(3). Hadits, Atsar Dha’if Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk
Atsar berikut ini sering dijadikan alasan untuk ber-ziarah makam wali serta mengusap dan mencium kuburan wali.
عن أبي الدرداء رضي الله تعالى عنه، قال:
إن بلالا رأى في منامه النبي صلى الله تعالى عليه و سلم و هو يقول: ما هذه
الجفوة يا بلال؟ أما آن لك أن تزورني يا بلال؟ فانتبه حزينا وجلا خائفا،
فركب راحلته و قصد المدينة فأتى قبر النبي صلى الله تعالى عليه و سلم، فجعل
يبكي عنده و يمرغ وجهه عليه، فأقبل الحسن و الحسين رضي الله تعالى عنهما،
فجعل يضمهما و يقبلهما، فقالا له: يا بلال، نشتهي أن نسمع أذانك الذي كنت
تؤذن به لرسول الله صلى الله تعالى عليه و سلم في المسجد، ففعل،
“Dari Abu Darda’ radhiallahu’anhu, ia berkata: ‘Bilal bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, engkau tidak sopan. Apakah belum datang saatnya engkau mengunjungiku?”. Maka ia bangun dengan rasa sedih dan cemas dalam dirinya. Bilal pun lalu menunggangi kendaraannya menuju Madinah, ia mendatangi kubur Nabi Shallallahu’alahi Wasallam. Ia menangis lalu meletakkan wajahnya di atas pusara Rasulullah. Kemudian ia bertemu Hasan dan Husain Radhiallahu Ta’ala ‘Anhuma. Lalu Bilal memeluk dan mencium keduanya. Keduanya berkata kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, kami berdua mendesakmu untuk memperdengarkan adzan yang pernah kau perdengarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di masjid, Bilal-pun melakukannya..‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
- Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi (137/7), dengan sanad
- Ibnu Hajar Al Asqalani Ibnul Atsir dalam Usud Al Ghabbah (131/1), tanpa sanad
- Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengisyaratkan kisah ini, namun tidak menyebut perihal menangis dan mencium kubur.
يقال: إنه لم يؤذن لاحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم، إلا مرة واحدة، في قدمة قدمها المدينة لزيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وطلب إليه الصحابة ذلك فأذن، ولم يتم الاذان“Ada yang mengatakan bahwa Bilal tidak pernah adzan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kecuali hanya sekali. Yaitu ketika ia datang ke Madinah untuk berziarah ke kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Para sahabat memintanya ber-adzan, ia pun mengiyakan. Namun ia beradzan tidak sampai selesai” (Tahdzibul Kamal, 289/4)
- Adz Dzahabi dalam Tarikh Islami (273/4), dengan sanad
- Ali Bin Ahmad As Samhudi, dalam Al Wafa’ bi Akhbar Al Musthafa (44/1), tanpa sanad
Jalan Periwayatan
Adz Dzahabi dalam Tarikh Islami membawakan kisah ini dengan sanad sebagai berikut:
قال أبو أحمد الحاكم: نا ابن الفيض، نا أبو
إسحاق إبراهيم بن محمد بن سليمان بن بلاد بن أبي الدرداء: حدثني أبي، عن
أبيه سليمان، عن أم الدرداء، عن أبي الدرداء
“Dari Abu Ahmad Al Hakim: Ibnu Fayd mengabarkan kepada kami: Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilad bin Abi Darda mengabarkan kepada kami: Ayahku (Muhammad) mengabarkan kepadaku: Dari Sulaiman: Dari Ummu Darda’: Dari Abu Darda’ ”Sebagaimana juga sanad yang dibawakan oleh Ibnu Asakir, dan tidak terdapat sanad yang lain.
