Oleh: Syaikh Jamal Al Haritsiy hafizhohullaah
Segala puji hanya bagi Allah, sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad yang tiada lagi nabi sesudahnya. Amma ba’du.
Ini adalah beberapa patah kata ringkas yang aku alamatkan kepada
akhwat muslimah di setiap tempat – melalui jaringan internet – apalagi
jaringan internet seperti ini sudah menjadi sarana yang paling cepat dan
bermanfaat untuk menyebarkan dakwah yang bersumber dari Al Kitab dan As
Sunnah sesuai dengan manhaj As Salafush Sholeh -semoga Allah merahmati
mereka. Dan aku telah menyusunnya dalam beberapa poin dan beberapa
potongan ringkas. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
shollallaahu’alayhi wasallam. Ini adalah isyarat dariku bahwa di beberapa
bagian, aku akan mencukupkan diri dengan menyebutkan beberapa ayat yang
menjelaskan suatu perkara.
Dari risalah “Secara tulus untuk setiap muslimah”.
Aku katakan wa billaahit tawfiiq:
Aku nasehatkan setiap wanita muslimah, baik yang telah menikah atau
masih sendiri, yang kecil atau yang besar, yang tua atau yang muda, agar
ia bertakwa kepada Allah terhadap dirinya karena Allah telah berfirman
kepada Nabi-Nya shollallahu’alayhiwasallam:
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah..” (Q.S.33:1)
Maka orang-orang selain Nabi Muhammad shollallahu’alayhi wasallam lebih pantas mendapatkan arahan dan nasehat ini.
Maka janganlah engkau memandangi pria-pria asing, baik di jalan atau
di pasar, atau di televisi, atau di foto-foto dan majalah-majalah serta
koran-koran, atau di jaringan internet. Karena pandangan itu adalah
pintu masuk kepada perkara yang lebih besar lagi. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. 24:31)
Dan janganlah seorang wanita melembut-lembutkan suaranya di depan
para pria asing – non-mahrom – sama saja baik perkataannya itu secara
langsung seperti ketika berjual-beli di pasar, atau seperti yang
berbicara kepada saudara-saudara suaminya atau salah satu kerabatnya
atau suaminya yang bukan mahrom – sebagaimana yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat, atau juga ketika perkataannya itu dari balik hijab,
atau melalui telpon atau Paltalk atau Messenger. Allah berfirman:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. 33:32)
Firman ini ditujukan kepada ummahaatul mu`miniin yang bersih dan
selalu menjauhkan diri dari perkara-perkara tidak baik, di dalam suatu
masyarakat yang suci murni, yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi
Nabi-Nya shollallaahu’alayhi wasallam, maka wanita-wanita di masa kita
sekarang ini lebih pantas untuk mendapatkan arahan dan nasehat ilahi
ini.
Dan seorang wanita muslimah hendaknya tetap di rumahnya dan tidak
keluar ke pasar kecuali untuk keperluan yang benar-benar darurat dan
dengan keadaan tidak mutabarrijah. Kalau ada orang yang memenuhi
keperluannya di pasar maka hendaknya berhamdalah. Dan hendaknya ia juga
waspada untuk tidak keluar ke taman-taman dan tempat-tempat rekreasi
serta tempat-tempat yang bercampur baur dengan laki-laki, baik anak-anak
muda atau yang lain. Allah berfirman:
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.S.33:33)
Dan wajib atas seorang muslimah yang sungguh-sungguh mencintai Allah
dan Rasul-Nya -tidak sekedar mengaku-ngaku- untuk mengenakan hijab syar’iy yaitu dengan menutup wajahnya dan memakai pakaian yang longgar
dan panjang, bukan yang sempit, pendek atau tembus pandang, kalau ia
ingin keluar dari rumah untuk suatu keperluan. Allah berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 33:59)
Umar rodhiyallaahu’anhu berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang
menghalangi seorang muslimah, ketika ia mempunyai suatu keperluan, untuk
keluar dengan mengenakan kain penutup miliknya atau milik tetangganya
sambil bersembunyi-sembunyi sehingga tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya, sampai kemudian ia kembali lagi ke rumahnya”.
Semua ini, yaitu menetap di dalam rumah dan selalu berhijab, muncul dari buah ilmu syar’iy yang bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Allah berfirman:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. 33:34)
Meskipun perkataan ini ditujukan kepada ummahaatul mu`miniin, namun
yang dijadikan ibroh adalah keumuman lafal bukan kekhususan sebab, dan
para wanita selain ummahaatul mu`miniin lebih memerlukan ilmu dan lebih
perlu mempelajari hal-hal yang meluruskan agamanya.
