Sebagaimana dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dakwah yang mengajak kepada tauhid niscaya akan menghadapi musuh-musuh
yang tiada henti-hentinya untuk memadamkan cahaya tauhid di muka bumi
ini. Daulah Utsmani, yang merupakan representasi kelompok Sufi, yang
juga diagungkan banyak kelompok pergerakan Islam, adalah salah satunya.
Bagaimana kisah selengkapnya, simak kajian berikut!
Telah menjadi sunnatullah, Allah telah menetapkan adanya musuh-musuh
yang senantiasa menghalangi dakwah menuju tauhid dan upaya-upaya untuk
menegakkan syariat Islam. Mereka bisa datang dari kaum kafir ataupun
dari kalangan kaum munafiqin yang memakai baju Islam yang merasa terusik
kepentingannya dan khawatir terbongkar kedok dan syubhat-syubhatnya.
Hal ini sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ
عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى
بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah, kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lainnya perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ، وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيْرًا
“Dan demikianlah, kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa. Dan
cukuplah Rabb mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)
Begitu pula dakwah yang dilakukan para ulama pewaris nabi, yang
selalu berdakwah untuk memurnikan tauhid serta menegakkan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang telah berupaya
memurnikan tauhid umat serta mengajak mereka untuk menegakkan syariat
Islam. Namun musuh-musuh dakwah beliau tidak rela terhadap apa yang
beliau lakukan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu menyimpulkan musuh yang
menghalangi dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu
dalam tiga jenis:
1. Para ulama suu` yang memandang Al-Haq sebagai suatu kebatilan dan
memandang kebatilan sebagai Al-Haq, dan berkeyakinan bahwa pembangunan
(kubah-kubah) di atas kubur serta mendirikan masjid di atas kubur-kubur
tersebut, kemudian berdoa, ber-istighatsah kepadanya serta amalan yang
serupa dengan itu, adalah bagian dari agama dan petunjuk (yang benar,
pent). Dan mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mengingkari hal itu
berarti dia telah membenci orang-orang shalih, serta membenci para wali.
Jenis yang pertama ini adalah musuh yang harus diperangi.
2. Jenis yang kedua adalah orang-orang yang dikenal sebagai ulama,
namun mereka tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullahu yang sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pula
tentang kebenaran dakwah beliau bahkan cenderung bertaqlid kepada yang
lain, serta membenarkan setiap isu negatif yang dihembuskan ahli
khurafat dan para penyesat.
Sehingga mereka menyangka berada di atas kebenaran atas isu-isu
negatif yang dituduhkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu, bahwasanya beliau membenci para wali dan para nabi, serta
memusuhi mereka dan mengingkari kekeramatannya. Sehingga mereka
memusuhi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mencela dakwahnya
serta membuat orang antipati terhadap beliau.
3. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Mereka
memusuhi beliau agar kekuatan para pengikut dakwah Islamiyyah tersebut
tidak sampai menyentuh mereka, yang akan menurunkan mereka dari
posisinya serta menguasai negeri-negeri mereka.-sekian dari Asy-Syaikh
Ibnu Baz.[1]
Faktanya, musuh-musuh dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu banyak diperankan oleh:
1. Kaum kafir Eropa
Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah
negeri-negeri Islam pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang bertujuan
memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar
yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.
Karena dakwah beliau ini telah berhasil menyatukan umat dalam naungan
aqidah tauhid di sejumlah negeri. Selain di daerah Najd, ternyata
dakwah beliau telah berhasil menyentuh muslimin di negeri lainnya
seperti di Afrika Utara yang mayoritasnya adalah negeri-negeri jajahan
Inggris dan Prancis, India sebagai jajahan Inggris, dan tak luput pula
Indonesia sebagai jajahan Belanda.
Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan
bangkitnya muslimin di negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya
untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap
dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab[2].
Hal ini mereka lakukan dengan cara:
- a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.
- b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Utsmani untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Utsmaniyyah[3].
- c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Utsmani dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.[4]
Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti
‘Utsmani untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya
penyerangan tentara Dinasti ‘Utsmani terhadap kota Ad-Dir’iyyah sebagai
pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M
atas perintah ayahnya Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu,
yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.
Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Ad-Dir’iyyah itu,
Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster
Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari
Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Utsmani menghancurkan
Ad-Dir’iyyah[5].
2. Daulah ‘Utsmaniyyah
Yang tak kalah gencar pula adalah permusuhan pemerintahan Dinasti
‘Utsmani yang telah terprovokasi kaum kafir penjajah. Keadaan ini
diperburuk oleh para mufti pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang notabene
beraqidah tashawwuf. Siang dan malam mereka memprovokasi pemerintah
untuk memerangi dakwah tauhid di Najd, baik di masa Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu masih hidup, ataupun permusuhan mereka
terhadap dakwah tauhid sepeninggal beliau.
Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang
dilakukan Dinasti ‘Utsmani terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada
di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.
Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika
memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid
di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim
Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari
negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang
kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah.
Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818
M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran
sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang
ahli perang Prancis bernama Vaissiere.
Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani yang menyerang Najd pada waktu
itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka
adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah
dokter pribadi Ibrahim Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira
tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani dalam
penyerangan tersebut.[6]
Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Utsmani telah bersekongkol dengan
negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang
tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi
sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Utsmaniyyah.
Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Utsmani yang
benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana
disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu
Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi
pasukan Dinasti ‘Utsmani dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di
Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi
militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi
pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali
Basya, beliau menyatakan:
“…dan beberapa perwira tinggi mereka
(tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’
telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh
kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan
agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama
dengan agama apapun dan tidak bermadzhab dengan sebuah madzhab pun. Dan
berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita
tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib.
Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.
Sementara mereka (tentara Najd, pent),
jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan
pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan
penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat,
sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera
mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf,
dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok
yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.
Sedangkan tentara kita terheran-heran
melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum
pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.” –sekian
Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer
Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang
pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya
dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah
yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas. Lihat penjelasan
tersebut dalam kitab Al-Jabrati, IV/140.[8]
Dinasti ‘Utsmani melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap
dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah
satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan
hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau
dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum
pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul,
dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini
terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.[9]
3. Permusuhan kaum sufiyyah
Musuh berikutnya yang dengan gencar memusuhi dakwah tauhid yang
dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang-orang dari
aliran tashawwuf/Sufi yang merasa kehilangan pamor di hadapan para
pengikutnya. Dengan dakwah tauhid, banyak syubhat dan kerancuan kaum
Sufi yang terbongkar dan terbantah dengan hujjah-hujjah yang terang dan
jelas, yang disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu, murid-murid, serta para pendukungnya.
Berbagai macam bid’ah dan amalan-amalan yang menyelisihi sunnah Rasul
serta amalan-amalan yang tercampur dengan berbagai praktek kesyirikan
yang selama ini mereka tebarkan di daerah Najd ataupun Hijaz (Makkah dan
Madinah), mulai tersingkir dan dijauhi umat. Demikian juga praktek
amalan ibadah haji yang selama ini telah mereka penuhi dengan bid’ah dan
amalan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta berbagai upaya untuk memakan harta umat dengan cara batil,
juga terhalangi dengan adanya dakwah tauhid tersebut.
Ini semua membuat mereka geram dan marah terhadap dakwah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan murid-muridnya. Itu semua
mendorong mereka untuk berupaya menjauhkan umat dari dakwah beliau.
Mereka sebarkan berbagai macam kedustaan tentang beliau dan dakwah
tauhid yang disampaikannya.
Kaum Sufi bersama orang-orang kesultanan Turki dan Mesir serta kaum
kafir Eropa menciptakan sebuah julukan terhadap dakwah beliau dengan
Gerakan Dakwah Al-Wahhabiyyah serta melukiskannya sebagai madzhab baru
di luar Islam. Nama Al-Wahhabiyyah adalah sebuah nama yang dinisbahkan
kepada ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab.
Padahal jika mereka mau jujur, semestinya mereka menjulukinya dengan
Muhammadiyyun, yaitu nisbah kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu secara langsung. Namun hal itu sengaja mereka lakukan
dalam rangka memberikan kesan lebih negatif terhadap dakwah beliau.
Karena jika memakai julukan Muhammadiyyun akan terkesan di banyak
kalangan bahwa ini adalah sebuah madzhab yang baik.
Bahkan mereka tak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor untuk
memuluskan tujuannya, yang sebenarnya kita sendiri malu untuk mendengar
dan menukilkan kalimat tersebut. Namun dengan sangat terpaksa kami
nukilkan salah satu contoh kata-kata kotor dan menjijikkan yang
diucapkan tokoh-tokoh Sufi.
Di antaranya adalah yang diucapkan salah satu tokoh mereka yang
dikenal dengan nama Muhammad bin Fairuz Al-Hanbali (meninggal 1216 H)
dalam rekomendasinya terhadap kitab Ash-Shawa’iq war Ru’ud, sebuah kitab
yang penuh dengan tuduhan dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullahu, karya seorang tokoh Sufi yang bernama
Abdullah bin Dawud Az-Zubairi (meninggal 1225 H). Dalam rekomendasinya
itu, Ibnu Fairuz berkata:
“…Bahkan mungkin saja Asy-Syaikh (yakni ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab, pent.) pernah lalai untuk menggauli ibunya (yakni ibu Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.) sehingga dia didahului oleh setan untuk menggauli isterinya. Jadi pada hakekatnya setanlah ayah dari anak yang durhaka ini.”[10]
Sebuah ucapan kotor yang penuh kekejian dan kedustaan terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bahkan terhadap ayah
dan ibunya.
