Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketika menghadiri shalat Jum’at di masjid, tentu terdapat adab yang
mesti diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam
berkhutbah.
Berbagai Hadits yang Menunjukkan Larangan
Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ
وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia
mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul
mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at
sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang
bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang
batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ
الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ
لَهُ جُمُعَةٌ
“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka
ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya
sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam
(lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (artinya: ibadah
Jum’atnya tidak sempurna, pen).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani)
Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ
مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ
بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ
يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ،
إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى
“Apabila seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci
semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian
ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang,
kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam
berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jum’at
yang satu dan Jum’at lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).
Kalam Ulama
An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari
pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak
mendapatkan keutamaan ibadah jum’at. Ulama lain berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah ibadah jum’atnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Lihat
Fathul Bari, 2: 414).
Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan
wajibnya diam kala khutbah Jum’at.” (Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy
Syamilah)
Yang dimaksudkan “tidak ada jum’at baginya” adalah tidak ada pahala
sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para
fuqoha bersepakat bahwa shalat Jum’at orang yang berbicara itu sah, dan
tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Lihat penjelasan Ibnu
Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)
“Ngobrol” Ketika Imam Berkhutbah, Haram ataukah Makruh?
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas
menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika
imam berkhutbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam,
padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’
(perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka
perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar
ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang
membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit
perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.
Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para
ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal
ini. Al Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khutbah. ...
Dalam hadits disebutkan, “Ketika imam berkhutbah”. Ini
menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika
imam berkhutbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan
mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam
sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)
Memperingatkan Orang Lain Saat Khutbah Cukup dengan Isyarat
Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika
kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan
berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami,
cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”
Pernyataan di atas didukung dengan hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi
untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no.
1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796). Hadits ini menunjukkan bahwa para
sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan
isyarat.
Menjawab Salam Orang Lain Saat Khutbah
Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam
berkhutbah. Balasannya cukup dengan isyarat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
1: 589)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Menjawab salam
saat khutbah tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat
tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain
hingga selesai khutbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka
cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi
salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. ... Jika
ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam
sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)
Menjawab Salam Khotib
Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).
Dalam kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali disebutkan,
رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ
“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga
menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya
fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”
Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jaher, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,
أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض
“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi
salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh
Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy Syamilah)
Menjawab Kumandang Adzan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
“Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).
Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah memberi salam kepada jama’ah, ia
disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah
menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”
Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal do’a dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’rof: 205)
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).
Dalam Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.
Ulama Hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana do’a.
Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang
memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk
diam saat imam berkhutbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut,
yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)
Menjawab Orang yang Bersin
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab
salam dan menjawab bersin saat khutbah Jum’at? Apa juga hukum
menyodorkan tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam
berkhutbah?”
Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhutbah tidak diperbolehkan,
karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram.
Karena seorang muslim (yaitu jama’ah) tidaklah diperintahkan untuk
mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan,
maka demikian pula dengan balasannya.
Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhutbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.
Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman,
sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika
dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa
menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan
obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat
khutbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy
Syamilah)
Berbicara dengan Khotib
Berbicara dengan khotib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat,
baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau
ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas
bin Malik, ia berkata,
أَتَى رَجُلٌ
أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم - يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ
الْمَاشِيَةُ هَلَكَ
“Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata,
“Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa ...” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar hujan dihentikan.
Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
جَاءَ
سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ
رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا - ثُمَّ قَالَ - إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
“Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung
duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan
kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu
(agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah
seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah,
tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).
Demikian bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhutbah Jum’at. Intinya, asal obrolan saat khutbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 6 Muharram 1433 H
0 komentar:
Posting Komentar