maupun puasa.”
(lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 36)
Syukur dan Istighfar
[224] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang
mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah
perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam
curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan taubat dan
istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
Orang Yang Faqih
[225] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang yang faqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat memburu
akhirat. Orang yang paham tentang agamanya dan senantiasa beribadah kepada
Rabbnya. Orang yang berhati-hati sehingga menahan diri dari menodai kehormatan
dan harga diri kaum muslimin. Orang yang menjaga kehormatan dirinya dari
meminta harta mereka dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka.” (lihat
Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 28)
Akibat Terlalu Banyak Bicara
[226] Salman al-Farisi radhiyallahu’anhu berkata, “Orang
yang paling banyak dosanya pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling
banyak berbicara dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 8)
Orang Yang Bertakwa
[227] Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ditanya tentang
orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang
menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta
mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, hal. 211)
[228] al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang
bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah
kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.”
(lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
[229] Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Ketakwaan
kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah
adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang
diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruniai amal
kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam, hal. 211)
Iman Yang Sejati
[230] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman
itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan
tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan
amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)
[231] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu
telanjang sedangkan pakaiannya adalah ketakwaan. Hartanya adalah fikih (ilmu
agama). Adapun perhiasannya adalah rasa malu.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi
Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1176)
Bukti Kasih Sayang Allah
[232] Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin besar
maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya juga semakin
jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.” (lihat Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 86)
Puncak Syukur
[233] Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan:
as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu
Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu
dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa
al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)
Tanda Cinta Kepada Allah
[234] Rabi’ bin Anas rahimahullah menyebutkan sebuah
ungkapan dari sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat
kepada-Nya. Sebab sesungguhnya tidaklah kamu mencintai sesuatu melainkan pasti
akan sering menyebutnya.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 559).
Menyelamatkan Diri Dari Azab
[235] Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada
sesuatu yang lebih menyelamatkan dari azab Allah selain berdzikir kepada
Allah.” (lihat Sunan Tirmidzi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir [5/459])
Beramal Dengan Ikhlas
[236] Abul Aliyah berkata: Para Sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam berpesan kepadaku, “Janganlah kamu beramal untuk selain
Allah. Karena hal itu akan membuat Allah menyandarkan hatimu kepada orang yang
kamu beramal karenanya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 568)
Kerendahan Hati Ali bin Abi Thalib
[237] Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu Muhammad
bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku:
Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”.
Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab,
“’Umar.” Aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya,
maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang
lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 3671)
Manusia Paling Utama Setelah Para Nabi
[238] Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Orang yang
paling utama setelah para Nabi ‘alaihimush sholatu was salam adalah Abu Bakar
ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin Khaththab al-Faruq, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan
Dzun Nurain, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib al-Murtadha. Semoga Allah meridhai
mereka semua.” (lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah minal Manzilah wa
al-Makanah, hal. 112)
[239] Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Orang yang
paling utama setelah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar,
kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Semoga Allah meridhai mereka.”
(lihat al-Ibanah li Maa li ash-Shahabah minal Manzilah wa al-Makanah, hal. 112)
Hakikat Ibadah
[240] Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang disebutkan di
dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal.
20)
[241] Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah
mencakup melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala
hal yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu
berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba. Seandainya seorang tidak melakukan
apa yang diperintahkan, orang itu bukan hamba yang sejati. Seandainya seorang
tidak meninggalkan apa yang dilarang, orang itu bukan hamba yang sejati.
Seorang hamba -yang sejati- adalah yang menyesuaikan dirinya dengan apa yang
dikehendaki Allah secara syar’i.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma,
hal. 15)
[242] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Ibadah adalah kecintaan dan tundukan secara total, disertai kesempurnaan rasa
takut dan perendahan diri.” (lihat Tafsir al-Fatihah, hal. 49 tahqiq Dr. Fahd
ar-Rumi)
Hukuman Terberat
[243] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang
hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh
dari Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95).