Dan yang paling harus diketahui oleh setiap muslim dan muslimah
adalah mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam ibadah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun agar ibadahnya diterima. Dan seorang
muslimah hendaknya menjaga dirinya dan kehormatannya. Allah berfirman:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman
untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang
baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada
Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. 60:12)
Dan ketahuilah wahai akhwat muslimat, bahwa ayat berikut ini begitu
mencakup, padat, sarat muatan, menghimpun dan mencukupi, bagi orang yang
mentadabburi, memahami dan mengamalkannya. Yaitu firman Allah:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. 33:35)
Aku nasehatkan para akhwat muslimat untuk memiliki perhatian terhadap
ilmu syar’iy yang berasaskan dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, yang
tanpanya suatu ibadah wajib tidak akan dapat dilakukan. Dan aku tidak
bermaksud bahwa seorang muslimah mendalami masalah-masalah sekunder
dengan mengorbankan perbuatan-perbuatan wajib yang harus ia kerjakan
seperti mengurus suami dan anak-anak, mengatur rumah. Hal-hal ini lebih
wajib untuknya daripada mendalami masalah-masalah sekunder dalam agama.
Hendaknya ia memulai dengan yang pokok. Dengan memahami tauhid dan
segala hal yang bertentangan dengannya dari perkara syirik yang termasuk
pembatal agama. Kemudian dengan masalah-masalah yang dapat membetulkan
sholatnya, demikian juga masalah-masalah thoharoh untuk wanita, dan dia
harus mengetahui kapan harus sholat dan puasa dan kapan harus berhenti
sholat dan puasa misalnya, dan seterusnya. Dia juga perlu mempelajari
hal-hal yang membuatnya mengerti soal pendidikan anak-anaknya, demikian
juga kiat-kiat mengurus suami dengan baik. Intinya, seorang wanita
muslimah harus mempelajari hal yang paling wajib terlebih dahulu,
kemudian hal yang wajib di bawahnya, berkaitan dengan segala sesuatu
yang membetulkan ibadahnya dan yang tanpanya suatu perkara wajib tidak
dapat dilaksanakan. Dan dia menjauh dari masalah-masalah khilafiyyah
sebisa mungkin, bahkan hendaknya dia berusaha keras untuk itu.
Sebagaimana aku juga menasehatkan para muslimah untuk meninggalkan
perdebatan dalam masalah agama dan memberikan bantahan-bantahan yang
menjadi kesibukan sebagian mereka yang mengklaim diri sebagai penuntut
ilmu. Mereka ikut-ikutan para thullaabul ilmi dan masyayikh dalam
masalah memberi bantahan kepada orang yang menyelisih. Si fulanah ini
menulis bantahan untuk fulanah ini. Yang ini menulis bantahan untuk
fulanah itu. Sampai-sampai seorang dari muslimah itu menulis bantahan
kepada si fulan yang itu. Maka mereka sibuk dan disibukkan dari perkara
wajib yang tentangnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.
Wahb bin Munabbih -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Tinggalkan
perbuatan berbantah-bantahan dan saling mendebat dari urusanmu. Karena
sesungguhnya engkau tidak akan dapat melemahkan salah satu dari dua
orang ini: orang yang lebih berilmu darimu. Bagaimana engkau akan
mendebat dan berbantahan dengan orang yang lebih berilmu darimu?
Kemudian orang yang kamu lebih berilmu darinya. Bagaimana kamu akan
mendebat dan berbantahan dengan orang yang kamu lebih berilmu darinya
dan dia tidak mau menurutimu. Maka putuslah hal itu dari dirimu.”
Abdullah al Basriy -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Sunnah menurut kami itu bukanlah dengan engkau membantah para pengikut hawa nafsu, akan tetapi sunnah menurut kami adalah dengan engkau tidak mengajak bicara seorangpun dari mereka.”
Al Abbas bin Gholib al Warraaq -semoga Allah memberinya rahmat-
berkata: “Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal: “Wahai Abu Abdillah
ketika aku berada di suatu majlis yang tidak ada seorangpun yang
mengetahui sunnah kecuali aku, kemudian ada seorang mubtadi’ yang
berbicara, apakah aku membantahnya?”. Imam Ahmad berkata: “Jangan kamu
pasang dirimu untuk orang ini. Beritahukan yang sunnah dan jangan kamu
mendebat”. Maka aku ulangi lagi perkataanku itu kepadanya. Lalu ia
berkata: “Aku memandangmu tidak lain hanyalah seorang pendebat”.
Dan tinggalkanlah perbuatan memberitahu orang tentang sesuatu yang
masih “katanya” di antara kalian, wahai para akhwat. Dan janganlah
engkau menghukumi seseorang dari kalian dengan suatu pelanggaran sampai
engkau mendapatkan kepastian dan engkau tanyakan kepada salah seorang
ulama atau masyayikh atau kepada para tholabatul ilmi yang dikenal
dengan keistiqomahannya di atas manhaj salaf dan termasuk orang yang
memiliki keteguhan dan pertimbangan sehat. Bukan termasuk orang-orang
yang tergesa-gesa dan tertipu oleh dirinya sendiri dengan
membangga-banggakannya meskipun mereka itu adalah salafiyyin. Kamu
tanyakan kepada mereka tentang hal yang diyakini oleh seorang dari
kalian sebagai pelanggaran menurut pandangannya. Agar tidak sampai
terjadi perpecahan pendapat, keberselisihan hati dan
ke-saling-menjauh-an perasaan.
