Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya kaum Muslimin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat secara jelas dengan mata kepala mereka sebagaimana melihat matahari dengan terang, tidak terhalang oleh awan sebagaimana mereka melihat bulan di malam bulan purnama. Mereka tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. Dan jika kalian sanggup untuk tidak dikalahkan (oleh syaithan) untuk melakukan shalat sebelum Matahari terbit (shalat Subuh) dan sebelum terbenamnya (shalat ‘Ashar), maka lakukanlah.”[1]
Kaum Mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di padang Mahsyar, kemudian akan melihat-Nya lagi setelah memasuki Surga, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.” [Al-Qiyaamah: 22-23]
Melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kenikmatan yang paling dicintai bagi penghuni Surga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” [Yunus: 26]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan lafazh “jiyadah” (tambahan), pada ayat di atas dengan kenikmatan dalam melihat wajah Allah, sebagaimana diriwayatkan:
Dari Shuhaib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila ahli Surga telah masuk ke Surga, Allah berkata: ‘Apakah kalian ingin tambahan sesuatu dari-Ku?’ Kata mereka: ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?’ Lalu Allah membuka hijab-Nya, maka tidak ada pemberian yang paling mereka cintai melainkan melihat wajah Allah Azza wa Jalla. Kemudian Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.’” [Yunus: 26] [3]
Adapun di dalam kehidupan dunia, maka tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah, sebagaimana firman-Nya
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam, "Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia"[4]
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata. "Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.”[5]
Adapun orang-orang kafir, mereka tidak akan bisa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya, begitu juga di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” [Al-Mu-thaffifin: 15]
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan lainnya bahwa ahli Surga akan melihat wajah Allah Jalla Jala Luhu. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Tatkala Allah menghijab (menghalangi) orang kafir dari melihat Allah dalam keadaan murka, maka ayat ini sebagai dalil bahwa wali-wali Allah (kaum Mukminin) akan melihat Allah dalam keadaan ridha.”[6]
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang ru'-yatullaah (melihat Allah pada hari Kiamat), maka beliau rahimahullah menjawab, “Hadits-haditsnya shahih, kita mengimani dan mengakuinya, dan setiap hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih, kita mengimani dan mengakuinya.”[7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Lafazh "tudhommuuna" bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh "tudhommuuna"ó yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).
[2]. Lihat Syarah Lum’atul I’tiqaad (hal. 87), oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
[3]. HR. Muslim (no. 181), at-Tirmidzi (no. 2552 dan 3105), Ibnu Majah (no. 187), Ahmad (IV/332-333), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 472), dari Shuhaib Radhiyallahu 'anhu dan ini adalah lafazh Muslim.
[4]. HR. Muslim (no. 2930 (95)), Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 2044), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma
[5]. HR. Muslim (no. 177 (287)). Lihat juga masalah ini dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal 188-198) takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/509-512).
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi j melihat Allah dengan hati-nya. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
[6]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/560, no. 883), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 191), takhrij Syaikh al-Albani, dan Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (VI/499).
[7]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (III/562 no. 889).
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2403/slash/0
0 komentar:
Posting Komentar