Mereka juga menuduh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan berbagai tuduhan dusta, di antaranya:
- Tuduhan bahwasanya beliau mengklaim An-Nubuwwah (yakni mengaku
sebagai nabi), sebagaimana disebutkan dalam kitab Mishbahul Anam karya
Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba’alawi (hal. 5-6). Dan dinyatakan pula oleh
Ahmad Zaini Dahlan (meninggal 1304 H) dalam sebuah makalah kecilnya yang
berjudul Ad-Durar As-Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah (hal. 46): “…yang
nampak dari kondisi Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya dia adalah
seorang yang mengklaim An-Nubuwwah. Hanya saja dia tidak mampu untuk
menampakkan klaimnya tersebut secara terang-terangan.”
Pernyataan semacam ini dia tegaskan juga dalam kitabnya yang lain yang berjudul Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
Buku-buku Ahmad Zaini Dahlan ini, adalah buku-buku yang sarat dengan
kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap dakwah dan pribadi
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Buku-buku itu, dalam
kurun 60 tahun terakhir ini, sering menjadi referensi kaum Sufi di
berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, dalam menebarkan kedustaan
terhadap dakwah tauhid yang mulia itu. Bahkan sebagian buku-buku
tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lebih parah lagi, buku-buku karya kaum Sufi ini dimanfaatkan kaum
kafir dan para orientalis sebagai referensi bagi mereka dalam menebarkan
kedustaan terhadap dakwah mulia tersebut dan menjauhkan umat Islam
darinya. Di antara mereka adalah seorang orientalis berkebangsaan
Denmark bernama Caresten Nie Bury dalam bukunya (Travel Through Arabia
and Other Countries In The East) namun dia tidak berhasil memasuki Najd.
Sehingga ketika menulis tentang sejarah Najd, dia banyak menukil dan
menyandarkan karyanya pada berita-berita yang beredar di Jazirah Arabia
yang telah dipenuhi banyak kedustaan oleh para tokoh Sufi di sana[11].
Begitu juga salah seorang tokoh kafir yang lainnya menulis sebuah
buku yang berjudul (Memorandum, by T.E. Ravenshaw)[12]. Buku ini pun
dipenuhi berbagai macam kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Kemudian diikuti pula oleh seorang orientalis lainnya yang bernama
William W. Hunter dalam bukunya Al-Muslimun fil Hind (The Indian
Musalmans, dicetak pada tahun 1871 M, kemudian dicetak kedua kalinya
pada tahun 1945 M) yang telah banyak menukil dari seniornya, yaitu T.E.
Ravenshaw.[13]
- Beliau juga dituduh sebagai penganut inkarul hadits (aliran yang
mengingkari hadits); sebagaimana dituduhkan Ahmad Abdullah Al-Haddad
Ba‘alawi di dalam kitabnya Mishbahul Anam. Tentunya tuduhan tersebut
sangatlah aneh. Karena Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu selalu berhujjah dengan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam banyak karya beliau,
yang telah banyak diketahui oleh umat Islam. Namun begitulah kaum Sufi,
tidak malu dan segan untuk berdusta untuk menjauhkan umat dari dakwah
tauhid.
- Tuduhan kepada Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud
-salah satu pembela dan pembawa bendera dakwah tauhid yang menghabiskan
waktu, tenaga, pikiran, dan segala yang dimilikinya dalam membela
dakwah yang mulia tersebut – bahwasanya beliau telah menghancurkan kubah
yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Memang benar beliau dan para pendukungnya telah menghancurkan
beberapa kubah yang berada di Najd dan sekitarnya, namun sedikitpun
mereka belum pernah menyentuh bangunan kubah di atas kubur Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun mereka semua yakin bahwa
bangunan kubah tersebut tidak diridhai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,
bahwasanya beliau berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ وَأِنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dilaburnya sebuah makam, dan diduduki, serta
dibangun di atasnya.” (HR. Muslim 970)
Hal ini dipertegas pula dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mengutus Abul Hayyaj,
“Maukah engkau aku utus dengan sebuah misi yang dengan misi tersebut
pula aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Yaitu:
أَلاَّ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا، وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan kau biarkan satu gambarpun
kecuali kau musnahkan, dan jangan kau biarkan ada satu kuburan pun yang
menonjol kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Namun demikianlah musuh-musuh dakwah tauhid memutarbalikkan fakta,
sehingga beberapa sejarawan orientalis senang dengan disebutkannya
beberapa kisah dusta tersebut. Hal ini sebagaimana didapati dalam
beberapa buku sejarah karya mereka, di antaranya tulisan yang berjudul
Hadhir Al-‘Alam Al-Islami (The New World of Islam) karya L. Stoddard
(1/64), Dictionary of Islam “Wahhabiyah” karya Thomas P. Hughes (hal.
