Al-Isra wa Al-Mi’raj
Definisi Isra` dan Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` bermakna perjalanan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina) pada malam hari dengan mengendarai Buroq.
Mi’raj secara bahasa isim alah (kata yang menunjukkan alat) dari kata ‘aroja’ yang berarti naik menuju ke atas. Sehingga maknanya secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik, baik berupa tangga maupun yang lainnya. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- naik dengannya pada malam hari dari Baitul Maqdis ke langit.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau berkata, “Maka saya mendapati 2 tangga, salah satunya dari emas dan yang lainnya dari perak”. Wallahu A’lam
Faidah:
Mi’roj (alat yang dipakai oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- untuk naik ke atas langit) adalah alat yang berperan sebagai tangga, akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuknya. Hukumnya sama seperti perkara ghoib lainnya, wajib kita imani tanpa sibuk membicarakan dan mengkhayalkan bentuknya.
[Lihat: Mu’jam Alfazhil Qur`an karya Ar-Raghib Al-Ashfahany, Syarh Lum’atil I’tiqod hal. 102 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 223 karya Ibnu Abil ‘Izz]
Isro` dan Mi’raj dengan Jasad dan Ruh dalam Keadaan Terjaga
Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqoha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Sedangkan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang tsabit dalam hadits-hadits Al-Bukhary dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau.
Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata dalam Lum’atul I’tiqod, “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan bersombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi”.
Juga Imam Ath-Thohawy –rahimahullah- berkata dalam ‘Aqidahnya, “Mi’raj adalah benar. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah melakukan Isra` dan Mi’roj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit …”.
[Lihat pembahasan selengkapnya dalam Syarh Ath-Thohawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz -rahimahullah- atau syarah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy (1) dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (2) -hafizhohumallah-]
Kisah Isra` dan Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah -’Azza wa Jalla- dalam Al-Qur`an:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى.
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Faidah:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rojihy –hafizhohullah- berkata dalam Syarh Ath-Thohawiyah, “Jadi, barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia kafir. Karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’roj maka tidak dikafirkan sampai ditegakkan padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran”.
Adapun rincian dan urutan kejadiannya, maka Syaikh Al-Albany –rahimahullah- dalam kitab beliau yang berjudul Al-Isro` wal Mi’roj menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini (3). Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin Sho’sho’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushoib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Quroth, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhum ajma’in-.
Berikut terjemahan kisahnya, kami sarikan dari Shohih Al-Bukhary dan Shohih Muslim, dan bagi yang ingin melihat teks aslinya silahkan merujuk kepada keduanya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bersabda,
“Atap rumahku terbelah ketika saya berada di Mekkah dalam keadaan antara tidur dan terjaga, lalu turunlah Jibril -’alaihis salam- dan membelah dadaku. Kemudian dia mencucinya dengan air zamzam, lalu dia datang dengan membawa sebuah baskom dari emas yang penuh berisi hikmah dan iman dan menuangkannya ke dalam dadaku, kemudian dia menutupnya (dadaku). Kemudian didatangkan kepadaku Buroq –yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghol, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (4)-. Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat para nabi mengikat (tunggangan). Kemudian saya masuk ke mesjid dan sholat 2 raka’at kemudian keluar. Kemudian kami naik ke langit (pertama) dan Jibril minta izin untuk masuk, maka dikatakan (kepadanya), “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Jibril”. Dikatakan lagi, “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril berkata, “bukalah (pintu langit)”. Penjaganya menanyakan seperti yang ditanyakan oleh penjaga langit pertama –lalu beliau menyebutkan bahwa beliau bertemu dengan Nabi ‘Isa dan Yahya di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, Nabi Musa di langit keenam dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh-. Beliau bersabda, ”Maka saya bertemu dengan Ibrahim dan dia sedang bersandar ke Baitul Ma’mur, dan dia adalah (mesjid) yang dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap harinya sedang mereka tidak kembali lagi (5).