Komentar Para Ulama
إبراهيم بن محمد بن سليمان الشامي مجهول، لم يروِ عنه غير محمد بن الفيض الغسّاني
“Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman Asy Syami itu majhul, orang yang mengambil riwayat darinya hanya Muhammad bin Fayd Al Ghassani”Adz Dzahabi juga men-dhaif-kan kisah ini dalam Siyar A’lamin Nubala (357-358/1)[1]
Kedua: Ibnu Abdil Hadi berkata:
هذا الأثر المذكور عن بلال ليس بصحيح
“Atsar yang dikatakan dari Bilal ini tidak shahih” (Ash Sharimul Munkiy, 314)[2]Nampaknya kisah ini dikatakan shahih oleh As Subki, maka Ibnu Abdil Hadi dalam Ash Sharimul Munkiy pun menyanggahnya:
جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية
“Seluruh hadits yang dibawakan As Subki dalam masalah ini, yang
diklaim berjumlah belasan hadits, bukan hadits-hadits shahih. Bahkan
semuanya hadits yang sangat lemah” (Ash Sharimul Munkiy, 14) [3]Ketiga: Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:
هي قصة بينة الوضع
“Kisah ini adalah kedustaan yang nyata” (Lisanul Mizan, 107-108/1)[4]Keempat: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
ليس في الإحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره
-صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح
شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي
ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ
مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة
المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة
قبره
“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan mengandung lafadz ‘ziarah kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘
tidak ada yang shahih menurut para ulama hadits. Hadits-hadits seperti
ini tidak pernah dibawakan oleh pemilik kitab Shahih, tidak juga pemilik
kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i atau
semacamnya, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti
Musnad Ahmad atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik, tidak juga
kitab Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya. Hadits-hadits seperti ini
tidak pernah dipakai para Imam Mazhab dalam berhujjah. Yaitu hadits yang didalamnya disebut lafadz ziarah kubur Nabi” (Majmu’ Fatawa, 216/27)[5]Kelima: Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (289/4) mengisyaratkan lemahnya riwayat ini karena beliau menggunakan lafadz يقال
Keenam: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:
: فهذه الرواية باطلة موضوعة ولوائح الوضع
عليها ظاهرة من وجوه عديدة أهمها قوله : ( فأتى قبر النبي صلى الله عليه و
سلم فجهل يبكي عنده ) فإنه يصور لنا أن قبره صلى الله عليه و سلم كان ظاهرا
كسائر القبور التي في المقابر يمكن لكل أحد أن يأتيه وهذا باطل بداهة عند
كل من يعرف تاريخ دفن النبي صلى الله عليه و سلم في حجرة عائشة رضي الله
عنها وبيتها الذي لا يجوز لأحد أن يدخله إلا بإذن منها كذلك كان الأمر في
عهد عمر رضي الله عنه
“Riwayat ini batil, palsu, kedustaan yang nyata. Terlihat jelas dari
beberapa sisi, yang paling jelas adalah perkataan ‘Bilal mendatangi
kubur Nabi sambil menangis di sisinya’, perkataan ini seolah-olah
menggambarkan kepada kita bahwa kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
nampak jelas seperti kuburan orang lain yang dapat didatangi siapa
saja. Ini sebuah kebatilan yang nyata bagi orang yang mengetahui
sejarah. Bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dimakamkan di kamar Aisyah Radhi’allahu’anha di dalam rumahnya, yang tidak diperbolehkan masuk kecuali atas izin Aisyah. Hal ini masih berlaku hingga masa pemerintahan Umar Radhiallahu’anhu‘ (Ad Difa’ An Al Hadits An Nabawi Wa As Sirah, 95)
Tambahan
Kisah ini sama sekali tidak menyebutkan tentang tabarruk atau beribadah di kuburan. Namun anehnya sering dibawakan oleh para Quburiyyun sebagai alasan untuk ziarah makam wali plus bertabarruk dan bertawassul di sana.