Dan hendaknya seorang yang menjadikan dirinya sebagai da’i dari
kalian, untuk bertaqwa kepada Allah di dalam dakwahnya. Maka dia
menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak seorang da’i kepada Allah. Yaitu
berhias dengan kesabaran terhadap orang yang menyelisihi, dan begitu
juga terhadap orang yang jahil. Dan sebelumnya hendaknya ia menyiapkan
persenjataan berupa ilmu tentang hal-hal yang ingin ia sampaikan dan ia
dakwahkan. Dan salah satu hal yang menunjukkan kafaqihan Imam Bukhori
dan pemahamannya yang benar atas Al Kitab dan As Sunnah, bahwasanya
beliau membuat satu bab dalam kitab al Jaami’ ash Shohiih-nya, dan
berkata: “Bab, Mengilmui sebelum berkata dan beramal”. Allah ta’aalaa
berfirman: (maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah dan memohon ampunlah atas dosa-dosamu).
==============================================
Kepada setiap wanita yang sudah bersuami, atau yang sedang akan
membina rumah tangga, aku katakan: hendaknya engkau mengetahui hak suamimu dan hak orangtuamu dan janganlah engkau mencampuradukkan dua
kewajiban tersebut. Karena terhadap masing-masing dari suami dan
orangtua, ada kewajbannya sendiri-sendiri. Dan hak suami itu lebih
wajib. Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam bersabda:
“Kalau saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang
lain, niscaya aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud kepada suami
mereka. Seorang wanita itu belumlah memenuhi seluruh hak Allah
terhadapnya sampai ia memenuhi seluruh hak suaminya terhadapnya. Yaitu
kalau suaminya menginginkan dirinya sedang ia berada di atas pelana,
maka ia akan memenuhi keinginan suaminya itu.” Dikeluarkan oleh Imam
Ahmad dan yang lain dengan lafaz yang mirip. Dan dishahihkan oleh Syaikh
al Albani dalam “Ash Shohiihah” 1203.
Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam juga bersabda:
“Kalau saja kedua lubang hidung suaminya mengeluarkan darah dan
nanah, kemudian ia jilati dengan lidahnya, ia belumlah memenuhi hak
suaminya itu. Kalau saja seorang manusia pantas bersujud kepada seorang
manusia lain, maka aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud kepada
suami mereka ketika para suami itu masuk mendatangi mereka karena
keutamaan yang telah Allah berikan kepada para suami di atas para
istri..” Dikeluarkan oleh Al Hakim dan yang lain. Ia berkata: isnadnya
shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim.
Maka kalau engkau sudah mengetahui dan meyakini kewajiban yang harus
engkau jalani terhadap suamimu, wahai muslimah, maka hendaknya engkau
berusaha mendapatkan keridhoannya dengan berbagai macam cara. Kalau dari
satu cara tidak bisa, maka coba cara kreatif yang lain untuk membuatnya
senang dan gembira. Kalau ia merasakan kenyamanan di rumah setelah
capai dan lelah di luar rumah, maka itu akan bermanfaat juga untukmu.
Dan jadilah untuknya sebagaimana seorang wanita sholihah yang
memanjakan suaminya, yang meringankan bebannya ketika menghadapi
kerasnya kehidupan, yang memperhatikan kesukaan-kesukaannya kemudian
mewujudkannya, dan memudahkan kesulitan-kesulitannya walaupun dengan
mengorbankan dirinya sendiri. Wanita itu tidak lain adalah ummul
mukminiin, Khadijah bintu Khuwailid semoga Allah meridhoinya dan
meridhokannya. Beliau adalah sebaik-baik istri bagi Rasulullah
shollallahu’alayhi wasallam sebelum bi’tsah, dan seorang penolong pada
masa tahannutsnya di gua hira. Kemudian seorang wanita yang menghiburnya
dan menenangkan kekhawatirannya pada saat datangnya wahyu. Suatu hari,
setelah menerima wahyu “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah
menciptakan..”, Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam kembali ke rumah
dalam keadaan bergemetaran tubuhnya. Kemudian ia masuk mendatangi
Khadijah sambil berkata: “Selimuti aku, selimuti aku!”. Maka beliaupun
diselimuti hingga ketakutannya menghilang. Beliau berkata kepada
Khadijah: “Wahai Khadijah, ada apa denganku? Sungguh aku khawatir dengan
diriku sendiri”. Lalu beliau bercerita kepada Khadijah. Khadijah
berkata: “Tidak begitu. Bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan
pernah memperhinakanmu. Demi Allah, engkau adalah orang yang selalu
menghubungkan tali silaturrahmi, jujur, selalu membantu meringankan
orang lain, selalu berusaha menyediakan kebutuhan sehari-hari, menjamu
tamu, dan membantu membela kebenaran.” Diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim.