660), Mustaqbal Al-Islam (Future of Islam) karya Lady Anne Blunt (hal.
45). Dan masih banyak sejarawan orientalis lainnya yang memanfaatkan
kedustaan serta tuduhan batil kaum Sufi terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab untuk semakin mencemarkan dakwah tauhid yang beliau
dakwahkan.[14]
-Dan masih banyak tuduhan-tuduhan dusta yang lainnya.
Namun kami simpulkan kedustaan-kedustaan tersebut dengan menukilkan
sebuah surat yang ditulis oleh putra beliau yang bernama Asy-Syaikh
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditujukan kepada penduduk
Makkah pada tahun 1218 H / 1803 M. Beliau berkata:
“…Adapun sekian perkara dusta atas nama
kami dalam rangka untuk menutupi al-haq, di antaranya tuduhan bahwa kami
menafsirkan Al-Qur`an dengan logika kami serta mengambil hadits-hadits
yang sesuai dengan pemahaman kami… Dan bahwasanya kami merendahkan
kedudukan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan kami
bahwasanya Nabi telah menjadi debu di kuburnya dan tongkat salah
seorang kami lebih bermanfaat dari beliau, dan bahwasanya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki syafaat, serta berziarah
kepadanya tidak disunnahkan…, dan bahwasanya kami adalah beraliran
mujassimah[15], serta mengkafirkan manusia secara mutlak (tanpa batas,
pent)… Maka ketahuilah bahwa seluruh kisah khurafat tersebut di atas dan
yang semisalnya… Jawaban kami terhadap setiap permasalahan tersebut di
atas adalah dengan ucapan:
سُبْحَانَكَ هَذا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ
“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami) sesungguhnya ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (An-Nur: 16)
—sekian dari kitab Al-Hadiyyatus Sunniyyah, hal. 46 16
4. Syi’ah Rafidhah
Tak kalah dahsyat dari permusuhan kaum Sufi terhadap dakwah tauhid,
adalah permusuhan kaum Syi’ah Rafidhah, yang juga merasa terusik dengan
adanya dakwah tauhid. Aqidah mereka yang sesat dan penuh dengan
kekufuran, yang mereka tebarkan di tengah-tengah umat dengan penuh
pembodohan dan penipuan, terbongkar dengan tersebarnya dakwah tauhid
tersebut. Umat menjadi mengerti bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang
meyakini bahwa:
- ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah seorang imam yang ma’shum, dan seluruh shahabat yang menyelisihinya adalah kafir.
- Para imam Syi’ah Rafidhah yang 12 mengetahui perkara-perkara ghaib, bahkan punya andil di dalam mengatur alam semesta.
- Keyakinan mereka dengan aqidah Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib dan imam-imam mereka yang 12 akan kembali hidup di akhir zaman
- dan lain-lain,
adalah aqidah sesat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekufuran.
Ini semua membuat mereka marah dan memusuhi dakwah tauhid hingga hari
ini. Belum lagi kemarahan mereka karena pasukan tauhid telah
menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin ‘Ali bin Abi
Thalib di Karbala. Itu semua mendorong mereka untuk memusuhi dakwah
tauhid tersebut dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.
Tak cukup sampai di situ. Mereka bahkan melampiaskan kebencian dan
permusuhannya itu dalam bentuk tindakan fisik. Di antaranya adalah
pembunuhan atas Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud pada tanggal
18 Rajab 1218 H/4 November 1803 M, yang dilakukan seorang Syi’ah
Rafidhah berkebangsaan Iran. Beliau dibunuh oleh penjahat ini ketika
beliau sedang menunaikan shalat Ashar. Tepatnya ketika beliau bersujud,
tiba-tiba datanglah orang Syi’ah tersebut dengan membawa sebilah belati
kemudian menghunjamkannya ke tubuh Al-Amir Abdul Aziz rahimahullahu.
Permusuhan ini terus berlanjut hingga masa kini. Baik dalam bentuk
permusuhan fikri ataupun fisik. Sebagai contoh adalah sejumlah upaya
penyerangan yang dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah pengikut Khumaini
(Khomeini, red.) di Kota Makkah, pada musim haji tepatnya pada hari
Jum’at 6 Dzulhijjah 1407 H. Didahului penyebaran selebaran-selebaran
yang berisi kedustaan dan provokasi, sebuah penyerangan sporadis dan
penuh kezhaliman itu menelan 402 korban jiwa dari jamaah haji dan pihak
keamanan Negeri Tauhid.