Hanya Allah yang beri taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1] Dinukil dari Ahadits Laa Tashih, Sulaiman bin Shalih Al Khurasyi, hal.6 [2] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[3] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[4] Ahadits Laa Tashih, hal.6
[5] Ahadits Laa Tashih, hal.6
(4). Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk
Atsar berikut ini sering dibawakan oleh orang-orang yang gemar mencium serta mengusap-ngusap kubur untuk mengharap berkah darinya (tabarruk) :
عن داود بن أبي صالح ، قال : أقبل مروان
يوما فوجد رجلا واضعا وجهه على القبر ، فأخذ برقبته وقال : أتدري ما تصنع ؟
قال : نعم ، فأقبل عليه فإذا هو أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه ، فقال :
جئت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم آت الحجر سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم ، يقول : لا تبكوا على الدين إذا وليه أهله ، ولكن ابكوا عليه
إذا وليه غير أهله
“Daud bin Abi Shalih berkata: “Suatu ketika Marwan[1] datang. Dia melihat seorang lelaki sedang meletakkan wajahnya di atas kubur Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu Marwan menarik lehernya dan mengatakan: “Apakah anda menyadari apa yang anda lakukan?”. Lelaki itu berkata: “Ya”, lalu menengok ke arah Marwan, ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari[2] Radhiallahu’anhu. Ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan datang untuk sebongkah batu. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan menangis untuk agama, jika agama masih dipegang oleh ahlinya. Namun tangisilah agama jika ia dipegang bukan oleh ahlinya”
Atsar ini diriwayatkan oleh:
- Al Hakim dalam Mustadrak-nya, hadits no.8571, hal 515 jilid 4
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, hadits no. 23633, hal 422 jilid 5
- Ath Thabrani, dalam Mu’jam Al Kabir, hadits no. 3999, hal 189 jilid 4. Juga di Mu’jam Al Ausath, hadits no. 289 dan no. 11422.
Jalur Periwayatan
Hadits ini diriwayatkan dari 2 jalan, yaitu dari jalan Daud bin Abi Shalih dan jalan Muthallib bin Abdillah bin Hanthab. Jalan pertama sebagaimana yang dibawakan Al Hakim dan Imam Ahmad. Al Hakim membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، ثنا
العباس بن محمد بن حاتم الدوري ، ثنا أبو عامر عبد الملك بن عمر العقدي ،
ثنا كثير بن زيد ، عن داود بن أبي صالح
”Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub berkata kepadaku: Al ‘Abbas bin Muhammad bin Hatim Ad Dauri menyampaikan kepadaku: Abu ‘Amir ‘Abdul Malik bin Umar Al’Aqdiy menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”Imam Ahmad membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الملك بن عمرو ثنا كثير بن زيد عن داود بن أبي صالح
“Abdullah berkata kepadaku: Ayahku (Abu Abdillah) berkata kepadaku: Abdul Malik bin ‘Amr menyampaikan kepadaku: Katsir bin Zaid menyampaikan kepadaku: Dari Daud bin Abi Shalih”Jalan kedua dibawakan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath dan Mu’jam Al Kabir, beliau membawakan hadits ini dengan sanad sebagai berikut;
حدثنا أحمد بن رشدين قال : نا سفيان بن
بشير الكوفي قال : نا حاتم بن إسماعيل ، عن كثير بن زيد ، عن المطلب بن عبد
الله بن حنطب ، عن أبي أيوب الأنصاري
“Ahmad bin Rusydain menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Basyir Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku: Dari Katsir bin Zaid: Dari Muthallib bin Abdillah bin Hanthab: Dari Abu Ayyub Al Anshari”Di tempat lain di Mu’jam Al Ausath, Ath Thabrani membawakan dengan sanad sedikit berbeda:
….حدثنا هارون بن سليمان أبو ذر ، ثنا سفيان بن بشر الكوفي ، نا حاتم بن إسماعيل
“Harun bin Sulaiman Abu Dzar menuturkan kepadaku, ia berkata: Sufyan bin Bisyr Al Kufi mengabarkan kepadaku, ia berkata: Hatim bin Isma’il mengabarkan kepadaku, dst….”
Komentar Ulama
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai status hadits ini. Ulama yang menerima hadits ini diantaranya:
Pertama: Abu Abdillah Al Hakim dalam Mustadrak-nya mengatakan:
هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه
“Sanad hadits ini shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim”Kedua: Adz Dzahabi dalam Talkhis-nya terhadap Al Mustadrak, beliau mengatakan hadits ini shahih. Namun pernyataan ini agak aneh karena Adz Dzahabi mengatakan tentang Daud bin Abi Shalih:
حجازي لا يعرف
“Ia orang Hijaz namun tidak dikenal (majhul)” (Lisanul Mizan, 2617)Ketiga: As Subki, dalam Syifa As Saqqam (152) mengatakan bahwa hadits ini shahih dan beliau berdalil dengan hadits ini bolehnya mengusap-usap kuburan.
