بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Di bawah ini adalah sebuah kisah dari sekian banyak kisah yang mengandung ajaran syirik dan bid’ah yang disebarkan oleh Jama’ah Tabligh, terdapat dalam sebuah kitab yang sering dibawa oleh jama’ah ini dari satu masjid ke masjid lainnya, yaitu kitab Fadhail Al-A’mal, disebutkan pada halaman 484:
“Dari Syaikh Waliullah yang
berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika
saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,”
Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya
mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah
sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah
mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab[1] tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri.
Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf.[2]
Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan
kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama
kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak,
katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.”
Karena melihat kegelisahan pemuda
tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya
untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran
mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai
nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada
ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada
yang mendengar niat saya ini kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah
beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman,
ibu saya telah bebas dari api neraka.”
Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua
manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa
ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti
kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut
benar-benar seorang ahli kasyaf.”[3]
Bahaya Besar dalam Kisah Ini:
- Perbuatan Syirik kepada Allah Rabbul ‘alamin
Kesyirikan dalam kisah di atas adalah klaim mengetahui ilmu ghaib yang mereka namakan kasyaf,
bahkan dapat mengetahui keadaan seseorang apakah masuk surga atau
neraka, padahal telah dimaklumi bersama bahwa hal itu termasuk perkara
ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ta’ala, sebagaimana
firman-Nya:
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ
“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.” [An-Naml: 65]
يقول تعالى آمرًا رسوله صلى الله عليه وسلم أن يقول معلمًا لجميع الخلق: أنه لا يعلم أحد من أهل السموات والأرض الغيب. وقوله: { إِلا اللَّهَ } استثناء منقطع، أي: لا يعلم أحد ذلك إلا الله، عز وجل، فإنه المنفرد بذلك وحده، لا شريك له، كما قال: { وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ } الآية [الأنعام: 59]، وقال: { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ } [لقمان: 34]، والآيات في هذا كثيرة
“Allah ta’ala berfirman seraya
memerintahkan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengajarkan
kepada seluruh makhluk, bahwasannya tidak ada satupun penduduk langit
dan bumi yang mengetahui perkara ghaib. Dan firman Allah ta’ala, “(Tidak
ada penduduk langit dan bumi yang mengetahui perkara ghaib) keuali Allah” adalah sebuah pengecualian yang terputus, yaitu bermakna: Tidak
ada satupun yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah ‘azza wa jalla,
sesungguhnya Dia esa dalam perkara ilmu tentang yang ghaib, tidak ada
sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri” [Al-An’am: 59]
Dan juga firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ
عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي
الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي
نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan
hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun
yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [Luqman: 34]
Dan ayat-ayat tentang ini masih banyak.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/207]
Dari penjelasan di atas maka jelaslah
bahwa ilmu tentang perkara ghaib adalah suatu kekhususan bagi Allah
ta’ala, sehingga jika ada makhluk yang mengklaim mengetahui perkara
ghaib berarti dia telah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala.
Demikian pula apabila seseorang meyakini
ada selain Allah ta’ala yang mengetahui perkara ghaib berarti dia telah
menyamakan Allah ta’ala dengan orang tersebut. Inilah hakikat
kesyirikan, yaitu menyamakan Allah ta’ala dalam perkara yang merupakan
kekhususan bagi Allah ta’ala.
Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menghukumi kafir terhadap orang yang
mempercayai ucapan dukun dan peramal tentang perkara ghaib yang akan
terjadi di masa depan, sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu’alaihi
wa sallam:
من أتى عرافًا أو كاهنًا، فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal
atau dukun, lalu dia membenarkan ucapannya, maka dia telah kafir
terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu’alaihi wa
sallam-.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih
At-Targhib, no. 3047]
Adapun sebagian perkara ghaib yang
disampaikan oleh para Rasul -baik Rasul dari kalangan manusia maupun
malaikat yang diutus untuk menyampaikan wahyu- maka itu bukanlah suatu
ilmu yang dapat mereka ketahui sendiri melainkan itu adalah ilmu yang
Allah ta’ala wahyukan kepada mereka, sebagaimana firman-Nya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
“(Dia adalah Allah) Yang Mengetahui yang
ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang
ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya” [Al-Jin: 26-27]
Jadi, sebagian ilmu ghaib yang diketahui
oleh makhluk adalah kekhususan bagi sebagian makhluk saja, yaitu para
Rasul, bukan manusia biasa. Itupun mereka dapatkan melalui wahyu, bukan
karena suatu amalan khusus, seperti dzikir tertentu dengan jumlah
tertentu dan cara tertentu sebagaimana dalam kisah Jama’ah Tabligh di atas.