Lalu dia (Jibril) membawaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya. Juga diperlihatkan kepadaku empat sungai, dua sungai di dalam dan dua sungai di luar, maka saya berkata, “Apa kedua sungai ini, wahai Jibril?”. Dia menjawab, “Adapun dua sungai yang di dalam, maka itu adalah 2 sungai dalam surga. Adapun yang di luar maka dia adalah Nil dan Furoth”. Kemudian Jibril -’alaihis salam- datang kepadaku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamar dan bejana yang berisi susu, lalu sayapun memilih susu. Maka Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah”.
Kemudian kami terus ke atas sampai saya tiba pada jenjang yang padanya saya mendengar goresan pena. Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Maka Allah mewajibkan atasku 50 sholat sehari semalam. Kemudian saya turun kepada Musa -’alaihis salam-. Lalu dia bertanya, “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab, “50 sholat”. Dia berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. –Beliau bersabda-, “Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata, “Wahai Tuhanku, ringankanlah atas ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 sholat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata, “Allah mengurangi untukku 5 sholat”. Dia berkata, “Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku -Tabaraka wa Ta’ala- dan Musa -’alaihis salam-. Sampai pada akhirnya, Allah berfirman, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 sholat sehari semalam, setiap sholat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 sholat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa -’alaihis salam- seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata, “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. Kemudian saya dimasukkan ke dalam surga, ternyata di dalamnya ada gunung-gunung dari permata dan debunya adalah Misk” (6).
Fawa`id (Faedah-Faedah) yang Terdapat dalam Kisah di Atas.
1. Isra` dan Mi’raj ini termasuk sebesar-sebesar tanda yang menunjukkan kebesaran dan kemuliaan Allah -Tabaraka wa Ta’ala-.
2. Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- di atas seluruh nabi dan rasul -’alaihimus sholatu wassalam-.
3. Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga sebagaimana yang telah berlalu penegasannya.
4. Keutamaan air zamzam
5. Penetapan akan ketinggian Allah -Jalla wa ‘Ala- dengan ketinggian dzaty (7) dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah -Jalla wa ‘Ala-, yakni Allah -Jalla wa ‘Ala- tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan aqidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
6. Mengimani perkara-perkara gaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buroq, Mi’roj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidrotul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, Qolam (pena) yang menuliskan takdir, dan selainnya.
7. Diwajibkan meminta izin sebelum masuk ke rumah orang lain.
8. Ketika pemilik rumah bertanya kepada orang yang minta izin masuk dengan pertanyaan, “siapa?” Maka orang tersebut harus menyebutkan namanya dan tidak menjawab dengan ucapan, “saya”.
9. Penetapan tentang hidupnya para Nabi di kubur-kubur mereka. Akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia (8).
Imam Al-Baihaqy telah mengarang satu kitab khusus berjudul Hayatul Anbiya`i fii Quburihim [“Hidupnya Para Nabi di Kubur-Kubur Mereka”].
Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh menyebutkan dalam Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah beliau bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dalam Mi’roj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa, karena beliau belum wafat.
10. Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
11. Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga adalah kalimur Rohman (Orang yang diajak bicara langsung oleh Ar-Rahman).
12. Allah -’Azza wa Jalla- memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
13. Tingginya kedudukan sholat wajib yang lima.
14. Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa -’alaihis salam- terhadap ummat Islam.
15. Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syari’at Islam, serta bolehnya menasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya.
16. Rahmat dan kemurahan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- atas ummat ini.
17. Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah memasuki keduanya ketika Mi’raj.
18. Bolehnya mengakhirkan penjelasan sampai kepada waktu yang dibutuhkan. Di sini Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- baru diberikan kewajiban sholat lima waktu secara umum, tapi belum diberitahu tentang rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, serta waktu-waktunya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Termasuk perkara yang dibahas oleh para ulama dalam masalah ini adalah, apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Mi’raj ke langit tidak langsung dari Mekkah?