Namun klaim shahih tersebut sangat patut dipertanyakan, sebab para ahli hadits mengkritik hadits ini karena terdapat kecacatan pada perawi-perawinya:
- Daud bin Abi Shalih
Adz Dzahabi sendiri mengatakan ia majhul. Ibnu Hajar Al Asqalani pun menyetujui hal ini, beliau berkata:فأنى له الصحة؟“Apa saya pernah tahu hadits shahih darinya?” (Tahdzib At Tahdzib, 188/3) - Katsir bin Zaid
Ia adalah perawi yang memiliki kecacatan. Ibnu Hajar berkata:صدوق يخطئ“Orang jujur namun sering salah”
Al Haitsami berkata:
وثقه أحمد وغيره وضعفه النسائي“Ia dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad, namun dianggap lemah oleh An Nasa’i” (Majma’ Az Zawaid, 441/5) - Hatim bin Isma’il,
- Sufyan bin Basyir / Bisyr,
- Ahmad bin Rusydain,
Sedangkan pada riwayat yang terdapat pada Mu’jam Al Kabir dan Al Ausath, terdapat kecacatan pada perawi Hatim bin Isma’il. Sebenarnya ia adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari-Muslim. Namun komentar Ibnu Hajar tentangnya: صحيح الكتاب ، صدوق يهم
“Shahihul kitab, jujur namun sering ragu”. (Tahdzib At Tahdzib)
Oleh karenanya Al Albani berkata: “Ada kemungkinan keraguan tersebut ada pada penyebutan Muthallib bin Abdillah padahal sebenarnya Shalih bin Abi Shalih. Namun juga, jalur periwayatan sebelum sampai ke Hatim tidaklah shahih. Sehingga keraguan juga dimungkinkan dari selain Hatim. Pasalnya Sufyan bin Basyir / Bisyr tidak dikenal (majhul). Barangkali juga kebohongan ada pada Ahmad bin Rusydain, guru dari Ath Thabrani. Karena status dari Ahmad bin Rusydain adalah muttahamun bil kadzab (tertuduh sering berdusta)”. (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
الحديث المذكور ضعيف. فما قاله النووي- أي حكايته الإجماع على النهي عن مس القبر- صحيح لا مطعن فيه
“Hadits tersebut dhaif. Dan ijma yang dinukil oleh An Nawawi itu shahih tidak ada seorang ulama pun yang mengkritik” (Hasyiatul I-dhah, 219)Sedangkan ijma yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan dalil shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
لا يمكن أن يقع إجماع على خلاف نص أبدا
“Tidak akan pernah ada ijma ulama yang bertentangan dengan dalil” (Majmu’ Fatawa, 201/19)[3]Dengan kata lain, orang yang mengusap-ngusap kuburan dengan dasar anggapan shahih terhadap hadits ini, orang tersebut mengingkari klaim ijma’ dari ulama besar mazhab Asy Syafi’i, yaitu Imam Abu Yahya Muhyiddin An Nawawi.
Tambahan
Terlepas dari dhaif-nya hadits ini, terdapat pula beberapa kejanggalan, diantaranya:
Pertama: Dalam hadits tersebut dikatakan Abu Ayyub Al Anshari meletakan wajahnya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam itu rata dengan tanah. Sebagaimana hadits shahih:
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
“Dari Sufyan At Tammar, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam rata dengan tanah” (HR. Al Bukhari, no.1390)Jika demikian, konsekuensinya, Abu Ayyub Al Anshari dalam posisi sujud. Dan ini perkara yang mustahil, tidak pernah tergambar di benak bahwa ada seorang sahabat Nabi sujud kepada kuburan!
Kedua: Hadits ini seolah-olah menggambarkan bahwa makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terbuka dan dapat didatangi semua orang. Padahal makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tertutup dan orang-orang dilarang masuk kecuali diberi izin. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
عائشة « أن النبي ( قال في مرض موته» لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك
لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang
wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan
Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena
sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan
beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari)Ketiga: Dalam hadits dikatakan bahwa Abu Ayyub Al Anshari meletakkan wajahnya di atas kubur Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu mengungkapkan kesedihannya terhadap orang-orang yang berbicara agama tanpa ilmu. Dari sisi mana perbuatan ini dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap-ngusap kuburan untuk mengambil berkahnya (tabarruk) ??