Sehingga para Rasul tidak mengetahui
perkara ghaib kecuali yang telah Allah ta’ala wahyukan kepada mereka,
maka kita tidak boleh meyakini para Rasul mengetahui perkara ghaib
sebagaimana Allah ta’ala mengetahuinya. Bahkan Rasul yang paling mulia,
Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam secara khusus diperintahkan
oleh Allah ta’ala untuk mengabarkan kepada manusia bahwa beliau tidak
mengetahui perkara ghaib, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ لا أَمْلِكُ
لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali
yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah
aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.” [Al-A’rof: 188]
Inilah salah satu bentuk kesyirikan yang diajarkan oleh Jama’ah Tabligh.
Dan diantara bahaya perbuatan syirik adalah menghapuskan seluruh
kebaikan yang pernah diamalkan oleh pelakunya, sebagaimana firman Allah
ta’ala:
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu menyekutukan
Allah, niscaya terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]
Maka melalui tulisan ini kami nasihatkan
kepada Jama’ah Tabligh secara khusus dan kaum muslimin secara umum untuk
meninggalkan jama’ah yang mengajarkan kesyirikan ini dan berhati-hati
darinya.
Adapun bahaya syirik lainnya dan bentuk-bentuknya dapat dilihat dalam artikel berikut:
- PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (1) [Link:http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/01/peringatan-dari-bahaya-syirik-1/ ]
- PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (2) [Link:http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/01/peringatan-dari-bahaya-syirik-2/ ]
- PERINGATAN DARI BAHAYA SYIRIK (Ceramah) [Link:http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/13/peringatan-dari-bahaya-syirik-ceramah/ ]
- Perbuatan Bid’ah dalam Agama
Ulama seluruhnya sepakat[4] bahwa ibadah tidak dianggap syah apabila tidak memenuhi dua syarat:
Pertama: Ikhlas karena Allah ta’ala.
Kedua: Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Penjelasan syarat syahnya ibadah lebih detail dapat dilihat pada artikel:
- Syarat Diterimanya Ibadah
Link: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/03/syarat-diterimanya-ibadah/ - Syarat Diterimanya Ibadah (Ceramah)
Link: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/13/syarat-diterimanya-ibadah-ceramah/
Maka tidak cukup dalam ibadah hanya
dengan modal ikhlas saja, tetapi harus disertai dengan peneladanan
terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sehingga apabila
seseorang beribadah kepada Allah ta’ala dengan niat yang ikhlas namun
tidak meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka tidak
diterima amalannya, sebagaimana sabda beliau shallallahu’alaihi wa
sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang tidak berasal darinya maka ia tertolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Inilah bahaya perbuatan bid’ah dalam
agama, yaitu tertolaknya amalan bid’ah karena tidak meneladani
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sangat mengherankan, Jama’ah Tabligh yang katanya mau meneladani dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum, ternyata dakwah mereka sangat bertentangan dengan ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan teladan para sahabat radhiyallahu’anhum.
Dalam kisah di atas, terdapat beberapa bentuk bid’ah:
1) Membaca Laa ilaaha illallah dalam satu nafas.
2) Menentukan jumlah dzikir 200 kali.
3) Menentukan jumlah dzikir 70.000 kali.
4) Berdzikir untuk orang lain (sebagai hadiah), baik yang masih hidup maupun sudah mati.
5) Menetapkan keyakinan dan amalan tanpa berdasarkan dalil, tetapi melalui kasyaf yang syirik.
Ini semuanya bid’ah, tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.
Adapun bahaya perbuatan bid’ah dapat dilihat pada artikel Peringatan dari Bahaya Bid’ah.
Jika amalan terhapus karena syirik dan
tertolak karena bid’ah, maka apa yang bisa diharapkan dari jama’ah yang
mengajarkan syirik dan bid’ah ini!?
Demikianlah, apabila dakwah tidak
dilandasi dengan ilmu maka kerusakannya lebih besar dibanding
kebaikannya, bahkan yang lebih parah lagi, ketika mereka berbuat
kerusakan mereka anggap sedang melakukan perbaikan.
Semoga pembahasan ringkas ini dapat menjadi renungan bagi Jama’ah Tabligh dan seluruh kaum muslimin.
Wallahul Muwaffiq.
[1] Nishab artinya bahagian
[2] Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.
[3] Kisah dan catatan kaki dinukil melalui perantara sebuah tulisan yang berjudul Kitab Fadha`il Al-A’mal dalam Timbangan As-Sunnah karya Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi hafizhahullah di majalah Asy-Syari’ah.
[4] Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 115 pada syarah hadits kelima.
http://nasihatonline.wordpress.com/2011/10/19/jama%E2%80%99ah-tabligh-mengajarkan-syirik-dan-bidah/
http://nasihatonline.wordpress.com/2011/10/19/jama%E2%80%99ah-tabligh-mengajarkan-syirik-dan-bidah/
0 komentar:
Posting Komentar