Perhatikanlah kata-kata indah yang keluar dari lentera kesalehan,
kesucian, kebersihan dan ketakwaan ini. Sehingga kata-kata itu memiliki
pengaruh yang besar dalam menenangkan rasa takut dalam qalbu seorang
baginda para anak cucu Adam shollallahu’alayhi wasallam. Hendaknya,
Khadijah dan ummul mukminin yang lain menjadi teladan untuk kalian.
Dan jadilah seperti Zaenab bintu Jarir, salah seorang wanita Bani
Hanzholah dari Bani Tamim. Dari al Haitsam bin ‘Adiy ath Thoo`iy, ia
berkata: Mujaalid bercerita kepada kami dari asy Sya’biy, ia berkata:
Syuroih berkata kepadaku: Wahai Sya’biy! Hendaknya engkau menikahi
wanita-wanita Bani Tamim karena aku melihat mereka itu cerdas-cerdas.
Sya’biy berkata: apa kecerdasaan mereka yang kamu lihat?
Ia berkata: “Aku pernah tiba dari mengantar jenazah pada suatu siang.
Dan aku melewati pemukiman Bani Tamim. Tiba-tiba aku melihat seorang
nenek di pintu rumahnya berdampingan dengan seorang gadis cantik jelita.
Maka aku berbelok dan meminta minum, padahal aku sedang tidak haus.
Gadis itu bertanya: “Minuman apa yang kamu suka?”
Aku berkata: “Yang ada saja..”.
Nenek itu berkata: “Berikan dia susu. Kelihatannya dia orang asing”.
Aku bertanya: “Siapa gadis ini?”
Nenek itu bilang: “Dia Zaenab bintu Jarir, salah seorang wanita Bani Hanzholah”.
Aku bertanya: “Masih sendiri atau sudah bersuami?”
Nenek itu menjawab: “Dia masih sendiri”.
Aku berkata: “Nikahkanlah aku dengannya”.
Nenek itu berkata: “Kalau kamu sepadan dengannya”. (sepadan: kufu`an, bukan kufuwan, ini adalah bahasa Bani Tamim).
Lalu aku pulang ke rumah dan bergegas untuk tidur siang. Tapi aku
tidak bisa tidur. Setelah sholat zhuhur, aku mengajak saudara-saudaraku
para qurroo` (pembaca Al Quran) yang terhormat: ‘Alqomah, al Aswad, al
Musayyib dan Musa bin ‘Arfathoh. Kemudian aku pergi menemui paman gadis
itu. Dia menyambut dan berkata: “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”
Aku berkata: “Zaenab, keponakanmu”.
Ia berkata: “Zaenab tidak punya rasa tidak suka kepadamu”. Maka ia
pun menikahkanku dengan Zaenab. Setelah Zaenab berada dalam ikatanku,
aku menyesal. Aku berkata: “Apa yang sudah aku lakukan dengan wanita
Bani Tamim?” Dan aku teringat dengan kasarnya hati mereka. Lalu aku
bilang: “Aku akan menceraikannya”. Namun kemudian aku berkata: “Tidak,
aku akan hidup dengannya. Kalau aku mendapatkan yang aku suka, aku akan
terus hidup dengannya. Tapi kalau tidak, aku akan menceraikannya”. Maka
kalau saja kamu melihat aku, wahai Sya’biy, ketika para wanita Bani
Tamim itu datang mengiringi Zaenab sampai ia diantarkan masuk kepadaku.
Lalu aku berkata: “Termasuk hal yang sunnah, kalau seorang wanita
masuk mendatangi suaminya, si suami sholat dua roka’at kemudian berdoa
kepada Allah meminta kebaikan istrinya dan berlindung dari keburukan
istrinya”. Maka aku sholat dan aku akhiri dengan salam. Ternyata, Zaenab
ada di belakangku mengikuti sholatku. Setelah selesai sholat, beberapa
perempuan datang mengambil pakaianku dan memberikan sebuah selimut yang
sudah dicelup dengan endapan ‘ushfur (sejenis tumbuhan yang wangi).
Setelah rumah menjadi kosong, aku mendekatinya. Dan aku julurkan tangan
ke arahnya. Namun ia berkata: “Nanti dulu wahai abu umayyah. Diamlah di
tempatmu!” Lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan
aku memohon pertolongan kepada-Nya. Kemudian aku bersholawat kepada
Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah seorang gadis asing
yang tidak mengetahui sifat dan perilakumu. Maka terangkanlah kepadaku
apa yang kamu suka maka akan aku kerjakan, dan apa yang kamu tidak suka
maka akan aku tinggalkan.
Lalu ia berkata: “Sesungguhnya di kaummu sudah diadakan perayaan
pernikahan, dan di kaumku juga begitu. Akan tetapi kalau Allah
menentukan sesuatu, pasti itu akan terjadi. Dan kini aku sudah menjadi
milikmu. Maka perbuatlah apa yang telah Allah perintahkan. Yaitu menahan
secara ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Aquulu qowlii haadzaa wa
astaghfirullaaha lii wa laka (aku katakan perkataanku ini dan aku
mohonkan ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu) (ini adalah
perkataan yang biasanya menjadi khotimah sebuah khutbah -pent).