Mereka menyebutkan beberapa hikmah terjadinya Isra`, yaitu:
1. Untuk menampakkan kejujuran dan semakin memperkuat hujjah terhadap pengakuan beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bahwa beliau melakukan Isra` dan Mi’raj dalam satu malam. Hal ini nampak ketika orang-orang kafir Quraisy bertanya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tentang sifat Baitul Maqdis untuk menguji apakah beliau betul-betul ke sana tadi malam atau tidak. Maka beliau menjawab dan menggambarkan sifat-sifatnya dan mereka (Quraisy) membenarkannya. Akan tetapi mereka tetap mengingkari peristiwa Isra dan Mi’raj ini.
2. Agar beliau mendapatkan keutamaan berupa melihat kedua kiblat dalam satu malam.
3. Untuk menampakkan hubungan yang sangat erat antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin.
4. Karena Baitul Maqdis adalah tempat berhijrahnya kebanyakan nabi sebelum beliau, sehingga tatkala beliau melakukan perjalanan ke sana, maka beliau tidak tertinggal dari amalan keutamaan yang dilakukan oleh para nabi sebelum beliau.
5. Untuk menampakkan keutamaan beliau di atas para nabi selain beliau, tatkala beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau sholat mengimami mereka.
[Lihat: Syarh Ath-Thohawiyah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy serta Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh -hafizhohumallah-]
Kapankan Isra` dan Mi’raj?
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan terjadinya kejadian yang besar ini. Secara umum, ada 2 pendapat yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, yaitu:
a. Terjadinya sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Ini adalah pendapat yang sangat lemah.
b. Terjadi setelah beliau menjadi nabi. Mereka sepakat bahwa hal itu terjadi sebelum hijrah, akan tetapi mereka berselisih dalam penentuannya menjadi belasan pendapat. Di antaranya:
1. Al-Baihaqy meriwayatkan dari Az-Zuhry dan ‘Urwah bahwa hal itu terjadi setahun sebelum hijrah, yakni pada bulan Rabi’ul Awwal karena hijrahnya Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal. Ini dikatakan oleh Ibnu Sa’ad dan selainnya, dan inilah yang dipastikan oleh Imam An-Nawawy.
2. 8 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Rajab. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnul Jauzy dan merupakan pendapat sekelompok pakar sejarah. Pendapat ini adalah pendapat yang sangat lemah.
Imam Abu Syamah berkata dalam Al-Ba’its ‘ala Ingkaril Bida’ wal Hawadits hal. 171, “Sebagian tukang cerita (arab: Al-Qoshshosh) menyebutkan bahwa Al-Isra` terjadi di bulan Rajab, dan hal ini adalah suatu kedustaan di sisi (para ulama) ahli ta’dil dan jarh”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitabnya Tabyinul ‘Ajab hal. 11, “Sebagian tukang cerita (arab: Al-Qoshshosh) menyebutkan bahwa Al-Isra` terjadi di bulan Rajab, dan hal ini adalah suatu kedustaan”.
3. 6 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Ramadhan. Pendapat ini dihikayatkan oleh Abur Robi’ bin Salim.
4. 11 bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 27 Rabi’ul Awwal. Ini yang dipastikan oleh Ibrahim Al-Harby dan yang dikuatkan oleh Ibnul Munayyir.
5. Diriwayatkan dengan sanad yang terputus dari Ibnu ‘Abbas dan Jabir bahwa hal itu terjadi pada Senin malam tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tanpa menyebutkan tahunnya.
6. Setahun 2 bulan sebelumnya. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
7. Setahun 3 bulan sebelumnya. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnu Faris.
8. Setahun 4 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Qzul Qo’dah.
9. Setahun 5 bulan, yakni pada bulan Syawwal. Ini adalah pendapat As-Suddy.
10. 18 bulan sebelumnya, yakni pada bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat Ibnu Abi Sabroh dan juga dihikayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
11. Tiga tahun sebelum hijrah. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnul Atsir.
12. Lima tahun sebelum hijrah. Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyadh -dan diikuti oleh Al-Qurthuby dan An-Nawawy- dari Az-Zuhry.