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:
و قد شاع عند المتأخرين الاستدلال بهذا الحديث على جواز التمسح بالقبر لوضع أبي أيوب وجهه على القبر ، و هذا مع أنه ليس صريحا في الدلالة على أن تمسحه كان للتبرك – كما يفعل الجهال – فالسند إليه بذلك ضعيف كما علمت فلا حجة فيه
“Orang-orang zaman ini banyak yang menyebarkan kabar bahwa mengusap-ngusap kubur itu dibolehkan dengan dalil hadits ini. Yaitu dalam hadits ini Abu Ayyub meletakkan wajahnya di atas kuburan. Selain hadits ini sanadnya lemah, sebagaimana telah dijelaskan kepada anda, hadist ini juga tidak menunjukkan Abu Ayyub menyentuh kubur Nabi tersebut untuk mengambil berkah (tabarruk), seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak paham. Sehingga hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah” (Silsilah Adh Dha’ifah, 552/1)
Keempat: Hadits ini juga sering dijadikan tameng oleh orang-orang syi’ah untuk membela kebiasaan mereka ber-tabarruk kepada imam-imam mereka (Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, 373 ). Ini salah satu bukti bahwa perbuatan mengusap-usap kubur dan ber-tabarruk dengannya adalah kebiasaan orang Syi’ah. Pantaskah kita mengikutinya?
Demikian penjelasan ringkas yang kami nukilkan dari penjelasan para ulama.
Semoga Allah memberi taufik.
Diringkas dari:
- Ahadits Yahtaju Biha Asy- Syi’ah, Syaikh Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasy-qiyyah, halaman 373
- Silsilah Ahadits Adh Dha’ifah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, halaman 552
Artikel www.muslim.or.id
[1] Marwan bin Al Hakam bin Abil ‘Ash Al Qurasyi (2 – 65H), khalifah ke-4 Bani Umayyah, termasuk Kibarut Tabi’in. [2] Abu Ayyub Khalid bin Zaid bin Kulaib Al Anshari (wafat tahun 52 H) -radhiallahu’anhu-, sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
[3] Dinukil dari Ma’alim Ushulil Fiqhi ‘Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, halaman 173, Muhammad bin Husain Al Jizani
(5). Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk
Sebagian orang yang ber-tabarruk dengan kuburan orang shalih, atau ber-tabarruk dengan orang shalih itu sendiri, atau bahkan ber-tabarruk dengan tanah, air, debu, serta benda-benda yang dianggap mengandung berkah, sering beralasan dengan kisah Fathimah Radhiallahu’anha. Kisahnya adalah sebagai berikut:
عن علي بن أبي طالب – رضي الله تعالى عنه –
قال: لما رمس رسول الله – صلى الله عليه وسلم – جاءت فاطمة – رضي الله
تعالى عنها – فوقفت على قبره وأخذت قبضة من تراب القبر فوضعته على عينيها
وبكت وأنشأت تقول:
ماذا على من شم تربة أحمد * أن لا يشم مدى الزمان غواليا
صبت علي مصائب لو أنها * صبت على الأيام عدن لياليا
“Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, beliau berkata: ‘Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dimakamkan, Fathimah Radhiallahu’anha datang. Beliau berdiri di depan makam Nabi lalu mengambil segenggam tanah dari makam Nabi, kemudian menaruh tanah tersebut di wajahnya sambil menangis dan bersyair:
Bagi yang mencium wangi tanah makam Ahmad
Tidak akan ia temukan sepanjang zaman wangi yang demikian
Sungguh pedih musibah yang kurasa
Begitu pedihnya seakan dapat membalik siang menjadi malam‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
- As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (218/4). Dalam kitab ini As Samhudi mengatakan ia menukil kisah ini dari At Tuhfah[1] milik Ibnu ‘Asakir dengan sanadnya.
- Muhammad bin Yusuf Ash Shalihi Asy Syammi, dalam Sabilu Al Huda Wal Irsyad Fii Siirati Khairi Al ‘Ibad, 337/12, tanpa sanad. Namun beliau mengatakan bahwa kisah ini diriwayatkan dari Thahir bin Yahya Al Husaini.
