Antara Abu Bakar dan Ahmad bin Hanbal
[299] ‘Ali ibnul Madini rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memperkuat agama ini dengan Abu Bakar ash-Shiddiq pada hari-hari riddah -kemurtadan orang-orang arab sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent- dan dengan Ahmad bin Hanbal pada har-hari mihnah -cobaan bagi umat berupa pemaksaan aqidah al-Qur’an makhluk, pent-.” (lihat Thabaqat ‘Ulama al-Hadits [2/83])
Keutamaan Mengikuti Atsar
[300] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Jika kamu sanggup untuk tidak menggaruk kepala kecuali dengan dasar dari atsar/riwayat maka lakukanlah.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 29)
Kemuliaan Ilmu
[301] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia-
bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, hal. 30)
Penjaga Langit dan Penjaga Bumi
[302] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Para malaikat
adalah para penjaga langit sedangkan ashabul hadits adalah para penjaga bumi.”
(lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri,
hal. 31)
Kemanfaatan Hadits
[303] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada
sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.” (lihat
Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 32)
Fitnah Akibat Hadits
[304] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Fitnah yang
timbul oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah yang ditimbulkan dari emas dan
perak.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, hal. 33)
Menilai Diri Sendiri
[305] Abdullah ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Jika
seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri [hawa nafsu] niscaya dia akan
memandang dirinya jauh lebih hina daripada seekor anjing.” (lihat Min A’lam
as-Salaf [2/29])
Ilmu dan Dunia
[306] Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Kami mencari ilmu
untuk dunia maka ilmu justru menunjukkan kepada kami untuk meninggalkan dunia.”
(lihat Min A’lam as-Salaf [2/30])
Membenci Pembela Bid’ah
[307] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah
akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (lihat Min A’lam as-Salaf
[2/47])
Membantu Pembela Bid’ah
[308] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk
menghancurkan agama Islam.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])
Rendah Hati Terhadap Kebenaran
[309] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Seorang
[periwayat] tidak akan sempurna kecuali apabila dia mencatat dari orang yang di
atasnya, orang yang sejajar dengan dirinya, dan orang yang berada di bawah
kedudukannya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/66])
Merealisasikan Zuhud
[310] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya
tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika dia mendapatkan nikmat
maka bersyukur dan jika dia mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar.
Itulah zuhud.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/78])
Hakikat Orang Berilmu
[311] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah
seorang alim [ahli ilmu] orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan akan
tetapi sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu
mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (lihat Min
A’lam as-Salaf [2/81])
Mengagungkan Sholat
[312] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Termasuk
bentuk pengagungan sholat yaitu hendaknya kamu datang sebelum iqomah.” (lihat
Min A’lam as-Salaf [2/82])
Fitnah Dari Hadits
[313] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Fitnah
yang timbul dari hadits lebih dahsyat daripada fitnah karena harta dan
anak-anak.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/97])
Sesuatu Yang Paling Berat
[314] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
membiasakan dirinya untuk beramal ikhlas karena Allah niscaya tidak ada sesuatu
yang lebih berat baginya daripada beramal untuk selain-Nya. Dan barangsiapa
yang membiasakan dirinya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisinya maka tidak
ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada ikhlas dan beramal untuk Allah.”
(lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 7)
Berdakwah Dengan Ilmu
[315] Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu
-dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di
atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak
ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan
merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba
Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan
anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat
Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)
Majelis Yang Buruk
[316] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah mengisahkan: Dahulu
aku mengajar suatu majelis setiap hari jum’at. Apabila orang yang datang banyak
aku pun senang, dan apabila yang datang sedikit aku pun sedih. Aku menanyakan
hal ini kepada Bisyr bin Manshur, dia menjawab, “Ini adalah majelis yang buruk,
jangan kamu kembali kepadanya!” Setelah itu aku pun tidak lagi kembali ke
majelis itu (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 12)
Majelis Atho’ bin Abi Robah
[317] Imam adz-Dzahabi menceritakan dari salah seorang yang
hidup sezaman dengan Imam Atho’ bin Abi Robah rahimahullah. Orang itu
mengatakan, “Aku telah melihat Atho’ -sedangkan dia adalah penduduk bumi yang
paling diridhai manusia ketika itu- sementara tidak ada orang yang duduk hadir
[belajar] dalam majelisnya kecuali sembilan atau delapan orang saja.” (lihat
Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 12)
Cita-Cita Tinggi
[318] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tingginya
cita-cita seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya cita-cita
seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (lihat
Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 13)
Ciri Ahli Bid’ah dan Pemecah Belah Umat
[319] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menjadikan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dia
jadikan satu-satunya pedoman; sehingga barangsiapa yang mencintainya maka
itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah -menurutnya- dan barangsiapa yang
menyelisihinya adalah ahli bid’ah dan pemecah belah -sebagaimana hal itu bisa
ditemui pada para pengikuti imam ahlul kalam dalam urusan agama ini ataupun
selainnya- maka sesungguhnya dia adalah seorang ahli bid’ah, penyebar kesesatan
dan pemecah belah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 19)
Tanda Ketundukan Hati
[320] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu tanda
ikhbat/ketundukan hati dan keikhlasan diri seseorang adalah tidak bergembira
dengan pujian manusia dan tidak merasa sedih semata-mata dengan celaan mereka.”
(lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 29)
Empat Samudera
[321] Sebagian orang bijak berkata, “Empat samudera untuk
empat perkara. Kematian adalah samudera –untuk menenggelamkan- kehidupan. Nafsu
adalah samudera untuk syahwat. Kubur adalah samudera penyesalan. Dan pemaafan
dari Allah adalah samudera bagi kesalahan-kesalahan.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 124)
Hari Kemiskinan
[322] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Maukah aku
kabarkan tentang hari kefakiranku? Yaitu hari ketika aku turun ke kuburku.”
(lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 125)
Nasehat Umat Terdahulu
[323] Sebagian orang salih berkata, “Cukuplah bagimu kubur
untuk mengerti nasehat-nasehat umat terdahulu yang telah berlalu.” (lihat Aina
Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 125)
Manfaat Mengingat Kubur
[324] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Baranngsiapa
memperbanyak mengingat tentang alam kubur niscaya dia akan mendapati kuburnya
menjadi salah satu taman surga. Dan barangsiapa yang lali dari mengingatnya
niscaya dia akan mendapati kuburnya sebagai salah satu lubang menuju neraka.”
(lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 127)
Kemunafikan
[325] Diriwayatkan bahwa Hasan al-Bashri rahimahullah
melihat ada seseorang yang makan di pekuburan. Maka beliau pun berkata, “Ini
adalah orang munafik. Kematian ada di hadapannya sementara dia justru menikmati
makanan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 131)
Kembali Kepada-Nya
[326] Suatu ketika Abu Hazim rahimahullah ditanya,
“Bagaimanakah keadaan orang yang menghadap kepada Allah?” Beliau menjawab,
“Adapun orang yang taat maka keadaannya seperti kedatangan seorang yang telah
pergi lama kepada sanak keluarganya yang sangat rindu kepadanya. Adapun orang
yang maksiat, maka kedatangannya seperti halnya kedatangan seorang budak yang
durhaka meninggalkan majikannya dalam keadaan sangat marah.” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i, hal. 139)
Mengapa Tertawa-tawa
[327] Dikisahkan dari al-Hasan, bahwa beliau berkata: Ada
seorang lelaki berkata kepada saudaranya, “Wahai saudaraku, pernahkah datang
kepadamu ayat yang mengatakan bahwa kalian [manusia] pasti akan menghampiri
neraka?” Maka dia menjawab, “Iya.” Lalu orang itu bertanya, “Lalu apakah pernah
datang kepadamu berita bahwasanya kamu pasti bebas dari siksanya?” Maka dia
menjawab, “Tidak ada.” Lalu orang itu mengatakan, “Lantas untuk apa engkau
tertawa-tawa?” Akhirnya lelaki itu tidak pernah terlihat tertawa-tawa hingga
kematiannya (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 140-141)
Saat Yang Dinantikan
[328] Abu Hazim rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam,
setelah kematian barulah akan datang kepadamu kabar itu [mengenai nasibmu].”
(lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 142)
Angan-Angan Yang Tidak Akan Terwujud
[329] Sebagian orang bijak memberikan nasehat, “Wahai
saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di dunia ini, sebelum engkau menemui
suatu negeri [akhirat] yang engkau mengangankan kematian di sana dan engkau
tidak akan bisa menemukannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 145)
Menjalarnya Dosa
[330] Sebagian orang salih berkata, “Meresapnya dosa ke
dalam hati seperti jatuhnya minyak di atas pakaian. Jika kamu tidak segera
mencucinya dia akan merembet kemana-mana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i,
hal. 152)
Wasiat Berharga
[331] Seorang lelaki berkata kepada Zuhair bin Nu’aim,
“Wahai Abu Abdirrahman, engkau ingin memberikan wasiat?”. Dia menjawab, “Iya,
waspadalah engkau. Jangan sampai Allah mencabut nyawamu sedangkan kamu
tenggelam dalam kelalaian.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 142)
Angan-Angan Yang Sudah Terlambat
[332] Ibrahim bin Abi ‘Abdah rahimahullah berkata, “Aku
mendengar bahwa seorang mukmin apabila meninggal maka dia akan berangan-angan
untuk bisa kembali ke dunia; hal itu bukan karena apa-apa melainkan agar dia
bisa bertakbir walaupun sekali saja, bertahlil dan bertasbih walaupun sekali
saja.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 143)
Tangisan Kejujuran
[333] Ketika kematian hendak menghampiri Abdullah bin ‘Ali
dia pun menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu
menangis?”. Beliau menjawab, “Aku menangisi keteledoranku pada hari-hari yang
telah berlalu dan sedikitnya amalku untuk meraih surga yang tinggi serta
–sedikitnya bekalku- untuk menyelamatkan diri dari api neraka.” (lihat Aina
Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 149)
Pengagungan Sholat
[334] Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah
ditegakkan sholat –dikumandangkan iqomah- semenjak aku masuk Islam, melainkan
aku berada dalam keadaan telah berwudhu/bersuci.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 173)
[335] Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah berkata, “Tidak
pernah aku luput dari takbir yang pertama sejak lima puluh tahun lamanya, dan
aku tidak pernah melihat kepada tengkuk seorang pun –di hadapanku- di dalam
sholat [artinya beliau selalu berada di shaf terdepan, pent] sejak lima puluh
tahun lamanya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 174)
[336] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Adalah
al-A’masy hampir tujuh puluh tahun lamanya beliau tidak pernah luput dari
takbir yang pertama.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 175)
[337] Ibnu Sima’ah rahimahullah berkata, “Aku telah
menjalani waktu empat puluh tahun dalam keadaan tidak luput dariku takbir yang
pertama kecuali pada hari meninggalnya ibuku.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 175)
[338] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika kamu
melihat seorang [periwayat] yang meremehkan takbir yang pertama maka cucilah
kedua tanganmu darinya [jangan mengambil riwayat darinya].” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i, hal. 176)
[340] Muhammad bin al-Mubarak ash-Shuri berkata, “Adalah
Sa’id bin Abdul ‘Aziz apabila tertinggal dari sholat jama’ah maka beliau pun
menangis.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 176)
Sholat Yang Membekas
[341] Bakr al-Muzani rahimahullah berkata, “Jika engkau
ingin agar sholatmu bermanfaat [memberikan pengaruh] kepadamu maka katakanlah
–pada dirimu sendiri- bahwa aku tidak mengerjakan sholat kecuali sholat itu
saja.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 181)
Keagungan Hak Allah
[342] Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
hak-hak Allah itu terlau agung untuk bisa ditunaikan dengan sempurna oleh
seorang hamba. Akan tetapi mereka dapat menggapai keutamaan dengan senantiasa
bertaubat di waktu pagi dan bertaubat di waktu sore.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 195)
Kelezatan Bagi Hati
[343] Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Tidaklah aku
merasakan sesuatu yang lebih mendatangkan kelezatan ke dalam hatiku daripada
sholat malam.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 211)
Jahannam Tidak Membiarkan Mereka Terlelap
[344] Putri ‘Amir bin Abdi Qais berkata kepada ayahnya,
“Mengapa aku melihat orang-orang terlelap tidur sementara engkau tidak tidur…”
Maka beliau menjawab, “Wahai putriku, sesungguhnya neraka Jahannam membuatku tidak bisa terlelap tidur.” (lihat
Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.215)
Dosa Yang Membutuhkan Ampunan
[345] Suatu ketika putri Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah
bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahanda, orang-orang tidur sedangkan aku
melihat engkau tidak tidur?” Maka Rabi’ menjawab, “Wahai putriku, sesungguhnya
ayahmu khawatir akan akibat dari dosa-dosa.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i,
hal. 215)
Sebab Tidak Bisa Sholat Malam
[346] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
seseorang bisa jadi melakukan suatu dosa kemudian hal itu membuatnya terhalang
dari mengerjakan sholat malam.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 217)
Benteng Kemenangan
[347] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Engkau
tidak akan merasakan manisnya ibadah sampai kamu bisa meletakkan
tembok/penghalang antara dirimu dengan syahwat.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 217)
Jarak Antara Kita Dengan Mereka
[348] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapakah
jarak antara kalian dengan kaum [pendahulu] itu? Dunia datang kepada mereka
–salafus shalih- dan mereka berlari darinya. Sementara dunia itu pergi
meninggalkan kalian dan kalian justru mengejarnya.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 222)
Gembira Memasuki Waktu Malam
[349] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila
matahari telah tenggelam aku pun merasa gembira dengan kegelapan agar bisa
menyelimuti kesendirianku dengan Rabbku. Dan apabila matahari telah terbit, aku
pun sedih karena orang-orang pun akan masuk dalam hidupku.” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i, hal. 232)
Kenikmatan Dunia
[350] Ibnul Munkadir rahimahullah berkata, “Kini tidak
tersisa lagi kelezatan di dunia kecuali tiga perkara; … sholat malam, berjumpa
dengan saudara [sesama muslim], dan sholat berjama’ah.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 237)
Hakikat Keimanan
[351] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidaklah
seorang hamba mencapai hakikat keimanan sampai dia bisa menganggap musibah
sebagai kenikmatan dan kelapangan sebagai musibah, dan sampai dia tidak menyukai
apabila dipuji karena ibadahnya kepada Allah.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 254)
Tingkatan Sabar
[352] Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Sabar ada dua
macam; sabar dalam menghadapi musibah, maka itu adalah baik. Dan yang lebih utama
lagi adalah sabar dalam menghindari maksiat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i,
hal. 259)
Sabar Menghadapi Musibah
[353] al-Ahnaf rahimahullah berkata, “Telah lenyap
penglihatan kedua mataku sejak empat puluh tahun lamanya dan aku tidak
menceritakan hal itu kepada siapapun.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.
261)
[354] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
“Diantara bentuk pengagungan kepada Allah dan pengenalan terhadap hak-Nya
adalah hendaknya engkau tidak mengadukan sakitmu dan menceritakan musibah yang
menimpamu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 266)
Pahala Sabar
[355] ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Sesungguhnya demam
itu akan menggugurkan dosa sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.”
(lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 268)
[356] Ibnu Abid Dunya rahimahullah berkata, “Adalah mereka
–para salaf- mengharapkan apabila mereka mengalami demam semalaman
mudah-mudahan bisa menggugurkan dosa-dosa yang telah berlalu.” (lihat Aina
Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.268)
Kehidupan Yang Bahagia
[357] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata,
“Kami mendapatkan sebaik-baik penghidupan kami dengan modal kesabaran.” (lihat
Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 272)
[358] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya
sabar dan syukur itu menjelma menjadi dua ekor onta maka aku tidak peduli di
atas onta yang mana -diantara keduanya- aku kendarai.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 278)
[359] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Tidaklah
Allah memberikan nikmat kepada seorang hamba lalu dicabutnya dan Allah gantikan
hal itu dengan kesabaran melainkan ganti yang Allah berikan pasti lebih baik
daripada apa nikmat dicabut darinya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.
279)
[360] Ada seorang lelaki meminta wasiat kepada Abud Darda’
radhiyallahu’anhu. Maka beliau berkata, “Ingatlah Allah pada saat senang
niscaya Allah akan mengingatmu pada saat susah.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 280)
Nikmat Atau Bencana?
[361] Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap
kenikmatan yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah –‘azza wa jalla–
maka itu adalah bencana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 282)
Sumber Datangnya Musibah
[362] Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Mereka
[salafus shalih] sedikit dosanya, oleh sebab itu mereka bisa mengetahui
darimana sumber musibah yang menimpanya. Adapun kita; dosa kita sangatlah
banyak, sehingga kita tidak bisa mengetahui dari dosa manakah kita mendapatkan
bencana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 289)
Rahasia Kebaikan
[363] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Aku
tidak peduli apakah aku memasuki waktu pagi dalam keadaan dirundung kesulitan
atau mendapatkan kemudahan -dalam urusan dunia-, sebab aku tidak mengetahui
manakah yang lebih baik bagiku.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 289)
Musibah Yang Lebih Besar
[364] Sebagian salaf berkata, “Kehilangan pahala [sabar]
pada saat musibah menimpa itu jauh lebih besar [merugikan] daripada musibah itu
sendiri.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 290)
Sabar Di Saat Sehat
[365] Sebagian salaf berkata, “Musibah itu bisa membuat
sabar orang beriman maupun orang kafir. Akan tetapi tidak akan bisa bersabar
ketika mendapatkan keselamatan dan kesehatan -untuk tidak bermaksiat- kecuali
orang yang shiddiq/jujur keimanannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal.
297)
Meringankan Musibah
[366] ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
“Barangsiapa yang bersikap zuhud di dunia niscaya musibah-musibah itu akan
terasa ringan baginya, dan barangsiapa yang menunggu-nunggu datangnya kematian
pastilah dia akan bersegera menuju kebaikan-kebaikan.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i, hal. 303)
Menyambut Musibah Dengan Gembira
[367] Ibrahim bin Dawud rahimahullah berkata: Sebagian orang
bijak mengatakan, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menghadapi
musibah-musibah yang menimpanya dengan kegembiraan.” Maka Ibrahim berkata,
“Mereka itu adalah orang-orang yang hatinya telah bersih dari kegandrungan terhadap
dunia.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 305)
Memusuhi Allah
[368] Abu Mas’ud al-Balkhi rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang tertimpa musibah kemudian merobek-robek pakaian atau
memukul-mukul dada, seolah-olah dia adalah orang yang sedang mengambil tombak
untuk mengobarkan peperangan dengan Rabbnya ‘azza wa jalla.” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i, hal. 305)
Kunci Keselamatan
[369] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Barangsiapa
yang membaca al-Qur’an dan mengikuti ajaran yang terdapat di dalamnya, maka
Allah akan tunjuki dirinya dari kesesatan dan Allah akan menjaganya pada hari
kiamat dari hisab yang buruk.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 829 oleh Imam
al-Baghawi rahimahullah)
Ilmu Yang Bermanfaat
[370] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun ilmu
nafi’/ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mensucikan hati dan ruh yang
pada akhirnya akan membuahkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu itu adalah
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
meliputi ilmu tafsir, hadits, dan fiqih serta segala ilmu yang menopang atau
membantunya semacam ilmu-ilmu bahasa arab…” (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar,
hal. 42)
Penyesalan Terbesar
[371] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Tidaklah aku menyesali sesuatu sebagaimana penyesalanku terhadap suatu hari
yang tenggelam matahari pada hari itu sehingga berkuranglah ajalku padanya
sedangkan amalku tidak kunjung bertambah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i
[2/11])
Tanda Kebinasaan
[372] al-Hasan rahimahullah berkata, “Salah satu ciri bahwa
Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala Allah menjadikan
kesibukan dirinya dalam hal-hal yang tidak penting baginya tatkala Allah ‘azza
wa jalla tidak lagi memberikan taufik kepadanya.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i [2/15])
Perjalanan Menghancurkan Usia
[373] Ahmad bin Masruq rahimahullah berkata, “Engkau
senantiasa berada dalam proses penghancuran umurmu, yaitu sejak engkau keluar
dari perut ibumu.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/22])
Kesibukan Yang Bermanfaat
[374] Wuhaib bin al-Ward rahimahullah berkata, “Jika engkau
sanggup membuat tidak ada seorang pun yang menyibukkan dirimu dari mengabdi
kepada Allah ta’ala maka lakukanlah.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/24])
Menyambut Negeri Akhirat
[375] Ada yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’
rahimahullah, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”. Maka beliau menjawab,
“Bagaimanakah menurutmu mengenai orang yang menempuh perjalanan setiap hari
melalui tahapan-tahapan menuju akhirat.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i
[2/27])
Memelihara Waktu
[376] Ibrahim bin Syaiban rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang menjaga untuk dirinya waktu-waktu yang dia jalani sehingga tidak
tersia-siakan dalam hal yang tidak mendatangkan keridhaan Allah padanya niscaya
Allah akan menjaga agama dan dunianya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i
[2/29])
Hakikat Kerugian
[377] Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Tidaklah aku
menangisi diriku apabila ia mengalami kematian, hanya saja yang aku tangisi
adalah apabila kebutuhanku [ibadah] telah sirna.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i [2/42])
Menjaga Lisan
[378] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang mengetahui bahwa ucapannya termasuk dari amalnya niscaya akan
sedikit ucapannya kecuali dalam perkara yang penting baginya atau bermanfaat
untuknya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/72])
Celah Bagi Setan
[379] az-Zuhri rahimahullah berkata, “Apabila suatu majelis
itu lama maka setan pasti berusaha untuk campur tangan di dalamnya.” (lihat
Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/77])
Penjagaan Ketat
[380] Muhammad bin Wasi’ berkata kepada Malik bin Dinar,
“Wahai Abu Yahya, menjaga lisan itu jauh lebih berat bagi manusia daripada
menjaga dinar dan dirham.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/83])
Tanda Kebaikan dan Keburukan
[381] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah
memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i [2/84])
Binatang Buas
[382] Thawus rahimahullah berkata, “Lisanku adalah binatang
buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas niscaya ia akan memakan diriku.”
(lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/90])
Bahaya Namimah
[383] Yahya bin Aktsam rahimahullah berkata, “Tukang
namimah/adu-domba lebih jelek daripada tukang sihir. Seorang tukang namimah
bisa melakukan sesuatu dalam waktu satu jam apa yang tidak bisa dilakukan oleh
seorang tukang sihir selama sebulan.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/128])
Bahaya Dusta
[384] ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
“Sebesar-besar kesalahan di sisi Allah adalah lisan yang suka berdusta dan
seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat.” (lihat Aina Nahnu
min Haa’ulaa’i [2/138])
Amal Yang Tidak Diterima
[385] Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Tiga hal yang
menyebabkan amalan tidak akan diterima apabila disertai olehnya, yaitu; syirik,
kekafiran, dan ra’yu.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ra’yu.” Beliau
menjawab, “Yaitu apabila dia meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan
beramal dengan ra’yu/pendapatnya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li
Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 359)
Dosa Yang Terus Mengalir
[386] Habib Abu Muhammad rahimahullah berkata, “Salah satu
tanda kebahagiaan bagi seorang hamba adalah apabila dia mati maka ikut mati
pula dosa-dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
361)
Akibat Dosa
[387] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku terhalang
dari melakukan sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah
aku lakukan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 361)
Mencari Tempat Yang Tepat
[388] Seorang lelaki berkata kepada Hatim al-Asham
rahimahullah, “Berikanlah nasehat kepadaku.” Maka beliau berkata, “Jika kamu
ingin berbuat maksiat kepada Tuhanmu maka lakukanlah hal itu di tempat yang
tidak dilihat-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
362)
Kepada Siapa Hal Itu Ditujukan
[389] Bilal bin Sa’id rahimahullah berkata, “Janganlah kamu
melihat kecilnya kesalahan, akan tetapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat
durhaka.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 362)
Antara Tangisan dan Penyesalan
[390] Bakr bin Abdullah al-Muzani rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang melakukan dosa sambil tertawa-tawa, maka dia akan masuk neraka
sambil menangis.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
362)
Kelembutan Hati
[391] Mak-hul rahimahullah berkata, “Orang-orang yang paling
lembut hatinya adalah orang-orang yang paling sedikit dosanya.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 364)
Bau Busuk Maksiat
[392] Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya
dosa itu mengeluarkan bau niscaya kalian
tidak akan sanggup mendekat kepadaku, karena betapa busuknya bau [dosa] yang
keluar dariku.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 365)
Mengagungkan Sunnah
[393] Qotadah rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah
berfatwa dengan pendapatku sendiri sejak tiga puluh tahun lamanya.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 367)
Keyakinan Yang Kuat
[394] Muhammad bin al-Mubarak rahimahullah berkata,
“Tidaklah beriman dengan benar kepada Allah orang yang berharap kepada makhluk
mengenai sesuatu yang telah dijamin oleh Allah [rizki].” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 381)
Merasa Cukup
[395] Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang merasa cukup dengan pertolongan Allah niscaya manusia akan
membutuhkan dirinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
388)
Semangat Para Ulama
[396] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku pernah
mengkhatamkan al-Qur’an enam puluh kali dalam bulan Ramadhan.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 394)
Zuhud Terhadap Kekuasaan
[397] Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Zuhud dalam
hal kepemimpinan lebih berat daripada zuhud dalam urusan dunia.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 399)
Ridha Dengan Kesederhanaan
[398] Abu Usamah menceritakan: Mis’ar pernah berkata
kepadaku, “Wahai Abu Usamah, orang yang telah merasa puas dengan cuka dan sayur
niscaya orang-orang tidak akan memperbudak dirinya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 400)
Orang Yang Zuhud
[399] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang
mengatakan bahwa Malik bin Dinar adalah orang yang zuhud. Sesungguhnya orang
yang zuhud itu adalah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz; orang yang dunia datang
menghampirinya akan tetapi dia justru meninggalkannya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 400)
Kemuliaan Sabar
[400] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah
hamba mendapatkan karunia yang lebih utama daripada kesabaran. Karena dengan
sebab kesabaran itulah mereka masuk ke dalam surga.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 459)
Keutamaan Sabar dan Syukur
[401] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah maka hamba yang paling dicintai adalah
orang yang sabar dan pandai bersyukur. Yaitu orang yang apabila diberikan ujian
maka dia bersabar, dan apabila diberi karunia maka dia pun bersyukur.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 462)
Mencintai Para Sahabat
[402] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Amalku yang
paling aku andalkan dalam pandanganku adalah kecintaan kepada para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li
Hilyat al-Auliyaa’, hal. 463)
Bodoh Tentang Sunnah
[403] Abu Ja’far al-Baqir rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu’anhuma maka
sesungguhnya dia telah bodoh terhadap Sunnah/ajaran Nabi.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 466)
Jurus Keselamatan
[404] Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersahabatlah
dengan manusia sebagaimana kamu bergaul dengan api. Ambillah manfaat darinya
dan berhati-hatilah jangan sampai dia membakar dirimu.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 475)
Mengenali Riya’
[405] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak bisa
mengenali riya’ kecuali orang yang ikhlas.” (lihat Bustan al-Arifin, hal. 99)
Keutamaan Menimba Ilmu
[406] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada
suatu amal setelah amalan-amalan wajib yang lebih utama daripada menuntut
ilmu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 526)
Ibadah Paling Utama
[407] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, bahwa ibadah yang paling utama adalah menunaikan kewajiban dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa’, hal. 532)
Kunci Kebaikan Umat
[408] Ada seseorang yang datang menemui Maimun bin Mihran
dan berkata kepadanya, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama engkau berada
di tengah-tengah mereka.” Maka beliau mengatakan, “Umat manusia senantiasa
berada dalam kebaikan selama mereka tetap bertakwa kepada Allah.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)
Teladan Seorang Ulama
[409] Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Tidaklah
aku melihat seorang semisal Ahmad bin Hanbal. Kami telah bersahabat dengannya
selama lima puluh tahun, meskipun demikian beliau sama sekali tidak pernah
membanggakan kepada kami apa-apa yang ada pada dirinya berupa kesalihan dan
kebaikan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)
Keutamaan ‘Uzlah dan Jama’ah
[410] Mak-hul rahimahullah berkata, “Apabila keutamaan itu
ada pada jama’ah -berkumpul bersama orang banyak- maka sesungguhnya keselamatan
itu ada pada ‘uzlah -menjauhkan diri dari fitnah-.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 545)
Orang Yang Berakal
[411] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah
orang yang berakal itu yang mengenali kebaikan dan keburukan. Hanyalah orang
yang berakal itu adalah apabila melihat kebaikan maka dia pun mengikutinya, dan
apabila melihat keburukan maka dia pun menjauhinya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 558)
Pengangguran
[412] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh aku
tidak senang apabila melihat ada orang yang menganggur; yaitu dia tidak sedang
melakukan amal untuk dunianya dan tidak juga beramal untuk akhirat.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 560)
Antara Amal dan Tawakal
[413] Muslim bin Yasar rahimahullah berkata, “Beramallah
seperti halnya amalan seorang lelaki yang tidak bisa menyelamatkan dirinya
kecuali amalnya. Dan bertawakallah sebagaimana tawakalnya seorang lelaki yang
tidak akan menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla untuknya.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 561)
Nasehat Yang Tidak Membekas
[414] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
seorang alim/ahli ilmu apabila tidak beramal dengan ilmunya maka akan lenyaplah
nasehat yang diberikannya dari hati manusia sebagaimana mengalirnya tetesan air
hujan di atas batu.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
569)
Niat Yang Salah
[415] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang menuntut ilmu untuk diamalkan niscaya Allah berikan taufik kepadanya. Dan
barangsiapa menuntut ilmu bukan untuk diamalkan maka ilmunya akan semakin
membuatnya congkak.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
569)
Dokter Yang Dungu
[416] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Perumpamaan
seorang yang mempelajari suatu ilmu namun dia tidak mau mengamalkannya adalah
seperti seorang dokter yang memiliki obat-obatan akan tetapi tidak mau berobat
dengannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 571)
Menundukkan Pandangan
[417] Waki’ menuturkan: Suatu saat kami berangkat bersama
Sufyan ats-Tsauri pada hari raya/’Ied. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya hal
pertama kali yang [semestinya] kita lakukan pada hari ini adalah menundukkan
pandangan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 579)
Zaman Fitnah
[418] Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu berkata,
“Benar-benar akan datang suatu masa dimana tidak akan selamat pada waktu itu
kecuali orang yang senantiasa berdoa seperti doa orang yang hampir tenggelam.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 588)
Hasil Ujian
[419] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata: Ada seorang
rahib yang bertemu denganku. Dia berkata, “Wahai Sa’id. Dalam fitnah akan
menjadi jelas siapa yang menyembah Allah dan siapa yang menyembah thaghut.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 593)
Nikmat Paling Utama
[420] Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Aku tidak
mengetahui manakah diantara kedua macam nikmat ini yang lebih utama; ketika
Allah berikan hidayah kepadaku untuk memeluk Islam ataukah ketika Allah
menyelamatkan aku dari hawa nafsu/bid’ah-bid’ah ini?” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 601)
Dzikir Paling Utama
[421] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Dzikir yang
paling utama adalah membaca al-Qur’an di dalam sholat, kemudian membaca
al-Qur’an di luar sholat, lalu puasa, lalu dzikir [dengan lisan].” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 632)
Penasihat Dari Dalam
[422] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Jika Allah
berkehendak baik kepada seorang hamba maka Allah akan jadikan untuknya
penasihat dari dalam hatinya yang memerintah dan melarangnya.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 655)
Penyebab Kerasnya Hati
[423] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Dua perkara
yang akan mengeraskan hati, yaitu terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak
makan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 657)
Pengaruh Nasihat
[424] Syahr bin Hausyab rahimahullah berkata, “Jika seorang
menuturkan pembicaraan kepada suatu kaum niscaya pembicaraannya akan meresap ke
dalam hati mereka sebagaimana sejauh mana pembicaraan [nasihat] itu bisa
teresap ke dalam hatinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’,
hal. 660)
Akibat Pertengkaran
[425] Abu Ja’far rahimahullah berkata, “Jauhilah oleh kalian
pertengkaran; karena sesungguhnya hal itu akan merusak hati dan menumbuhkan
bibit kemunafikan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
661)
Musibah Terbesar
[426] Hudzaifah al-Mar’asyi rahimahullah berkata, “Tidaklah
seorang tertimpa musibah yang lebih berat daripada kerasnya hati.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)
Nasihat Yang Membekas
[427] ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Tidaklah
bermanfaat bagi hati [nasihat] kecuali yang keluar dari dalam hati.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)
Antara Hati dan Pakaian
[428] Abu Idris rahimahullah berkata, “Hati yang bersih di
dalam pakaian yang kotor lebih baik daripada hati yang penuh kotoran di dalam
selubung pakaian yang bersih.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa’, hal. 661)
Orang Paling Kaya
[429] ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang merasa cukup [qona’ah] dengan apa yang dibagikan Allah untuknya maka dia
adalah orang yang paling berkecukupan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa’, hal. 662)
Sumber Bencana
[430] Hatim al-‘Asham rahimahullah berkata, “Pokok segala
musibah ada tiga, yaitu kesombongan, ketamakan, dan hasad/dengki.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 670)
Kejujuran Iman
[431] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman
itu dengan berhias diri atau berangan-angan. Sesungguhnya iman adalah apa yang
bersemayam di dalam hati dan dibuktikan oleh amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in
fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)
Prasangka Baik dan Prasangka Buruk
[432] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal,
adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun
memperburuk amal.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman,
hal. 1157)
Sifat Kaum Beriman
[433] Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan tentang sifat
orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60]
yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa
takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal
kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan
diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi
Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)
Konsisten Dalam Beramal
[434] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sebagian orang
enggan untuk mudaawamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah
seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau
dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi
seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid
wa al-Iman, hal. 1160)
Iman Yang Hakiki
[435] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Iman yang
sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla
walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan
oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwal
at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1161)
Sebatang Pohon Keimanan
[436] Thawus rahimahullah berkata, “Perumpamaan iman adalah
seperti sebatang pohon. Pokoknya adalah syahadat, cabang dan daunnya adalah
demikian. Adapun buahnya adalah wara’ [kehati-hatian]. Tidak ada kebaikan pada
pohon yang tidak ada buahnya. Dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak
memiliki sifat wara’.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman,
hal. 1163)
Antara Ucapan dan Perbuatan
[437] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku
membandingkan ucapanku dengan perbuatanku kecuali aku khawatir termasuk orang
yang didustakan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal.