13. Ada yang mengatakan: 6 tahun sebelum hijrah.
14. Ada yang mengatakan: pada hari Sabtu tanggal 17 Ramadhan, 8 tahun sebelum hijrah.
15. Dan ada yang mengatakan: 5 tahun setelah beliau menjadi Rasul.
[Lihat: Fathul Bary (7/203), Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (10/210), Syarh Muslim (2/209) dan Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (3/22)]
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz At-Tuwaijiry -rahimahullah- berkata setelah menyebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, “Maka semua yang telah berlalu dari perkataan para ulama dan apa yang mereka sebutkan berupa perbedaan pendapat dalam masalah (kapan) malam Isra` dan Mi’raj, (semua ini) merupakan pembenaran terhadap ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- [bahwa tidak ada satupun dalil jelas yang tegak (menjelaskan) bulannya, tidakpula pekannya dan tidakpula harinya. Bahkan penukilan (yang ada) terputus dan berselisih, tidak ada satupun di antaranya yang bisa dipastikan (9)]”.
-selesai dengan maknanya dari Al-Bida’ Al-Hauliyah-
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Mawalid wa Nahwiha, “Adapun malam Isra` dan Mi’raj, maka yang benar menurut para ulama adalah bahwa malam itu tidak diketahui, dan sesuatu yang datang menetapannya dalam hadits-hadits, maka semuanya adalah hadits-hadits yang lemah, tidak shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Barangsiapa yang menyatakan bahwa malam itu adalah malam 27 Rajab maka dia telah keliru, karena dia tidak memiliki dalil syar’i yang menguatkan perkataannya”.
‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Muqthiry -hafizhohullah- berkata dalam kitabnya Izhharul ‘Ajab fii Bayani Bida’i Syahri Rojab hal. 43 -setelah membawakan perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini-, “Maka jelaslah dengan hal ini, batilnya apa yang diakui (baca: disangka) oleh sebagian orang bahwa Isra` dan Mi’raj adalah pada malam ke 27 Rajab. Maka yang benarnya, bahwa (Isra` dan Mi’raj) tidak diketahui pada hari apa terjadinya dan tidak pula pada bulan apa terjadinya. Lagipula, tidak terhasilkan sedikitpun faidah keagamaan dengan mengetahuinya, seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada kita, wallahu Ta’ala A’lam”.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Berkaca dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan dia adalah perkara bid’ah karena dua hal :
1. Malam Isra` Mi’raj tidaklah diketahui secara pasti sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz At-Tuwaijiry -rahimahumallah- di atas. Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar tentang waktu terjadinya, wallahu A’lam.
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Karena, seandainya dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atau beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau mengerjakannya atau menyampaikannya, maka hal itu wajib terpelihara karena Allah -Ta’ala- berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia bukan bagian dari agama Allah, dan jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah -‘Azza wa Jalla- dengannya.
Berikut beberapa fatwa para ulama dalam masalah ini:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298), “Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari raya yang syar’iy, seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang jahil dengan ‘Iedul Abror (10), maka semua ini adalah termasuk dari bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu Subhanahu wa Ta’ala A’lam”.
2. Imam Ibnun Nuhhas -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam Tanbihul Ghofilin, hal. 379-380, “Sesungguhnya merayakan malam ini –yakni malam Isra` Mi’raj- adalah suatu bid’ah yang besar dalam agama dan suatu perkara baru yang dimunculkan oleh saudara-saudara setan”.
3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh -rahimahullah-.