Tak cukup sampai di sana, pada tahun 1409 H, kembali para pengikut
Khumaini dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang kejam dan tidak
berperikemanusiaan itu melakukan peledakan bom di Masjidil Haram, yang
juga menelan korban jiwa serta korban luka dari para jamaah haji,
tamu-tamu Allah.[17]
5. Hizbiyyun dan pergerakan-pergerakan Islam
Zaman berganti zaman, generasi pun telah berganti. Namun permusuhan
terhadap dakwah tauhid tak kunjung usai, dan memang akan terus
berlanjut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum hizbiyyun
menampilkan diri sebagai musuh dakwah tauhid dan sunnah yang ditegakkan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan para penerusnya.
Di antara kaum hizbiyyun itu pada masa ini adalah:
* Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Gerakan yang didirikan di atas upaya merangkul berbagai macam
kelompok dan pemikiran bid’ah —sebagaimana telah dijelaskan dalam
majalah Asy Syari’ah edisi 20, Sejarah Hitam IM—
telah mempraktekkan berbagai macam bentuk permusuhan terhadap dakwah
tauhid dan sunnah serta negara tauhid Saudi Arabia. Baik melalui
statemen dan karya-karya tulis para tokohnya, maupun dalam bentuk
tindakan fisik nyata di lapangan.
Di antara penulis dan tokoh besar IM adalah Muhammad Al-Ghazali, yang
melarikan diri dari ancaman Anwar Sadat – Presiden Mesir kala itu – dan
tinggal di negeri Saudi Arabia.
Dengan segala fasilitas yang dia terima dari negeri tauhid ini, dia
justru menikam dari belakang dan membalas kebaikan itu dengan caci maki
terhadap para ulama tauhid dan sunnah, penerus dakwah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa
karyanya yang penuh dengan kesesatan. Di antaranya adalah apa yang dia
tulis dalam kitabnya Kaifa Nata’amalu ma’al Qur`an dan kitab As-Sunnah
baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits.
Namun Alhamdulillah, para ulama tauhid telah membantah dan
menghancurkan syubhat-syubhatnya. Di antaranya adalah bantahan yang
ditulis Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah.
Kemudian permusuhan Muhammad Al-Ghazali terhadap dakwah tauhid dan
sunnah ini diikuti pula oleh tokoh dan pemikir besar IM lainnya, yaitu
Yusuf Al-Qaradhawi. Dia adalah murid dari Muhammad Al-Ghazali sekaligus
temannya. Namun cara Al-Qaradhawi di dalam menunjukkan permusuhannya
lebih halus dan terselubung dibandingkan gurunya. Hal ini nampak sekali
dalam karya-karyanya, seperti kitab Kaifa Yata’amalu Ma’as Sunnah dan
Awwaliyatul Harakatil Islamiyyah, serta beberapa kitabnya yang lain[18].
Kemudian pada generasi berikutnya IM melahirkan tokoh-tokoh semacam
Muhammad Surur bin Naif Zainal ‘Abidin, yang nampak lebih arogan dalam
memusuhi negeri tauhid dan dakwah tauhid itu sendiri. Begitu besar
kebencian dan permusuhannya, sehingga dia merasa sesak nafasnya dan
sempit dadanya untuk tinggal bersama kaum muslimin di negeri tauhid. Dia
justru memilih tinggal bersama kaum kafir di Inggris dengan merendahkan
dirinya di bawah perlindungan hukum-hukum kufur di negeri kafir yang
sangat memusuhi Islam itu. Sementara itu, dia mengkafirkan
pemerintah-pemerintah muslimin dengan alasan mereka tidak berhukum
dengan hukum-hukum Allah.
Dengan penuh kebencian dan tanpa malu, dia keluarkan sejumlah
pernyataan pedas dan dusta tentang ulama-ulama tauhid dan sunnah di
negeri tauhid Saudi Arabia khususnya. Lihat sebagian
pernyataan-pernyataannya yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syari’ah
Vol. I/No. 12/1425 H/2005. Lihat pula kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah karya
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-57; Al-Irhab karya Asy-Syaikh Zaid
Al-Madkhali, hal. 67-77.
Kelompok ini pun tak segan-segan melakukan tindakan fisik untuk
mewujudkan permusuhannya terhadap dakwah Tauhid dan para da’inya,
sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat. Di antaranya adalah yang
terjadi di negeri Yaman berupa penembakan brutal dan sporadis terhadap
sejumlah Ahlus Sunnah di sebuah masjid, yang menyebabkan sebagian mereka
terbunuh.