- Abul Faraj Ibnul Jauzi, dalam Al Wafa-u Bit Ta’rifi Fadhaili Al Musthafa, tanpa sanad
- Abul Baqa’ Ibnu Dhiya’, dalam Taarikhu Makkah Al Musyrifah Wal Masjidil Haram, hal. 163, tanpa sanad
- Dan beberapa kitab sirah lain
Bila hanya diketahui sebuah riwayat ada di kitab ini dan kitab itu, dibawakan oleh imam A dan imam B, belumlah cukup untuk melegalisasi riwayat tersebut untuk diterima dan di amalkan. Perlu diperiksa ke-shahih-an dari riwayat tersebut. Terlebih lagi kisah ini hanya diriwayatkan dari kitab-kitab sirah, bukan kitab hadits. Lebih jelasnya, silakan simak artikel “Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dhaif”
Jalur Periwayatan
عن طاهر بن يحيى الحسيني قال: حدثني أبي عن جدي عن جعفر بن محمد عن أبيه عن علي رضي الله عنه
“Dari Thahir bin Yahya Al Husaini, ia berkata: Ayahku (yaitu Yahya bin Al Hasan) pernah mengatakan kepadaku: Dari kakekku (yaitu Al Hasan bin Ja’far) : Dari Ja’far bin Muhammad: Dari ayahnya (yaitu Muhammad bin Ali) : Dari Ali bin Abi Thalib”
Kualitas sanad
Sanad kisah ini gelap. Karena banyak perawi yang tidak dikenal (majhul) dalam sanad kisah ini, yaitu:
- Thahir bin Yahya Al Husaini
- Yahya bin Al Hasan
- Al Hasan bin Ja’far bin Muhammad
وَأَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىِّ بْنِ الْحُسَيْنِ لَمْ يُدْرِكْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ
“Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Al Husain tidak pernah bertemu Ali bin Abi Thalib”Ringkasnya, kisah ini dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Adz Dzahabi:
… :وَمِمَّا يُنْسَبُ إِلَى فَاطِمَةَ، وَلاَ يَصِحُّ
“Salah salah satu kisah yang diklaim dari Fathimah, namun tidak shahih adalah … (lalu menyebutkan riwayat di atas)” (Siyar A’laamin Nubala, 113/3)Al Mulla Ali Al Qaari dalam Mirqatul Mafaatih (243/17) juga mengisyaratkan lemahnya kisah ini.
Lebih lagi telah diketahui bahwa riwayat ini tidak terdapat satu pun di kitab-kitab hadits. Riwayat ini tidak pernah dibawakan oleh para ulama pemilik kitab Shahih, seperti Bukhari-Muslim, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, atau semacamnya, tidak juga kitab Mu’jam, seperti Mu’jam Ath Thabrani, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad, Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik. Riwayat ini kebanyakan dibawakan dalam kitab-kitab sirah.
Sikap Keluarga Fathimah Terhadap Makam
Lalu bagaimana sebenarnya sikap Fathimah Radhiallahu’anha terhadap makam Nabi? Cukuplah kita melihat sikap orang-orang terdekat beliau bersikap terhadap makam.
Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib (Cucu Fathimah) -Radhi’allahu’anhum-
رأى رجلا يأتي فرجة كانت عند قبر النبي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فيدخل فيها فيدعو، فنهاه وقال: «
ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي – يعني علي بن أبي طالب رضي الله
عنه عن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قال: لا تتخذوا
قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما
كنتم».
“Ali bin Al Husain melihat seorang lelaki yang mendatangi celah di sisi makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian ia masuk ke dalamnya lalu berdoa. Beliau lalu berkata: ‘Wahai engkau, maukah aku sampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Jangan jadikan kuburan sebagai Ied[2], dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan, bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian bershalawat’ ‘”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (375/2), Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya (6694). As Sakhawi dalam Al Qaulud Baadi’ (228) berkata: ‘Hadits ini hasan’. Ibnu ‘Adiy dalam Ash Sharimul Munkiy (206) mengatakan: ‘Sanadnya jayyid’
Ali bin Abi Thalib (Suami Fathimah) -Radhi’allahu’anhuma-
عن أبي الهياج الأسدي أن علياً رضي الله
عنه قال له: « ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ؟ أمرني أن لا أدَعَ قبراً مشرفاً (أي مرتفعاً)
إلا سوّيته (بالأرض) ولا تمثالاً إلا طمستُه » (مسلم969).
