Rezeki, Urusan yang Telah Ditentukan
Rezeki hanyalah berasal dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Faathir [35]: 3)
Abu Muhammad al Baghawi rahimahullah mengemukakan bahwa
pertanyaan yang diajukan Allah dalam ayat ini berfungsi untuk
menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah yang mampu memberikan
rezeki (Ma’alimut Tanzil 1/412).
Sebagai satu-satunya Zat yang
memberi rezeki, Allah telah menentukan kadar rezeki untuk setiap
hamba-Nya, di antara mereka ada yang diberi kelapangan rezeki, sebagian
lagi disempitkan rezekinya. Ada yang kaya, dan ada yang papa. Ada yang
berlebih dan ada yang pas-pasan. Rezeki yang akan diperoleh seorang
hamba di dunia ini, semenjak lahir hingga meninggal dunia telah
ditetapkan dan ditentukan sebagaimana tercantum dalam hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim bahwa Allah ta’ala telah memerintahkan malaikat-Nya untuk menetapkan empat perkara, dan diantaranya adalah kadar rezeki seseorang.
Ingin Rezeki Lancar? Jangan Ikuti Cara Syaitan!
Allah telah memberikan pedoman agar manusia dapat memperoleh
kelapangan dan kelancaran rezeki. Berusaha kemudian bertawakal hanya
kepada-Nya merupakan dua kunci sukses bagi pribadi muslim. Patut
diperhatikan bahwa ‘berusaha’ yang dimaksud bukanlah dengan melakukan
berbagai tindakan yang menyelisihi syariat demi mengejar keuntungan,
kesuksesan tidaklah ditempuh dengan mengorbankan diri sehingga menuruti
bujuk rayu syaitan.
Syaitan telah ‘menggodok’ berbagai strategi jitu lalu menawarkannya
kepada manusia agar mereka tergoda dan terjerumus ke dalam penyimpangan
dan dosa. Tidak terkecuali dalam urusan melancarkan rezeki, syaitan
turut berperan aktif untuk menggelincirkan manusia dari jalan-Nya.
Tidak sedikit manusia terkecoh dan rela diperbudak oleh syaitan, ada
yang menempuh jalur penipuan agar bisa sukses, sebagian lagi ada yang
merampok, mencuri dan ada yang menempuh jalur perdukunan. Metode
terakhir ini sangat banyak yang melakukannya, mulai dari kalangan
intelektual hingga mereka yang awam pendidikan terjangkiti ‘penyakit’
cinta perdukunan, anehnya tidak sedikit dari mereka yang berstatus
muslim melakukan kesyirikan ini.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Jimat, Upaya Setan Menggelincirkan Bani Adam
Siapa sih yang tidak ingin sukses dan memperoleh keuntungan dalam
bisnis dan profesi yang sedang digeluti? Sebagian besar dari kita
tentulah ingin meraihnya. Dalam meraih kesuksesan, manusia terbagi ke
dalam dua kategori, ada yang menempuh tangga kesuksesan dengan cara
yang halal dan ada yang berkebalikan dengan hal itu, yaitu menempuh
cara yang haram.
Seorang yang menggunakan jimat untuk meraih kekayaan termasuk dalam
kategori yang diharamkan Islam. Banyak pejabat yang mendatangi ‘orang
pintar’ (baca: dukun) untuk membeli jimat agar kekuasaannya langgeng.
Di sisi lain, tidak sedikit para artis mendatangi paranormal (baca:
para tidak normal) agar diberikan jimat sehingga ordernya tidak sepi
dan dirinya tetap ‘laku’. Untuk yang satu ini, salah seorang teman
pernah berkomentar, ‘Wah, udah profesinya merugikan masyarakat, pakai
cara-cara yang gak benar lagi’. Jimat pun kerap digunakan oleh para
pebisnis dan pedagang untuk menarik minat konsumen. Mulai dari
‘wiridan’ (baca: mantra-mantra yang diramu dengan bahasa arab atau dari
sebagian ayat al-Qur’an namun prakteknya tidak dituntunkan dalam
Islam), amalan-amalan yang tidak jelas asal-usulnya (seperti puasa pati geni, puasa ngebleng,
dll) sampai celana dalam pun telah dijajal oleh mereka yang percaya
akan keampuhan jimat dalam melariskan dagangan atau mendatangkan
keuntungan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang mengalungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4/156, Thabrani dalam al Kabir 17/319 Syaikh Syu’aib al Arnauth dalam komentar beliau terhadap Musnad Ahmad 4/156, mengatakan sanad hadits ini kuat)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan bahwa orang yang
mempercayai keampuhan jimat telah meyakini bahwa jimat itu mampu
menolak ketentuan yang Allah tetapkan dan keyakinan seperti inilah yang
menyebabkan seorang terjerumus ke dalam jurang kesyirikan (Faidlul Qadlir 6/180)
Jimat Mencederai Tawakal
Imam ath Thibi rahimahullah menyatakan salah satu keyakinan
kaum musyrik jahiliyah adalah meyakini bahwa jimat sangat ampuh untuk
menolak takdir yang telah ditetapkan bagi mereka, dan keyakinan yang
demikian dapat menghilangkan tawakal dari jiwa seseorang (Faidhul Qadir 2/341)
Tawakal sendiri berarti penyandaran hati secara total kepada Allah ta’ala, baik dalam perkara dunia maupun akhirat (Hushulul Ma’mul
hal. 83).