Bahkan salah satu tokoh IM di negeri Yaman mengancam Ahlus Sunnah dengan pernyataannya:
“Jika seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami akan memerangi Wahhabiyyin sebelum kami memerangi kaum komunis.” Hal ini sebagaimana dikisahkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam beberapa kali ceramah beliau.
Lebih dari itu semua, apa yang telah terjadi di Afghanistan dengan
terbunuhnya seorang mujahid Ahlus Sunnah, yaitu Asy-Syaikh Jamilurrahman
rahimahullahu. Pembunuhnya adalah salah seorang dari kelompok IM yang
dikenal dengan Abu ‘Abdillah Ar-Rumi. Dia datang ke Afghanistan membawa
kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus Sunnah dan menjulukinya
dengan Wahhabiyyah. Pembunuhan sadis ini terjadi pada hari Jum’at 20
Shafar 1412 H/ 30 Agustus 1991 M sebelum Asy-Syaikh Jamilurrahman
berangkat menuju shalat Jum’at. Pembunuh kejam itu mendatangi beliau
sebagai tamu yang hendak memeluknya. Tanpa disangka ternyata orang ini
melepaskan tembakan ke arah Asy-Syaikh dan tepat mengenai wajah dan
kepala beliau!
Inilah sekelumit contoh permusuhan dan kebencian tokoh-tokoh besar IM
terhadap para ulama tauhid dan sunnah serta negeri tauhid Saudi Arabia.
* Hizbut Tahrir
* Hizbut Tahrir
Kelompok Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah kelompok sempalan yang
didirikan Taqiyyuddin An-Nabhani di negeri Yordania pada tahun 1372
H/1953 M. Selengkapnya bisa pembaca dapati pada majalah Asy Syari’ah
Vol. II/No. 16/1426 H/2005.
Namun yang hendak kita tampilkan di sini adalah bentuk kebencian dan permusuhan HT terhadap Daulah Tauhid dan para ulamanya.
Permusuhan itu diwujudkan dalam statemen-statemen mereka dan
karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam buku
berbahasa Inggris How The Khilafah Destroyed (Kaifa Hudimat
Al-Khilafah) karya Abdul Qadim Zallum yang diterbitkan Khilafah
Publication London England. Buku ini adalah salah satu buku refensi
utama dalam perjalanan HT.
Dalam buku ini, penulisnya telah menuduh Daulah Tauhid sebagai suatu
bentuk konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dengan
mengkambinghitamkan Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud
rahimahullahu dan menyatakan beliau sebagai agen Inggris. Padahal justru
beliau adalah seorang yang telah menyerahkan waktu, tenaga, pikiran,
dan hidupnya untuk membela dan menegakkan tauhid sebagaimana telah kami
sebutkan di atas.
Tuduhan HT ini sama sekali tidak disertai dengan bukti dan fakta
ilmiah. Tapi yang ada hanya sebatas analisa dan klaim semata. Sebaliknya
telah kami paparkan di atas dengan bukti-bukti ilmiah bahwa ternyata
Dinasti ‘Utsmanilah yang sebenarnya bersekongkol dan diperdaya oleh
negara-negara kafir Eropa dalam memerangi dakwah tauhid dan sunnah.
Kemudian mereka juga menuduh gerakan Dakwah Tauhid sebagai gerakan
pemberontakan terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan ini pun adalah tuduhan
yang batil dan dusta, sebagaimana telah kami bahas di atas.
Masih dalam buku tersebut di atas, penulis HT ini menuduh bahwa
Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud telah menghancurkan
bangunan kubah di atas makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta mempereteli batu perhiasan dan ornamen-ornamennya yang sangat
berharga. Namun itu semua adalah dusta. Bahkan dengan itu, penulis HT
ini telah mengikuti jejak para orientalis Eropa belaka, sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
Tak kalah serunya adalah salah satu tokoh HT yang bernama Muhammad
Al-Mis’ari ikut meramaikan permusuhan kelompok ini terhadap dakwah dan
negara tauhid dalam beberapa statemennya.
Di antaranya adalah pernyataan dia yang dimuat oleh surat kabar
Asy-Syarqul Ausath edisi 6270, terbit pada hari Jum’at 8 Ramadhan 1416
H:
“Sesungguhnya kondisi saat ini di negeri Saudi Arabia yang tidak mengizinkan bagi kaum Masehi (Nashara, pent.) dan Yahudi untuk mempraktekkan syi’ar-syi’ar ibadah secara terang-terangan akan berubah dengan tampilnya Komisi ini[19] di medan hukum. Bahwasanya pemberian hak kepada kaum minoritas adalah wajib, dalam bentuk hak untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar agama mereka di gereja-gereja mereka, serta hak untuk mendapatkan pengakuan resmi atas pelaksanaan akad pernikahan sesuai dengan aturan agama mereka secara khusus serta hak-hak lainnya, sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kebebasan kehidupan keagamaan dan kehidupan pribadi mereka secara sempurna. Baik mereka itu dari kaum Yahudi, Masehi, ataupun kaum Hindu!!”
Kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya pembangunan gereja-gereja adalah perkara yang mubah dalam syariat Islam.”[20]
Dia pun dengan lancang mencaci maki Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab —sang Mujaddid yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat ini
dan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan bid’ah— dengan statemennya
yang dia ucapkan dalam sebuah selebaran resmi yang dikeluarkan CDLR dari
London pada hari Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M:
“Kedua: Saya tidak akan membahas tentang aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Namun saya hanyalah menyebutkan tentang sebuah realita, yaitu bahwasanya dia (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) adalah seorang yang berpemikiran nyleneh dan bukanlah seorang yang alim. Dia adalah seorang yang diliputi dengan berbagai masalah dan cara bersikap nyleneh yang memang sesuai dengan ke-nyleneh-an kaum di Najd pada masa itu…”
Nampak sekali kebencian tokoh besar HT yang satu ini terhadap dakwah
tauhid sekaligus menunjukkan kebodohannya tentang tauhid itu sendiri.
Namun yang sangat aneh dari orang ini, ketika dia mencaci maki
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada saat yang sama dia memuji
tokoh besar Syi’ah Rafidhah, Al-Khumaini, dengan pernyataannya:
“Sesungguhnya dia (Al-Khumaini, pent) adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius…”
Dalam selebaran yang sama pula, dengan penuh arogansi dia mencaci
maki salah satu imam dakwah ini, yaitu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Baz rahimahullahu dengan pernyataannya:
“Pertama: Saya tidak menuduh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan kekufuran. Namun saya menyatakan dengan satu kata bahwa mayoritas ulama dan masyayikh berpandangan bahwasanya dia (Ibnu Baz) setelah (mengeluarkan) fatwanya tentang bolehnya upaya perjanjian damai dengan Israil telah sampai ke sebuah tahapan yang mendekati kepada kekufuran. Saya hanya menukilkan pendapat para ulama dan masyayikh tersebut. Adapun pendapat saya pribadi adalah beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz, pent) telah sampai pada derajat pikun, bodoh, dan kelemahan yang sangat rendah.”[21]
Bantahan tuntas atas ucapan keji ini para pembaca bisa mendapatinya
dalam buku kami, Mereka Adalah Teroris (Bantahan Aku Melawan Teroris)
hal. 325-326 footnote no. 215. Begitu pula tentang jawaban hukum
perdamaian dengan kaum kafir, lihat hal. 203-219 (cet. II/Edisi Revisi)
Subhanallah… Betapa kejinya ucapan tersebut! Seseorang yang berdakwah
untuk memurnikan tauhid umat serta menjauhkan dari kesyirikan dibenci,
dicaci maki, dan dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta. Sementara seorang
Syi’ah Rafidhah, semacam Khumaini, yang menyeru kepada kesesatan dan
kekufuran disanjung dan dipuji. Inikah sebuah Hizb dan tokohnya yang
konon menginginkan tegaknya khilafah??!
Sayang sekali Al-Mis’ari yang telah mengumumkan kebenciannya terhadap
daulah tauhid serta ulamanya dan merasa gerah hidup di tengah-tengah
muslimin, justru rela dan merasa tentram tinggal di negeri kufur dengan
perlindungan hukum dari mereka.
* Al-Qa’idah (Al-Qaeda, red.)
Jaringan Al-Qa’idah, yang merupakan jaringan khawarij terbesar masa
kini, juga tak kalah besar kebencian dan permusuhannya terhadap daulah
tauhid dan sunnah serta para ulamanya. Kebencian tersebut tidak hanya
dituangkan dalam bentuk statemen-statemen para tokohnya, bahkan juga
dalam bentuk serangan fisik dan teror.
Usamah bin Laden mencaci maki salah seorang imam besar Ahlus Sunnah
pada masa ini, yaitu Al-Imam Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu, di
antaranya dalam suratnya yang ditujukan kepada Al-Imam Ibnu Baz tanggal
27/7/1415 H yang dikeluarkan Hai`ah An-Nashihah (Lembaga Nasehat) di
negeri London, Usamah berkata:
“Dan kami mengingatkan engkau —wahai syaikh yang mulia— atas beberapa fatwa dan sikap-sikap yang mungkin Anda tidak mempedulikannya, padahal fatwa-fatwa tersebut telah menjerumuskan umat ini ke dalam jurang kesesatan (yang dalamnya) sejauh (perjalanan) 70 (tujuh puluh) tahun.”