Syuroih berkata: “Demi Allah wahai Sya’biy, Zaenab membuatku perlu
memberikan khutbah di waktu seperti itu”. Maka aku katakan: “Segala puji
bagi Allah. Aku memuji-Nya dan aku memohon pertolongan-Nya. Dan aku
bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah dan keluarganya. Wa ba’du.
Sesungguhnya engkau sudah mengatakan sebuah perkataan yang kalau engkau
berkomitmen dengannya, engkau akan mendapatkan balasan yang besar. Tapi
kalau engkau hanya sekedar mengada-ada, maka perkataan itu akan menjadi
bukti yang memberatkanmu. Aku suka begini dan aku tidak suka begitu
ketika kita sedang bersama-sama, maka janganlah engkau pergi begitu
saja. Dan apa yang kamu lihat baik, sebarkan. Sedang apa yang kamu lihat
buruk, tutupi”.
Lalu Zaenab mengatakan hal yang tidak aku ingat. “Apakah kamu menyukai berkunjung ke keluarga?”
Aku berkata: “Aku tidak suka dijemukan dengan ipar-iparku”.
Ia berkata: “Siapa tetangga yang kamu sukai untuk masuk ke rumahmu,
sehingga aku akan mengizinkan mereka masuk dan siapa juga yang tidak
kamu sukai sehigga aku juga tidak menyukai mereka?”
Aku berkata: “Bani Fulan itu orang-orang baik. Sedang bani fulan itu orang-orang buruk”.
Syuroih berkata: “Maka waktu itu aku bermalam dengan malam yang
paling nikmat, wahai Sya’biy. Dan Zaenab tinggal bersamaku selama satu
tahun, tidak pernah aku lihat kecuali yang aku suka. Pada awal tahun
berikutnya, aku datang dari sebuah majlis pengadilan. Tiba-tiba ada
seorang nenek yang menyuruh begini dan melarang begitu di dalam rumah.
Aku bertanya: “Siapa ini?”
Mereka berkata: “Fulanah, mertua kamu”. Maka hilanglah perasaan
janggal dalam hatiku. Setelah aku duduk, nenek itu mendatangiku dan
berkata: “Assalamu’alaika, wahai abu umayyah!”
Aku berkata: “Wa’alaikissalaam. Siapa engkau?”
Dia berkata: “Aku fulanah, mertuamu”.
Aku berkata: “Semoga Allah mendekatkanmu kepada-Nya”.
Dia berkata: “Bagaimana pandanganmu terhadap istrimu?”.
Aku katakan: “Sebaik-baik istri”.
Ia berkata padaku: “Wahai Abu Umayyah! Sesungguhnya seorang perempuan
tidak akan menjadi lebih buruk dari si Zaenab itu dalam dua keadaan:
kalau ia melahirkan seorang anak laki-laki atau ia memiliki kedudukan di
sisi suaminya. Maka kalau ada sesuatu yang membuatmu ragu, pakai saja
cemeti. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang didapatkan oleh seorang pria
di rumahnya yang lebih buruk dari seorang istri yang manja”.
Aku berkata: “Demi Allah, engkau benar-benar sudah mendidik dengan
pendidikan yang baik. Dan sudah melatih dengan pelatihan yang baik”.
Ia berkata: “Apakah kamu suka kalau para mertuamu datang berkunjung?”.
Aku berkata: “Kapan saja mereka mau”.
Syuroih berkata: maka nenek itu terus mendatangiku setiap awal tahun
dengan memberiku wasiat yang sama. Zaenab pun tinggal bersamaku selama
dua puluh tahun, tidak pernah aku menegurnya dalam satu perkarapun
kecuali sekali saja dan aku telah berbuat aniaya terhadapnya. (Ketika
itu -pent) muadzdzin sudah mengumandangkan iqomah setelah aku sholat dua
rakaat fajar. Dan aku adalah imam sholat di kampung tersebut. Tiba-tiba
ada seekor kalajengking merayap. Maka aku ambil sebuah wadah dan aku
telungkupkan wadah itu di atasnya kemudian aku katakan: “Wahai Zaenab,
jangan bergerak sampai aku datang”. Kalau saja engkau melihatku wahai
Sya’biy, setelah aku sholat dan pulang, tahu-tahu aku sudah di dekat
kalajengking yang sudah menyengat Zaenab. Lalu aku meminta as saktu dan
garam kemudian aku rendam jarinya dan aku membacakannya surat al fatihah
dan al mu’awwidzatain.
Kisah ini dikeluarkan oleh Ibnu Abdi Robbih al Andalusiy dalam
kitabnya “thobaa`i’un nisaa`”, dan disebutkan pula oleh Abul Fath al
Ibsyiihiy dalam kitabnya “al Mustathrof”.