Beliau berkata, “Sesungguhnya perayaan memperingati Isra` dan Mi’raj adalah perkara yang batil, perkara bid’ah dan merupakan penyerupaan terhadap Yahudi dan Nashara dalam mengagungkan hari-hari yang tidak pernah diagungkan oleh syari’at”. Lihat Fatawa wa Rosa`il (3/103)
4. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Lailatil Isra` wal Mi’roj, “Malam ini, yang di dalamnya terjadi peristiwa Isra` dan Mi’raj, tidak datang penetapan waktunya dalam hadits-hadits yang shohih, tidak pada bulan Rajab dan tidak pula selainnya. Semua yang datang dalam penentuannya, maka hal itu tidaklah shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- di sisi ahlil ‘ilmi dan hadits, dan hanya milik Allah hikmah yang mendalam dibuat lupanya manusia. Seandainyapun waktu kepastian (terjadi)nya shohih, maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah, serta tidak boleh bagi mereka untuk merayakannya karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau -radhiallahu ‘anhum- tidak pernah merayakannya, dan mereka tidak pernah mengkhususkannya dengan sesuatu apapun (berupa ibadah). Seandainya merayakannya adalah perkara yang disyari’atkan, maka tentunya Rasul -Shallallahu ‘alaihi wasallam- akan menjelaskannya kepada ummat, baik melalui ucapan (beliau) maupun perbuatan. Andaikan perkara ini (perayaan Isra` Mi’raj) terjadi (di zaman mereka), maka tentunya akan diketahui dan masyhur, serta tentu para sahabat -radhiallahu ‘anhum- akan menukikannya kepada kita” (11).
5. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh -hafizhohullah-.
Beliau ditanya -sebagaimana dalam Fatawa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh, kumpulan kelima, pertanyaan pertama dari Majalah Ad-Da’wah- dengan konteks pertanyaan sebagai berikut:
Apa hukumnya memakan makanan yang dimasak dalam acara tertentu, seperti perayaan maulid Nabi atau malam ke 27 bulan Rajab (Isra` Mi’raj)? Semoga Allah memberkahimu.
Beliau menjawab, “Pada hakekatnya, asal pembuatannya (makanan tersebut) adalah bid’ah dan kesalahan. Maka tidak boleh bagi manusia untuk menghadirinya dan membuat bangga orang yang membuatnya (dengan memakannya). Akan tetapi suatu makanan, jika dimasak lalu diambil dan dibagikan kepada orang-orang fakir, maka ini baik pada tujuannya. Adapun hadir dan menjawab (undangan maulid), maka tidak boleh. Karena dia adalah bid’ah dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menolong suatu bid’ah, Allah -Subhanahu- berfirman :
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kedustaan dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (QS. Al-Furqan : 72)
6. Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullah-.
Beliau ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj, apakah dia adalah bid’ah atau sunnah yang baik.
Beliau menjawab, “(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah ada di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”. Lalu beliau membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah (12).
7. Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-.
Beliau berkata, “Adapun menampakkan kegembiraan (mengadakan perayaan-pent.) pada malam 27 Rajab, atau malam Nishfu Sya’ban, atau hari ‘Asyuro`, maka semua ini tidak ada asalnya dan terlarang. Tidak boleh seseorang untuk menghadirinya jika diundang berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Hati-hatilah kalian dari setiap perkara yang baru, karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat”. Lihat Majmu’ Fatawa beliau pada no. pertanyaan 1131.
8. Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly –hafizhohullah-.
Dalam Al-Ajwibah As-Sadidah (hal.265), beliau berkata ketika menjelaskan tentang kesesatan seorang yang bernama Sa’id Hawwa : “
Bid’ah yang pertama: Perayaan maulid Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Bid’ah yang kedua: Perayaan hari hijrahnya beliau (Tahun Baru Islam).
Bid’ah yang ketiga: Perayaan hari pembebasan Quds (Masjid Aqsha) dari tangan para salibis pada tanggal 27 Rajab.
Bid’ah yang keempat: Merayakan peristiwa Isra dan Mi’raj.
Bid’ah kelima: Seruan Sa’id Hawwa’ kepada seluruh keluarga muslim untuk menyelenggarakan bid’ah-bid’ah ini di rumah-rumah mereka -disamping merayakannya di mesjid-mesjid- dengan tartib (metode) shufy”.
9. Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin -hafizhohullah-.
Beliau ditanya –di sela-sela pelajaran beliau mensyarh kitab Al-Ibanah Ash-Shugro- tentang maulid Nabawy dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk bid’ah padahal dia adalah amalan kebaikan dan terkadang para pelakunya menangis di dalamnya.
Setelah beliau menjelaskan akan bid’ahnya perayaan maulid serta orang yang pertama kali merayakannya, beliau berkata, “Demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra` Mi’raj semuanya adalah termasuk bid’ah. Seandainyapun seseorang itu menangis, namun bila tangisannya tersebut bukan di atas petunjuk, maka tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya, tangisannya tidak menambahkan baginya kecuali semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ. عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ. تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً. تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ ءَانِيَةٍ
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah : 2-5)
[“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina”] tunduk lagi rendah. [“bekerja keras”] dia beramal, sibuk siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan”] lelah dalam beribadah dan beramal, akan tetapi bersamaan dengan itu [“memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”] yaitu amat panas, dahsyat panasnya yang telah sampai pada puncak didih dan dia diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah. Jadi, tidak semua orang yang menangis berarti di atas kebenaran. Seorang kafir bisa menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah”.
_________
Foote Note
(1). Salah seorang murid senior dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah.
(2). Menteri Agama Saudi Arabiah sekarang.
(3). Yakni tanpa memperhatikan antara yang shohih dengan yang lemah.
(4). Maksudnya langkah Buroq sejauh pandangannya.
(5). Maksudnya para malaikat yang masuk ke dalamnya untuk beribadah lalu mereka keluar, mereka tidak akan masuk lagi ke dalamnya untuk kedua kalinya. Sehingga hari ini -misalnya- masuk ke dalamnya 70.000 malaikat selain dari yang telah masuk kemarin dan demikian seterusnya setiap hari.
(6). Ini adalah ringkasan dan gabungan dari hadits-hadits tentang peristiwa ini dalam Ash-Shohihain. Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke Shohih Al-Bukhary no. 2968 dan 3598 dan Shohih Muslim no. 162-168 dan juga kitab-kitab hadits selainnya yang menyebutkan kisah ini.
(7). Penting: Kata ‘dzat’ bukanlah termasuk nama-nama ataupaun sifat-sifat Allah, akan tetapi sebagian para ulama menggunakannya untuk Allah hanyalah sebagai bentuk pengkhabaran, dan ini adalah perkara yang boleh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab yang berbicara tentang tauhid Asma` wash Shifat.
(8). Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdo’a, bertawassul, atau meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup.
(9). Lihat Zadul Ma’ad (1/57)
(10). Di Indonesia dikenal dengan nama Lebaran Ketupat.
(11). Lihat juga risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Mawalid wa Nahwiha, Al-Qowadih fil ‘Aqidah, dan Bida’un fii Syahri Rojab.
(12). Lihat kitab beliau Ijabatus Sa`il no. pertanyaan 166, lihat juga pertanyaan no. 167 serta kitab Tuhfatul Mujib no. pertanyaan 42
_____________________________
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menetapkan Sifat Al-Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza Wa Jalla
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini -sebagai-mana sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur'an dan As-Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya.
Di antara dalil dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah:
1. Firman Allah Azza wa Jalla "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk : 16]
2. Firman Allah Azza wa Jalla "Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl : 50]
3. Firman Allah Azza wa Jalla "Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa : 1]
4. Firman Allah Azza wa Jalla "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]
5. Pertanyaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita: "Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” [1]
Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim: “Di mana Allah?”
Kedua, jawaban yang ditanya adalah: “Di (atas) langit”
Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, ber-arti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). [2]
6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj.
Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata: [3] “
Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan: "Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’ [4]
Kemudian naiknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
7. Jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah: "Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” [5]
Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” [6]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu
[2]. Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
[3]. Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264)) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu 'anhu. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[6]. Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki, lihat juga kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).
0 komentar:
Posting Komentar