Seorang yang bertawakal dengan benar kepada Allah dalam
segala urusan akan meyakini bahwa segala perkara berada di bawah
kekuasaan-Nya. Jika Allah menghendaki, maka pasti urusan tersebut akan
terjadi. Jika Dia tidak menghendaki, maka tentu hal tersebut tidak akan
terjadi. Setelah meyakini hal tersebut, maka dalam hatinya akan timbul
rasa percaya terhadap Allah, lalu dia akan menempuh usaha yang sejalan
dengan syariat dalam berbagai urusannya (Hushulul Ma’mul hal. 84)
Orang yang percaya dengan jimat tidak termasuk ke dalam kategori golongan yang bertawakal kepada Allah ta’ala, karena mereka lebih percaya kepada jimat tersebut ketimbang Allah ta’ala.
Mereka lebih ‘pede’ ketika memakai jimat daripada melaksanakan tips
yang dituntunkan Allah bagi para hamba-Nya dalam meraih kesuksesan.
Oleh karena itu, para penggemar jimat akan diliputi kegelisahan dan
kegundahan jika jimat mereka hilang atau telah memasuki ‘masa
kadaluwarsa’. Hati mereka justru terpaut dengan jimat tersebut, hati
mereka telah berpaling dari Allah ta’ala dan hidup mereka telah disandarkan pada jimat tersebut. Maka benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka dirinya akan sangat bergantung (baca: bertawakal) padanya” (HR. Tirmidzi 2072 dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 3/192)
Rezeki Tidak Diraih Dengan Jimat
Rezeki hanya diperoleh dengan kerja keras, keuletan dan tawakal kepada Allah ta’ala,
bukan dengan jimat. Beberapa fakta justru membuktikan kegagalan-lah
yang akan ditemui oleh mereka yang bergantung pada jimat. Ada yang
ludes harta bendanya karena telah mengeluarkan duit dalam jumlah yang
banyak untuk memperoleh jimat yang ampuh sementara bisnisnya tak
kunjung berhasil. Ada yang mendatangi dukun untuk memperoleh jimat,
namun kebangkrutan yang dia temui. Bukan dirinya yang kaya, namun
dukunlah yang kaya. Kok bisa kesuksesan dan rezeki dapat diperoleh
dengan jimat? Kok bisa orang yang menggantungkan harapan kepada jimat
bisa meraih kesuksesan?
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa seorang yang
menggantungkan hati dan harapannya kepada sesuatu selain Allah justru
akan menjadi golongan yang hina dan tidak akan memperoleh kebaikan (Badai’ul Fawaaid,
2/470). Di tempat lain, beliau menyatakan bahwa seorang yang demikian
keadaannya, justru akan membuka pintu kehancuran dan kebinasaan bagi
dirinya dan menutup pintu kesuksesan dan kebahagiaan (Thariqul Hijratain 1/29)
Oleh karena itu mereka yang percaya dan menggunakan jimat adalah
orang yang merugi di dunia dan akhirat. Rugi di dunia, karena rezeki
tidak kunjung datang kepada mereka. Kerugian di akhirat pun akan dia
temui, karena dirinya termasuk golongan yang hina karena membiarkan
hatinya bersandar, percaya dan bergantung pada jimat, sesuatu yang
tidak mampu mendatangkan manfaat, tidak pula mudharat. Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا
تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ
هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ
مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ
الْمُتَوَكِّلُونَ
“Apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan
itu? Atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
mampu menolak rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.”
Kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakal.” (QS. Az Zumar [39]: 38)
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat dan orang yang mengikuti mereka. Untaian puji hanyalah milik Allah.
Selesai ditulis pada tanggal 15 Dzulqa’dah 1428 H bertepatan dengan tanggal 24 November 2007.
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Artikel terkait:
0 komentar:
Posting Komentar