“Dari Abu Hayyaj Al Asadiy, Ali Radhiallahu’anhu pernah berkata kepada Abu Hayyaj: ‘Maukah engkau aku utus untuk mengerjakan sesuatu yang dulu aku pun pernah di utus oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk mengerjakannya? Rasulullah pernah mengutusku untuk tidak membiarkan makam ditinggikan, melainkan harus dibuat rata dengan tanah. Lalu tidak membiarkan ada gambar (makhluk bernyawa), melainkan harus dihilangkan’” (HR. Muslim, no.969)
Dalam menjelaskan hadits ini An Nawawi berkata:
أَنَّ السُّنَّة أَنَّ الْقَبْر لَا
يُرْفَع عَلَى الْأَرْض رَفْعًا كَثِيرًا ، وَلَا يُسَنَّم ، بَلْ يُرْفَع
نَحْو شِبْر وَيُسَطَّح ، وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَمَنْ وَافَقَهُ
“Yang sesuai sunnah, makam itu tidak terlalu tinggi dan tidak buat melengkung. Namun tingginya hanya sekitar sejengkal dan dibuat rata. Ini mazhab Asy Syafi’i dan murid-muridnya” (Syarhu Shahih Muslim, 389/3)Inilah sikap Ali bin Abi Thalib terhadap kuburan. Berbeda dengan para penyembah kubur serta orang-orang yang ber-tabarruk dengan kuburan, mereka meninggikan makam-makam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (Ayah Fathimah -Radhi’allahu’anha-)
عن عائشة « أن النبي قال في مرض موته» لعن
الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجداً. قالت: ولولا ذلك
لأبرزوا قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika sakit menjelang wafatnya: ‘Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai tempat ibadah’. Aisyah berkata: ‘Andai bukan karena sabda beliau ini, tentu akan aku nampakkan (dibuka untuk umum) kuburan beliau, namun beliau khawatir kuburnya dijadikan tempat ibadah‘” (HR. Bukhari no. 1330)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata tentang hadits ini:
وكأنه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ علم أنه مرتحل من ذلك
المرض، فخاف أن يعظم قبره كما فعل من مضى، فلعن اليهود والنصارى إشارة إلى
ذم من يفعل فعلهم
“Seakan-akan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui
beliau akan wafat karena sakit yang sedang dialaminya, lalu beliau
khawatir makam beliau diagungkan sebagaimana perbuatan orang-orang
terdahulu. Dilaknatnya kaum Yahudi dan Nasrani adalah isyarat bahwa
orang yang melalukan perbuatan tersebut dicela” (Fathul Baari, 688/8)Demikian uraian singkat. Semoga Allah senantiasa melimpkahkan rahmah dan hidayah-Nya kepada kita semua.
[ Sebagian besar tulisan ini disadur dari tulisan Al Akh Dimasqiyyah di Forum Ahlul Hadits (http://www.ahlalhdeeth.cc/vb/showthread.php?t=155930). Semoga Allah senantiasa menjaganya. ]
Penyadur: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
[1] Ada yang mengatakan bahwa judul yang benar adalah Al Ithaaf
[2] Dalam Lisaanul Arab dijelaskan:
والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌٌ
“Ied adalah setiap hari yang terdapat berkumpulnya manusia”
قال الأَزهري: والعِيدُ عند العرب الوقت الذي يَعُودُ فيه الفَرَح والحزن
“Al Azhari berkata: Ied menurut budaya arab adalah setiap waktu yang secara rutin kesenangan dirayakan atau kesedihan diratapi”
(6). Hadits, Atsar Dhaif Serta Palsu Seputar Tawassul dan Tabarruk
Ibnul Munkadir rahimahullah adalah seorang tabi’in yang mulia. Ia dikenal sebagai ulama, Al Hafidz, ahli ibadah, ahli zuhud, dan orang yang besar baktinya kepada orang tua. Beliau berguru pada banyak sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan meriwayatkan banyak hadits. Semoga Allah merahmati beliau.