1167)
Simpul Terkuat Keimanan
[438] Mujahid rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul
keimanan adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat Aqwal
at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)
Doa Tanpa Usaha
[439] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Perumpamaan
orang yang berdoa tanpa beramal [berusaha] adalah seperti orang yang memanah
tanpa tali busur.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman,
hal. 1174)
Kesempurnaan Iman
[440] Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu
telanjang, pakaiannya adalah ketakwaan, hartanya adalah fikih [ilmu agama], dan
perhiasannya adalah rasa malu.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa
al-Iman, hal. 1176)
Ciri Orang Munafik
[441] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang tidak khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat
Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1218)
Akibat Mendengar Nyanyian
[442] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il
at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1222)
Lebik Baik Daripada Dunia Seisinya
[443] Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata, “Sungguh
apabila pada diriku tidak terdapat kemunafikan itu lebih aku cintai daripada
dunia dan segala yang ada padanya. Adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu
mengkhawatirkan dirinya tertimpa hal itu sedangkan aku justru merasa aman
darinya!” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)
Separuh Keimanan
[444] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tawakal kepada
Allah adalah separuh keimanan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa
al-Iman, hal. 1225)
Semoga Demikian
[445] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika
dikatakan kepadamu, ‘Apakah kamu mukmin?’ maka jawablah, ‘Aku berharap
begitu’.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1248)
Menyia-nyiakan Harta
[446] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Termasuk
perbuatan menyia-nyiakan harta adalah ketika Allah memberikan kepadamu rizki
yang halal kemudian kamu membelanjakannya untuk bermaksiat kepada Allah.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 691)
Mengenal Allah
[447] Ali bin al-Hasan bin Syaqiq rahimahullah bertanya
kepada Ibnul Mubarak, “Bagaimana semestinya cara kita mengenali Rabb kita ‘azza
wa jalla?”. Beliau menjawab, “Di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.
Kita tidak mengatakan sebagaimana Jahmiyah; bahwa Dia berada di sini, yaitu di
bumi.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/111])
Keyakinan Kufur
[448] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “al-Qur’an
adalah kalam/ucapan Allah ‘azza wa jalla, barangsiapa mengatakan bahwa ia
adalah makhluk maka dia adalah kafir. Dan barangsiapa yang meragukan tentang
kekafirannya maka dia pun kafir.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad
[1/112])
[449] Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa
mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk maka dia adalah kafir.” (lihat as-Sunnah
oleh Abdullah bin Ahmad [1/116])
Pemuja Berhala
[450] Harun bin Ma’ruf rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah orang yang
memuja berhala.” (lihat as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad [1/127])
Sifat Seorang Mukmin
[451] Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, “Seorang
mukmin adalah orang yang senantiasa merasa diawasi Allah, mengevaluasi dirinya,
dan membekali diri untuk menyambut akhiratnya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i
li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 711)
Tanda Kecintaan dan Kebencian
[452] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Jika Allah
mencintai seorang hamba maka Allah akan memperbanyak kekhawatirannya. Dan
apabila Allah membenci seorang hamba maka Allah akan melapangkan dunianya.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 717)
Bukan Tanda Cinta
[453] Bisyr bin as-Sari rahimahullah berkata, “Bukanlah
termasuk tanda-tanda kecintaan apabila engkau justru mencintai apa yang dibenci
oleh orang yang kamu cintai.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa‘, hal. 717)
Tanda Cinta Kepada Allah
[454] Dzun Nun rahimahullah berkata, “Salah satu tanda orang
yang benar-benar mencintai Allah adalah tidak memiliki kebutuhan kepada
[sesembahan] selain Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa‘, hal. 721)
Antara Cinta dan Syari’at
[455] Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Bukanlah orang
yang jujur yang mengaku cinta kepada-Nya akan tetapi tidak menjaga
batasan/aturan-Nya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal.
723)
Kerinduan dan Ketentraman Bersama Allah
[456] Ibnu al-Farghani rahimahullah berkata, “Kecintaan
pasti menumbuhkan kerinduan, sedangkan kerinduan pasti membuahkan ketentraman.
Barangsiapa yang kehilangan kerinduan dan ketentraman -dalam beribadah- maka
ketahuilah bahwa dia bukan seorang pecinta yang sejati.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 733)
Mengorbankan Agama Demi Dunia
[457] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Apabila
seorang an-Naasik [ahli ibadah] telah diridhai oleh semua tetangganya, maka
ketahuilah bahwa dia adalah orang yang suka ber-mudahanah/basa-basi dengan
mengorbankan agama, pent.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘,
hal. 736)
Tetap Istiqomah
[458] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi
Allah yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah membahayakan
bagi seorang hamba yang senantiasa berada di atas Islam pada waktu pagi hingga
sore hari, apapun yang menimpa dirinya dari masalah-masalah dunia.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 741
Tidak Suka Pujian
[459] Adalah Ibnu Muhairiz rahimahullah, apabila ada orang
yang memuji-muji dirinya maka dia berkata, “Tidakkah kamu mengetahui? Apa sih
yang kamu ketahui -tentang diriku, pent-?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li
Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 742)
Tidak Lupa Daratan
[460] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Para ulama
mengatakan bahwa pujian tidak akan memperdaya seorang yang benar-benar telah
mengenali hakikat dirinya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat
al-Auliyaa‘, hal. 743)
Keadaan Para Ulama
[461] Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, “Adalah para
ulama dahulu apabila telah berilmu maka mereka pun mengamalkan ilmunya. Apabila
mereka telah beramal, mereka pun disibukkan dengannya. Kalau mereka telah sibuk
dengannya mereka pun lenyap. Apabila mereka telah lenyap maka mereka pun
dicari. Dan apabila mereka dicari maka mereka pun lari.” (lihat Shalahul Ummah
fi ‘Uluwwil Himmah [1/106])
Faidah Kisah Ulama
[462] Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Menceritakan
tentang keadaan para ulama dan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka lebih aku
sukai daripada banyak membicarakan fikih [ilmu], karena dengan membaca kisah
mereka kita akan mengetahui adab serta akhlak mereka.” (lihat Shalahul Ummah fi
‘Uluwwil Himmah [1/109])
Nasehat Membekas
[463] Suatu ketika Hasan al-Bashri rahimahullah melewati
Thawus rahimahullah ketika sedang mendektekan hadits di Masjidil Haram dalam
sebuah halaqah yang besar. Hasan pun mendekatinya. Hasan berkata kepadanya di
telinganya, “Apabila dirimu telah membuatmu ujub hendaklah engkau bangkit dari
majelis ini.” Segera setelah itu Thawus pun bangkit meninggalkan majelis itu
(lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/130])
Sebuah Keadilan
[464] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang ingin melihat orang yang riya’ hendaklah dia melihatku.” (lihat Shalahul
Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/132])
[465] Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku
mencintai orang-orang salih sementara aku bukanlah termasuk diantara mereka.
Dan aku membenci orang-orang jahat sementara aku lebih jelek daripada mereka.”
(lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/133])
Orang Gila
[466] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila aku
melihat ada orang yang orang-orang lain berkumpul di sekelilingnya niscaya aku
katakan bahwa ini adalah orang gila. Siapakah orang yang orang lain berkumpul
di sekitarnya kemudian dia tidak senang membagus-baguskan ucapannya kepada
mereka! (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/134])
Pujian dan Kenyataan
[467] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Para ulama
mengatakan; pujian tidaklah akan memperdaya orang yang telah mengenali hakikat
dirinya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
743)
Mencintai Musibah
[468] Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Tiga perkara
yang aku cintai akan tetapi orang-orang membencinya; kemiskinan, sakit, dan
kematian.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 768)
Adab Di Dalam Masjid
[469] Yunus bin Abu Ishaq rahimahullah berkata, “Adalah Amr
bin Maimun apabila telah masuk ke dalam masjid maka beliau pun berdzikir kepada
Allah ‘azza wa jalla.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’,
hal. 771)
[470] Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Adalah ‘Abdah
apabila sedang berada di dalam masjid maka beliau tidak mau membicarakan
sedikit pun urusan dunia.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’,
hal. 771)
Tunduk Kepada Atsar
[471] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Pelajarilah
atsar-atsar ini. Barangsiapa yang melontarkan pendapat dengan akalnya, katakanlah:
‘Pendapatku sama kedudukannya dengan pendapatmu’.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 359)
Kebahagiaan
[472] Habib Abu Muhammad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
termasuk bagian dari kebahagiaan seorang adalah tatkala ia meninggal maka
meninggal pula dosa-dosanya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah
al-Auliya’, hal. 361)
Pokok-Pokok Agama
[473] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
“Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan
apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa
semua bid’ah adalah sesat. Kami meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan
duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan
perbantahan, perdebatan, dan pertengkaran dalam urusan agama.” (lihat ‘Aqa’id
A’immah as-Salaf, hal. 19)
al-Qur’an Kalamullah
[474] Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri al-Kufi rahimahullah
berkata, “al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dari-Nya ia datang dan
kepada-Nya ia akan kembali. Barangsiapa yang berkeyakinan menyelisihi hal ini
maka dia adalah kafir.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 141)
Iman Kepada Takdir
[475] Imam al-Humaidi rahimahullah berkata, “as-Sunnah dalam
pandangan kami adalah hendaknya seorang mengimani takdir yang baik maupun yang
buruk, yang manis maupun yang pahit…” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal.
151)
Antara Mukmin dan Munafik
[476] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang
mukmin berhusnuzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia membaguskan amalnya.