Bekal Seorang Da’i
[244] Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
berkata, “.. Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia
kepada apa yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi
orang-orang yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang
dihadapi oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu
semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan kesabaran;
yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman dan sebaik-baik
bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sama
saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengannya
atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.” (lihat Thariq al-Wushul
ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Menolak Jabriyah dan Qadariyah
[245] Abu Hafsh al-Farghani rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang mengakui [kandungan] Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in maka
sesungguhnya dia telah berlepas diri dari paham Jabriyah dan Qadariyah.” (lihat
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/224])
Mengenal Allah
[246] Sebagian salaf berkata, “Wahai Rabbku, aku heran
dengan orang yang mengenalmu bagaimana mungkin dia justru berharap kepada
selain-Mu. Aku heran dengan orang yang mengenalmu lalu mengapa dia justru
memohon pertolongan kepada selain-Mu.” (lihat Rawa’i’ at-Tafsir, Tafsir Ibnu
Rajab al-Hanbali, hal. 74)
Ibadah Yang Paling Utama
[247] Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,
“Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya),
“Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan
permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.”
(QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1856])
Keutamaan Surat al-Fatihah
[248] Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah
adalah Ummul Qur’an (Induk al-Qur’an); dikarenakan seluruh maksud ajaran
al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga
mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang
yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok
syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan
Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])
Hanya Sedikit Yang Berhasil Lolos
[249] Tatkala begitu banyak orang yang menimba hadits pada
masa al-A’masy ada seseorang yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad,
lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau menjawab,
“Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati.
Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Sepertiganya lagi, dari setiap
seratus orang hanya ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.” (lihat
Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)
Pokok Segala Kebaikan
[250] Dawud ath-Tha’i rahimahullah berkata, “Aku melihat
bahwa segala kebaikan itu bersumber dari niat yang baik.” (lihat Jami’ al-‘Ulum
wa al-Hikam, hal. 19)
Sebab Baiknya Amalan
[251] Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi
baik suatu amal tanpa tiga hal, yaitu: ketakwaan kepada Allah, niat baik, dan
cara yang benar.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Akar Perselisihan
[252] Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah mengatakan,
“Perselisihan manusia itu semuanya kembali kepada tiga sumber utama.
Masing-masing memiliki lawan. Barangsiapa yang jatuh dari satu urusan niscaya
dia akan terperosok kepada lawannya. Tauhid, lawannya syirik. Sunnah, lawannya
adalah bid’ah. Dan taat, yang lawannya adalah maksiat.” (lihat Ilmu Ushul
Bida’, hal. 39)
Bukan Ghibah
[253] al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Berbicara
dalam bentuk kritik/celaan kepada orang/tokoh dalam rangka menunaikan nasehat
untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk kitab-Nya, dan untuk kaum mukminin itu
tidak dikategorikan ghibah/menggunjing, bahkan dia akan mendapatkan pahala
selama dia benar-benar tulus berniat untuk itu (memberi nasehat , pent).” (lihat
al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, hal. 228)
Merasa Diawasi Allah
[254] Pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu
seorang wanita di tengah padang pasir. Akan tetapi wanita itu enggan memenuhi
ajakannya. Lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali
bintang-bintang.” Wanita itu berkata, “Lalu dimanakah yang menciptakan
bintang-bintang itu?!” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)
Keserupaan Syi’ah dengan Yahudi
[255] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Orang-orang Yahudi berkata bahwa tidak boleh kekuasaan itu dipegang oleh
selain keturunan Dawud. Demikian pula, kaum Rafidhah/Syi’ah. Mereka mengatakan
bahwa tidak boleh imamah/kepemimpinan umat ini dipegang oleh selain keturunan Ali.
Orang Yahudi berkata bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah
keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan diturunkan pedang. Kaum Rafidhah pun
mengatakan bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali setelah keluarnya Imam
Mahdi dan terdengar seruan dari langit. Orang-orang Yahudi mengakhirkan sholat
hingga bintang-bintang tampak. Maka begitu pula Rafidhah. Mereka mengakhirkan
sholat Maghrib hingga bintang-bintang tampak. Padahal di dalam hadits
ditegaskan, “Umatku akan senantiasa berada di atas fithrah selama mereka tidak
mengakhirkan sholat Maghrib hingga tampaknya bintang-bintang.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah, di dalam Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya hasan).