Dengan tegas dan lugas, Usamah bin Laden menghukumi daulah tauhid
Saudi Arabia sebagai negara kafir. Hal ini sebagaimana dimuat dalam
koran Ar-Ra`yul ‘Am Al-Kuwaity edisi 11-11-2001 M, dalam sebuah
wawancara dengan Usamah bin Laden, ia menjawab:
“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai Negara Islam….”
Usamah juga memvonis kafir Putra Mahkota Abdullah bin Abdul ‘Aziz
–waktu itu dan kini sebagai Raja Negara Saudi Arabia—, yaitu dalam
ucapannya yang terakhir untuk rakyat Iraq pada bulan Dzulhijjah 1423 H:
“…… Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan sekaligus MEREKA TELAH KELUAR DARI AGAMA (ISLAM) INI dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.”
Dengan bangga Usamah menyanjung para teroris yang melakukan aksi peledakan di negeri tauhid tersebut:
“Aku (Usamah) memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah meledakkan (bom) di kota Riyadh, atau peledakan di kota Khubar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya.”
Dalam dua peledakan ini, terkhusus di Kota Khubar, memakan 18 korban
jiwa yang mayoritasnya adalah muslimin, serta 350 lebih luka-luka dan
sebagiannya lagi menderita cacat seumur hidup. Tidak cukup itu, bahkan
Usamah “membumbui” kebenciannya terhadap daulah tauhid dengan kedustaan.
Di antara kedustaannya adalah pernyataan dia bahwa kaum Salibis telah
menduduki Masjidil Haram.
Wallahu a’lam.
_________________________________________________________________________________________________
[1] Lihat kitab Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Da’watuhu wa
Siratuhu, karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 23; lihat pula
kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr.
Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, cet. III hal. 91.
[2] Lihat kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, karya
Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, hal. 63-67 (cet III/1419 H).
[3] Ibid, hal. 77-78.
[4] Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139.
[5] Lihat kitab Imam wa Amir wa Dakwah likulli Al-‘Ushur karya Ahmad
bin Abdul ‘Aziz Al-Hushain, penerbit Daruth Tharafain cet. I th. 1993,
hal. 191, dan penulis mengisyaratkan pada kitab Jaulah fi Biladil ‘Arab
hal. 104-111
[6] Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139
[7] Shalat Khauf yaitu shalat fardhu yang ditegakkan ketika sedang
berkecamuk perang, dengan beberapa tata cara tertentu yang telah
diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berbeda
dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu di luar waktu pertempuran.
[8] Dinukil dari kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun
wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 152-153.
[9] Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.
[10] Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.
[12] Ibid, hal. 236.
[13] Ibid, hal. 237.
[14] Ibid, hal. 214
[15] Yaitu sebuah aliran yang menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala memiliki jasmani seperti layaknya makhluk. Ini adalah aliran
sesat yang keluar dari prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
[16] Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 213
[17] Revolusi Iran Khumaini telah banyak mempengaruhi pemikiran para
aktivis dan pergerakan Islam di mancanegara untuk melakukan
tindakan-tindakan teror dan pembunuhan-pembunuhan serta menebarkan
pemikiran bernuansa terorisme pada kaum muda Islam. Bahkan secara
terbuka kelompok Al-Ikhwanul Muslimun menyatakan dukungannya terhadap
Revolusi Iran ini.
[18] Lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal.
175-203. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kesesatan aqidah dan
pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, lihat buku Membongkar Kedok Yusuf
Al-Qaradhawi cet. Pustaka Salafiyah, Depok
[19] Komisi yang dimaksud adalah Lajnah Ad-Difa’ ‘anil Huquqisy
Syar’iyyah (Komisi Pembelaan Hak-hak Syari’ah) [C.D.L.R] yang berpusat
di London, di mana Muhammad Al-Mis’ari ini sebagai Juru Bicara Resminya.
Komisi ini banyak mengeluarkan statemen dan tindakan-tindakan yang
berisi provokasi untuk membenci dan melawan pemerintah Saudi Arabia.
Selengkapnya tentang Komisi ini dan fatwa para ulama sunnah tentangnya
bisa dibaca pada buku Mereka Adalah Teroris hal. 370-374 (edisi revisi).
[20] Lihat kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 38-39 (cet. II) Percetakan Darus Salaf.
[21] Lihat kitab Al-Quthbiyyah hiyal fitnah Fa’rifuha Abu Ibrahim bin Sulthan, hal. 115.
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh
http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=303
0 komentar:
Posting Komentar