Adapun orang munafik bersu’uzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia memperburuk
amalnya.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)
Merealisasikan Iman
[477] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman
itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan
tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan
amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)
Pilar-Pilar Keimanan
[478] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Iman adalah
ucapan. Dan tidak ada ucapan kecuali harus disertai dengan amalan. Tidak ada
ucapan dan amalan kecuali harus dilandasi dengan niat. Tidak ada ucapan, amalan
dan niat kecuali harus dilandasi dengan as-Sunnah.” Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il
at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1153)
Cinta dan Benci Karena Allah
[479] Mujahid rahimahullah berkata, “Simpul keimanan yang
paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (lihat Aqwal
at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)
Islam Adalah Fitrah
[480] Mujahid rahimahullah menafsirkan firman Allah (yang
artinya), “Itulah fitrah dari Allah yang Allah ciptakan manusia di atasnya…”
(QS. Ar-Ruum: 30). Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah,
“Islam.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 48)
Pilar-Pilar Keimanan
[481] Imam al-Humaidi rahimahullah berkata, “Iman adalah
ucapan dan amalan, ia bisa bertambah dan berkurang. Tidaklah bermanfaat ucapan
tanpa amalan. Tidak juga bermanfaat amalan dan ucapan kecuali dengan dilandasi
niat [baca; ikhlas]. Dan tidaklah bermanfaat ucapan, amal yang dibarengi niat
tersebut kecuali apabila selaras dengan Sunnah.” (lihat ‘Aqa’id A’immah
as-Salaf, hal. 151-152)
Keutamaan Wara’/Sikap Hati-Hati
[482] Thawus rahimahullah berkata, “Iman itu laksana
sebatang pohon. Pokoknya adalah syahadat, sedangkan cabang dan daunnya adalah
ini dan itu. Adapun buahnya adalah sifat wara’/hati-hati. Tidak ada kebaikan
pada pohon yang tidak ada buahnya. Dan tidak ada kebaikan pada seorang insan
yang tidak ada wara’ dalam dirinya.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il
at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1163)
Menilai Diri Sendiri
[483] Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku
menghadapkan/menguji ucapanku kepada amal yang aku lakukan, melainkan aku takut
kalau aku menjadi orang yang didustakan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il
at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1167)
Hakikat Penglihatan
[484] Qatadah rahimahullah menafsirkan makna dari firman
Allah (yang artinya), “Katakanlah; apakah sama antara orang yang buta dengan
orang yang melihat? Apakah kalian tidak memikirkan?” (QS. Al-An’aam: 50).
Beliau mengatakan, “Orang yang melihat adalah seorang hamba yang beriman. Dia
bisa melihat dengan pandangan yang bermanfaat/membawa pengaruh. Dengan sebab
itu, dia pun mentauhidkan Allah semata, beramal dengan ketaatan kepada Rabbnya,
dan memetik manfaat dari karunia yang Allah berikan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in
fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1182)
Sebuah Konsensus Ulama
[485] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kaum salaf/pendahulu yang salih telah sepakat bahwasanya iman adalah meliputi
ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il
at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1204)
Akibat Menikmati Lagu-Lagu
[486] Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan,
“Nyanyian/lagu-lagu itu akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” (lihat
Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1222)
Lebih Berharga Daripada Dunia Seisinya
[487] Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata, “Apabila di
dalam diriku tidak ada kemunafikan maka sungguh itu jauh lebih aku sukai
daripada dunia seisinya. Adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu mengkhawatirkan hal
itu, sementara aku justru merasa aman darinya!” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi
Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)
Mengkhawatirkan Diri Sendiri
[488] Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “Setiap ayat
di dalam al-Qur’an yang di dalamnya terdapat penyebutan mengenai kemunafikan,
maka aku mengkhawatirkan hal itu ada di dalam diriku!” (lihat Aqwal at-Tabi’in
fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1223)
Separuh Keimanan
[489] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tawakal kepada
Allah adalah separuh keimanan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa
al-Iman, hal. 1225)
Sebuah Harapan
[490] Ada seorang lelaki bertanya kepada ‘Alqomah, “Apakah
kamu mukmin/orang beriman?” Beliau menjawab, “Aku berharap demikian, insya
Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1247)
Hak Kedua Orang Tua
[491] Yazid bin Abi Habib rahimahullah berkata, “Para ulama
dahulu menyatakan; Hak ibu lebih utama daripada hak ayah, dan masing-masing
memiliki hak yang harus ditunaikan.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh
al-Marwazi, hal. 5)
[492] Abu Ishaq asy-Syaibani rahimahullah berkata: Aku
pernah bertanya kepad asy-Sya’bi, “Apakah ibu dan ayah dalam hal kewajiban
bakti kepadanya adalah setara?” Beliau menjawab, “Ibu yang lebih berhak.”
(lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 7)
[493] ‘Atho’ rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang anak
tidak mengimami ayahnya, meskipun dia sudah menjadi orang yang lebih
faqih/paham agama daripada ayahnya.” (lihat Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh
al-Marwazi, hal. 11)
[494] Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, dia berkata:
Ada seorang yang datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memohon ijin ikut berjihad. Beliau pun bertanya kepadanya, “Apakah kedua orang
tuamu masih hidup?”. Muhammad -salah seorang periwayat- meriwayatkan, “Apakah
kamu memiliki kedua orang tua?”. Dia menjawab, “Iya.” Beliau pun bersabda,
“Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada mereka berdua.” (lihat Kitab
al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 25)
[495] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: ‘Ubaidullah
bin Abi Yazid bertanya kepada ‘Ubaid bin ‘Umair, “Apakah seorang lelaki boleh
berangkat perang sementara kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka
berdua tidak suka?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” (lihat Kitab al-Birr wa
ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 35)
[496] Zurarah bin Aufa rahimahullah menceritakan: Ada
seorang lelaki bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya aku telah bernazar
untuk berperang melawan Romawi. Akan tetapi ternyata kedua orang tuaku
melarangku berangkat.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Taatilah kedua orang tuamu.
Adapun Romawi, akan kamu dapatkan orang lain yang memeranginya selain dirimu.” lihat
Kitab al-Birr wa ash-Shilah oleh al-Marwazi, hal. 36)
Kehati-hatian Para Ulama
[497] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Aku telah
berjumpa dengan para fuqoha/ahli agama, dalam keadaan mereka tidak suka
memberikan jawaban untuk masalah dan permintaan fatwa. Mereka tidak berfatwa
kecuali dalam keadaan tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali harus
berfatwa.” (lihat mukadimah Kitab az-Zuhd Mu’afa bin ‘Imran, hal. 58)
Antara Kematian dan Kesadaran
[498] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Orang-orang
itu tertidur [baca; tenggelam dalam kelalaian, pent], maka apabila mereka telah
meninggal, barulah mereka tersadar.” (lihat mukadimah Kitab az-Zuhd Mu’afa bin
‘Imran, hal. 60)
Cukupkan Diri Dengan Hadits Sohih
[499] Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Di dalam menelaah
hadits-hadits yang sohih sudah cukup menyibukkan daripada mengikuti
hadits-hadits yang tidak sohih.” (lihat mukadimah kitab al-Jihad karya Ibnul
Mubarok, hal. 16)
Aqidah Ahlus Sunnah
[500] Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “al-Qur’an adalah
Kalam Allah, ia bukan Sang Khaliq, dan juga bukan makhluk.” (lihat mukadimah
kitab al-Jihad karya Ibnul Mubarok, hal. 19)
Amal Adalah Buah Ilmu
[501] Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata,
“Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu
amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh
sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun
tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah
al-Ushul, hal. 12)
Mengetahui Kebenaran Saja Belum Cukup
[502] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak
kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa
dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya.
Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah
mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya [ibadah] apabila dia
tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang
paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu namun
tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah
pengakuan/ikrar, bukan semata-mata pembenaran/tashdiq. Di dalam ikrar/pengakuan
itu telah terkandung; ucapan hati [qaul qalbi] yaitu adalah berupa
tashdiq/pembenaran, dan juga amalan hati [‘amalul qalbi] yaitu berupa
inqiyad/kepatuhan.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syaikh
Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 92)
Jangan Bersandar Kepada Amal
[503] Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata,
“Wajib bagi setiap hamba untuk tidak bergantung dan bersandar hanya kepada
amalnya, bagaimana pun baik dan konsisten ia dalam melakukannya. Janganlah dia
terpedaya oleh ibadahnya, demikian pula karena banyaknya dzikirnya kepada
Allah, dan ketaatan-ketaatan yang lainnya yang telah dia kerjakan.” (lihat
‘Asyara Qawa’id fi al-Istiqomah, hal. 28)
Urgensi Dzikir
[504] Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata,
“Tidaklah samar bagi setiap muslim tentang urgensi dzikir dan begitu besar
faidah darinya. Sebab dzikir merupakan salah satu tujuan termulia dan tergolong
amal yang paling bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Allah
telah memerintahkan berdzikir di dalam al-Qur’an al-Karim pada banyak kesempatan.
Allah memberikan dorongan untuk itu. Allah memuji orang yang tekun melakukannya
dan menyanjung mereka dengan sanjungan terbaik dan terindah.” (lihat dalam Fiqh
al-Ad’iyah wa al-Adzkar [1/11])
Sumber Kebaikan Alam Semesta
[505] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya,
niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini
sebabnya adalah menyelisihi rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian
pula segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada
rasul.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/236-237])
Hakikat Ahlus Sunnah
[506] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang sesuai dengan as-Sunnah maka dia adalah pengikut Sunnah
[baca: Ahlus Sunnah]. Dan barangsiapa yang menyelisihi as-Sunnah maka dia
bukanlah pengikut Sunnah.” (lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah [1/53])
[507] Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah
berkata, “..Sesungguhnya mereka -Ahlus Sunnah- adalah orang-orang yang
berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta mengikuti apa-apa yang telah disepakati oleh para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini. Mereka tidak
menyelisihi dalam hal pokok-pokok agama. Termasuk di dalamnya adalah
orang-orang awam diantara kaum muslimin yang mengikuti mereka.” (lihat Mauqif
Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ [1/38])
Prioritas Paling Utama
[508] Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata,
“… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama
dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya
atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda.
Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan
mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian
pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa
merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Kehati-Hatian Para Ulama Hadits
[509] Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
bisa jadi ada seorang yang menuturkan hadits kepadaku dan aku sama sekali tidak
mencurigai/meragukan kredibilitasnya. Akan tetapi aku mencurigai orang lain
yang menuturkan hadits itu kepadanya. Dan sungguh bisa jadi ada seseorang yang
menyampaikan hadits dari orang lain sedangkan aku sama sekali tidak mencurigai
kredibilitas orang lain tersebut, namun aku justru curiga/meragukan kepada
orang yang menuturkan hadits itu kepada diriku.” (lihat adh-Dhu’afa’ al-Kabir
Jilid 1 hal. 7)
[510] Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Tidaklah
seorang menjadi imam/teladan apabila dia selalu menuturkan setiap pembicaraan/hadits
yang dia dengar. Dan tidak pula menjadi imam/panutan orang yang senantiasa
menyampaikan hadits -tanpa meneliti- dari siapa pun datangnya.” (lihat
adh-Dhu’afa’ al-Kabir Jilid 1 hal. 9)
Buah Tawakal
[511] Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya buah dari tawakal adalah ridha terhadap
qadha’/ketetapan takdir. Barangsiapa yang menyerahkan urusan-urusannya kepada
Allah dan ridha dengan apa yang ditetapkan-Nya dan apa yang dipilihkan Allah
baginya, maka dia telah merealisasikan tawakal dengan sebenarnya.” (lihat Ibnu
Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf, hal. 360)
Mengikhlaskan Niat
[512] Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata,
“Mengikhlaskan niat untuk Allah ta’ala senantiasa menjadi syari’at/ajaran
semenjak masa-masa umat sebelum kita dan kemudian dilanjutkan di masa kita yang
datang sesudah mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah
mensyariatkan untuk kalian agama sebagaimana apa yang telah diwasiatkan kepada
Nuh.” (QS. Asy-Syura: 13). Abul ‘Aliyah menafsirkan, “Allah mewasiatkan kepada
mereka untuk ikhlas kepada Allah ta’ala dan beribadah kepada-Nya yang tidak ada
sekutu bagi-Nya”…” (lihat al-I’lam bi Fawa’id ‘Umdah al-Ahkam Jilid 1 hal. 164)
Tahapan Ilmu
[513] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah dan para ulama lain
mengatakan, “Tahapan awal dari ilmu adalah mendengarkan, kemudian diam, lalu
menghafalkan, lalu mengamalkan, kemudian menyebarkannya.” (lihat Fath al-Bari
tahqiq Syaibatul Hamd Juz 1. hal. 262)
Kedudukan Niat
[514] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
amal-amal itu menjadi berbeda-beda keutamaannya dan akan semakin besar
pahalanya sebanding dengan apa-apa yang ada di dalam hati si pelaku amalan,
yaitu iman dan keikhlasan…” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, dalam al-Majmu’ah
al-Kamilah Juz 9 hal. 11)
Menjauhi Fitnah
[515] Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
sengaja mendekat-dekat kepada fitnah maka keselamatan akan justru menjauhi
dirinya. Dan barangsiapa yang mendaku dirinya pasti bisa bersabar dalam
menghadapi fitnah itu niscaya dia akan dibuat bersandar kepada dirinya
sendiri.” (lihat Ma’alim fi at-Ta’aamul ma’a al-Fitan, hal. 66)
[516] Wuhaib bin al-Warad rahimahullah berkata, “Aku dapati
uzlah/mengasingkan diri dari fitnah itu [juga] berlaku pada perkara lisan.”