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa Ibnul Munkadir biasa meminta pertolongan kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika ditimpa sesuatu yang membahayakan. Kisah ini dijadikan alasan oleh sebagian untuk melegalkan ritual tabarruk, tawassul dan meminta pertolongan kepada makam-makam orang shalih. Berikut kisahnya,
قَالَ مُصْعَبُ بنُ عَبْدِ اللهِ: حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيْلُ بنُ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيُّ، قَالَ:كَانَ ابْنُ المُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِه، فَكَانَ يُصِيْبُه صُمَاتٌ، فَكَانَ يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ثُمَّ يَرْجِعُ. فَعُوتِبَ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّهُ يُصِيْبُنِي خَطَرٌ، فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ، اسْتَعَنْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
Mu’shab bin Abdillah berkata: Isma’il bin Ya’qub At Taimi menceritakan kepadaku, ia berkata,
“Suatu ketika Ibnul Munkadir sedang duduk-duduk bersama murid-muridnya. Tiba-tiba lidahnya kaku tak dapat berbicara. Beliau pun berdiri lalu meletakkan dagunya di atas makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu kembali. Murid-muridnya menyalahkan perbuatan beliau tersebut. Beliau pun berkata,’Yang menimpaku tadi adalah suatu bahaya. Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-isti’anah (memohon pertolongan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘”
Kisah ini dibawakan oleh:
Pertama: Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (9/437)
Kedua: Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islami (2/456) terbitan web alwarraq.com, dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi:
فاذا وجدت ذلك استغثت بقبر النبي صلى الله عليه وسلم
“Ketika aku menemui bahaya aku biasa ber-istighatsah kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”Ketiga: As Samhudi, dalam Wafa-u Al Wafa Bi Akhbari Daari Al Musthafa (4/218), dengan sanad yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan redaksi:
فاذا وجدت ذلك استشفيت بقبر النبي صلى الله عليه وسلم
“Ketika aku menemui bahaya yang demikian aku biasa ber-istisyfa (meminta kesembuhan) kepada makam Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam”
Status Perawi
Pertama: Mu’shab bin Abdillah
Nama lengkapnya Abu Abdillah Mu’shab bin Abdillah bin Mu’shab bin Tsabit Al Zubairi Al Madini. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Tsiqah” (Tahdzib At Tahdzib, 10/147). Adz Dzahabi berkata: “Ash Shaduuq” (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Al Baihaqi men-tsiqah-kannya (Siyar A’laamin Nubala, 21/32). Abu Hatim dan Ibnu Ma’in menulis hadits darinya (Al Jarh Wat Ta’dil, 8/309).
Kedua: Isma’il bin Ya’qub At Taimi
Abu Hatim Ar Razi berkata: “Dha’ful Hadits” (Al Jarh Wat Ta’dil, 2/204). Ibnu Hajar berkata: “Lahu hikaayatun munkarah” (Lisaanul Mizan, 1/185). Adz Dzahabi berkata: “Fiihi Layyin” (2/456). Semua ini adalah lafadz-lafadz pelemahan. Memang Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Hibban men-tsiqah-kannya” (Lisaanul Mizan, 1/185). Namun Ibnu Hibban di kalangan peneliti hadits telah dikenal akan sikapnya yang terlalu bermudah-mudah menetapkan status tsiqah (baca: mutasaahil). Para peneliti hadits seperti Adz Dzahabi, Ibnu Qattan, Abu Hatim dan yang lainnya menerapkan kaidah: ‘Jika hanya Ibnu Hibban seorang diri yang memberi status tsiqah pada seorang rawi, maka disimpulkan status rawi tersebut adalah majhul ain‘. Lihat penjelasan lengkap tentang masalah ini pada Buhuts Fil Musthalah (1/288) karya Dr. Mahir Yasin Al Fahl.
Kualitas Riwayat
Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa riwayat tersebut dha’if karena dhaif-nya Isma’il bin Ya’qub At Taimi. Hal ini diperkuat dari keterangan dari Adz Dzahabi, karena setelah membawakan riwayat tersebut dalam Tarikh Al Islami (2/456) beliau berkata, “Isma’il: fiihi layyin” (Isma’il bin Ya’qub terdapat kelemahan).
Andaikan kisah ini shahih pun -dan nyatanya tidak- perbuatan Ibnul Munkadir, seorang tabi’in, bukanlah dalil, bukan alasan yang dapat melegalisasikan isti’anah (meminta pertolongan) kepada kuburan.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar