Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Risalah
berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat ini pun
tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya yang lebih
pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri supaya selalu
bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ
عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah
memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya
Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)
Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan,“Adapun
manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan,
yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang
melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun
bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku
dengan karunia ini.”[1]
Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun
manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki,
yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya
telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur
atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan
rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian.
Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah
memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah
mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun:
55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan
rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah
sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah
memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang
tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang
yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika
seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari
ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah
seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat
tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba
kekurangan, ia pun bersabar.”[3]
Antara Mukmin dan Kafir
Sifat
yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang
kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,“Sifat
yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir
yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang
dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta.
Sedangkan orang muslim, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.”[4]
Syukuri dan Bersabar
Pahamilah!
Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan
rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian.
Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur
atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang
bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang
Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan
mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui
manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa
rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu
senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan
Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi
renungan berharga.
Ya Allah, karuniakanlah pada kami
sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala
keadaan, susah maupun senang.
Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
***
[1] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412
[2] Idem.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347
[4]
Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Al Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al
Hasan At Turki, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22/.
_____________________________________
Orang Bertakwa Tidak Pernah Merasa Miskin
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath
Tholaq: 2-3).
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah
akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang
benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai
manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang
dapat dinikmati oleh manusia. Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat.
Sebagian
orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah merasa fakir
sama sekali.” Lalu ada yang bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia
menjawab, “Karena Allah Ta’ala berfirman:
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath
Tholaq: 2-3)”
Kemudian ada yang bertanya kembali, “Kami
menyaksikan sendiri bahwa di antara orang yang bertakwa, ada yang tidak
punya apa-apa. Namun memang ada sebagian lagi yang diberi banyak
rizki.”
Jawabannya, ayat tersebut menunjukkan bahwa
orang yang bertakwa akan diberi rizki dari jalan yang tak terduga. Namun
ayat itu tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa tidak diberi
rizki. Bahkan setiap makhluk akan diberi rizki sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Huud: 6).
Bahkan
hamba yang menerjang yang haram termasuk yang diberi rizki. Orang kafir
tetap diberi rizki padahal rizki itu boleh jadi diperoleh dengan
cara-cara yang haram, boleh jadi juga dengan cara yang baik, bahkan
boleh jadi pula diperoleh dengan susah payah.
Sedangkan
orang yang bertakwa, Allah memberi rizki pada mereka dari jalan yang
tidak terduga. Rizkinya tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara yang
haram, juga tidak mungkin rizki mereka dari yang khobits (yang
kotor-kotor). Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin
dihalangi dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi
dunia yang berlebih sebagai rahmat dan kebaikan padanya. Karena
boleh jadi diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya.
Sedangkan disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda halnya dengan keadaan manusia yang Allah ceritakan,
{
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ
وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ } { وَأَمَّا إذَا مَا ابْتَلَاهُ
فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ } { كُلًّا }
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah
memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya
maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak
(demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16)
Senyatanya
tidak demikian. Belum tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia berarti
dimuliakan. Sebaliknya orang yang disempitkan rizkinya, belum tentu ia
dihinakan. Bahkan boleh jadi seseorang dilapangkan rizki baginya hanya
sebagai istidroj (agar ia semakin terlena dengan maksiatnya). Begitu
pula boleh jadi seseorang disempitkan rizkinya untuk melindungi dirinya
dari bahaya. Sedangkan jika ada orang yang sholih yang disempitkan
rizkinya, boleh jadi itu karena sebab dosa-dosa yang ia perbuat
sebagaimana sebagian salaf mengatakan,
إنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ
“Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki untuknya karena dosa yang ia perbuat.”
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا
وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang
siapa yang memperbanyak beristighfar, maka Allah pasti akan selalu
memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari
segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah
yang tidak ia sangka-sangka.”[1]
Allah Ta’ala telah
mengabarkan bahwa kebaikan itu akan menghapus kejelekan, istighfar
adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan, sedangkan maksiat
adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan. (Kita dapat
menyaksikan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut ini).
Allah Ta’ala berfirman,
الر
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ
خَبِيرٍ (1) أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ
نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ (2) وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا
إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ
كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Alif laam raa, (inilah)
suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya
aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira
kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu
dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada
tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya” (QS.
Huud: 1-3)
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
(11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ
وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku katakan
kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh: 10-12)
{ وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا } { لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ }
“Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air
yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka
padanya.” (QS. Al Jin: 16-17)
وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(QS. Al A’rof: 96)
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا
التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ
لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil
dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya
mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS.
Al Maidah: 66)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ
“Dan
jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami,
kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus
asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’:
79)
{ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ } { فَلَوْلَا إذْ جَاءَهُمْ
بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ
الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }
“Kemudian Kami
siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya
mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka
mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah
menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa
yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 42-43)
Allah
Ta’ala telah mengabarkan dalam kitabnya bahwa Dia akan menguji
hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang dimaksud
adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini dimaksudkan agar
hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan bersyukur. Dalam
hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاَلَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَقْضِي اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إلَّا كَانَ
خَيْرًا لَهُ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدِ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ إنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi seorang mukmin suatu
ketentuan melainkan itu baik baginya. Hal ini tidaklah mungkin kita
jumpai kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa suatu bahaya, ia
bersabar, maka itu pun baik baginya.”
Demikian
penjelasan dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam Majmu’ Al Fatawa (16/52-54). Semoga bermanfaat dan dapat sebagai
penyejuk hati yang sedang gundah.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Syaikh Al Albani. Lihat Dho’iful Jaami’ no. 5471
_______________________________________
Allah Memberi Kekayaan dengan Adil
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ
بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ
يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan
jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka
akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang
dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya
Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu
mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya,
serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan
tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan
Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu
yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang
memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan
Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas
menerimanya.”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر
“Sesungguhnya
di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan
kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan
kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah
memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu
ia akan kufur”.[2]
Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan Mereka
Boleh
jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar
semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan kekufuran. Artinya
disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia
kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan
membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan,
namun karena ia adalah orang yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya
untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi
pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan seseorang, namun
boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya
dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah musyrikin
Mekkah dalam surat Al Qolam. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,
إِنَّا
بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا
لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ
عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19)
“Sesungguhnya
Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah
mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari.dan mereka tidak
menyisihkan (hak fakir miskin),lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang
datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam: 17-19),
silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,“Orang-orang
yang berdusta ini diuji dengan kebaikan dan harta yang melimpah untuk
mereka. Mereka diberikan harta yang begitu banyak, juga diberikan
keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai dengan kemauan
mereka. Dan pemberian ini bukanlah diberikan karena kemuliaan mereka di
sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat mereka
semakin terlena dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]
Kesimpulan
Allah
memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan ia pun tahu kondisi
terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi
kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua:
Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin
terlena dalam maksiat dan kekufuran. Karena Allah berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5).
Kita
harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan
yang Allah beri malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam
maksit, syirik dan kekufuran.
Sehingga jika sudah kita
mengerti hal ini, maka kita mesti iri pada orang yang memiliki kekayaan
lebih dari kita. Itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?!
Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita
bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah beri. Mensyukurinya
adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah beri taufik. Sungguh terasa nikmat jika kita dapat terus mengkaji Al Qur’an walaupun sesaat.
Panggang-Gunung Kidul, 14 Shofar 1431 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
_____________
[1]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/278, Muassasah Qurthubah.
[2]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[3]Taisir
Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 880,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1423 H.
0 komentar:
Posting Komentar