(lihat al-‘Uzlah wa al-Infirad, hal. 98)
Sedikit Tapi Kontinyu
[517] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
amal yang sedikit tapi terus-menerus itu lebih baik daripada amal yang banyak
dan terputus dikarenakan dengan terus-menerusnya amal yang sedikit itu akan
lebih melanggengkan ketaatan, melestarikan dzikir dan muroqobah, menjaga niat
dan keikhlasan dan memelihara konsentrasi pengabdian kepada al-Khaliq subhanahu
wa ta’ala. Dengan alasan-alasan itulah amal yang sedikit tapi kontinyu akan
membuahkan pahala yang jauh lebih berlipat ganda daripada amalan yang besar
tapi terputus. (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayani Asbab Tafadhul al-A’mal, hal.
88)
Perhatian Lebih Besar Terhadap Ibadah Hati
[518] Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Orang yang paling
utama adalah orang yang menempuh jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
jalan para Sahabatnya yang istimewa yaitu melakukan ibadah badaniyah secara
sederhana/pertengahan dan lebih bersungguh-sungguh dalam mengurusi
ibadah-ibadah hati. Karena sesungguhnya perjalanan menuju kampung akhirat itu
dilalui dengan perjalanan hati, bukan [semata-mata] perjalanan badan.” (lihat
Tajrid al-Ittiba’ fi Bayani Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 101)
Penyimpangan Dalam Hal Definisi Iman
[519] al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Para Salaf
mengingkari dengan keras orang-orang yang mengeluarkan amal dari istilah iman.
Diantara yang mengingkari hal itu kepada para pencetus pemikiran tersebut serta
menilai hal itu sebagai pendapat yang mengada-ada/bid’ah adalah Sa’id bin
Jubair, Maimun bin Mihran, Qatadah, Ayyub as-Sakhtiyani, an-Nakha’i, az-Zuhri,
Yahya bin Abi Katsir, dan para ulama selain mereka.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi
Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1139)
Keikhlasan Seorang Da’i
[520] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata “… Tidaklah diragukan bahwasanya keikhlasan seorang da’i memiliki
pengaruh yang kuat terhadap mad’u/objek dakwah. Apabila seorang da’i itu adalah
orang yang ikhlas dalam niatnya. Dia juga menyeru kepada manhaj yang benar. Dia
membangun dakwahnya di atas bashirah/hujjah dan ilmu mengenai apa yang dia
serukan itu. Maka dakwah semacam inilah yang akan memberikan pengaruh/bekas
kepada para mad’u…” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilah al-Manahij
al-Jadidah, hal. 42)
Menyembunyikan Ilmu dan Menyembunyikan Amal
[521] Sebagian orang bijak berkata, “Menyembunyikan ilmu
adalah kebinasaan, sedangkan menyembunyikan amalan adalah keselamatan.” (lihat
al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 330)
Patut Dicurigai
[522] Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Adalah kami
-para sahabat- dahulu jika tidak mendapati seseorang pada kedua sholat ini,
maka kami pun menaruh prasangka jelek terhadapnya; yaitu sholat ‘Isyak dan
Subuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 332)
Sebab Terangkatnya Azab
[523] Syaddad bin Aus radhiyallahu’anhu berkata,
“Barangsiapa yang ingin menjadi golongan orang-orang yang diangkat dari mereka
azab diantara penduduk bumi maka hendaklah dia menjaga kedua sholat ini secara
berjama’ah, yaitu sholat ‘Isyak dan sholat Subuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5
hal. 332)
Keutamaan Sholat Subuh Berjama’ah
[524] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata,
“Sungguh apabila aku hadir sholat Subuh dengan berjama’ah jauh lebih aku sukai
daripada sholat [sunnah] semalam suntuk.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal.
337)
Hukum Menentang Kewajiban Sholat
[525] Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Kaum
muslimin telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang menentang kewajiban sholat
maka dia adalah orang yang kafir dan layak dihukum bunuh apabila dia tidak
bertaubat dari kekafirannya itu.” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 341)
Akibat Tidak Sholat
[526] Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Orang yang
tidak mengerjakan sholat maka dia sudah tidak punya agama.” (lihat
al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 343)
[527] Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan membenarkan segenap para rasul namun dia tidak mau mengerjakan
sholat maka dia layak untuk dijatuhi hukuman bunuh.” (lihat al-Istidzkar, Jilid
5 hal. 346)
Apabila Makmumnya Seorang Perempuan
[528] Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Para ulama
juga bersepakat bahwasanya barangsiapa [lelaki] yang sholat menjadi imam untuk
seorang perempuan, maka perempuan itu tidak boleh berdiri kecuali di
belakangnya. Dia tidak boleh berdiri di samping kanannya, berbeda halnya dengan
[sesama] lelaki…” (lihat al-Istidzkar, Jilid 5 hal. 378)
Obat dan Penyakit
[529] Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an
ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun
penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.” (lihat
Tazkiyat an-Nufus, hal. 52)
Nasihat Untuk Menjaga Lisan
[530] Di dalam al-Adzkar, Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf/orang yang telah terkenan
beban syariat untuk menjaga lisannya dari segala ucapan kecuali ucapan-ucapan
yang tampak jelas kemaslahatannya. Apabila ternyata setara antara kemaslahatan
berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri
darinya. Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada
ucapan yang haram atau makruh. Bahkan hal semacam ini banyak terjadi dan lebih
dominan dalam kebiasaan -sebagian orang-. Padahal keselamatan diri -dari bahaya
lisan- adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun.”
(lihat al-Fitnah wa Aatsaruha al-Mudammirah, hal. 302)
Bid’ah Dalam Bahasa Syari’at
[531] al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bid’ah
dalam urf/konteks pembicaraan syari’at adalah suatu hal yang tercela. Berbeda
dengan -makna bid’ah- secara bahasa. Karena -secara bahasa- segala sesuatu yang
diadakan tanpa ada contoh sebelumnya maka dia disebut bid’ah ‘sesuatu yang
baru’; sama saja apakah ia termasuk perkara yang terpuji atau tercela.” (lihat
al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 23)
Semua Bid’ah Itu Sesat
[532] al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua
orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru lalu dia sandarkan kepada agama
padahal tidak ada dasar rujukannya di dalam agama maka itu adalah kesesatan,
dan agama berlepas diri darinya. Sama saja apakah hal itu terjadi dalam masalah
keyakinan/akidah ataupun amalan, atau dalam hal ucapan lahir maupun batin.”
(lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 26)
[533] Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua
bid’ah itu sesat walaupun oang-orang menganggapnya sebagai kebaikan/hasanah.”
(lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)
Bid’ah Sumber Datangnya Azab
[534] Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah
melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari
dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun
melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan
mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi
Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” (lihat
al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)
Hakikat Bid’ah
[535] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah
atau ijma’/kesepakatan pendahulu umat ini, baik berupa keyakinan/akidah maupun
ibadah/amalan.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 29)
Bid’ah-Bid’ah Paling Berat
[536] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Kebid’ahan yang menyebabkan seseorang termasuk golongan ahlul ahwa’ [pengekor
hawa nafsu] adalah sesuatu yang telah masyhur di kalangan ulama yang memahami
Sunnah bahwa hal itu jelas-jelas berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah.
Seperti halnya bid’ah Khawarij, Rafidhah/Syi’ah, Qadariyah, dan Murji’ah.
Abdullah bin al-Mubarok, Yusuf bin Asbath, dan ulama yang lain pernah
mengatakan, “Pokok dari tujuh puluh dua sekte [yang sesat] adalah pada empat
aliran; Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan Murji’ah.” Kemudian ada yang
bertanya kepada Ibnul Mubarok, “Bagaimana dengan Jahmiyah?” Beliau menjawab,
“Jahmiyah bukan termasuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat
al-Muntakhab min Kutubi Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 149)
Menerima Hukum Allah
[537] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum
Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama
saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat
al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103)
Fikih Terbesar
[538] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr
hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih/ilmu tentang nama-nama Allah yang
terindah adalah sebuah bab ilmu yang sangat mulia. Bahkan, ia merupakan fikih
terbesar (al-Fiqh al-Akbar). Ilmu inilah yang pertama kali tercakup dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh
Allah, maka Allah akan berikan fikih (kepahaman) kepada dirinya dalam urusan
agama.” (Muttafaq ‘alaih).” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 11)
Meraih Kebeningan Hati
[539] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan kejernihan hatinya maka hendaknya dia lebih mengutamakan Allah
daripada keinginan hawa nafsunya. Hati yang begitu terpikat dengan syahwat akan
terhalangi dari Allah sesuai dengan kadar ketergantungan hati itu kepadanya.
Hati merupakan bejana -untuk mengenal- Allah di atas muka bumi yang
diciptakan-Nya. Hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut,
paling kuat, dan paling jernih. Aduhai, mengapa mereka menyibukkan hati mereka
dengan dunia. Seandainya mereka mau menyibukkan diri dengan Allah dan hari
akherat niscaya akan tampak bagi mereka keagungan firman-Nya dan kebesaran
ayat-ayat-Nya. Selain itu, mereka akan bisa memetik berbagai hikmah yang jarang
diperoleh dan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga.” (lihat al-Fawa’id,
hal. 95)
Akibat Rendahnya Kecintaan
[540] Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang terjerumus dalam kemaksiatan baik berupa melakukan perbuatan yang diharamkan
atau meninggalkan kewajiban maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan
kepada Allah sehingga membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath
al-Bari [1/78])
Keagungan Ilmu Tafsir
[541] ‘Ubaidullah bin ‘Umar rahimahullah berkata, “Sungguh,
aku telah bertemu dengan para fuqaha Madinah. Mereka benar-benar menganggap
besar pembicaraan tentang tafsir. Diantara mereka yaitu Salim bin Abdullah,
al-Qasim bin Muhammad, Sa’id bin al-Musayyab, dan Nafi’.” (lihat al-Muqaddimat
al-Asasiyah fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 289)
[542] Masruq bin al-Ajda’ rahimahullah berkata,
“Berhati-hatilah kalian terhadap tafsir, karena sesungguhnya ia merupakan
periwayatan dari Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muqaddimat al-Asasiyah fi
‘Ulum al-Qur’an, hal. 289)
Berlindung Dari Fitnah Yang Menyesatkan
[543] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Tidaklah seorang pun diantara kalian melainkan pada dirinya juga terkandung
fitnah. Oleh sebab itu barangsiapa diantara kalian yang berdoa meminta
perlindungan/isti’adzah, maka hendaklah dia berdoa agar dilindungi dari
fitnah-fitnah yang menyesatkan.” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 58)
Berbicara Dengan Melihat Kondisi Pendengar
[544] Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
“Betuturlah kepada orang-orang dengan hal-hal yang mereka kenali. Apakah kalian
suka apabila Allah dan Rasul-Nya didustakan?!” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 70)
Pentingnya Sanad
[545] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Dahulu pada
masa-masa awal [salaf] mereka tidak menanyakan perihal sanad. Akan tetapi
setelah terjadinya fitnah/kekacauan, maka mereka pun menanyakan tentang sanad.
Agar mereka bisa mengambil haditsnya Ahlus Sunnah dan meninggalkan haditsnya
ahli bid’ah.” (lihat Fiqh al-Fitan, hal. 73)
Suatu Lembah Di Neraka Jahannam
[546] ‘Atho’ bin Yasar rahimahullah berkata, “Wail adalah
nama sebuah lembah di Jahannam. Seandainya gunung-gunung diperjalankan di
atasnya niscaya ia akan mencair karena saking panasnya lembah itu.” (lihat
Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 124)
Perbedaan Yang Amat Jauh
[547] ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu berkata di dalam
khutbahnya di hadapan penduduk Mesir, “Sungguh betapa jauhnya jalan dan gaya
hidup kalian dengan jalan dan gaya hidup Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Adapun beliau, maka beliau adalah orang yang paling zuhud dalam urusan
dunia, sedangkan kalian adalah orang-orang yang paling gandrung kepadanya.”
(lihat Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 127)
Lebih Baik Menjadi Abu
[548] Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh
apabila seseorang menjadi abu dan ditaburkan itu jauh lebih baik daripada
dengan sengaja lewat di hadapan orang yang sedang mengerjakan sholat.” (lihat
Fawa’id Abi Muhammad al-Fakihi, hal. 137)
Hukuman Atas Kezaliman
[549] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Seandainya
ada gunung yang melakukan baghyu/kezaliman terhadap gunung yang lain niscaya
Allah ‘azza wa jalla akan meluluhlantakkan gunung yang berbuat aniaya itu
hingga rata dengan tanah.” (lihat Dzamm al-Baghyi, hal. 54)
Ruh Ibadah
[550] Dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ruh ibadah itu adalah pengagungan dan kecintaan. Apabila salah
satunya tidak diiringi dengan pasangannya maka ibadah itu akan menjadi
rusak/melenceng.” (lihat Syarh Manhaj al-Haq, hal. 18)
Makna Alhamdulillah
[551] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “’alhamdulillah’
adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat kesempurnaan -yang ada
pada-Nya- dan juga dikarenakan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkisar antara
memberikan keutamaan/karunia dan [menegakkan] keadilan. Oleh sebab itu bagi-Nya
pujian yang sempurna dari segala sisi.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.
39)
Kandungan Alhamdu
[552] Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan, “Kata
‘alhamdu’ bisa bermakna ungkapan syukur atas kenikmatan, namun bisa juga
bermakna sanjungan kepada-Nya dikarenakan sifat-sifat yang terpuji yang ada
pada-Nya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 9)
Keutamaan Alhamdulillah
[553] al-Hasan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada satu pun
kenikmatan kecuali ‘alhamdulillah’ pasti lebih utama darinya.” (lihat al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Juz 1 hal. 202)
Ekspresi Syukur
[554] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,
“alhamdulillah’ adalah kalimat yang diucapkan setiap orang yang bersyukur.”
(lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 1 hal. 206)
Pengaruh Ketaatan dan Kemaksiatan
[555] al-Hasan rahimahullah berkata, “Melakukan
kebaikan/ketaatan memunculkan cahaya bagi hati dan kekuatan bagi badan. Adapun
melakukan kejelekan/dosa melahirkan kegelapan di dalam hati dan kelemahan
badan.” (lihat Tafsir Ibnu Rajab, Jilid 2 hal. 135)
Musibah Besar
[556] Yazid bin Aban ar-Raqasyi rahimahullah berkata, “Suatu
saat aku terluput dari sholat berjama’ah. Maka orang yang menyatakan ungkapan
turut berduka cita hanya Abu Ishaq al-Bukhari seorang diri. Seandainya aku
ditinggal mati seorang anak lelaki, niscaya lebih dari sepuluh orang yang akan
berta’ziyah kepadaku sekarang ini. Hal itu disebabkan bagi manusia musibah
dalam urusan dunia itu lebih besar daripada musibah yang menimpa agama.” (lihat
Kitab at-Tahajjud oleh Abdul Haq al-Isybili, hal. 55)
Inilah Musibah
[557] Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Apabila salah
seorang dari kalian terluput/ketinggalan sholat jama’ah hendaklah dia
ber-istirja’ [mengucapkan innaa lillaahi dst.] karena sesungguhnya itu adalah
musibah.” (lihat Kitab at-Tahajjud oleh Abdul Haq al-Isybili, hal. 56)
Makna Tauhid Uluhiyah
[558] Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah berkata,
“Tauhid uluhiyah adalah mengesakan-Nya
dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti halnya doa, takut, harap, tawakal,
isti’anah [meminta pertolongan], isti’adzah [meminta perlindungan], istighotsah
[meminta keselamatan], menyembelih, nadzar, dan berbagai bentuk ibadah lainnya;
yang semua itu wajib dipersembahkan kepada Allah semata. Oleh sebab itu tidak
boleh dialihkan sedikit pun dari ibadah-ibadah itu kepada selain-Nya, meskipun
ia adalah malaikat yang dekat -dengan Allah-, atau pun seorang nabi utusan,
apalagi selain mereka tentu lebih tidak layak [untuk diibadahi, pent].” (lihat
Kutub wa Rosa’il ‘Abdil Muhsin, Jilid 3 hal. 28)
Meninggalkan Sholat Sunnah
[559] Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apabila
iqomah sudah dikumandangkan sedangkan ada seorang lelaki yang sedang melakukan
sholat sunnah dan tidak tersisa bagian sholatnya kecuali satu raka’at saja;
apakah dia harus menyempurnakan atau langsung masuk bergabung untuk sholat
jama’ah?” Beliau menjawab, “Apabila iqomah untuk sholat sudah dikumandangkan
dan tidak tersisa kecuali tasyahud atau sujud misalnya, maka semestinya dia
sempurnakan. Adapun jika selain itu, yang lebih utama baginya adalah segera
masuk bergabung bersama jama’ah.” (lihat Su’alaat Ibni Wahf, hal. 101)
Konsep Dakwah Salafiyah
[560] Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah
ditanya, “Apakah mafhum (konsep atau pengertian, pent) dakwah salafiyah menurut
pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah?” Beliau menjawab, “Konsep dakwah salafiyah
adalah berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah sebagaimana yang dipahami
oleh salafus shalih.” (lihat Majmu’ Fatawa al-Wadi’i Jilid 1 Halaman 33-34)
Sabar dan Syukur
[561] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Sungguh
apabila aku mendapatkan kesehatan dan kelapangan kemudian aku menunaikan syukur
itu jauh lebih aku sukai daripada aku tertimpa cobaan/musibah sehingga aku
harus bersabar menghadapinya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah
al-Auliya’, hal. 441)
Hakikat Syukur
[562] Abu Abdillah ar-Razi rahimahullah berkata: Sufyan bin
‘Uyainah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya diantara bentuk
syukur atas nikmat-nikmat Allah adalah dengan engkau memuji-Nya atas hal itu
dan engkau gunakan nikmat-nikmat itu di atas ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab
itu bukanlah orang yang bersyukur kepada Allah orang yang menggunakan
nikmat-nikmat dari-Nya justru untuk melakukan maksiat/kedurhakaan kepada-Nya.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
[563] Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang
bersyukur itu adalah orang yang mengetahui/menyadari bahwa nikmat itu berasal
dari Allah ta’ala. Allah memberikan nikmat itu kepadanya untuk melihat;
Bagaimana dia bersyukur? Bagaimana dirinya bersabar?” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 441)
Kenikmatan dan Bencana
[564] Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata,
“Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah
‘azza wa jalla maka pada hakikatnya hal
itu adalah bencana.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal.
888)
Musibah dan Nikmat
[565] Yazid bin Maisarah rahimahullah berkata, “Tidaklah
berbahaya suatu nikmat jika ia dibarengi dengan syukur. Tidaklah berbahaya
musibah jika ia dibarengi dengan sabar. Sungguh, musibah yang menimpa pada saat
melakukan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih baik daripada nikmat yang
dirasakan ketika berbuat maksiat kepada Allah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i
li Hilyah al-Auliya’, hal. 164)
Cobaan
[566] Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah
aku mengetahui seorang pun kecuali dia pasti tertimpa cobaan. Seorang yang
Allah berikan kelapangan pada rizkinya; maka Allah ingin melihat bagaimana dia
menunaikan syukur atas hal itu. Dan seorang yang Allah ‘azza wa jalla cabut
sebagian dari rizkinya; ketika itu Allah ingin melihat bagaimanakah dia bisa
bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 172)
Keagungan Hak Allah
[567] Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hak-hak
Allah itu terlalu agung sehingga para hamba tidak akan bisa menunaikan hak-hak
Allah itu secara sepenuhnya. Sebab, nikmat-nikmat dari-Nya amat besar sehingga
terlalu banyak untuk bisa dihingga/dihitung. Meskipun demikian, mereka selalu
berusaha untuk menjadi orang-orang yang patuh di pagi hari dan menjadi
orang-orang yang selalu bertaubat di sore hari.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari
oleh Ibnu Baththal, Juz 3 hal. 122)
Orang Yang Pandai Bersyukur
[568] al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hakikat
syukur adalah mengakui limpahan nikmat -dari Allah- dan berusaha menunaikan
pengabdian [kepada-Nya]. Barangsiapa yang perkara ini semakin banyak muncul
dari dirinya maka dia disebut sebagai syakuur/orang yang pandai bersyukur. Dari
sanalah, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (yang artinya), “Betapa
sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (lihat Fath al-Bari,
tahqiq Syaibatul Hamdi Juz 3 hal. 20)
Lakukan Apa Yang Anda Mampu
[569] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Perkara yang disyari’atkan bagi setiap orang adalah hendaknya dia melakukan
apa-apa yang mampu dia kerjakan diantara kebaikan yang ada. Sebagaimana firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan
kalian.” Oleh sebab itu apabila berbagai cabang keimanan itu
berdesakan/berbenturan maka semestinya didahulukan hal-hal yang lebih dicintai
Allah dan paling mampu untuk dikerjakan olehnya. Bisa jadi amalan yang mafdhul
[kurang utama] jauh lebih mampu untuk dilakukannya daripada amalan [lain] yang
fadhil/lebih utama.” (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Da’wah ‘Inda Syaikhil
Islam, hal. 199)
Antara Dzikir dan Membaca al-Qur’an
[570] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak diantara
hamba yang lebih mendapatkan manfaat dengan dzikir pada masa-masa permulaan
daripada membaca [ilmu]. Karena dzikir akan memberikan pasokan keimanan
baginya, sedangkan al-Qur’an memberikan pasokan ilmu; namun terkadang ilmu itu
tidak bisa dia pahami. Sementara dirinya lebih membutuhkan pasokan iman daripada
pasokan ilmu; dikarenakan ia masih berada pada jenjang permulaan. Meskipun
demikian, membaca al-Qur’an dengan disertai pemahaman bagi orang yang cukup
mapan imannya jauh lebih utama dengan kesepakatan [para ulama].” (lihat Qawa’id
wa Dhawabith Fiqh Da’wah ‘Inda Syaikhil Islam, hal. 202)
Antara Bid’ah dan Api
[571] Abu Idris al-Khaulani rahimahullah berkata, “Sungguh
apabila aku melihat api di dalam masjid yang tidak sanggup aku padamkan itu
lebih aku sukai daripada melihat di dalamnya bid’ah yang aku tidak sanggup
mengubahnya.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)
Tegar di Atas Kebenaran
[572] Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ikutilah
jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang
menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar dengan
banyaknya orang yang binasa.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)
Bahaya Bid’ah
[573] Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah
pelaku bid’ah menambah kesungguh-sungguhan kecuali dia akan semakin bertambah
jauh dari Allah.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 33)
Bahaya Taklid
[574] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Salah
satu tanda sempitnya ilmu seseorang adalah tatkala dia taklid dalam hal
akidahnya kepada orang lain.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal.
