Seorang
tidaklah dikatakan muslim jika ia hanya berikrar dua kalimat syahadat.
Orang yang berikrar sekali pun bisa jadi kafir dikarenakan ia melakukan
pembatal keislaman semacam syirik, nifak (kemunafikan) atau mencela
agama Islam. Bahasan berikut akan membahas perihal murtad dan hal-hal
yang dapat membatalkan keislaman. Moga para remaja bisa memahami hal
ini.
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali),
sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu
telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).
Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai
riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah: menjadi kafir
sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan
kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di
dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits
‘Aliy, hal. 32)
Penjatuhan vonis kafir/murtad
Vonis
hukum kafir/takfir dapat dibagi menjadi dua kategori: takfir muthlaq
dan takfir mu’ayyan. Yang dimaksud dengan takfir muthlaq adalah kaidah
umum yang diberlakukan bagi orang yang melakukan suatu jenis perbuatan
yang dimasukkan dalam kategori kekafiran (kufur akbar). Seperti misalnya
ucapan para ulama, “Barang siapa yang meyakini al-Qur’an adalah makhluk
maka dia kafir.” Ungkapan semacam ini bisa dilontarkan oleh siapa saja
selama dilandasi dalil al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar
serta tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau individu tertentu.
Adapun takfir mu’ayyan maka ia merupakan bentuk penjatuhan vonis kafir
kepada individu atau kelompok orang tertentu. Jenis takfir yang kedua
ini bukan hak setiap orang, namun wewenang para ulama yang benar-benar
ahlinya atau badan khusus (ulama) yang ditunjuk oleh penguasa muslim
setempat. Untuk menjatuhkan vonis kafir kepada perorangan diperlukan
tahapan-tahapan yang tidak mudah dan syarat-syarat, sampai benar-benar
terbukti bahwa yang bersangkutan benar-benar telah melakukan kekafiran
yang mengeluarkannya dari agama (lihat Mujmal Masa’il Iman al-’Ilmiyah
fi ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Macam-macam riddah/kemurtadan
[1]
Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah
ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang
rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi,
membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah,
beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai
Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam
itu.
[2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya
melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih
hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di
tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir
atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan
meyakini kebolehannya.
[3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti
contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba
sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini
bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini
keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini
kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
[4] Riddah
dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas
perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr
dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut,
atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk
diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits
‘Aliy, hal. 32-33)
Sepuluh Pembatal Keislaman
Berikut
ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal keislaman.
Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas pada sepuluh
perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan
pokok-pokoknya, yaitu:
[1] Melakukan kemusyrikan dalam beribadah
kepada Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain
Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang
mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan
tempat kembalinya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah: 72).
[2]
Mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah yang dijadikan sebagai
tujuan permohonan / doa dan tempat meminta syafa’at selain Allah.
[3] Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka.
[4]
Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih
sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
[5] Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu.
[6] Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa.
[7] Sihir.
[8] Membantu kaum kafir dalam menghancurkan umat Islam.
[9]
Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganalogikannya dengan
Nabi Khidr bersama Nabi Musa ‘alaihimas salam.
[10] Berpaling
total dari agama, tidak mau mempalajari maupun mengamalkannya (lihat
Nawaqidh al-Islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah hal. 2-4
software Maktabah asy-Syamilah).
Hukum yang terkait dengan orang murtad
[1]
Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman.
Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga
hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.
[2] Apabila dia
menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah
dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
[3] Kemurtadannya menghalangi
dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat.
Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau
maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal
sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada
pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan
kebaikan kaum muslimin secara umum.
[4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
[5]
Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka
mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di
pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir
atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat
at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33).
Demikian penjelasan yang
ringkas ini, semoga bermanfaat.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel www.remajaislam.com
0 komentar:
Posting Komentar