==============================================
Dan ambillah teladan, wahai muslimah, dari kisah berikut ini. Karena
kisah ini bertutur kepada ibu yang penuh ketulusan terhadap putrinya. Ia
juga bertutur kepada para anak perempuan yang cerdas sebagaimana ia
juga bertutur kepada setiap wanita yang sudah menikah. Dan karena kisah
inilah sebuah perumpamaan arab dibuat. Yaitu perumpamaan “maa waroo`aka
ya ‘ishoom?” (apa yang ada di belakangmu hai ‘Ishom?). Abul Fadhl an
Naysaabuuriy dalam kitabnya “Majma’ul Amtsaal” berkata: “Maa waroo`aka
yaa ‘Ishoom?” Al Mufadhdhol berkata: orang yang pertama kali mengucapkan
perkataan ini adalah Al Haarits bin ‘Amr, raja Kandah. Yaitu ketika ia
mendapatkan kabar tentang kecantikan, kesempurnaan dan kecerdasan putri
‘Auf bin Mahlim asy Syaybaaniy, ia memanggil seorang wanita dari Kandah
yang dipanggil dengan nama ‘Ishoom; seorang wanita yang cerdas, pandai
berbicara, serta tinggi budi bahasa dan sastranya.
Sang raja berkata: “Pergilah sampai engkau dapat memberitahuku
tentang hal ihwal putri ‘Auf ini”. Maka ‘Ishoom pergi menemui ibu gadis
itu, yaitu Umaamah bintul Harits dan memberitahukan maksud
kedatangannya. Maka Umaamah memberikan pesan kepada putrinya dan
berkata: “Wahai anakku, ini adalah bibimu telah datang untuk melihatmu.
Maka janganlah kamu tutupi kalau ia ingin melihat wajah atau perilakumu.
Dan bicaralah kalau ia mengajakmu bicara”. ‘Ishoom pun masuk
menemuinya. Maka ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Setelah itu ia keluar seraya berkata: “Tarokal khidaa’ man
kasyafal qonaa’” (orang yang sudah menyingkap topeng, tidak akan
tertipu). Ia membuat perkataan ini sebagai sebuah perumpamaan. Lalu ia
pergi menemui Al Haarits.
Ketika Al Haarits melihatnya datang, ia berkata: “Apa yang ada di
belakangmu wahai ‘Ishoom?” (maksudnya: kabar apa yang engkau bawa wahai
‘Ishoom? Kemudian ‘Ishoom mendeskripsikan fisik dan akhlak sang putri
‘Auf dengan ungkapan-ungkapan susastra yang menjelaskan kecantikan dan
kebaikan gadis tersebut. Deskripsi ini sengaja dipotong oleh penerjemah
-pent).
Lalu sang raja mengutus seorang utusan kepada ayah gadis itu dan
menyampaikan lamarannya. Sang ayah menikahkan putrinya dengan sang raja.
Maskawin pun dikirimkan. Dan putri ‘Auf dipersiapkan hingga ketika ia
hendak dibawa kepada suaminya, ibunya berkata:
“Wahai putriku, kalaulah suatu wasiat tidak diberikan karena orang
yang diberi wasiat sudah sempurna akhlaknya, maka tentu wasiat ini tidak
akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi, ini sekedar pengingat orang yang
lupa dan penyokong orang yang ingat. Kalaulah seorang wanita bisa tidak
membutuhkan seorang suami karena kekayaan orangtuanya dan ia juga sangat
dibutuhkan oleh keduanya, tentulah kamu orang yang paling tidak
membutuhkan seorang suami. Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk
laki-laki dan laki-laki itu diciptakan untuk perempuan.”
“Wahai putriku, sesungguhnya engkau akan berpisah dari lingkungan
yang darinya engkau keluar, dan engkau akan meninggalkan sarang yang di
dalamnya engkau tumbuh besar. Ke sebuah sarang yang belum pernah engkau
tahu dan seorang pendamping yang tidak pernah engkau kenal. Maka ia
dengan kerajaannya akan menjadi pengintai dan pengatur atas dirimu. Maka
jadilah seorang hamba untuknya, niscaya dia akan menjadi seorang budak
dan orang yang baik untukmu.”
“Wahai putriku, embanlah dariku sepuluh sifat, maka sifat-sifat itu
akan menjadi perbendaharaan dan kenangan untukmu: mendampingi dengan
sifat qona’ah dan bergaul dengan penuh penerimaan dan ketaatan. Serta
teliti dengan apapun yang dilihat suamimu dan awas dengan apapun yang
diciumnya. Jangan sampai ia melihat dirimu dalam keadaan buruk dan
jangan pula ia sampai mencium darimu kecuali aroma yang harum. Celak
adalah sebaik-baik perhiasan dan air adalah sebaik-baiknya pengganti
wewangian. Kemudian bersiap diri pada saat makan dan tenang pada saat
tidur. Karena panasnya lapar akan mengobarkan rasa marah, dan membuat
sulit tidur akan memancing kekesalan. Lalu menjaga rumah dan hartanya,
serta mengurusi diri, keluarga dan anak-anaknya. Karena menjaga harta
itu merupakan baiknya perhitungan. Dan mengurusi anak dan keluarga
merupakan baiknya pengaturan. Dan jangan engkau sebarkan rahasianya,
serta jangan engkau bangkang perintahnya. Karena kalau engkau sebarkan
rahasianya, engkau tidak akan aman dari penghianatannya. Sedangkan kalau
engkau bangkang perintahnya, engkau akan mengobarkan amarahnya.