77)
Gerakan Rahasia
[575] Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Apabila
kamu melihat suatu kaum saling berbisik-bisik dalam urusan agama mereka dengan
suatu perkara yang disembunyikan dari orang-orang maka ketahuilah bahwa mereka
berada di atas asas kesesatan.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis,
hal. 88)
Keutamaan Ilmu
[576] Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis
min Talbis Iblis, hal. 159)
Antara Ilmu dan Jihad
[577] Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Sebuah bab di
dalam ilmu yang kamu pelajari itu jauh lebih utama daripada tujuh puluh
peperangan.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 160)
Antara Ilmu dan Sholat Malam
[578] al-Mu’afa bin Imran rahimahullah berkata, “Menulis
sebuah hadits lebih aku cintai daripada sholat semalam suntuk.” (lihat
al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 160)
Antara Perkataan Ulama dan Dalil
[579] Dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahmatullahi
‘alaih bahwasanya, “Ibnul Mubarok berpendapat begini dan begitu.” Maka beliau
menjawab, “Sesungguhnya Ibnul Mubarok tidak turun dari langit!” (lihat
al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 171)
Keutamaan Para Sahabat
[580] Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Kalian
sekarang ini lebih banyak sholat dan lebih keras dalam beribadah daripada para
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun demikian mereka
lebih utama daripada kalian.” Mereka bertanya, “Mengapa?”. Beliau menjawab,
“Sebab mereka lebih zuhud dalam hal dunia daripada kalian dan jauh lebih
berhasrat dalam urusan akhirat.” (lihat az-Zuhd oleh al-Qurthubi, hal. 39)
Keutamaan Belajar Hadits
[581] Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Orang yang paling
utama diantara kaum muslimin adalah seorang yang menghidupkan sunnah diantara
sunnah-sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dimatikan. Maka
bersabarlah kalian wahai para pengikut Sunnah -semoga Allah merahmati kalian- sesungguhnya
kalian ini adalah orang yang paling sedikit.” (lihat al-Jami’ li Akhlaq
ar-Raawi, Juz 1, hal. 112)
Belajar Di Masa Muda
[582] Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Aku menjumpai di
Kufah empat ribu orang pemuda yang menimba ilmu.” (lihat al-Jami’ li Akhlaq
ar-Raawi, Juz 1, hal. 113)
Satu Banding Seribu
[583] Syu’aib bin Harb rahimahullah berkata, “Dahulu kami
yang menimba ilmu hadits sejumlah empat ribu orang. Ternyata tidaklah berhasil
-menjadi ulama- diantara kami kecuali empat orang saja.” (lihat al-Jami’ li
Akhlaq ar-Raawi, Juz 1, hal. 113)
Hidup dan Matinya Hati
[584] Bisyr bin al-Harits rahimahullah mengatakan, “Betapa
banyak orang yang sudah meninggal akan tetapi hati menjadi hidup dengan
mengingat mereka. Dan betapa banyak orang yang masih hidup namun membuat hati
menjadi mati dengan melihat mereka.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 468)
Bersama Nabi dan Para Sahabat
[585] Nu’aim bin Hammad rahimahullah menceritakan: Adalah
Ibnul Mubarok sering duduk berlama-lama di rumahnya. Maka ada orang yang
bertanya kepadanya, “Apakah anda tidak merasa kesepian?”. Beliau menjawab,
“Bagaimana aku akan kesepian, sementara aku bersama dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 470)
Menundukkan Hawa Nafsu
[586] as-Sari as-Saqathi rahimahullah berkata, “Tidaklah
seorang mencapai kesempurnaan sampai dia lebih mengutamakan agamanya di atas
syahwat/keinginan nafsunya. Dan tidaklah seorang itu akan binasa kecuali
apabila dia telah lebih mengutamakan syahwatnya daripada agamanya.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 472)
Salah Satu Tanda Riya’
[587] Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa
yang mencela dirinya sendiri di hadapan banyak orang sesungguhnya dia telah
memuji dirinya, dan hal itu adalah salah satu tanda riya’.” (lihat Ta’thir
al-Anfas, hal. 543)
Riya’ Tanpa Modal
[588] al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Dahulu
kami bertemu dengan orang-orang yang riya’ dengan ilmu yang mereka punyai.
Namun sekarang, mereka telah berubah yaitu riya’ dengan ilmu yang tidak mereka
miliki.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 567)
Taufik Dari Allah
[589] Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang menimba ilmu untuk beramal maka Allah akan berikan taufik kepadanya. Dan
barangsiapa yang menimba ilmu bukan untuk beramal maka semakin banyak illmu
akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir al-Anfas,
hal. 575-576)
Bahaya Riya’ dan Ujub
[590] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada
seseorang sembari menasihatinya, “Hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’
dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya.
Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam
keadaan ia tercampuri ujub.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578)
Hakikat Khosy-yah
[591] Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Khosy-yah
adalah rasa takut yang menghalangi dirimu dari melakukan perbuatan maksiat
kepada Allah ‘azza wa jalla.” [lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/545]
Kebutuhan Terhadap Ibadah
[592] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang
insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan
isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam
bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itu adalah bahan baku/sumber
kebahagiaan dirinya. Adapun mengenai isti’anah, karena sesungguhnya apabila
Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan
menyandarkan dia/urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah
akan menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib.
Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan
pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” [lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim,
hal. 22-23]
Akar Perpecahan
[593] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Tidaklah terjadi perselisihan dan perpecahan kecuali disebabkan oleh sikap
tidak berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal itu sebagaimana perpecahan yang terjadi pada ahli kitab.
Padahal Allah telah menurunkan kepada mereka Taurat dan Injil. Namun, tatkala
mereka tidak berpegang teguh dengan ‘tali Allah’, mereka pun berpecah belah dan
berselisih.” [lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyyah, hal. 48]
Hukum Mencela Sahabat Nabi
[594] al-Qadhi rahimahullah berkata, “Mencela salah seorang
diantara mereka [sahabat Nabi] adalah termasuk perbuatan maksiat dan dosa
besar. Madzhab kami dan madzhab mayoritas ulama menyatakan bahwa pelakunya
harus diberikan hukuman pelajaran/ta’zir, namun tidak sampai dihukum bunuh.
Sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa pelakunya layak untuk dijatuhi
hukuman bunuh.” [lihat al-Minhaj, 8/149]
Ciri Orang Bahagia
[595] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Orang yang berbahagia adalah yang merasa khawatir terhadap amal-amalnya
kalau-kalau itu tidak tulus ikhlas karena Allah dalam melaksanakan agama, atau
barangkali apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan
Allah melalui lisan Rasul-Nya.” [lihat Mawa’izh Syaikhil Islam, hal. 88]
Manfaat Ilmu Di Tengah Fitnah
[596] Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seorang yang
berilmu bisa mengenali fitnah di saat kemunculannya. Apabila fitnah itu telah
berlalu, maka orang yang berilmu dan jahil/tidak berilmu pun bisa sama-sama
mengetahuinya.” [lihat al-Fitnah wa Atsaruha al-Mudammirah, hal. 218]
Manfaat Majelis Ilmu
[597] Luqman al-Hakim berkata kepada putranya, “Wahai
putraku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu.
Karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan hikmah sebagaimana
menghidupkan tanah yang mati dengan curahan hujan deras dari langit.” [lihat
al-Fitnah, hal. 220]
Keutamaan Manhaj Salaf
[598] Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mewasiatkan,
“Barangsiapa yang menginginkan keselamatan wajib atasnya untuk mengenali
madzhab salaf dan berpegang teguh dengannya, serta mendakwahkan kepadanya.
Inilah jalan keselamatan. Ia laksana bahtera Nuh ‘alaihis salam; barangsiapa
menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya pasti
binasa dan tenggelam dalam kesesatan. Oleh sebab itu tiada keselamatan bagi
kita kecuali dengan madzhab salaf.” [lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa
Haajatul Ummah Ilaih, hal. 11]
Peringatan Bagi Para Penimba Ilmu
[599] Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berpesan, ”Ketahuilah,
bahwasanya segala sanjungan yang diberikan kepada ilmu dan ulama ini hanya
berlaku bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang-orang yang
baik dan bertakwa. Mereka yang meniatkan dengan ilmunya untuk meraih wajah
Allah yang mulia. Mereka yang bermaksud dengan ilmunya untuk mencari kedekatan
diri di sisi-Nya di surga-surga yang penuh dengan kenikmatan. Bukan orang yang
mencari ilmu dengan niat buruk, atau dibarengi perilaku yang kotor. Atau
mencari ilmu dalam rangka mengejar kepentingan dan ambisi-ambisi dunia. Berupa
kedudukan, harta, atau berbanyak-banyakan pengikut dan santri/penimba ilmu…”
[lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 45]
Urgensi Hidayah Dari Allah
[600] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Firman-Nya [yang
artinya] “Tunjukilah kami jalan yang lurus” di dalamnya terkandung keterangan
bahwa seorang hamba tidaklah memiliki jalan untuk menggapai kebahagiaan dirinya
kecuali dengan istiqomah meniti jalan yang lurus itu. Dan tidak ada baginya
jalan untuk istiqomah kecuali dengan hidayah dari-Nya kepada dirinya.
Sebagaimana tidak ada jalan untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan
pertolongan dari-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk
istiqomah di atas jalan yang benar kecuali dengan hidayah dari-Nya.” [lihat
al-Fawa’id, hal. 40]
0 komentar:
Posting Komentar