Orang-orang Yahudi menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Begitu pula kaum Rafidhah
menyelewengkan ayat-ayat al-Qur’an. Yahudi memandang tidak dituntunkan mengusap
khuf. Begitu pula Rafidhah memandang hal itu tidak diajarkan. Orang Yahudi
membenci Jibril, mereka mengatakan, “Jibril adalah musuh kami dari kalangan
malaikat.” Begitu pula Rafidhah, mereka
mengatakan, “Jibril salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad.” (lihat Min
‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 23-24)
Ciri Orang Zindiq
[256] Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah mengatakan,
“Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia
adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau
sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita
al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah
bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab
dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, mereka itu adalah
orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi
Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
Istighfar Dengan Hati
[257] Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Betapa
banyak orang yang beristighfar namun dimurkai. Dan betapa banyak orang yang
diam namun dirahmati.” Kemudian beliau menjelaskan, “Orang ini beristighfar,
akan tetapi hatinya diliputi kefajiran/dosa. Adapun orang itu diam, namun
hatinya senantiasa berzikir.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa
ar-Raqaa’iq, hal. 69)
Jalan Kebenaran dan Jalan Kebatilan
[258] Sebagian ulama salaf berkata, “Hendaklah kamu
mengikuti jalan kebenaran, dan janganlah merasa sedih karena sedikitnya orang
yang berjalan di atasnya. Jauhilah jalan kebatilan, dan janganlah kamu merasa
gentar karena banyaknya orang yang binasa.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal.
21)
Kebaikan Dunia dan Akhirat
[259] al-Hasan rahimahullah menafsirkan makna firman Allah
‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat.” Beliau mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah
ilmu dan ibadah. Adapun kebaikan di akhirat adalah surga.” (lihat Akhlaq
al-‘Ulama, hal. 40)
Pengaruh Sabar dan Syukur
[260] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar
dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari
ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan
pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur.
Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang
tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya
itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah
tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila
seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu
artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab
itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan
menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala
at-Tafsir [1/145])
Pemaknaan Istilah Niat
[261] Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan,
“Dalam konteks syari’at, niat memiliki dua sisi pembahasan. Salah satunya
adalah niat dalam artian ikhlas dalam beramal untuk Allah semata. Ini adalah
makna niat yang paling tinggi. Niat dalam makna ini dibicarakan oleh para ulama
tauhid, akhlak dan perilaku. Adapun yang kedua, adalah niat yang berfungsi
untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain. Niat dalam makna
ini dibicarakan oleh para fuqoha/ahli fikih.” (lihat Taisir al-‘Allam Syarh
‘Umdat al-Ahkam [1/10])
Hukum Mengeraskan Niat
[262] Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah berkata,
“Mengeraskan niat bukan sesuatu yang wajib, juga bukan sesuatu yang dianjurkan
dengan kesepakatan ulama kaum muslimin. Bahkan, orang yang mengeraskan niat
adalah orang yang melakukan kebid’ahan dan menyelisihi syari’at. Apabila dia
melakukan hal itu dengan keyakinan bahwa hal itu termasuk bagian dari syari’at,
maka dia adalah orang yang tidak paham (jahil) dan berhak diberi pelajaran.”