Kemudian hindarilah dengan itu semua sikap bersuka cita ketika sedang
bersedih. Dan sikap berduka cita ketika sedang bergembira. Karena sifat
yang pertama itu merupakan kelalaian. Sedangkan yang kedua akan membuat
suasana menjadi keruh. Dan jadilah orang yang sedemikian
mengagungkannya, maka dia akan menjadi orang yang sedemikian
memuliakanmu. Dan juga jadilah orang yang sedemikian menurutinya, maka
dia akan menjadi orang yang sedemikian lama bisa engkau dampingi. Dan
ketahuilah bahwasanya engkau tidak akan dapat meraih apa yang engkau
sukai sampai engkau mendahulukan keridhoannya di atas keridhoan dirimu
sendiri dan mendahulukan keinginannya di atas keinginanmu sendiri dalam
segala hal yang engkau sukai ataupun engkau benci. Dan semoga Allah
menjadikan baik semuanya untukmu.”
Lalu sang putri itu pun dibawa dan diserahkan kepada sang raja. Dan
ia mendapatkan kedudukan agung di sisi raja tersebut serta melahirkan
untuknya tujuh orang yang kemudian menjadi raja Yaman selanjutnya.
Selesai.
Seorang muslimah yang menghendaki pahala di sisi Allah, hendaknya
menjaga lisannya dari perbuatan ghibah, mengadu domba, merumpi, banyak
bertanya dan juga dari perbuatan mengingkari kebaikan suami. Karena
kebanyakan majlis para wanita itu waktunya lebih banyak dihabiskan untuk
perkara-perkara ini. Dan seolah-olah itu merupakan garam untuk makanan
yang tidak terasa enak suatu majlis kecuali dengannya.
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata: Rasulullah
shollallahu’alayhi wasallam berkhutbah kepada para wanita pada suatu
hari. Beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka untuk bertakwa
kepada Allah dan mentaati suami mereka. Lalu berkata: “Di antara kalian
ini ada yang masuk surga.. (beliau mengeratkan jari jemari tangan
beliau), dan di antara kalian ini ada yang menjadi kayu bakar neraka
(beliau merenggangkan jari jemarin tangan beliau)”. Salah seorang wanita
berkata: “Tentu ia adalah seorang wanita yang durhaka, wahai
Rasulullah! Dan mengapa demikian?”. Rasulullah
shollallahu’alayhi wasallam berkata: “Kalian mengingkari kebaikan suami
kalian, sering melaknat dan menunda-nunda kebaikan”. Diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban dalam Shahihnya.
Dan setiap muslimah hendaknya menjauhi perilaku meniru-niru
wanita-wanita kafir dan wanita-wanita fasiq. Dalam cara berpakaian,
model, dengan menghindari pakaian yang sempit dan terbuka -dari sisi
manapun dan dari bagian manapun-, dan yang transparan, pendek, celana
panjang, sandal atau sepatu berhak tinggi, dan menjauhi trend mengikuti
mode -seperti yang banyak disebut- tertentu, dalam soal pakaian atau
potongan rambut. Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Dan ketika menggambarkan segolongan wanita, Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam bersabda”
“Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku lihat -lalu beliau
menyebutkan salah satunya-, dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi
telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga
cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk
unta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium
baunya. Dan bau surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan
sekian waktu”. Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain.
Imam An Nawawi dalam Syarh-nya atas kitab Shahih Muslim berkata:
“Hadis ini merupakan salah satu mukjizat Rasulullah
shollallahu’alayhi wasallam. Apa yang telah beliau kabarkan kini telah
terjadi. Adapun “al kaasiyaat”, maka ia memiliki beberapa sisi
pengertian.
Pertama, artinya adalah mengenakan nikmat-nikmat Allah namun
telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua, mengenakan pakaian namun
telanjang dari perbuatan baik dan memperhatikan akhirat serta menjaga
ketaatan. Ketiga, yang menyingkap sebagian tubuhnya untuk memperlihatkan
keindahannya, mereka itulah wanita yang berpakaian namun telanjang. Keempat, yang mengenakan pakaian tipis sehingga menampakkan bagian
dalamnya, berpakaian namun telanjang dalam satu makna. Sedangkan
“maa`ilaatun mumiilaatun”, maka ada yang mengatakan: menyimpang dari
ketaatan kepada Allah dan apa-apa yang seharusnya mereka perbuat,
seperti menjaga kemaluan dan sebagainya. “Mumiilaat” artinya mengajarkan
perempuan-perempuan yang lain untuk berbuat seperti yang mereka
lakukan. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat” itu berlenggak-lenggok ketika
berjalan, sambil mendoyong-doyongkan pundak. Ada yang mengatakan,
“maa`ilaat” adalah yang menyisir rambutnya dengan gaya mendoyong. Yaitu
gayanya para pelacur. “Mumiilaat” yaitu yang menyisirkan rambut
perempuan lain dengan gaya itu. Ada yang mengatakan, “maa`ilaat”
maksudnya cenderung kepada laki-laki. “Mumiilaat” yaitu yang menggoda
laki-laki dengan perhiasan yang mereka perlihatkan dan sebagainya.
Adapun kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta, maknanya adalah
mereka membuat kepala mereka menjadi nampak besar dengan menggunakan
kain kerudung atau selempang dan lainnya yang digulung di atas kepala
sehingga mirip dengan punuk-punuk unta. Ini adalah penafsiran yang
masyhur. Al Maaziri berkata: dan mungkin juga maknanya adalah bahwa
mereka itu sangat bernafsu untuk melihat laki-laki dan tidak menundukkan
pandangan dan kepala mereka. Sedang Al Qoodhiy memilih penafsiran bahwa
“maa`ilaat” itu adalah yang menyisir rambutnya dengan gaya mendoyong.
Ia berkata: yaitu dengan memilin rambut dan mengikatnya ke atas kemudian
menyatukannya di tengah-tengah kepala sehingga menjadi seperti
punuk-punuk unta. Lalu ia berkata: ini menunjukkan bahwa maksud
perumpamaan dengan punuk-punuk unta adalah karena tingginya rambut di
atas kepala mereka, dengan dikumpulkannya rambut di atas kepala kemudian
dipilin sehingga rambut itu berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan
kepala. Selesai.
Ibnul ‘Arobiy berkata: “Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam
menyebut mereka berpakaian karena pakaian yang mereka kenakan. Hanya
saja beliau menyebut mereka telanjang karena pakaian yang tipis itu
menggambarkan tubuh mereka dan memperlihatkan keindahan mereka dan itu
adalah haram”.
Al Qurthubiy berkata: aku katakan: ini adalah salah satu dari dua
penafsiran ulama tentang makna ini. Yang kedua adalah bahwa mereka itu
adalah perempuan yang mengenakan pakaian namun telanjang dari pakaian
takwa yang tentangnya Allah berfirman:
“Dan pakaian takwa itu adalah lebih baik”.
Dan ada sebuah syair berbunyi:
“Orang yang tak mengenakan baju ketakwaan
Menjadi telanjang meskipun ia berpakaian
Sebaik-baik baju adalah taat kepada Tuhan
Dan yang membangkang-Nya sedikitpun tak punya kebaikan”
Menjadi telanjang meskipun ia berpakaian
Sebaik-baik baju adalah taat kepada Tuhan
Dan yang membangkang-Nya sedikitpun tak punya kebaikan”
Dan dalam hadis, dari Dihyah bin Kholifah al Kalbiy
rodhiyallaahu’anhu, ketika ia diutus kepada Heraclius dan setelah
kembali, Rasulullah memberinya kain qobthiyyah (sejenis kain yang
transparan) dan berkata: “Kenakanlah baju pada tempat belahan kain ini
dan berikanlah istrimu potongan kain untuk ia gunakan sebagai kerudung”.
Setelah Dihyah berlalu, Rasulullah shollallahu’alayhi wasallam berkata
lagi: “Suruhlah istrimu untuk melapisinya dengan sesuatu supaya tidak
transparan”. Diriwayatkan oleh Al Hakim. Ia berkata: ini adalah hadis
yang sanadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim.
Abu Hurairah menyebutkan perkara kain tipis untuk pakaian wanita,
maka dia berkata: “Perempuan-perempuan yang berpakaian namun telanjang,
yang penuh dengan kesenangan namun menderita”.
Beberapa wanita dari Bani Tamim masuk menemui Aisyah
rodhiyallaahu’anhaa dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Aisyah
berkata: “Kalau kalian ini wanita yang beriman, maka yang seperti ini
bukanlah pakaian wanita beriman. Tapi kalau kalian bukan wanita beriman,
maka nikmatilah pakaian seperti ini”.
Seorang pengantin wanita diantar masuk menemui Aisyah
rodhiyallaahu’anhaa dengan mengenakan kain tipis yang telah dicelup
dengan ‘ushfur (sejenis tanaman yang wangi). Ketika Aisyah melihatnya,
beliau berkata: “Perempuan yang mengenakan pakaian seperti ini belum
mengimani surat An Nur”.
Inilah yang dapat aku sampaikan, dan aku memohon kepada Allah yang
Maha Tinggi dan Maha Kuasa agar Ia menjadikan amalku ini sebagai amal
saleh, dan menjadikannya ikhlas untuk-Nya semata, dan semoga dari amal
ini, Ia tidak menjadikan sesuatu apapun untuk siapapun bersama-Nya, dan
semoga Ia menerimaku bersama orang-orang yang saleh. Amin.
Wa shollallaahu ‘alaa nabiyyinaa muhammadin wa aalihii wa shohbihii wa sallam ajma’iin.
Ditulis oleh: Abu Furaihan Jamal bin Furaihan al Haritsiy 20/7/1426 H
(Diterjemahkan oleh redaksi akhwat.web.id dari tautan: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=335750)
0 komentar:
Posting Komentar