(lihat al-Muhkam al-Matin fi Ikhtishar al-Qaul al-Mubin, hal. 48)
Sumber Kesyirikan
[263] Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sumber
munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Sebagian
manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya
sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman
lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)” (lihat ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 212)
Cita-Cita Terburuk
[264] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
sejelek-jelek cita-cita adalah jika kamu ingin mencari dunia dengan amalan
akhirat.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 36)
Ketakwaan dan Taubat
[265] Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata, “Tidakkah engkau
melihat umat manusia, betapa banyaknya mereka? Tidak ada yang baik diantara
mereka kecuali orang yang bertakwa atau orang yang bertaubat.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 225)
Pendusta
[266] Hatim al-Asham rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mendakwakan dirinya mencintai surga tanpa berinfak dengan hartanya maka dia
adalah pendusta.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 240)
Dua Kunci Kebaikan
[267] Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Dua perkara
jika hal itu baik pada diri seorang hamba maka baiklah urusannya yang lain,
yaitu sholat dan lisannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’,
hal. 274)
Menghindari Ujub
[268] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Jika
berbicara membuatmu merasa ujub maka diamlah. Dan jika diam membuatmu merasa
ujub maka berbicaralah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’,
hal. 275)
Kesempurnaan Iman
[269] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Apabila
seorang hamba telah merasa malu kepada Rabbnya ‘azza wa jalla maka sungguh dia
telah menyempurnakan imannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliya’, hal. 291)
Antara Rasa Takut dan Harapan
[270] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata,
“Seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia masuklah kalian
semuanya ke dalam surga kecuali satu orang’ aku takut orang itu adalah aku. Dan
seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia, masuklah masuklah
kalian semuanya ke dalam neraka’, maka aku berharap orang itu adalah aku.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 301)
Kepemimpinan dan Ilmu
[271] Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang terburu-buru memangku jabatan sebagai pemimpin niscaya akan luput darinya
banyak ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/159])
Pintu Kebaikan dan Keburukan
[272] al-Hasan bin Shalih rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya setan benar-benar akan membukakan sembilan puluh sembilan pintu
kebaikan dalam rangka menyeret seorang hamba menuju sebuah pintu keburukan.”
(lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 63)
Bahaya Ilmu Kalam
[273] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Sungguh
apabila seorang mendapatkan musibah maksiat yaitu bergelimang dengan segala
bentuk larangan Allah selain syirik maka hal itu jauh lebih baik baginya
daripada mempelajari ilmu kalam/filsafat.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min
Talbis Iblis, hal. 79)
Penyesalan dan Kejujuran
[274] Abul Ma’ali al-Juwaini rahimahullah berkata, “Wahai
teman-teman kami! Janganlah kalian menyibukkan diri dengan ilmu kalam.
Seandainya dahulu aku mengetahui ilmu kalam akan mengantarkan aku kepada apa
yang telah aku alami niscaya aku tidak akan menyibukkan diri dengannya.” (lihat
al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 84)
Berubah Fungsi
[275] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “al-Qur’an itu
diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi orang-orang justru membatasi amalan
hanya dengan membacanya.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal.
116)
Orang Yang Faqih
[276] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang yang benar-benar faqih/paham agama adalah yang senantiasa merasa takut
kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal.
136)
Keutamaan Seorang Ahli Ilmu
[277] Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain
rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan
ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat
Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
[278] Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan
hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama
daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan
al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Beramal Tanpa Ilmu
[279] Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
“Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia
rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’
Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Menyikapi Kritik Terhadap Sebagian Ulama
[280] Imam Ahmad
rahimahullah berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kuat
keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya
dari siapa pun hingga hal itu dijelaskan [sebab-sebabnya] sampai pada suatu
keadaan yang tidak ada kemungkinan lain kecuali memang harus menjatuhkan
jarh/celaan kepadanya.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh
adz-Dzahabi II/634)
Keutamaan Ilmu Hadits
[281] Mak-hul asy-Syami rahimahullah berkata, “al-Qur’an
lebih membutuhkan kepada as-Sunnah, daripada kebutuhan as-Sunnah terhadap
al-Qur’an.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah,
hal. 15)
[282] asy-Syarif Hatim bin ‘Arif al-‘Auni hafizhahullah
mengatakan, “Oleh sebab itu benarlah jika dikatakan bahwa orang yang sedang
mempelajari as-Sunnah (hadits) sebagai orang yang sedang mempelajari al-Qur’an.
Dan tidaklah salah jika dikatakan kepada orang yang membaca as-Sunnah, bahwa
dia sedang membaca tafsir al-Qur’an!!” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib
‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 15)
Makna Syahadat Risalah
[283] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Makna syahadat bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah yaitu mentaati segala
perintahnya, membenarkan berita yang disampaikannya, menjauhi segala yang
dilarang dan dicegah olehnya, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan
syari’atnya.” (lihat Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 116)
Pentingnya Sanad
[284] Imam Muslim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin
rahimahullah, beliau berkata, “Dahulu mereka tidak menanyakan masalah sanad.
Akan tetapi tatkala mulai terjadi fitnah, maka mereka pun berkata: ‘Sebutkan
kepada kami periwayat-periwayat kalian’. Maka dilihatlah kepada Ahlu Sunnah
untuk diambil haditsnya, dan dilihat kepada Ahli Bid’ah dan ditinggalkan
haditsnya.” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 72-73)
Sumber Kebaikan
[285] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Pokok
segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah rasa takut kepada Allah ta’ala.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 305)
Ilmu dan Rasa Takut
[286] Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Semestinya orang
yang paling banyak ilmunya diantara kalian adalah orang yang paling besar rasa
takutnya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 312)
Doa Sa’id bin Jubair
[287] Sa’id bin Jubair rahimahullah berdoa, “Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu tawakal yang tulus dan untuk selalu bersangka baik
kepada-Mu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 316)
Nasib Pemuja Dunia
[288] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Dunia
akan mencari orang yang berusaha lari meninggalkannya. Apabila dunia berhasil
meraihnya niscaya ia akan melukainya. Dan seandainya pencari dunia berhasil
meraihnya [dunia] niscaya dunia akan membinasakan dirinya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 338)
Pengaruh Cinta Dunia
[289] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sungguh aku
bisa mengetahui kecintaan seorang terhadap dunia dari caranya mengucapkan salam
kepada orang yang memiliki [perkara] dunia [yang dia cari].” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 338)
Sumber Kehinaan
[290] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Katakanlah
kepada orang yang suka mengejar-ngejar dunia: Bersiaplah kamu untuk merasakan
kehinaan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 339)
Manis dan Pahit
[291] Thawus rahimahullah berkata, “Sesuatu yang terasa
manis di dunia [maksiat] kelak akan terasa pahit di akhirat, sedangkan sesuatu
yang terasa pahit di dunia [sabar] kelak akan terasa manis di akhirat.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 341)
Ujian dan Tipu Daya
[292] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah
dunia dilapangkan untuk seseorang kecuali akan memperpedaya, dan tidaklah ia
dilipat [disempitkan] dari seseorang melainkan sebagai cobaan.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 341)
Ajal Dunia
[293] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya dunia ini memiliki ajal sebagaimana anak Adam memiliki ajal. Jika
telah datang ajalnya maka matilah dunia.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li
Hilyat al-Auliya’, hal. 341)
Kesulitan dan Kesenangan
[294] Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu berkata, “Kami
diuji dengan kesulitan maka kami pun bisa bersabar, akan tetapi tatkala kami
diuji dengan kesenangan maka kami tidak bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 342)
Ilmu dan Kekuasaan
[295] Sufyan berkata: al-Ahnaf mengatakan: ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata kepada kami, “Perdalamlah ilmu sebelum
kalian dijadikan sebagai pemimpin.” Sufyan mengatakan, “Sebab seorang jika
sudah mendalami ilmu niscaya tidak akan mencari jabatan kepemimpinan.” (lihat
Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 37)
Orang Yang Cerdas
[296] ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah
orang yang pandai yang bisa membedakan yang baik dengan yang buruk. Akan tetapi
orang yang benar-benar pandai adalah yang bisa membedakan mana yang lebih baik
diantara dua keburukan.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 41)
Sosok Yang Kuat
[297] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Janganlah salah seorang dari kalian taklid/membebek kepada siapa pun dalam hal
agamanya; jika orang itu beriman maka dia pun beriman, dan jika orang itu kafir
maka dia pun ikut kafir. Jika kalian harus mengikuti maka teladanilah
orang-orang [salih] yang sudah meninggal. Sebab orang yang masih hidup tidak
aman dari goncangan fitnah.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 49)
Sedih dan Gembira
[298] Diriwayatkan bahwa Hatim al-Asham rahimahullah
berkata, “Aku senang jika orang yang berdebat denganku benar dan aku merasa sedih
jika dia salah.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 51)
__________
Oleh: Al-Ustadz Ari Wahyudi hafidzahullah
Sumber: TerjemahKitabsalaf.Wordpress.com
__________
Oleh: Al-Ustadz Ari Wahyudi hafidzahullah
Sumber: TerjemahKitabsalaf.Wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar